BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Lunasilah Utangutangmu!

Written By gusdurian on Sabtu, 18 Juli 2009 | 15.16

Lunasilah Utangutangmu!

SUATU hari saya menghadiri pengajian di Jakarta yang isinya sederhana,
namun cukup menyentuh hati. Pengajian ini dihadiri para
eksekutif,profesional,intelektual, bahkan konglomerat yang haus siraman
rohani.

Dalam pengajian itu seorang ustaz menyindir para jamaah tentang
pentingnya membayar utang. Kurang lebih demikian katanya,
“Saudara-saudara sekalian, sekarang Saudara sudah menjadi orang
kaya,tapi tolong diingat apakah dulu ketika duduk di bangku sekolah atau
kuliah masih mempunyai utang yang belum dibayar?

”Tentu saja sindiran ini membuat para jamaah cukup terperanjat sambil
mesem-mesem dan tengok kanan tengok kiri. “Mungkin dulu salah satu dari
Saudara makan tempe goreng empat potong,tetapi mengaku makan dua
potong.Atau mungkin ketika tinggal di kontrakan atau kos masih menunggak
uang sewa,lupa bayar listrik dan sebagainya, lalu keburu pergi.

Maka, hari ini saya ingatkan, tolong segera lunasi,” katanya lagi. Maka
pecahlah tawa para jamaah. Itu berarti sindirannya telak mengenai
sasaran. “Tolong sekarang lunasi, sebab kalau utang itu tidak dibayar,
bisa menghalangi kita untuk masuk surga,” lanjut sang ustaz. Dengan
bahasa yang lugas ustaz tadi menjelaskan tentang kewajiban membayar
utang, sekecil apa pun jumlahnya.

Kalau tidak, hal-hal yang dianggap kecil bisa menjadi penghalang sesuatu
yang besar. Ibarat kita memasukkan anak kunci untuk membuka pintu,
ketika lubang itu terhalangi kerikil atau serpihan kayu yang kecil,
akibatnya bisa fatal: anak kunci itu tak akan mampu membuka pintu.

Utang yang belum dilunasi akan menjadi penghalang bagi perjalanan rohani
di akhirat kelak. Menurut riwayat, di antara siksa kubur yang akan
dijumpai nanti adalah disebabkan oleh utang yang belum dilunasi. Di
dunia pun orang yang tidak membayar utang (mengemplang)— padahal dia
mampu untuk membayarnya— akan merusak martabat seseorang.

Di samping melawan hukum, secara moral dianggap tercela oleh masyarakat
dan diyakini akan mempersempit pintu rezeki. Ceramah tadi telah
menggugah kesadaran para jamaah untuk merenungkan kembali atau
mengingat- ingat tentang utang masa lalu mereka.

Sekarang mungkin sebagian besar jamaah telah meraih kesuksesan dan hidup
dalam kecukupan ekonomi, namun mungkin di masa lalu pernah mempunyai
janji, tanggungan, utang dan sebagainya yang sadar atau tidak
sadar,disengaja atau tidak disengaja, tapi masih belum dilunasi atau
ditunaikan.

Dari pengalaman berbincang dan bersosialisasi dengan beberapa teman
sambil main golf, saya memperoleh banyak cerita menarik bahwa apa yang
dikatakan ustaz tadi memang benar. Saya mendengar ada beberapa teman
yang sudah sukses di Jakarta,suatu hari sengaja berkunjung ke Yogyakarta
menemui pemilik rumah kos dan warung langganannya dulu.

Dia sengaja untuk melunasi utangutangnya yang belum dibayar.Jumlah
persisnya sudah lupa, tapi dia tidak ingin ketika meninggal masih
memiliki utang, meskipun hanya senilai lima porsi makan untuk ukuran
mahasiswa. Ketika datang ke Yogyakarta dan berhasil bertemu pemilik
rumah kos dan warung langganannya, butuh waktu beberapa saat untuk
saling mengingat-ingat karena sudah belasan tahun tidak bertemu.

Biasanya mereka datang dengan memberi uang lebih besar dari jumlah
utangnya sebagai tanda terima kasih dan penebusan dosa. Tentu saja para
pemilik warung yang sebagian besar sudah lanjut usia itu terkejut
dibuatnya menerima rezeki nomplok yang tak terduga itu.

Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh mantan mahasiswa yang telah
sadar ini bukan sekadar melunasi utang-piutang, tetapi juga berbagi
kegembiraan. Mereka menebus kesalahan yang pernah dilakukan sambil
memberi sesuatu yang lebih dari rezeki yang diperolehnya.

Niat baik untuk bersilaturahmi, membayar utang dan berbagi kegembiraan
seperti yang mereka lakukan ini mengingatkan saya pada cerita-cerita
tentang pengalaman orang-orang yang pernah mati suri atau mereka yang
dalam istilah psikologi disebut dengan near death experiencer (NDE).

Mereka yang pernah mengalami mati suri dapat kita jadikan bahan renungan
tentang kebenaran berita alam kubur. Sebagian besar mengalami,
menyaksikan, dan meyakini bahwa semua utang yang belum terbayar itu
datang menagih janji untuk dilunasi.Tentu saja waktu itu rohaninya
merasa tersiksa.

Mereka mengalami sendiri bagaimana utang, janji, atau ucapan sekecil apa
pun mempunyai konsekuensinya sendiri. Karena itu, janji memang harus
ditepati, sebab setiap janji adalah utang (al-wa’du dainun). Bila
Saudara hendak pergi umrah atau haji, lalu seseorang meminta didoakan
dan disebut namanya di depan Kakbah, lalu kita jawab menyanggupi, maka
itu sudah termasuk utang yang mesti dilunasi.

Kalau tidak, cerita teman yang pernah mati suri, hal itu pun akan
dipertanyakan kelak di alam kubur. Karena itu, berhati-hatilah membuat
janji. Jika tak sanggup melakukannya, jangan pernah menjanjikannya.
Lalai menjalankan janji sekecil itu pun akan menjadi penghalang
perjalanan rohani kita.Terlebih jika kita telah membuat nazar, derajat
utangnya lebih berat.

Jadi,sekiranya kita tidak yakin sanggup untuk menyampaikan titipan salam
atau mendoakan permintaan orang, sebaiknya jangan berkata menyanggupi
mengingat janji kesanggupan itu akan tercatat sebagai utang yang mesti
dibayar. Misalnya ada anak meminta doa kepada orang tuanya agar selamat
di dalam perjalanan atau agar lulus ujian.

Sebaiknya saat itu juga orang tua mendoakan, agar segera lunas
permintaan itu, daripada menyanggupi tetapi akhirnya lupa. Karena di
antara kita pasti memiliki utang yang mungkin belum atau lupa
membayarnya, maka Islam mengajarkan untuk saling bersilaturahmi dan
memaafkan agar tak ada lagi utang di antara mereka yang tersimpan hingga
ke liang kubur.

Kalau ada utang uang, misalnya, ada baiknya dikatakan terus terang untuk
direlakan jika tidak sanggup membayarnya. Misalnya dengan ucapan;
“Maafkan saya,bila mungkin masih punya utang, karena lupa atau kelalaian
saya,baik yang disengaja atau tidak sengaja,mohon diikhlaskan.”

Islam memang agama kasih yang mengajarkan forgiveness (pemberian maaf),
tapi Islam juga agama yang sangat menjunjung tinggi makna keadilan
(justice), karena itu banyak nasihat dari Alquran dan Hadis yang
menganjurkan tentang pentingnya memenuhi janji, membayar utang,
menyelesaikan tunggakan, dan menyampaikan amanah.

Bahkan tak hanya utang uang dan harta benda yang harus dipenuhi oleh
seorang hamba, utang ibadah pun harus dipenuhi. Contohnya, bagi orang
yang tak mampu menjalankan puasa, maka harus menggantinya dengan fidyah.
Semua utang hendaknya dilunasi demi kebaikan dan kebahagiaan perjalanan
rohani kelak.(*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/255432/38/

Inspirasi dari Amerika Latin

Inspirasi dari Amerika Latin
Oleh: Endang Suarini

Meski KPU belum secara resmi mengumumkan hasil final pilpres 8 Juli
lalu, berbagai media, termasuk koran ini, sudah memastikan Soesilo
Bambang Yudhoyono keluar sebagai pemenang berdasar hasil /quick count/
berbagai lembaga survei. Perolehan suara SBY diyakini begitu signifikan
sehingga tak perlu pilpres dua putaran.

Pada hari-hari ke depan, media pasti didominasi spekulasi tentang siapa
yang dipilih menjadi menteri. Terkait dengan hal tersebut, usul pola
hidup sederhana sebagai kriteria patut dipertimbangkan (/Jati Diri/,/
Jawa Pos/,/ /14 Juli 2009). Ini relevan dengan "wong cilik" yang
jumlahnya hampir separo di antara total penduduk negeri ini yang hidup
di bawah USD 2 per hari (salah satu kategori miskin menurut Bank Dunia).

Dengan memikirkan pola hidup semacam itu, alangkah eloknya bila
SBY-Boediono langsung menjadi teladan, sebagaimana pola hidup sederhana
dan populer dari para presiden Amerika Latin (/Fokus Dunia/,/ Jawa
Pos/,/ /8 Juli 2009).

***

Salah seorang presiden dari kawasan itu yang mungkin bisa dijadikan
inspirasi bagi SBY adalah Fernando Lugo, presiden Paraguay yang dilantik
pada 15 Agustus 2008. Salah seorang di antara sembilan presiden sosialis
di Amerika Latin itu dikenal sangat populis. Selama masa kampanye,
nyaris tidak ada biaya beriklan. Hanya, kata-kata Lugo mampu menyentuh
hati rakyat yang bertahun-tahun dikuasai militer dan tuan tanah. Lugo
berhasil mengalahkan Blanca Ovelar dari Partai Colorado, partai yang
berkuasa sejak 1947.

Saat pelantikan Lugo, beberapa presiden populis Amerika Latin hadir
untuk memberi ucapan selamat. Di antaranya, Presiden Venezuela Hugo
Chavez yang pertama hadir, Presiden Bolivia Evo Morales yang berdarah
Indian, dan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva yang didukung
Partai Buruh.

Ketika dilantik, kaum buruh, petani, dan orang-orang miskin ikut makan
dan berpesta di istana. Meski pesta, menu yang tersaji ternyata
didominasi singkong. Lugo benar-benar "President for the Poor" (presiden
/wong cilik/).

Yang sangat mengesankan dari para presiden populis Amerika Latin memang
kedekatannya dengan rakyat, khususnya "wong cilik". Nyaris tak berjarak.

Lugo bisa menyapa petani Indian miskin atau buruh pabrik di kota dalam
keakraban yang tidak dibuat-buat. Bahkan, protokoler istana, seperti di
Istana Merdeka, Jakarta, yang mengesankan nuansa neofeodalistis, tak
berlaku di istana para presiden di Amerika Latin.

Fasilitas seperti mobil pun bukan mobil mewah. Dalam keseharian, para
presiden itu hidup sederhana seperti kebanyakan rakyat mereka. Sungguh
presiden yang dekat dengan rakyat!

Kedekatan seperti itu jelas menjadi cermin dari kemenangan demokrasi.
Bukankah demokrasi merupakan pemerintah oleh rakyat dan untuk rakyat?
Meski selama kampanye pilpres tidak mengusung slogan "pro rakyat",
bukankah demokrasi kita juga demokrasi rakyat sehingga SBY sebagai
presiden terpilih mutlak harus pro rakyat?

Kalau demokrasi kita memang demokrasi oleh dan untuk rakyat, apa
salahnya rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesungguhnya merindukan
sosok presiden populis yang dekat dengan rakyat?

***

Tentu kedekatan tersebut jangan dimaknai secara dangkal atau sekadar
kedekatan guna mendongkrak citra seperti di dalam iklan-iklan capres.
Yang dibutuhkan lebih dari penampilan luar, yakni kebijakan nyata yang
sungguh-sungguh pro rakyat. Misalnya, sembako bisa dibuat
semurah-murahnya dan upah buruh dibuat layak. Kalau perlu, upah buruh
ditetapkan dalam Keppres sehingga tiap tahun para buruh tidak perlu
berdemo meminta kenaikan upah (UMK).

Selain itu, sistem ketenagakerjaan perlu direformasi sehingga sembilan
juta pengangguran bisa bekerja, termasuk tiga juta pengangguran
terdidik. Enam juta TKI sebaiknya bisa ditampung bekerja di dalam
negeri, seperti terjadi di Venezuela.

Terkait dengan Venezuela, Presiden Hugo Chavez memang membuat gebrakan
pro rakyat dan antineoliberalisme yang patut diteladani. Jelas, hal itu
relevan dengan tuduhan pro neoliberalisme, khususnya bagi Boediono.
Jadi, SBY-Boediono perlu menimba dari langkah-langkah Chavez. Misalnya,
kita harus berani meninjau segala kontrak karya pertambangan yang
merugikan negara dan menggadaikan kedaulatan NKRI kepada pihak asing.

Simaklah, Chavez berani menasionalisasi PDVSA (perusahaan migas negara).
Pada tahun pertama nasionalisasi, perusahaan itu hanya berpendapatan USD
64,5 miliar. Setahun kemudian, perusahaan tersebut telah menyumbangkan
keuntungan kepada negara sebesar USD 10,3 miliar. Kini Venezuela menjadi
produsen minyak terbesar di dunia. Para buruh minyak pun sejahtera.

Jadi, kedekatan Chavez dengan rakyat juga ditindaklanjuti dengan
kebijakan yang sungguh merakyat. Bukan retorika pro rakyat!

Dalam kearifan budaya kita, sebenarnya sudah banyak ajaran tentang
seorang pemimpin harus dekat dengan rakyatnya seperti dalam Asta Brata.
Dalam kisah Panji juga dikisahkan raja yang rela meninggalkan istana dan
tega menyamar agar tahu dan dekat dengan rakyatnya, bukan hanya puas
dibisiki oleh para penasihat istana.

Kita berharap, dengan "style" sekaligus kebijakan pro rakyat, derajat
negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini bisa terangkat di mata
dunia. Khususnya, /wong cilik/ seperti buruh tani atau buruh pabrik bisa
segera menikmati kesejahteraan.* (*)*

/*) Endang Suarini, aktivis buruh di Sidoarjo/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80693

Bom Jakarta dan Terorisme Global

Sabtu, 18 Juli 2009 | 03:35 WIB

Oleh *Faustinus Andrea*

Di tengah hiruk pikuk rencana kedatangan klub sepak bola terbesar Eropa,
Manchester United, ke Jakarta, kita dikejutkan berita ledakan bom di
Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di sekitar Mega Kuningan,
Jakarta, Jumat (17/7). Diperkirakan jumlah korban 50 orang lebih,
sembilan orang di antaranya tewas.

Peristiwa ini sungguh memprihatinkan kita bersama. Di tengah banyak
elite sibuk bermanuver menduduki jabatan kabinet pemerintah 2009-2014,
seolah kita terlena akan bahaya ancaman terorisme. Timbul kesan bahwa
perhatian terhadap isu terorisme akhir-akhir ini kurang mendapat
perhatian bagi pemerintah, padahal terorisme setiap saat mengancam
kehidupan kita.

Lagi-lagi para elite pemerintah kurang tergerak akan bahaya besar dan
berkali-kali aparat intelijen juga kecolongan menghadapi ancaman besar
terorisme. Artikel ini mengingatkan kembali akan peristiwa terorisme
dunia yang terkait dengan kelompok Al Qaeda dan jaringannya di kawasan
Asia Tenggara yang terus melakukan aksinya.

*Terulang di tempat sama*

Tragedi bom di depan Kedubes Australia di Jakarta, 9 September 2004,
yang menewaskan sembi- lan orang, mengingatkan tragedi serupa yang
terjadi di Bali, Oktober 2002, dengan korban tewas lebih dari 200 orang,
dan Hotel JW Marriott, Jakarta, Agustus 2003, dengan korban tewas 13
orang. Bom kembali meneror Bali pada tahun 2005.

Teror bom di dua hotel elite Jakarta asal Amerika Serikat kemarin dapat
diduga dilakukan oleh kelompok Jemaah Islamiyah, seperti teror-teror bom
sebelumnya di Tanah Air. Jaringan ini diketahui beroperasi di
negara-negara Asia Tenggara, utamanya melibatkan warga Malaysia, seperti
Azahari yang telah tewas di Batu, Malang, dan Noordin M Top yang sampai
sekarang belum tertangkap. Motif peledakan bom kemarin dapat
diperkirakan adalah untuk mempermalukan Pemerintah Indonesia berikut
aparat keamanannya, terutama karena mata dunia sebentar lagi tertuju
pada pertandingan persahabatan MU dengan tim sepak bola Indonesia pada
20 Juli ini. Bom meledak di Hotel Ritz-Carlton, tempat tim MU menurut
rencana akan menginap setelah meninggalkan Kuala Lumpur. Kepastian
pembatalan kedatangan MU ke Jakarta kemarin tentu merupakan pukulan bagi
seluruh bangsa Indonesia yang amat mendambakan kedatangan mereka.

Tentang dibomnya lagi Hotel JW Marriot bisa saja bermotif penghinaan
terhadap lemahnya pengamanan di Jakarta, karena sebuah lokasi sampai
mengalami dua kali peledakan bom. Padahal, keledai tak akan terantuk
batu untuk kedua kalinya. Bisakah diartikan kita lebih dungu
dibandingkan dengan keledai?

Terorisme global yang paling fenomenal tentu saja adalah tragedi WTC New
York, September 2001, yang menewaskan sekurangnya 3.000 orang. Sebelum
itu sebenarnya AS sudah beberapa kali dipermalukan dengan rangkaian
peledakan bom kedutaan besarnya di Afrika dan sebuah kapal perangnya
yang sedang merapat di Yaman. Semua jika dirunut adalah ekspresi
kebencian tokoh Al Qaeda, Osama bin Laden, terhadap AS yang semula bahu
membahu memerangi pendudukan Uni Soviet terhadap Afganistan. AS yang
semula mendukung gerilya Mujahidin dan Osama, belakangan balik dianggap
Osama sebagai musuh bersama umat Islam.

Lebih dari itu, seperti publikasi yang dikeluarkan oleh IISS, London
dalam Strategic Survey 2004 bahwa pendudukan AS atas Irak telah
mempercepat dilakukannya perekrutan jaringan Al Qaeda. Kini anggotanya
telah mencapai lebih dari 18.000 militan dan siap menyerang kepentingan
AS dan sekutunya di mana pun. Dalam publikasi itu berbagai aspek
mengenai Al Qaeda juga disebutkan, seperti keuangan kelompok yang rapi,
karena adanya peran manajer menengah yang cakap dan melatih kader di
seluruh dunia. Kekuasaan Osama bin Laden pun hingga kini juga masih eksis.





*Keamanan regional*







Tragedi bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton kemarin telah menambah
sederetan perkembangan keamanan Indonesia pascatragedi bom Hotel JW
Marriott 2003 yang membawa implikasi terhadap perspektif keamanan secara
regional. Dalam rangka merespons aksi-aksi terorisme, Indonesia dan
ASEAN belum mengintroduksi kebijakan luar negeri dan kebijakan dalam
negerinya secara maksimal.

Di tengah krisis keamanan secara regional sebagai akibat dari ancaman
terorisme ini, Indonesia dan ASEAN masih menghadapi dilema yang sulit
antara harus memenuhi tekanan AS dan koalisi global melawan terorisme
maupun penerapan dari langkah antisipasi perang melawan terorisme dari
setiap negara anggota ASEAN.

Diperlukan reformasi intelijen lain dengan melibatkan sumber daya sipil
yang kredibel di bidang teknologi maju. Sebab, tingkat kesulitan melawan
ancaman terorisme sangat tinggi. Aktivitas kaum teroris sangat absurd
dan sulit dicerna akal sehat seperti terlihat pada serangan bom bunuh
diri. Apalagi persenjataan mereka semakin canggih seiring dengan
perkembangan teknologi persenjataan. Tidak tertutup kemungkinan teroris
dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan menggunakan persenjataan
kimiawi, biologis, dan nuklir yang bisa dibawa ke mana-mana.

Kredibilitas Pemerintah Indonesia di mata internasional dalam menangani
isu terorisme ini akan meningkat jika ia mampu melaksanakan komitmennya
dalam langkah-langkah kebijakan regional yang realistis dan strategis.
Oleh karena itu, kemampuan Pemerintah Indonesia dan ASEAN untuk lebih
memahami hakikat permasalahan tentang terorisme, serta kemampuan untuk
mengembangkan perangkat dan aturan-aturan kelembagaan yang tepat dalam
mengantisipasi ancaman terorisme masa depan.

*Faustinus Andrea* /Staf Editor Jurnal Analisis CSIS, Jakarta
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/03352735/..bom.jakarta.dan.terorisme.global
/

Kaya Rasa, Kaya Makna

Kaya Rasa, Kaya Makna


Oleh *Gede Prama*

”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”

Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid
mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.

Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja
mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu
menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi
berbagai penangkapan, menakutkan.

*Sekolah yang indah*

Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah
karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada
habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.

Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang
menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena
tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang
enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah
untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan
makanan yang dibawa orang lain.

Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau
nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya.
Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah,
peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.

Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa
borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut
orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak,
betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada
guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu
menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.

Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga
mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung.
Intinya, menyadarkan pentingnya memberi.

Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja
mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi
kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.

*Tiga tangga pemberian*

Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita:
”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.

Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang
memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan
terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah
menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga,
bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.

Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi
kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo
Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di
mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di
mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci
memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa
detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”

Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih
ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat
ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”

Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang
dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh.
Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan
seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga
kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik:
bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.

Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa
kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena
manusia belum terbiasa melepaskan.

Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian.
Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.

Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena
menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar
makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa
memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas.
Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa
(kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan.
Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.

Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara
mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap
menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan
yang serba mahal.

*Gede Prama* /Penulis buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan
Menjadi Keteduhan
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/0319069/kaya.rasa.kaya.makna

Kekuatan Manusia Indonesia

Kekuatan Manusia Indonesia



Oleh *Radhar Panca Dahana*

Bagaimana sebenarnya cara kita mengapitalisasi 235 juta warga Indonesia,
mengapitalisasi diri sendiri? Dalam pengertian paling umum, jumlah itu
adalah sebuah potensi kerja yang luar biasa. Yang diukur dengan
kemampuan produktifnya dan sumbangannya pada ”pendapatan nasional”.

Maka angka hebat itu sekadar bermakna ranking terbesar keempat di dunia,
bermakna Rp 5.000 triliun dalam PDB, 2.000 dollar AS per kapita, Rp 200
triliun untuk pendidikan, 52 persen persen konstituen untuk satu putaran
pilpres, Rp 70 triliun subsidi energi, 10 persen penganggur, Rp 100
triliun kontribusi industri kreatif, atau 100.000 megawatt tambahan
listrik, dan seterusnya.

Dengan itu, kita sadar, betapa nilai satu manusia di negeri ini, jiwa,
raga, dan seluruh potensi mentalnya, dihitung dalam materialisasi
angka-angka yang pada akhirnya melenyapkan kenyataan dan keberadaan
manusianya sendiri. Simplifikasi yang penuh reduksi ini membuat negeri
kita bukan hanya tampak miskin dan sengsara, tetapi juga rapuh tak berdaya.

Betapa semua angka itu hanya menjadi artifisialisasi dari realitas
majemuk dan padat dimensi dari kemanusiaan kita sendiri. Satu bentuk
komprehensi yang juga menunjukkan kemiskinan visi, wawasan, dan bacaan
para penyelenggara negeri atas negeri yang dipimpin. Dan kemiskinan ini
begitu rentan dalam pertarungan global, bahkan di tingkat virtual.

Hanya dalam hitungan hari, bahkan mungkin jam, angka-angka itu bisa
berubah radikal, anjlok ke jurang terdalam, oleh ulah pialang-petualang.
Katakanlah semacam George Soros, yang bukan hanya pernah menghantam
Thailand, Korea, Indonesia, dan banyak negara Asia, tetapi juga negeri
dengan kekuatan moneter dahsyat seperti Inggris. Maka, bila tidak rentan
dan rapuh, angka-angka yang memaknai dan mengapitalisasi 235 juta
manusia itu sebenarnya adalah palsu.

*Unikum kebudayaan*

Kepalsuan itu terlihat bukan hanya karena sebuah argumentasi teoretis
atau filosofis saja, tetapi juga berdasar fakta dan realita, bahwa
sejarah para penghuni negeri kepulauan itu, lebih dari dua milenia
membangun dirinya, sama sekali tidak dengan angka, tidak dengan
statistik ekonomi, data kependudukan, atau jumlah produksi celana yang
dipakainya.

Negeri yang dipahami dengan baik oleh Soekarno dengan Pancasila-nya ini
dibangun melalui kekuatan-kekuatan kebudayaan (sebagaimana Soekarno
memaksudkan semua sila yang ia kristalkan itu sebagai hasil dan bermakna
kebudayaan). Kekuatan yang membuat negeri-negeri dan bangsa-bangsa di
dalamnya bertahan, berkembang, bahkan memiliki posisi atau peran yang
tidak remeh dalam percaturan mancanegara.

Karena, bagaimana kita dapat mengapitalisasi, mematerialisasi, karya dan
produk kultural, seperti Borobudur, wayang, batik, kitab-kitab ajaran
kuno, keterbukaan dan kosmopolitanisme yang membentuk identitas
suku-suku, bahasa yang menyatukan, pergaulan yang intens dan progresif
di antara mereka, kemampuan mengakulturasi semua adab/budaya asing yang
datang dan seterusnya.

Kealpaan pada hal-hal itu bukan hanya menafikan keunggulan dan kekayaan
kita, tetapi juga seperti mempabrikasi bom waktu kehancuran sendiri.
Karena justru dengan itulah, dengan—katakanlah—nilai-nilai ideal
Pancasila-Soekarno, sebenarnya kita bisa bertahan sebagai sebuah negeri,
sebuah bangsa, dari kemungkinan segregasi yang diramal, dicemaskan dan
ditiupkan segolongan pihak.

Itulah fakta. Sebenarnya 235 juta manusia adalah jumlah dari para
produsen kebudayaan, dari unikum-unikum kebudayaan. Mereka, pada setiap
entitasnya, memiliki daya, kekuatan produktif, bertahan dan berkembang
tersendiri. Yang secara akumulatif terbukti membangun negeri ini, dengan
atau tanpa modal kapital yang serakah, dengan atau tanpa—setidaknya
keterlibatan minimal—negara.

Seorang wartawan National Geographic melukiskan dengan haru saat ia
berkunjung ke negara yang merupakan ”Naga Kecil” di tahun 1950-an. Satu
konjen AS di Surabaya saat itu membuat pengumuman yang membuka lowongan
kerja bagi juru ketik dengan gaji cukup. Negeri miskin ini dipercaya
akan membanjiri lowongan itu. Berminggu-minggu ditunggu, pelamar yang
datang hanya sehitungan jari.

Namun, saat pengumuman itu diganti lowongan juru gambar, maka hanya
dalam hitungan hari, puluhan pelamar datang. Kejadian mengejutkan ini
tak bisa lain hanya menciptakan impresi sederhana dari sang wartawan
yang lalu menuliskan, ”di negeri ini semua orang seniman”.

*Pragmatisme idealis*

Sebagai sebuah impresi, komentar hiperbolik itu sah. Namun, setidaknya
ia telah menunjukkan, kekuatan terbaik dan terbesar bangsa ini ada pada
kebudayaan yang inheren bahkan transenden dalam hidup sehari-hari
masyarakatnya. Sebuah kekuatan pimpinan yang penuh visilah yang akan
mampu menangkap, mengolah, dan mengoptimalisasi kekuatan itu menjadi
kesejahteraan, sebuah kejayaan.

Di sini, kesejahteraan tidak lain adalah terjadinya integrasi sinergis
antara daya-daya praktis-pragmatis dari standar hidup sehari-hari dan
daya-daya idealis dari kekuatan kultural-spiritual masyarakat. Ini juga
sebuah realita—yang kian rusak karena pemahaman dan penataan yang
keliru—di mana hidup pragmatis manusia Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari ritus-ritus artistik dan religiusnya. Ini pula yang mungkin membuat
Soekarno menempatkan sila ”Ketuhanan Yang Mahaesa” dari tempat kelima,
1945, menjadi sila pertama di saat berikutnya.

Maka, misalnya, bila daya ekonomi kita, terutama di pedesaan atau grass
root, didesak untuk meningkatkan produktivitasnya, sementara kultur atau
ritus religiusnya dirusak budaya kota/asing melalui berbagai media,
jangan harap hasil memuaskan akan didapat. Karena tiap butir gabah yang
dihasilkan petani bukan hanya wujud kebutuhan pragmatis, tetapi juga
sebagai rasa syukur, sebagai ibadah, sebagai kewajiban kultural.

Seberapa jauh presiden terpilih menyadari hal ini, bisa dibaca dari
dialog atau debat. Keringnya wacana, sempitnya apresiasi pada realitas
itu, juga cara mereka mengukur diri dan bangsa melalui angka,
menunjukkan visi—dengan ruang dan waktu lebih lapang dan dalam—yang kita
harapkan masih jauh dari jangkauan.

Untuk itu, tidak ada alasan lain, keberanian dan kehendak politik harus
kuat untuk bekerja sama dengan elemen-elemen lain, khususnya kebudayaan.
Karena dari sana bisa diharapkan, keluasan dan kedalaman visi dapat
ditingkatkan. Mereka, kekuasaan dan kebudayaan, yang selama ini arogan
dengan mengatakan ”aku bisa hidup tanpa kau”, sudah saatnya datang ke
ruang yang sama. Bukan untuk sekadar salaman dan minum bersama, tetapi
beradu hati, kepala, dan mimpi: menemukan diri kita yang sebenarnya,
saat ini dan nanti. Pada kala itu, harapan tidak lagi tinggal dalam
kotak kenangan.

*Radhar Panca Dahana* /Sastrawan
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/03181639/kekuatan.manusia.indonesia

Bom,Terorisme dan Operasi Intelijen

Bom,Terorisme dan Operasi Intelijen

Setelah meledaknya bom di Hotel JW Marriot dan The Ritz-Carlton, isu pun
simpang siur. Kekhawatiran masyarakat kembali memuncak dan rasa tidak
aman kembali menyelimuti.

Sayangnya bukannya fokus menyelesaikannya, malah isu ini digiring
melebar ke isu politik. Kasus ini memang sudah selayaknya untuk dibahas
dari sudut pandang intelijen. Maka itu, saya sebagai pengamat intelijen
akan berbicara berdasarkan data-data intelijen.

Ketika kemarin saya menonton konferensi pers yang digelar oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana, tampak dia menggelar data-data
intelijen dalam omongannya serta beberapa foto. Perlu dipahami, untuk
membaca kasus terorisme tak bisa sepotong- sepotong.Untuk itu,dalam
memandangnya, kita harus melihatnya dalam suatu konteks.

Kejadian seperti peledakan ini merupakan bagian dari rangkaian. Yang
terjadi sekarang ini merupakan bagian dari kejadian-kejadian sebelumnya
seperti penangkapan tersangka teroris di Palembang, Cilacap, dan
lainnya, yang menariknya berdekatan dengan HUT Polri.Peristiwa yang
sekarang juga merupakan indikasi bahwa gangguan keamanan akan terjadi lagi.

Nah, tentu timbul pertanyaan dari masyarakat dan dari pengamat
intelijen, yaitu mengapa peristiwa ini tidak bisa di-counteratau
didahului dengan pencegahan sehingga peristiwa yang memilukan ini tidak
perlu terjadi? Menurut saya intelijen wajib memperkirakan indikasi yang
ada. Mereka memang seyogianya sudah tahu faktor-faktor yang memengaruhinya.

Saya pun sudah menerbitkan buku berjudul Terorisme dan Pan Intelijen.
Setelah buku itu diterbitkan, dari tahun 2006 sampai 2008,setahu saya
tidak lagi ada aksi terorisme. Dalam buku itu saya tuliskan bahwa mereka
sama-sama tahu aktivitas masing-masing.Teroris tahu kerja intelijen,
begitu juga sebaliknya intelijen sebenarnya sudah tahu apa kerja para
teroris. Jadi, dalam konteks ini memang bisa dikatakan bahwa intelijen
kita kecolongan.

*** Dalam peristiwa ini, menurut saya, ada beberapa pendapat yang malah
bisa menyesatkan. Dalam beberapa keterangan secara terburu-buru––baik
dari Presiden, Menko Polhukam,Kapolri maupun yang lainnya––dikatakan
bahwa bom ini adalah bom bunuh diri.

Ini adalah kesimpulan yang terburuburu, karena masih butuh penyelidikan
lebih jauh. Teroris pun pasti belajar dan makin canggih dari aksi
sebelumnya. Menurut perkiraan saya,ini adalah pengeboman yang
menggunakan pemicu/pengontrol dari jarak jauh (remote controlled bombing).

Kemungkinan ini masih terbuka lebar karena penyelidikan masih pada tahap
awal. Penyesatan lainnya,dalam konferensi persnya Presiden
mengindikasikan bahwa dia sudah tahu siapa pelaku pengeboman dan siapa
di baliknya (man behind the gun).

Bahkan dia pun menyatakan telah menerima laporan intelijen sembari
mengatakan bahwa ada latihan menembak di suatu tempat yang menggunakan
foto SBY sebagai target latihan. Ini dipahami Presiden dan para
pembantunya sebagai ancaman fisik. Secara intelijen, memaparkan fakta
beserta foto-foto seperti itu adalah satu kesalahan.

Kalau memang benar ada gerakan itu, seharusnya Presiden segera
memerintahkan aparat keamanan untuk menindaknya karena itu bukan tugas
intelijen lagi. Saya sendiri baru pertama kali ini melihat ada Presiden
yang bersumpah akan menindak tegas siapa pun yang menjadi pelaku
terorisme, tetapi tidak bersumpah akan menindak keras pihak yang
dianggapnya akan memberi ancaman fisik kepadanya.

Dalam intelijen dikenal istilah deception operation (operasi
penyesatan). Operasi ini digunakan untuk menyesatkan gerakan tujuan
target operasi intelijen agar mereka tidak waspada. Namun, jangan sampai
deception operationini malah mengarah pada kelompok tertentu,umpamanya
pesaing-pesaing yang kalah dalam pilpres.

Mereka itu bisa saja jadi marah dan situasi menjadi kian tidak kondusif.
Ini setidaknya terjawab dengan konferensi pers yang dilakukan Prabowo
yang menangkal arah isu yang seperti mengarah kepadanya. Kondisi ini
malah bisa dimanfaatkan oleh teroris. Ingat bahwa kita ini hidup di era
globalisasi.

Kita ada dalam grand strategy global Amerika Serikat (AS) yang mengusung
neoliberalisme dan neokapitalisme.Keduanya memiliki masalah dengan Islam
yang kuat di Indonesia. Analisis kita harus ditarik ke ranah itu.
Lalu,kenapa terorisme ini semakin menjadi-jadi? Bukan tidak mungkin (ada
keterkaitan demikian) karena negara kita ini berada di negara kaya dan
menjadi rebutan negara lain.

Arah intelijen asing itu tak lain tak bukan adalah untuk kepentingan
negara asalnya. Maka itu ada perang intelijen. Bukannya kita menuduh
mereka––bahkan kita harus banyak belajar dari mereka––, tetapi ini harus
dimasukkan dalam perhitungan.

Sementara itu, sebenarnya Islam sendiri tak pernah menjadi teroris.Namun
teroris inilah yang memanfaatkannya untuk perjuangan mereka.Perlu kita
ingat, bukan hanya Islam yang dimanfaatkan, tetapi juga isu-isu lain
seperti isu kelaparan, kemiskinan, dan isu apa pun yang bisa dijadikan
alat melawan penguasa. Namun, target utamanya neoliberalisme dan
neokapitalisme itu.

*** Intelijen itu bukan kepentingan politik pihak tertentu. Fokus utama
intelijen adalah kepentingan negara dan target yang harus dicapai dalam
kerangka kepentingan negara,bukan kepentingan perseorangan. Jangan
sampai memakai intelijen untuk menuduh satu kelompok.

Kita seharusnya bersama-sama untuk tegas melawan terorisme dan kekerasan
di negeri ini. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam intelijen
itu bukan hanya ada penangkapan, pencidukan, apalagi pemberangusan.
Operasi intelijen itu harus terdiri atas penelitian, pengamanan, dan
penggalangan.Nah, penggalangan inilah yang tak berjalan bagus.

Sementara itu ada lima bentuk operasi intelijen, yaitu
infiltrasi,penetrasi, spionase, sabotase, serta deception
operation(operasi penyesatan). Media massa harus jadi sarana pencerdasan
masyarakat. Kita harus mengadakan penggalangan isu agar masyarakat
menjadi intelligent minded.

Tujuannya adalah agar masyarakat memahami peran intelijen. Harus
dipahami bahwa intelijen itu sangat penting fungsinya bagi negara. Kalau
intelijen lumpuh negara lumpuh,intelijen bubar negara bubar,sementara
jika intelijen kuat maka negara akan kuat. Dalam kerangka intelligent
minded itu,kita harus melirik siapa yang memiliki intelijen yang kuat?

Kemampuan ini ada pada TNI ––yang dulu membuatnya dibenci masyarakat.
Semenjak direkrut, anggota TNI sudah memiliki darah intelijen.Namun saat
ini kemampuan itu tidak dimanfaatkan. This is the beginning of the end
and the end of the beginning.(*)

Dr AC Manullang
Pengamat Intelijen
dan Militer


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/255665/

Puluhan Tahun Data Rahasia AS Dibobol China

Puluhan Tahun Data Rahasia AS Dibobol China




WASHINGTON (SuaraMedia News) – Seorang insinyur keturunan China di
Amerika telah terbukti bersalah mengirimkan rahasia teknologi pesawat
ulang alik ke China selama lebih dari 30 tahun.

Dongfan “Greg” Chung, 73, adalah orang pertama yang terbukti bersalah
menurut hukum federal, yang dibuat tahun 1996 untuk melawan spionase
ekonomi.

Chung bekerja untuk Rockwell Internasional, kemudian Boeing, hingga
investigasi FBI dimulai tahun 2006.

Ia akan ditahan mulai bulan November dan dapat menghabiskan masa tahanan
hingga puluhan tahun, dengan kata lain hingga menemui ajalnya di dalam
penjara.

Sebuah pernyataan pengadilan mengatakan hakim di California telah
menemukan Chung bersalah atas spionase ekonomi, bertindak sebagai agen
asing, dan membuat pernyataan palsu di hadapan FBI.

Pengadilan yang membahas mengenai kasus mata-mata Chung dimulai pada
tanggal 2 Juni lalu.

Chung, seorang warga negara Amerika hasil naturalisasi, bekerja di
Rockwell Internasional sejak 1973 hingga unit luar angkasa dan
pertahanan Rockwell kemudian diambil alih Boeing tahun 1996.

Tim pembela Chung mengakui bahwa ia membawa sejumlah berkas Boeing ke
rumah, namun mengatakan bahwa ia ingin mencari informasi untuk buku yang
akan ditulisnya.

Semua informasi yang kemudian diberikan ke China itu telah menjadi milik
publik.

Pengacaranya, Thomas H Bienert, mengatakan pada pengadilan, “Tuan Chung
menjalani kehidupan yang menarik, dan berisiko, tapi bukan jalan hidup
seorang kriminal.”

Tim pembelanya mengatakan mereka akan mengajukan banding atas vonis
tersebut.

Chung akan tetap berada dalam tahanan hingga keluarnya putusan
pengadilan tanggal 9 November mendatang. Ia dapat memperoleh hukuman 90
tahun dalam penjara.

Chung mulai menerima surat-surat “tugas” dari individu-individu yang
bekerja di industri penerbangan China pada awal tahun 1979. Selama
bertahun-tahun, surat-surat itu memerintahkan Chung untuk mengumpulkan
informasi-informasi teknologi secara spesifik, termasuk data terkait
pesawat ulang alik dan berbagai pesawat terbang militer dan sipil.

Antara tahun 1985 dan 2003, Chung mengadakan beberapa perjalanan ke RRC
untuk menyampaikan kuliah teknologi mengenai pesawat ulang alik dan
program-program lain, dan selama kunjungannya itu ia bertemu dengan
sejumlah pejabat serta agen pemerintah RRC. Chung tidak melaporkan
lawatan luar negerinya itu kepada pihak Boeing seperti yang seharusnya
dia lakukan.

Chung dan pejabat RRC saling berkirim surat untuk menyusun alasan
kepergiannya ke China dan merekomendasikan metode-metode penyampaian
informasi, termasuk menyarankan Chung menggunakan Chi Mak untuk
mengirimkan informasi.

Di dalam dakwaan digambarkan surat dari Gu Weihao, seorang pejabat di
Kementerian Penerbangan dan Perusahaan Industri Penerbangan China,
tertanggal 2 Mei 1987 yang membahas kemungkinan mengundang istri Chung,
yang merupakan seorang seniman, untuk mengunjungi sebuah institut seni
sehingga Chung dapat menggunakannya sebagai alasan untuk mengunjungi RRC.

Motivasi utama Chung menjadi mata-mata adalah keinginannya untuk
memberikan kontribusi terhadap tanah airnya.

“Saya tidak tahu apa yang dapat saya perbuat untuk negara saya. Menjadi
kompatriot China selama lebih dari 30 tahun dan merasa bangga akan
pencapaian orang-orang di sana, saya menyesal tidak melakukan kontribusi
apa-apa. Saya ingin melakukan sesutu untuk berkontribusi dalam Empat
Modernisasi China,” tulis Chung dalam surat, kemungkinan dibuat pada
tahun 1979, kepada profesor Chen Lung Ku dari Institut Teknologi Harbin
di RRC.

Dalam suratnya tangal 9 September 1979, Chen Lung Ku menulis, “Kami
semua tersentuh dengan rasa patriotisme Anda. Anda telah menghabiskan
banyak waktu untuk menata catatan-catatan dari beberapa tahun lalu,
menyalin dan menemukan informasi yang dapat kami gunakan, dan Anda telah
secara aktif berkontribusi dalam Empat Modernisasi tanah air. Semangat
Anda adalah sebuah kekuatan pendorong bagi kami. Kami ingin bekerjasama
dengan kompatriot di luar negeri dalam usaha membangun tanah air
sosialis kita yang hebat ini.”

Sedangkan dalam surat tertanggal 2 Mei 1987, Gu Weihao menulis,
“Merupakan kehormatan bagi kami dan keberuntungan bagi China bahwa Anda
dapat mewujudkan keinginan Anda untuk mendedikasikan diri dalam melayani
negara Anda.”

Chung dikenai delapan tuntutan atas spionase ekonomi, satu untuk
konspirasi dalam melakukan spionase, satu untuk bertindak sebagai agen
asing tak terdaftar tanpa pemberitahuan lebih dulu kepada Pengacara
Umum, satu untuk menghalangi ditegakkannya keadilan, dan tiga tuntutan
untuk membuat pernyataan palsu di hadapan penyelidik FBI.

Dalam berbagai suratnya ke China
,
Chung mengirimkan rujukan panduan teknik yang telah ia kumpulkan,
termasuk 24 panduan terkait pesawat pengebom B-1 yang dilarang Rockwell
untuk dibocorkan ke luar perusahaan. (ri/cct/bbc) Dikutip oleh
www.suaramedia.com

http://www.suaramedia.com/benua-amerika/puluhan-tahun-data-rahasia-as-dibobol-china.html

Senjakala Partai Golkar

Senjakala Partai Golkar

*Bonnie Triyana*
SEJARAWAN-CUM-WARTAWAN.

Bagaikan menelan dua bungkus puyer pahit, tahun ini Partai Golkar harus
menerima dua kekalahan sekaligus. Pertama karena kemerosotan perolehan
suara Partai Golkar pada pemilu legislatif dan kedua, kegagalan calon
presiden Partai Golkar Jusuf Kalla untuk memenangi pertarungan pemilu
presiden 8 Juli lalu. Kekalahan ini serta-merta mereduksi peluang Partai
Golkar untuk tetap duduk dalam struktur pemerintahan yang akan datang.

Apakah ini pertanda akhir masa keemasan Partai Golkar setelah empat
dasawarsa lebih selalu menjadi bagian integral kekuasaan? Mampukah
Partai Golkar menjadi oposisi tanpa modal pengalaman dan tradisi
beroposisi? Lantas akan ke mana Munas 2009 mendatang membawa Partai Golkar?

Membaca kembali catatan sejarah, praktis sejak Pemilu 1971 sampai Pemilu
1997 Golkar selalu berhasil keluar sebagai pemenang. Bahkan ahli nujum
politik paling slebor pun sudah bisa meramalkan kemenangan Golkar dalam
setiap pemilu, jauh sebelum pemilu itu sendiri dilangsungkan.

Selain dukungan pemerintah Orde Baru dan tentara, kemenangan Golkar pada
era Orde Baru banyak dibantu oleh adanya kebijakan monoloyalitas yang
mewajibkan seluruh korps pegawai negeri dan keluarga tentara menyalurkan
aspirasinya kepada Golkar. Dampak kebijakan itu terlihat dari perolehan
suara yang spektakuler. Pada 1971 Golkar meraih 62 persen suara, dan
mencapai puncaknya pada Pemilu 1987 ketika berhasil mendapatkan 73
persen suara. Pada Pemilu 1997, di tengah ketidakpastian masa depan Orde
Baru, Golkar meraup 70 persen suara. Setahun kemudian, alih-alih bubar
sebagai tanggung renteng kebangkrutan Orde Baru, Golkar "ganti baju"
menjadi Partai Golkar dengan mengusung semangat baru. Walhasil, Partai
Golkar tetap eksis walaupun perolehan suaranya tak lagi sefantastis dulu.

Sekadar menyegarkan ingatan, pada 1999 Partai Golkar berada di posisi
kedua di bawah PDIP dengan perolehan suara nasional sebanyak 22 persen.
Pada Pemilu 2004, Partai Golkar berhasil meraih posisi pertama dengan
perolehan suara 21,58 persen. Puncak anjloknya pendulangan suara terjadi
pada tahun ini dengan hanya memperoleh 14,5 persen.

Paling tidak, ada tiga hal yang ada kemungkinan menjadi musabab
merosotnya perolehan suara Partai Golkar. Pertama, tentu saja,
penghapusan monoloyalitas pegawai negeri sipil dan keluarga tentara yang
telah membuat Partai Golkar kehilangan hampir separuh penyumbang suara
terbesarnya.

Kedua, sebagai partai, Partai Golkar tak memiliki karakter ideologi yang
jelas dan solid. Sekber Golkar, cikal-bakal Golkar dan kemudian Partai
Golkar, didirikan atas sponsor Angkatan Darat dengan tujuan utama untuk
mengimbangi kekuatan komunis. Di dalam Sekber Golkar berhimpun para
politikus dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai kalangan Islam
tradisional, moderat, sampai beberapa gelintir politikus nasionalis.

Pada 1999 sejumlah partai yang memiliki genealogi ideologis dengan
partai-partai pra-fusi 1973 bermunculan kembali. Inilah suatu masa
ketika para politikus Partai Golkar yang memiliki keterikatan ideologis
kepada partai-partai pra-fusi 1973 pulang kembali ke partai asal setelah
sekian lama menjadi anak yang hilang. Kepindahan itu, walaupun
pengaruhnya masih bisa diperdebatkan, setidaknya turut andil dalam
mengubah konfigurasi kekuatan Partai Golkar.

Ketiga, sekitar 30 persen dari total jumlah pemilih pada Pemilu 2009
datang dari kalangan pemilih pemula. Mereka adalah generasi yang tak
memiliki ikatan, baik secara emosional maupun ideologis, terhadap partai
politik, termasuk Partai Golkar. Generasi baru ini tak lagi menerima
indoktrinasi P4 plus pelajaran sejarah ala Orde Baru yang hanya
melegitimasi peran Soeharto dalam sejarah. Sementara itu, pesatnya
kemajuan teknologi informasi juga memungkinkan mereka mengakses secara
reguler berbagai informasi tanpa khawatir akan mekanisme sensor.

Sebagaimana angkatan muda di era awal kekuasaan Soeharto yang melihat
Orde Baru sebagai antitesis Soekarno dan Orde Lama, generasi baru ini
pun mempunyai penilaian kritisnya sendiri terhadap Soeharto dan Orde
Baru. Sehingga, kalaupun mereka tak memilih Partai Golkar, hal itu lebih
karena pertimbangan logis berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki.
Jumlah pemilih dengan tipikal seperti ini tentu akan bertambah seiring
dengan berjalannya zaman.

Lantas, akankah Partai Golkar semakin terpuruk dalam Pemilu 2014 dan
pada pemilu-pemilu selanjutnya? Apabila melihat tren perolehan suara
Partai Golkar yang terjadi sejak Pemilu 1999 hingga hari-hari belakangan
ini, bukan mustahil jika perolehan suara Partai Golkar akan terus
menurun. Namun, politik tak ubahnya bola sepak yang bisa menggelinding
ke mana saja. Selalu ada kesempatan untuk berbenah, terlebih ketika
politik bisa diartikan sebagai suatu seni mempergunakan kesempatan.
Sebagai warisan Orde Baru, Partai Golkar memiliki infrastruktur dan
jaringan kerja yang luas. Partai Golkar tak punya pemilik saham
mayoritas, baik berdasarkan genealogi ideologis, biologis, maupun
hubungan patron dengan pendirinya. Hal tersebut menjadikan partai ini
terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung.

Melihat situasi yang berkembang saat ini, salah satu jalan untuk
memperbaiki kondisi Partai Golkar adalah melakukan "puasa berkuasa"
dengan berperan sebagai oposisi di parlemen. Pada periode lima tahun ke
depan, Partai Golkar harus bisa merekrut kader-kader partai yang berasal
dari elemen aktivis muda yang lebih kritis dan memiliki visi perubahan
yang lebih jelas dan terukur.

Barangkali Partai Golkar bisa meniru siasat Partai Demokratik Korea Baru
(New Korean Democratic Party, NKDP), yang pada awal berdirinya di tahun
1985 menjaring kader dari kalangan aktivis mahasiswa oposisi dan pegiat
lembaga swadaya masyarakat. Melalui jalan itulah NKDP tumbuh sebagai
partai oposisi terpandang dan memiliki legitimasi kuat untuk mengkritik
pemerintah yang sedang berkuasa pada zamannya.

Untuk mempercepat transformasi dan menghindari delegitimasi atas peran
oposisinya kelak, para politikus sepuh Partai Golkar yang pernah berlaga
di panggung kekuasaan Orde Baru harus mundur secara /legowo/. Untuk
selanjutnya, kemudi partai dipegang oleh para politikus muda yang lebih
progresif.

Kalau Partai Golkar ingin mengubah jalan sejarahnya, sekaranglah waktu
yang tepat. Momentum munas mendatang harus digunakan sebaik mungkin
untuk melakukan perubahan. Kecuali kalau partai ini ingin dicemooh
sebagai tempat berkumpulnya politikus jompo dengan libido kekuasaan yang
masih menggebu-gebu, sementara secara tak sadar mereka sedang mengalami
apa yang disebut orang sebagai /post-power syndrome/.

Pemeo Belanda berbunyi /In het heden ligt het verleden, in het nu wat
komen zal/, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa
sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang. Apa yang Partai
Golkar dapatkan di tahun ini, bagaimanapun, tak bisa dilepaskan dari
masa lalunya. Karena itu, untuk meraih masa depan, kerja keras untuk
mengubah tabiat partai warisan masa lalu menjadi suatu keniscayaan
sejarah yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/18/Opini/index.html

Kanada Nyatakan Facebook Langgar Hukum

Kanada Nyatakan Facebook Langgar Hukum




San Francisco (ANTARA News) - Pihak berwenang Kanada pada hari kamis
menyatakan situs jaringan sosial Facebook melanggar undang-undang
rahasia pribadi karena masih menyimpan informasi personal dari akun yang
sudah ditutup .

Seperti diberitakan AFP, laporan komisi rahasia pribadi Kanada
menggambarkan "kekhawatiran menyeluruh" karena informasi pribadi yang
disediakan Facebook kepada 250 juta penggunanya "kadang membingungkan
atau tidak lengkap."

Facebook mengemukakan mereka bersama komisi tersebut berusaha menemukan
jalan keluar atas masalah itu dengan menjamin rahasia pribadi tanpa
menganggu kenyamanan penggunanya.

"Secara keseluruhan, kami akan mencari solusi praktis yang bisa
diterapkan dan menghormati pada fakta bahwa orang bergabung untuk
berbagi dan bukan untuk bersembunyi, " kata chief privacy officer
Facebook, Chris Kelly kepada AFP.

"Kami terus berdialog dan kami memiliki keyakinan akan sampai pada
kesimpulan yang bisa diterima. Saya rasa kekhawatiran ini akan
sepenuhnya dapat diselesaikan."

Komisioner Privasi Kanada, Jennifer Stoddart, mengatakan bahwa Facebook
perlu menyelaraskan diri dengan undang-undang rahasia pribadi di Kanada.

Penyelidikan atas adanya pelanggaran undang-undang Kanada dilakukan
setelah ada laporan dari /Canadian Internet Policy and Public Interest
Clinic/ terhadap Facebook, perusahaan yang bermarkas di Palo Alto,
California, AS.

"Sudah jelas bahwa privasi adalah hal paling penting bagi Facebook,
namun kami menemukan kesenjangan serius dalam cara kerja situs
tersebut," kata Stoddart.

Facebook punya kebijakan tetap menyimpan informasi pribadi dari akun
yang sudah dinonaktifkan dan hal itu merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang /Personal Information Protection and Electronic Documents
Act/, kata laporan itu.

Undang-undang menyebutkan setiap organisasi bisa menyimpan informasi
pribadi namun selama diperlukan untuk tujuan yang sesuai, kata Stoddart.

Laporan komisi tersebut minta Facebook untuk membuat kebijakan privasi
dan pilihan-pilihan yang lebih transparan sehingga menjamin 12 juta
warga Kanada pengguna Facebook bisa lebih baik dalam mengelola informasi
pribadinya.

Menurut komisi tersebut, Facebook tidak benar-benar membatasi akses bagi
pengembang perangkat lunak yang memasang informasi pribadi di halaman
profil.

Kunci popularitas Facebook adalah adanya pengembang pihak ketiga yang
bebas untuk membuat aplikasi bersenang-senang, fungsional, atau program
mini yang dapat diinstal pada halaman profil.

Laporan komisi tersebut memperkirakan 950.000 pengembang di 180 negara
telah membuat aplikasi untuk Facebook, terutama dalam bentuk permainan
dan kuis.

Facebook telah setuju untuk mengadopsi sebanyak-banyaknya dari
rekomendasi dalam laporan itu.

"Kami mendesak Facebook untuk melaksanakan semua rekomendasi kami serta
memastikan bahwa mereka sudah sejalan dengan undang-undang privasi, dan
menampilkan diri mereka sebagai contoh mengenai privasi," kata Asisten
Komisaris Elizabeth Denham.

Komisi tersebut memberi Facebook 30 hari untuk bisa mematuhi semua
rekomendasi dan menyatakan bahwa komisi itu bisa menghadap ke pengadilan
federal agar rekomendasi mereka dilaksanakan.

Facebook menyatakan akan segera memperkenalkan fitur tambahan untuk
privasi agar bisa mengatasi kecemasan dari komisi tersebut.(*)

COPYRIGHT © 2009

http://www.antaranews.com/view?i=1247864939&c=TEK&s=WEB

Eros Djarot: SBY /Out of Control/

Ledakan di JW Marriott dan Ritz Carlton
Eros Djarot: SBY /Out of Control/
"Ini sikap emosi. "Karena sangat sensitif sehingga menjadi
kontraproduktif," kata Eros.

Ita Lismawati F. Malau, Purborini

*VIVAnews - *Anggota Tim sukses pemenangan calon presiden Susilo
Bambang, Eros Djarot mengatakan pernyataan Presiden kemarin *'*out of
control'. "Tapi ini bukan dalam arti tidak mengetahui apa yang
dilakukan," jelas dia usai diskusi di Jakarta, Sabtu 18 Juli 2009.

Ia menjelaskan maksud /out of control/ itu terkait dengan pidato
presiden mengeni ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott.
Dalam Insiden itu sedikit 9 orang tewas dan lebih dari 50 orang
luka-luka. *Dalam pidatonya, SBY mengatakan *
ada
pihak yang berencana melakukan kegiatan melawan hukum pasca pemilu presiden.

"Ini sikap emosi," kata Eros. Ia menyayangkan SBY membeberkan data
intelejen kepada masyarakat terkait dengan adanya upaya teroris untuk
menjatuhkan dia. "Karena sangat sensitif sehingga menjadi
kontraproduktif," jelas dia.

Tapi, Eros tidak terlalu khawatir. "Itu tergantung bagaimana kita
melihatnya," kata dia. Eros mengaku telah menanyakan hal ini kepada SBY
langsung.

"Menurut SBY, apa yang ia lakukan itu agar semua tahu apa yang dilakukan
teman-teman bekerja serius untuk melindungi negara ini," jelas dia
mengutip ucapan SBY.

Ledakan hebat melanda dua hotel mewah di kawasan Mega Kuningan itu
sekitar pukul 7.40 WIB kemarin. Peristiwa terjadi hampir bersamaan
dengan selisih sekitar dua menit. ledakan berasal dari basement kedua hotel.

• VIVAnews

http://nasional.vivanews.com/news/read/76209-eros_djarot__sby__i_out_of_control__i_

Foto Presiden Ditembak Didapat dari Kalimantan

Foto Presiden Ditembak Didapat dari Kalimantan

*JAKARTA* - Bom yang mengoyak hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Mega
Kuningan, Jakarta, kemarin membuat pertahanan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono jebol. Akhirnya, ia tak mau lagi menyembunyikan temuan-temuan
intelijen terkait dengan adanya kegiatan teroris dalam rangkaian
pemilihan umum.

"Ini memang tak pernah kita buka ke publik, meski terus kita pantau dan
ikuti," kata Presiden kepada wartawan di halaman Istana Negara kemarin.
Lalu sejumlah temuan digeber habis oleh Yudhoyono. Salah satunya, ia
menyodorkan foto dirinya yang menjadi sasaran tembak dalam latihan oleh
sekelompok orang yang disebutnya sebagai teroris. "Ini bukan fitnah,
bukan isu," kata Yudhoyono, "Ada rekaman videonya."

Temuan lain, Presiden melanjutkan, ada pihak-pihak yang akan melakukan
kegiatan melawan hukum pascapemilu, antara lain pendudukan kantor Komisi
Pemilihan Umum dan penggagalan pelantikan Yudhoyono jika terpilih lagi
sebagai presiden. "Betul itu semua," kata Kepala Kepolisian RI Bambang
Hendarso Danuri di tempat terpisah semalam. "Akan kami tindak tegas nanti."

Sementara itu, soal foto presiden yang dijadikan sasaran tembak, Kepala
Polri menambahkan, semua disita pada waktu penangkapan teroris di
Kalimantan Timur, 5 Mei lalu.

Sebenarnya teror sudah terbayang saat Detasemen Khusus 88 Antiteror
menemukan dua bom rakitan siap ledak di halaman belakang rumah milik
Bahrudin Latif alias Bahridin, 60 tahun. Warga Pasuruhan, Kecamatan
Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, ini diduga mertua Noor Din M. Top,
teroris yang paling dicari saat ini.

Empat hari kemudian, bumm..., bom meledak di Jakarta. “Bom yang
ditemukan di Cilacap identik dengan yang di Marriott dan Ritz-Carlton,”
kata Bambang.

Di Papua, teror penembakan oleh gerombolan bersenjata yang sudah
berlangsung sepekan masih terjadi. Kemarin, menurut sumber Tempo di
kepolisian Papua, serangan dilakukan terhadap rombongan pasukan Brigade
Mobil Detasemen B Mimika dan Pasukan Batalion 754 Eme Neme Kangasi di
Mile 50. Beruntung, serangan ini tak merenggut nyawa. *GUNANTO | RUDY
PRASETYO | ARIS ANDRIANTO | TJAHJONO | DWI WIYANA
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/18/headline/krn.20090718.171452.id.html

Versi Lengkap Pidato SBY Soal Ledakan Bom

Written By gusdurian on Jumat, 17 Juli 2009 | 12.07

Versi Lengkap Pidato SBY Soal Ledakan Bom
Inilah pernyataan lengkap Presiden SBY atas ledakan bom Jumat pagi di
Jakarta.

Umi Kalsum, Nur Farida Ahniar

*VIVAnews* - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensinyalir ledakan yang
terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton terkait erat dengan
kelompok teroris. Ia memiliki bukti soal keterlibatan kelompok ini.

Ledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton yang terjadi pukul 07.45
WIB dan pukul 07.47 WIB telah menewaskan sembilan orang dan melukai 55
orang.

SBY mengungkapkan hal itu dalam jumpa pers di Istana Negara, Jumat 17
Juli 2009. Berikut pernyataan lengkap SBY:

/Hari ini adalah titik hitam dari negara kita, terjadi lagi serangan
pemboman yang dilakukan kaum teroris di Jakarta. Aksi teror ini
diperkirakan dilakukan kelompok teroris, meski belum tentu jaringan
teroris yang kita kenal ini terjadi di Indonesia yang menimbulkan
kesulitan di seluruh rakyat Indonesia.

Aksi yang tidak berprikemanusiaan ini menimbulkan korban jiwa dan
luka-luka bagi yang tidak berdosa. Atas nama negara dan pemerintah dan
selaku pribadi dan kepada keluarga yang berduka, saya mengucapkan bela
sungkawa sedalam-dalamnya. Semoga saudara kita yang menjadi korban hidup
tenang di sisi Yang Maha Kuasa.

Aksi pengeboman yang keji yang tidak bertanggung jawab terjadi baru saja
setelah bangsa Indonesia melalui pemungutan suara pilpres dan wapres.
Ketika KPU menghitung suara itu, kejadian ini yang sangat merusak
keamanan dan kedamaian di negeri ini, juga terjadi ketika rakyat sungguh
menginginkan suasana aman, tetap damai.

Rakyat ingin selesai pilpres kita segera bersatu, membangun negara kita
untuk kepentingan rakyat Indonesia. Terus terang juga aksi pemboman
terjadi ketika rakyat merasa prihatin atas kegaduhan politik di tingkat
elit disertai ucapan-ucapan bernada menghasut dan memelihara suhu panas,
dan penuh permusuhan itu sesungguhnya bukan jadi harapan rakyat, setelah
semua melakukan kewajiban demokrasinya.

Saya yakin hampir semua di antara kita merasakan prihatin, berduka,
menangis dalam hati seperti yang saya rasakan. Memang ada segelintir
orang di negeri ini yang tertawa puas, bersorak dalam hati disertai
nafsu amarah dan angkara murka. Mereka segelintir orang yang tidak punya
rasa kemanusiaan dan tidak peduli negara kita, yang dampaknya luas bagi
ekonomi kita, iklim usaha, pariwisata, citra dunia, dan lain-lain.

Saat ini disamping kita pemerintah menjalankan keadaan tanggap darurat
untuk merawat saudara-saudara kita untuk menjadi korban, investigasi
juga dilakukan. Saya telah menerima laporan awal dari investigasi yang
tengah berlangsung. Saya menginstruksikan kepada Polri, BIN dan
lembaga-lembaga lain melalui investigasi secara cepat dan hukum yang
berlaku.

Seperti yang saya ungkapkan beberapa waktu lalu, para pelaku dan
mereka-mereka yang menggerakkan terorisme akan kita tangkap dan kita
adili secara hukum. Saya instruksikan penegak hukum untuk mengadili
siapa saja yang terlibat dalam teror ini, siapapun dia, apapun latar
belakang politiknya.

Pagi ini saya banyak pertanyaan saudara-saudara, yang mengingatkan
kepada saya yang berteori paling tidak mencemaskan hasil teror ini
berkaitan dengan hasil pilpres. Saya merespons sebagai berikut, bahwa
kita tidak boleh main tuding dan main duga begitu saja. Semua teori dan
spekulasi harus bisa dibuktikan secara hukum. Negara kita adalah negara
hukum dan demokrasi, norma hukum dan demokrasi harus kita tegakkan. Bila
seseorang bisa dibuktikan secara hukum baru bisa dibuktikan yang
bersangkutan bersalah.

Bahwa dalam rangka pilpres dan pilwapres memang ada sejumlah intelijen
yang dikumpulkan pihak berwenang. Memang ini nggak kita buka kepada
umum, publik, meski kita terus pantau. Adanya kelompok teroris yang
berlatih menembak, dengan foto saya, ada rekaman video yang berlatih
menembak.

Ini sasarannya, ini foto saya dengan perkenaan tembakan wilayah muka
saya dan banyak lagi. Ini inteligen, ada rekaman video, gambar. Bukan
fitnah, isu, gosip, saya mendapatkan laporan ini beberapa saat lalu.
Masih berkaitan dengan intelijen diketahui rencana melakukan tindakan
melawan hukum, berkaitan dengan pemilu. Ada rencana pendudukan KPU pada
saat nanti diumumkan, ada pernyataan revolusi jika saya menang,
Indonesia akan dibuat seperti Iran, ada ancaman bagaimana pun SBY tidak
boleh dilantik.

Tadi pagi sebagaimana kebiasaan saya, saya ingin langsung ke lokasi,
Kapolri bilang jangan dulu, masih disisir, ancaman fisik bisa terjadi
tapi hidup dan mati di tangan Allah.

Terhadap intelejen, apakah terkait aksi pemboman atau tidak terkait,
saya instruksikan untuk jalankan tugasnya dengan benar, objektif, tegas,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Andaikata tidak terkait,
tetaplah harus dicegah, karena anarki, tindakan kerusakan, melawan
hukum, bukan karakter demokrasi. Atas semuanya ini saya selaku kepala
negara dan kepala pemerintahan mengutuk keras atas teror yang keji ini,
saya juga prihatin, barangkali kalau dalam suasana ini belum berani
menyatakan dengan bahasa terang harus seperti itu.

Mengapa saya seperti itu, dalam lima tahun ini dunia usaha, paraiwisata,
investasi, sektor riil bergerak, meski kita menghadapi krisis global
silih berganti. Satu minggu ini saja nilai saham, nilai tukar menguat.
Pemerintah juga melakukan penanggulangan kemiskinan, program pro rakyat,
semua terjadi karena tahun-tahun terakhir benar-benar aman dan damai,
sehingga begitu tumbuh rakyat menjalankannya dengan tenang. Sementara
citra kita beberapa tahun ini meningkat karena dunia menilai negara
aman, damai, serta penghormatan HAM makin baik, ekonomi tumbuh, berperan
dalam percaturan global, bahkan kalau tidak ada kejadian ini club
terkenal dunia, Manchester United, berencana main di Jakarta.
/
(SBY kemudian terdiam lama)/

Saudara-saudara dengan aksi teror yang keji dan tidak bertanggung jawab
ini, apa yang kita bangun lima tahun oleh kerja keras dan tetesan
keringat rakyat Indonesia, lagi-lagi mengalami guncangan, kemunduran,
dampaknya harus dipikul.

Saya bersumpah demi rakyat Indonesia yang sangat saya cintai, negara dan
pemerintah akan melaksanakan tindakan yang tegas, tepat dan benar
terhadap pelaku pemboman, berikut otak pelaku. Kepada Polri, TNI, BIN,
termasuk bupati dan walikota untuk melakukan kewaspadaan, mencegah
teror. Pelaku penegak hukum harus bisa menangkap, mengadili para pelaku
otak kekerasan ini. Barangkali ada di antara kita dulu. Kali ini negara
tidak boleh mendiamkan, mereka yang jadi drakula dan penebar maut bagi
negara.

Saya tahu beberapa tahun ini, aparat berhasil menggagalkan. Agar tugas
mencegah dan memberantas terorisme dan kejahatan yang lain, intelijen
harus benar-benar tajam, pencegahan harus benar-benar efektif. Polri,
BIN harus bersinergi. Sikap lengah dan...ini amanah kita. Kepada rakyat
Indonesia jika ada keganjilan, lapor ke Polri. Saudara bisa jadi korban
kalau dibiarkan teroris merancang terornya.

Saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk lebih bersatu dan menjaga
keamanan di negeri ini. Bangsa apapun, kita tidak membenarkan terorisme
apapun motif dan alasannya. Jangan ragu, jangan takut mencegah
terorisme. Aksi teror yang terjadi juga menghalang-halangi semangat dan
upaya kita untuk membangun negara ini. Kita terus melalui penegakan HAM,
hukum, pembangunan. Memang ada kerusakan akibat teror hari ini, mari
kita perbaiki. Kita bangsa, rakyat, tidak boleh kalah dan menyerah
kepada terorisme, tidak boleh membiarkan kejahatan, terorisme untuk
tumbuh di negara ini.

Tuhan Yang Maha Kuasa Allah SWT akan melindungi rakyat Indonesia. Dengan
memohon ridha Allah, saya akan terus berada di depan untuk menghadapi
ancaman dan tantangan ini untuk mengemban tugas yang berat dan mulia ini.

/

• VIVAnews

http://nasional.vivanews.com/news/read/76056-versi_lengkap_pidato_sby_soal_ledakan_bom

Ba'asyir: Pelaku Bom Carlton-Marriott Mungkin Tiga Pihak

Ba'asyir: Pelaku Bom Carlton-Marriott Mungkin Tiga Pihak



*TEMPO /Interaktif/*, *Surakarta* - Pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid Abu
Bakar Ba'asyir mengaku tidak tahu menahu atas peristiwa pemboman yang
terjadi di Jakarta tadi pagi. "Saya baru mendengar peristiwa itu sekitar
pukul 10, setengah 11 tadi," ucapnya, Jumat (17/7) siang.

Meski begitu, dia memprediksi pelaku pemboman kemungkinan ada tiga
pihak. Pertama, pihak-pihak di luar Islam yang tidak suka dengan dakwah
Islam yang semakin lama semakin militan. "Sekarang ada suara-suara yang
dengan tegas membela Islam, sementara dulu tidak ada," ujarnya.

Sehingga, lanjutnya, musuh-musuh Islam akan mencari berbagai cara untuk
bisa memfitnah dan menangkapi mubaligh-mubaligh muda Islam. Kedua, dia
berpendapat pelaku pemboman adalah pihak-pihak yang tidak suka dengan
kekalahan saat pemilu presiden lalu. "Jadi itu buntut dari pilpres,"
terangnya.

Ketiga, dia menyebut bisa saja pelaku adalah oknum umat Islam yang
memang ingin berjihad dengan mati-matian. Termasuk dengan pemboman.
"Tapi saya rasa kemungkinan ketiga sangat kecil. Kok dilakukannya
sehabis pemilu dan jelang kedatangan tim sepakbola yang bikin heboh itu
(Manchester United) ke Indonesia," jelasnya.

Dia menegaskan, siapapun pelakunya akan tetap memberikan dampak negatif
bagi dunia Islam dan pergerakan dakwah. Dakwah Islam dikatakannya akan
semakin sulit untuk bergerak. "Juga akan ada penangkapan yang serba
ngawur dari pemerintah kepada orang Islam," tegasnya.

Ba'asyir meminta umat Islam tidak terprovokasi dengan peristiwa itu. Dia
juga meminta umat Islam tidak mundur dan terus maju untuk membela dakwah
Islam. "Jangan takut untuk terus berjuang," tandasnya.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/07/17/brk,20090717-187756,id.html

Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien

Written By gusdurian on Rabu, 15 Juli 2009 | 12.03

Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien

Kemenangan telak satu putaran pasangan SBYBoediono (versi quick qount)
pada Pilpres 8 Juli 2009 lalu mengejutkan banyak pihak. Terutama mereka
yang percaya pilpres akan berlangsung dua babak seiring makin sengitnya
persaingan antarcapres-cawapres di akhir masa kampanye.

Kenaikan elektabilitas JK-Wiranto waktu itu juga “mengkhawatirkan”
sejumlah pengamat di mana sebagian meyakini JK dengan gayanya yang khas
dan jargon “lebih cepat lebih baik” akan menyulitkan langkah SBY.

Sebagaimana hasil exit poll Lembaga Survei Indonesia (LSI), pasangan
SBY-Boediono menyabet dukungan mayoritas dengan 60,8%, disusul
Mega-Prabowo (26,6%) dan JK-Wiranto (12,6%). Jebloknya suara JK di
pilpres ini tak hanya menyembulkan kejutan, melainkan juga keheranan di
kalangan internal mereka.

Pasalnya sepak terjang JK yang “lincah” seperti langkahnya yang langsung
masuk ke jantung basis pesantren di sejumlah daerah diyakini akan
memberikan efek berarti dalam perolehan suara.Pesantren selama ini
dipercaya sebagai simbol politik dua organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia,yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Terlebih lagi manuver JK yang tertangkap oleh publik yang terkesan
sangat dekat dengan sejumlah tokoh Islam papan atas seperti KH Hasyim
Muzadi (Ketua Umum NU) dan Din Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah).
Semua tahu kedua ormas Islam ini memiliki massa terbesar di seluruh
Indonesia.

Jika digabung, massa NU dan Muhammadiyah mendekati 100 juta orang.Namun
fakta berbicara lain. Di basis-basis NU dan Muhammadiyah, suara
SBYBoediono ternyata tak dapat disaingi oleh JK-Wiranto. Di kalangan
pemilih NU, sebagaimana rilis LSI,SBY unggul jauh dengan 64%, sementara
JK di posisi buncit dengan 10%.Tren yang sama berlaku pada pemilih
dengan latar belakang Muhammadiyah di mana SBY meraih 58% dan JK hanya 18%.

Modernisasi Politik

Apa yang bisa dijelaskan dari fenomena ini? Pertama, patron client
relation dalam teori politik, khususnya di negara-negara berkembang,
yang selama ini dianggap masih berlaku,terbukti tak lagi relevan.
Mendekatnya tokohtokoh teras NU dan Muhammadiyah ke kubu JK tak mampu
“menarik” gerbong pemilih (umat) mereka ke capres nomor urut tiga itu.

Dalam teori patron klien,orientasi politik massa akan ditentukan oleh
tokoh-tokoh mereka. Massa cenderung akan mengikuti pilihan politik
tokoh-tokoh tersebut, termasuk dalam pilpres.Namun fakta berbicara
lain.Ada semacam silent protestyang ditunjukkan oleh umat NU dan
Muhammadiyah sehingga pilihan mereka berbeda dengan elite-elite di kedua
organ tersebut.

Kedua, tidak berlakunya lagi politik aliran seperti yang selama ini kita
percaya.Bukan hanya pada kasus NU-Muhammadiyah, melainkan juga pada
simbol-simbol politik primordial lain. Pasangan SBY-Boediono yang
“sangat Jawa”, karena keduanya kebetulan lahir di Jawa, ternyata tak
berpengaruh pada pilihan voters di luar Jawa.

Berdasarkan rilis LSI, pemilih di luar Jawa yang memilih SBY tetap
paling dominan,sekitar 61%, mengungguli “pasangan Nusantara”JKWiranto
yang hanya mendapat dukungan 17%. Kecenderungan serupa juga berlaku pada
pilihan voters berdasarkan latar belakang agama.

Gempuran negative campaign yang menimpa SBY dan Boediono selama
kampanye, yaitu istri Boediono dikatakan “bukan Islam”, terbukti tak
berdampak serius dalam memengaruhi pilihan penganut Islam. Sekitar 63%
pemilih muslim mengaku memilih SBY dan hanya 13% yang mendukung JK.

Padahal JK-Wiranto sejak awal kampanye sudah menonjolkan simbol-simbol
Islam, di antaranya dengan mengekspos kedua istri mereka yang berjilbab.
Ketiga, terjadinya modernisasi politik di Indonesia. Era keterbukaan
yang dimulai sejak 1998 (Reformasi) telah berdampak positif pada pilihan
yang rasional oleh voters.

Tak adanya tekanan politik seperti era Orde Baru membuat masyarakat
merasa “bebas” menentukan pilihannya. Bahkan pemerintah saat ini tak
lebih sebagai administrator bagi rakyat, bukan penguasa yang menakutkan
dan berjarak dengan warga negara.

Hasilnya, dalam politik setiap orang berhak menentukan pilihan dan sikap
politik masing-masing. Pada kasus NU-Muhammadiyah, perbedaan pilihan
elite dan umat tidak berarti hilangnya pengaruh ulama di mata umat.Yang
terjadi adalah, untuk urusan di luar keagamaan, termasuk politik, umat
mampu memisahkan hubungan mereka dengan ulama yang menjadi anutan.

Bahwa fatwa-fatwa ulama harus dihormati adalah benar, tetapi itu hanya
efektif untuk hal-hal yang terkait dengan kehidupan keagamaan seperti
penentuan awal puasa, Idul Fitri.Namun,dalam politik, umat merasa tak
“berdosa” jika berbeda pilihan dengan elitenya karena memang politik
tidak ada kaitannya (langsung) dengan agama.

Politik adalah urusan hablum-minan-nas. Masih dari rilis LSI, alasan
dominan pemilih dalam mencontreng capres-cawapres pilihannya adalah
karena program yang konkret (38,6%) dan prorakyat (35,6%). Sementara
pertimbangan agama dan ikatan-ikatan primordial lain hanya memengaruhi
sekitar 1,3%.

Sebuah perbandingan yang kontras. Di mata Samuel P Huntington, gejala di
atas bukanlah kejutan. Menurutnya, modernisasi politik memang akan
selalu diikuti oleh peningkatan kesadaran berpolitik masyarakat di
bidang politik.

Pelajaran bagi Elite

Hanya saja kita patut prihatin apakah perubahan (modernisasi politik) di
masyarakat diikuti pula dengan perubahan perilaku di kalangan elite.
Kecenderungan yang terjadi menunjukkan gejala sebaliknya. Pasalnya ada
kecenderungan hambatan modernisasi politik disinyalir justru berada di
level elite itu sendiri.

Banyaknya partai yang ikut berkompetisi pada pemilu legislatif lalu
menunjukkan bahwa tiap kelompok elite masih berpikir untuk dirinya dan
kelompoknya tanpa melihat realitas dan kekuatan mereka. Terbukti,
sebagian besar partai tersebut gagal mendapat dukungan rakyat sehingga
harus membubarkan diri.

Jika saja para elite sadar bahwa kehidupan berpolitik pada ujungnya
adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, partai yang demikian banyak
tampaknya tak dibutuhkan. Pasalnya sebagian besar ideologi yang menjadi
simbol pluralitas negeri ini sudah terwakili di partai-partai besar dan
menengah yang lolos electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold
(PT).

Partai beraliran nasionalis, Islam, dan kerakyatan dengan segala
variannya sudah terakomodasi oleh partai-partai di atas. Satu hal lagi
yang membanggakan kita semua adalah kedewasaan berpolitik yang
(lagi-lagi) ditunjukkan oleh rakyat—bukannya elite.Selama masa kampanye,
tiap pendukung capres-cawapres yang ikut berkompetisi dalam pilpres
menunjukkan dukungan mereka ke tiap kontestan secara dewasa.

Tak ada kekerasan ataupun permusuhan di antara mereka. Tiap pendukung
justru kerap berjalan bersama walaupun pilihan mereka berbeda. Rakyat
memberi pelajaran kepada elite bahwa politik adalah kegiatan yang
menyenangkan. Mereka bisa berekspresi tanpa dihantui ketakutan.
Ikatan-ikatan persaudaraan dan kohesi sosial yang sudah terbangun kuat
tak mampu dikoyak oleh “kerasnya” persaingan politik.

Para elite harus melihat realitas ini sebagai preseden yang patut
diikuti. Ke depan, elite-elite lain harus melakukan transformasi politik
guna mengejar modernisasi politik yang terjadi di masyarakat bawah.
Jangan sampai rakyat sudah jauh melangkah menuju modernisasi politik,
sementara para elite terjebak dalam kubangan politik primitif akibat tak
kuasa menahan nafsu kekuasaan.

Akhirnya, Indonesia berhasil membuktikan bahwa antara Islam dan
demokrasi dapat berjalan bersama dan saling menguatkan. Sebuah
pencapaian yang luar biasa ketika sejumlah negara “Islam” atau
berpenduduk muslim masih menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang
asing.(*)

Zaenal A Budiyono
Analis Politik
di Kantor Staf Khusus Presiden
Bidang Komunikasi Sosial


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/254930/

Kekalahan JK-Wiranto: Sebuah Penjelasan Awal

Kekalahan JK-Wiranto: Sebuah Penjelasan Awal
Oleh
Indra J. Piliang
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto

Hasil quick count, sebagai indicator awal hasil pilpres 2009, telah diumumkan. Sebagaimana diumumkan oleh Lembaga Survei Indonesia, pasangan SBY-Boediono mendapatkan 60.85%; Mega-Prabowo 26.56% dan JK-Wiranto 12.58%. Kalau diperhatikan, berdasarkan hasil survey LSI pada 25-30 Mei 2009, sebulan menjelang pilpres, perolehan suara SBY-Boediono 71%, Mega-Prabowo 16% dan JK-Wiranto 7%. Sebanyak 5% pemilih belum menentukan pilihannya.

Berarti, kalau dibuatkan, SBY-Boediono kehilangan suara sebanyak 10%, Mega-Prabowo naik sebesar 11% dan JK-Wiranto naik sebesar 6%. Pemilih lain tidak beranjak pilihannya kepada ketiga kandidat atau berpindah ke kandidat lain. Dengan demikian, selama pilpres berlangsung, pasangan Mega-Prabowo tampil sebagai pemenang pertama, JK-Wiranto muncul sebagai pemenang kedua, serta SBY-Boediono justru kehilangan banyak suara pemilih.

Kenapa argument “ganjil” ini diberikan? Terutama untuk menguji sejauh mana kampanye pilpres berpengaruh terhadap preferensi pemilih. Ternyata, hanya kurang dari 20% pemilih yang mengubah pilihannya sepanjang kampanye pilpres digelar, sementara 80% lebih tetap dengan pilihannya. Waktu yang terbatas dalam melakukan kampanye menunjukkan juga betapa rekam jejak sebelum kampanye digelar jauh lebih berpengaruh, ketimbang masa-masa kampanye yang gemuruh.

Sedikitnya pemilih yang mengubah pilihannya selama kampanye digelar menunjukkan sedikitnya perhatian atas isu-isu yang digelar ke hadapan public. Sebagai anggota tim kampanye, saya merasa manajemen kampanye memang masih terkesan amatiran di semua kandidat. Tim kampanye harus dipaksa mengambil keputusan tepat, di tengah waktu yang memburu. Seleksi atas kegiatan juga menjadi penting: apakah akan hadir di komunitas Tionghoa ataukah menemui kelompok-kelompok yang melakukan advokasi atas korupsi, lingkungan hidup dan hak asasi manusia?

Sedari awal, sekalipun saya usahakan untuk dilakukan, Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto tidak menggunakan lembaga survey untuk melihat arah preferensi public atas kinerja Tim Kampanye Nasional. Ibarat mobil, tim berjalan tanpa peta yang jelas. Hal ini juga terkait dengan posisi politik Pak Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI yang masih menjabat.

Seingat saya, Pak JK hanya mengajukan cuti sebanyak 4 hari selama pilpres digelar. Kalaupun ada kunjungan ke daerah, itu lebih dalam rangka memenuhi undangan-undangan anggota-anggota organisasi social kemasyarakatan dan pemerintah, baik pusat atau daerah. Kesan yang dimunculkan media betapa Pak JK banyak menemui komunitas ulama tidak sepenuhnya salah, tetapi juga kurang tepat. Mengapa? Karena “legitimasi” kehadiran dalam kapasitas sebagai Wakil Presiden tentunya terkait dengan undangan yang diterima dari organisasi social kemasyarakatan dan pemerintah. Kalaupun kemudian hadir dalam acara-acara internal, misalnya menemui kelompok pendukung Capres-Cawapres, waktunya sangat terbatas.

“Belenggu” sebagai Wapres RI itulah yang menjadi penyebab kenapa Pak JK tampil tidak begitu “lepas” sebagai penantang. Hal itu juga berpengaruh besar dalam konsolidasi yang dilakukan di kalangan tim sukses di daerah-daerah. Hal yang sama juga terjadi di SBY-Boediono. Rombongan besar yang dibawa SBY ke setiap kunjungan ke daerah, sebagian besar tidak dapat dipisahkan dari kedudukan mereka yang sekaligus sebagai pejabat Negara, pimpinan partai politik dan tim sukses, terutama di jajaran menteri. Kalaupun di kubu JK-Wiranto tendapat nama-nama Yuddy Chrisnandi, Ali Mochtar Ngabalin dan Drajat Wibowo, dalam catatan di secretariat kantor wakil presiden, mereka adalah anggota DPR RI yang sedang menjabat.

Dilema serupa juga terjadi di kalangan pendukung dan fungsionaris Partai Golkar di daerah. Bagaimanapun, mereka sebagian besar adalah kepala-kepala daerah yang sedang menjabat. Beberapa kepala daerah lebih banyak hadir dalam kegiatan-kegiatan yang dihadiri oleh SBY dan tim kampanyenya, ketimbang kehadiran JK dan tim kampanyenya. Dukungan secara terbuka juga jarang dilakukan, mengingat mereka harus menjadi pihak yang netral dalam kegiatan kampanye. Hanya beberapa kepala daerah yang berani memasang gambarnya bersama JK-Wiranto, selebihnya lebih memilih mensosialisasikan pilpres dengan menggunakan seragam resmi sebagai kepala daerah. Dilemma rangkap jabatan menjadi hal yang menyulitkan dalam pilpres.

Bagi kepala-kepala daerah yang berasal dari 24 partai politik pendukung SBY-Boediono juga muncul dilemma serupa. Jangankan untuk menyatakan dukungan kepada pasangan JK-Wiranto, bahkan untuk datang menyambut saja di bandara jarang sekali dilakukan. Mereka memilih untuk menggelar kegiatan lain atau berkunjung ke Jakarta dengan alas an dinas. Media local yang sepenuhnya juga tergantung kepada iklan-iklan pemerintahan daerah juga mengambil sikap serupa. Porsi pemberitaan terhadap pasangan JK-Wiranto terlihat minim di media local.

Jadi, pada prinsipnya, kampanye hanya berlangsung di dalam ruang yang terbatas: media massa nasional, terutama televise. Makanya, Pak JK-Wiranto jarang menolak undangan televise manapun. Dalam ucapan Pak JK: “Mumpung masih gratis, kenapa ditolak!”, maka media televise menjadi ajang untuk menampilkan Pak JK-Wiranto dalam skala luas. Walaupun kita sepenuhnya sadar bahwa masyarakat bisa saja jenuh, mengingat sejumlah acara terkesan hanya mengonfitmasi framing dan agenda setting yang sudah disiapkan oleh televise yang bersangkutan. Belum lagi iklan-iklan yang berjubel. Kerjasama dengan televise paling-paling penampilan iklan yang kita buat dalam acara yang dihadiri oleh Pak JK-Wiranto.

Begitulah. Sebagai tim kampanye nasional, kami tidak merasa gagal. Kenaikan tingkat elektabilitas JK-Wiranto, bersama Mega-Prabowo, serta penurunan elektabilitas SBY-Boediono, menunjukkan betapa masa kampanye pilpres telah digunakan semaksimal mungkin oleh tim kami. Waktu yang kemudian menjadi kendala, di samping memang keterikatan Pak JK sebagai Wakil Presiden.

Suatu malam, saya sempat bertanya kepada Pak JK, ketika isu agar JK lebih baik mundur muncul di banyak media dari para pengamat dan tim sukses SBY-Boediono.

“Pak, kenapa tidak mundur saja dari posisi Wapres? Kan sudah banyak yang menuntut itu?” tanya saya.

Pak JK menjawab, disertai senyumnya: “ Bagaimana saya bisa mundur? Dulu pasangan SBY-JK dipilih secara bersama, dalam pilpres 2004. Lagipula, ada ketentuan di UUD bahwa kekosongan posisi Wapres bisa berbahaya bagi Negara. Kalau terjadi apa-apa dengan Presiden bagaimana?”

Ada penjelasan Pak JK lainnya yang saya lupa. Di dalam hati, saya hanya bisa menggerutu: “Bapak ini setia betul dengan SBY?” Belakangan saya menyadari bahwa keputusan untuk tidak mundur itulah yang terbaik buat Pak JK. Kenapa? Karena Pak JK setia kepada Negara sebagai Wapres RI. Dia tetap sebagai negarawan. Andai Pak JK mundur, apa jadinya dengan Indonesia sekarang?

Kesetiaan itu juga yang ditunjukkan oleh Pak JK dengan mengatakan bahwa Partai Golkar tetap sebagai partai pemerintah, sampai 20 Oktober 2009. Padahal saya tahu bahwa ketika anggota DPR 2009-2014 dilantik pada 1 Oktber 2009 nanti, peta politik di DPR RI akan berubah. Akan ada 20 hari yang mungkin penting untuk melihat wajah Partai Golkar ke depan, yakni pertarungan antar parpol di DPR RI dan MPR RI pada tanggal 1-20 Oktober 2009 nanti. Kita lihat saja.

Jakarta, 15 Juli 2009.

Flu Babi di Bloomington v di Surabaya

Flu Babi di Bloomington v di Surabaya
Oleh: Budi Darma

*KASUS* flu babi yang menghebohkan masyarakat Indonesia belakangan ini
mengingatkan saya pada era 1979, tepatnya Januari, sesaat setelah saya
menyelesaikan S-2 di Universitas Indiana, Bloomington, Indiana, Amerika.
Kala itu sponsor saya, Fulbright, mengizinkan saya tetap tinggal di
Bloomington sampai Mei, akhir semester musim semi.

Karena mendapatkan izin tersebut, saya bisa mengambil beberapa mata
kuliah sambil berjuang untuk memperoleh beasiswa S-3 dengan membawa
keluarga. Fulbright sudah terikat kontrak. Maka, Fulbright tidak dapat
memberikan beasiswa lanjutan, apalagi saya mengajak keluarga. Karena
sebetulnya saya sudah diterima S-3 dan dapat langsung masuk ke S-3,
Fulbright berjanji menawarkan kasus saya ke sponsor-sponsor lain. Dengan
catatan, saya harus berusaha sendiri.

Sialnya, berita mengenai beasiswa tidak kunjung tiba. Sabtu, 22 Mei
1976, saya pulang dengan singgah di berbagai negara di Eropa. Lalu,
Sabtu, 29 Mei 1976, ketika berada di Paris, saya menerima telegram dari
Bloomington. Isinya: The Ford Foundation setuju, kalau mungkin, segera
kembali ke Bloomington. Karena harus mengurus keluarga dan beberapa
dokumen, saya putuskan untuk pulang dulu ke Indonesia. Apalagi, semester
musim panas sudah mulai. Karena itu, saya akan masuk semester musim
gugur, Agustus 1976.

Karena berbagai dokumen harus diurus ulang, saya dan keluarga baru bisa
berangkat ke Bloomington lewat Jakarta pada Selasa, 7 September 1976. Di
Bloomington, kuliah sudah berjalan. Karena itu, saya harus ke sana
kemari untuk menghubungi berbagai pihak. Senin, 13 September 1976, saya
mulai kuliah.

***

Di hari pertama kuliah itu, saya tidak tahu mengapa pers kampus dan pers
lokal beberapa kali menyiarkan berita bahwa semua penduduk Bloomington
wajib vaksinasi /swine flu/ di rumah sakit, gratis. Seperti teman-teman
dan para tetangga, waktu itu saya tidak perduli apa itu /swine flu/.
Namun, karena merasa sebagai penduduk Bloomington, Selasa sore, 14 Mei
1976, saya dan keluarga pergi ke rumah sakit. Di sana sudah berderet
banyak orang, menunggu giliran.

Setelah membaca pengumuman, tahulah saya bahwa /swine flu/ sudah masuk
ke beberapa kota besar di Amerika. Meskipun di Bloomington belum pernah
ditemukan kasus /swine flu/ dan lokasinya jauh dari kota-kota besar,
penduduk wajib vaksinasi untuk menghindari kemungkinan kontaminasi.
Seperti penduduk lain, saya tetap tidak peduli apa makna /swine flu/ dan
merasa aman karena pemerintah sudah menyediakan vaksinasi gratis.

Beberapa waktu lalu (saya sudah tidak rajin menulis catatan harian),
pers menyebarkan informasi tentang flu babi di Meksiko. Radio /BBC/
mewartakan bahaya flu babi, sejarahnya, dan kemungkinan penyebarannya.
Suatu sore, ketika kebetulan menonton TV, saya melihat Presiden SBY
berbicara mengenai /swine flu/ (presiden mempergunakan istilah tersebut).

Dari rentetan peristiwa itu, baru saya teringat dengan peristiwa di
Bloomington yang sudah saya lupakan, /swine flu/ tidak lain adalah flu
babi. Sementara itu, pers menyiarkan berita mengenai pengusiran
orang-orang Meksiko di Tiongkok. Sebab, Tiongkok takut terkontaminasi
flu babi.

Kemudian, beberapa kali menteri kesehatan memberikan penjelasan mengenai
flu babi, demikian juga para pakar. Berkali-kali menteri kesehatan
menekankan, penduduk tidak perlu takut selama mengikuti gaya hidup
sehat, yaitu gizi cukup, istirahat cukup, lingkungan bersih, dan cuci
tangan dengan sabun setelah bepergian dan akan makan.

Beberapa pakar menjelaskan, flu babi bukan penyakit baru dan akan secara
berkala muncul lagi. Flu babi muncul karena babi yang berpenyakit
menulari manusia. Karena itu, kita harus mengikuti gaya hidup sehat.

Karena pemanasan global, perubahan gaya hidup, dan terus bertambahnya
penduduk, kemungkinan lahirnya lagi penyakit manusia yang berasal dari
binatang bakal makin sering terjadi. Contoh, karena tanah gembur makin
sempit, kucing tidak bisa lagi buang air besar dan mencakar-cakar tanah
tanah gembur untuk menutupi kotoran.

Ternyata, gaya itu menular pada kucing-kucing lain, bahkan di kawasan
yang masih punya area tanah gembur. Saya sendiri melihat beberapa kucing
liar melampiaskan hajat di aspal pinggir jalan, lalu mencakar-cakar
aspal. Padahal, di dekat jalan itu masih banyak area tanah gembur.
Binatang-binatang lain pun, kata para pakar, mengalami perubahan
perilaku dan perubahan tersebut mempercepat munculnya lagi
penyakit-penyakit yang ada sejak dulu.

***

Beberapa hari lalu, setelah beberapa hari kasus flu babi ditemukan di
Indonesia, menteri kesehatan muncul lagi dengan pernyataan, kalau
demikian keadaannya, masuk dan menyebarnya flu babi di Indonesia sudah
tidak mungkin dicegah. Lalu, Senin, 13 Juli 2009, ada berita bahwa flu
babi sudah masuk ke Surabaya dan penyebarannya sukar dibendung.

Apa yang diterima penduduk? Hanya berita-berita mengenai penyebaran dan
bahaya flu babi serta nasihat-nasihat dari pemerintah untuk mengikuti
gaya hidup sehat. Hanya itu. Mengapa? Bukan karena Indonesia melarat
sehingga tidak mampu memberikan vaksinasi gratis, melainkan Indonesia
digerogoti penyakit korupsi. Andai kata vaksinasi gratis pun diberikan,
manipulasi pasti terjadi di sana sini, misalnya pungli. Kesadaran untuk
antre tidak ada. Jarum yang seharusnya dipakai untuk satu orang dipakai
untuk banyak orang, Kualitasnya pun sudah disulap menjadi kualitas buruk
dan seterusnya. Sementara itu, politisi sodok-menyodok untuk
memperebutkan kekuasaan dan kekuasaan diidentikkan dengan kesempatan
untuk korupsi. *(*)*

* /*). Budi Darma,/ * / budayawan, guru besar Unesa, Surabaya.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80455
/

Belajar dari Konflik di Xinjiang

Belajar dari Konflik di Xinjiang
Oleh: Mustofa Liem

*MESKI* kita tengah hidup di era kemajuan iptek yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya, ternyata dunia belum bebas dari ancaman konflik
antaretnis. Tiongkok yang modern, misalnya, baru dilanda konflik antara
etnis Uighur dan Han di Urumqui, Xinjiang, Minggu (5 Juli 2009).
Akibatnya, 156 tewas dan 1.080 luka-luka. Pak Dahlan Iskan pun tidak
membayangkan itu bisa terjadi (/Jawa Pos, 10 Juli 2009/).

Konon, pemicunya hanya sepele, yakni anak-anak yang meributkan kembang
api. Lalu, timbul rusuh antara etnis Uighur yang muslim dan buruh pabrik
beretnis Han. Uighur tidak puas terhadap penanganan polisi yang memihak
Han. Xinjiang merupakan wilayah otonomi khusus bagi mayoritas muslim
Uighur. Pembangunan industri di kawasan itu mengundang etnis Han, yang
menjadi etnis mayoritas di Tiongkok.

Bagaimanapun, konflik menjadi noda bagi kemajuan Tiongkok. Cadangan
devisanya yang mencapai USD 2 triliun ternyata tak mampu meredam. Sudah
sejak lama, wilayah Xinjiang dan Tibet menjadi kerikil tajam bagi
Tiongkok. Padahal, selama ini, segenap warga di belahan dunia mana pun
selalu melihat Negeri Tirai Bambu itu dengan rasa kagum. Betapa tidak,
pada dekade 70-80-an, negeri itu dipandang sebelah mata. Namun, berkat
reformasi Deng Xiaoping pada 1978, Tiongkok terus berkembang.

*Bom Waktu Kemajuan*

Faktor yang menentukan kemajuan RRT adalah faktor kepemimpinan yang
mendorong segenap rakyat negeri itu untuk merespons ajakan memajukan
negara. Regenerasi kepemimpinan dari Deng ke Jiang/Zhu/Li Peng, kemudian
ke Hu Jintao/Wen Jiabao, berjalan damai. Dan, setiap pergantian
pemimpin, program untuk reformasi ekonomi, yang landasannya sudah
ditetapkan Deng, tetap dijalankan.

Misalnya, Hu Jinto/Wen Jiabao yang memegang kepemimpinan sekarang juga
tetap berpegang kepada kebijakan /gaige kaifang/ secara gradual dengan
tiga sasaran utama, yakni menarik BUMN merugi, * *restrukturisasi
menyeluruh sistem perbankan dan finansial, serta ketiga perampingan
birokrasi. Itulah rahasia kemajuan Tiongkok.

Masyarakat internasional pun takjub atas pencapaian itu. Bahkan, ketika
digelar Olimpiade Beijing pada 8 Agustus 2008, even olahraga terbesar
sejagat itu seolah menjadi ajang pengakuan dunia atas kemajuan Tiongkok.
Ini semakin klop dengan pemilihan pembukaan Olimpiade itu pada pukul
08:08:08 (tanggal 8 malam, menit ke-8 dan detik ke-8), sebab angka 8
yang merupakan gabungan dari dua angka 0 diyakini sebagai simbol
kemakmuran dalam peradaban Tiongkok.

Tapi, konflik antaretnis adalah bom waktu yang siap meledak kapan pun.
Kalau dikaji, ekonomi neoliberal yang diadopsi Tiongkok dari Barat
memang membuka ruang bagi kompetisi. Ekonomi neoliberal dengan pasar
bebasnya mendorong kemajuan dengan adanya persaingan. Persaingan
otomatis memicu pihak yang kuat untuk makin menguasai pasar. Sedangkan
pihak yang kalah tersisih serta diliputi perasaan cemburu. Di sinilah
terjadi ketidakadilan yang di dalamnya terkandung bom waktu berupa
konflik antaretnis (/Bdk Amy Chua dalam bukunya: World on Fire, How
Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred & Global Instability/).

*Konteks Indonesia*

Dalam konteks Indonesia, harus jujur kita akui adanya potensi konflik
antaretnis, apalagi di negeri ini ada ratusan suku dengan ratusan bahasa
daerah. Ini bukan hanya masalah relasi antara etnis Tionghoa dan
etnis-etnis lain, tetapi sesungguhnya masalah kita semua yang menyebut
diri sebagai warga negara Indonesia.

Kita harus mau belajar dari sejarah. Dalam sebelas tahun terakhir ini
saja, sudah meledak dua kerusuhan antaretnis, yakni Tragedi Mei 1998 di
Jakarta dan Kerusuhan Sampit 2001. Di sini menjadi relevan apa yang
disebut dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila
kelima Pancasila).

Kalau Pancasila masih kita yakini sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara, semangat keadilan sosial itu jelas tidak boleh
dipinggirkan (/Baca Opini Revolusi Menuju Indonesia Baru oleh Saut
Maruli Siregar, Jawa Pos 8 Juli 2009/).

Jika dikaitkan dengan keadilan sosial, jelas itu menjadi tantangan tidak
ringan bagi SBY-Boediono, pemenang Pilpres 8 Juli 2009. Kalau sistem
perekonomian kita memang menolak neoliberalisme dan memilih sistem jalan
tengah, sebagaimana diungkapkan SBY-Boediono, kini harus dicari formula
yang tepat agar keadilan sosial tidak menjadi slogan.

Keadilan sosial itu harus jadi acuan agar kebijakan pembangunan,
khususnya menyangkut perekonomian, tidak berat sebelah. Kesenjangan yang
terjadi antarkawasan, seperti Indonesia Barat dan Timur, antara Jawa dan
luar Jawa, harus pelan-pelan diperbaiki. Mulai Aceh, Kalimantan, hingga
Papua, warga asli yang ada di sana harus dijaga sehingga tidak merasa
diabaikan oleh pemerintah. (*)

* /*). Mustofa Liem PhD,/ * / Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk
Kesetaraan/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80456

Pengalaman Pemilu 2009

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 15.06

Pengalaman Pemilu 2009



Oleh *M Alfan Alfian*

Apa yang dapat dicatat dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 8 Juli
2009?

Tiap orang memiliki catatan atas sudut pandang masing-masing. Ada yang
biasa-biasa saja, ada yang senang, ada pula yang menggerutu, terutama
jika namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena hak
politiknya hangus. Pemilu 2009 lebih baik atau tidak dapat dibandingkan
dengan pemilu-pemilu sebelumnya, terutama sejak 1999.

Sistem pemilu sudah berubah dan mengandung beberapa konsekuensi.
Misalnya, dengan dibukanya aturan penetapan peraih kursi berdasar suara
terbanyak, bukan nomor urut, membuat perilaku politik aktor dan pemilih
”berubah”. Perubahan perilaku di level aktor, terutama calon anggota
legislatif, tampak dari hadirnya konsekuensi atas persaingan terbuka
antar-aktor internal dan eksternal partai dalam berebut dukungan suara.

Persaingan ketat itu membuat perilaku pragmatis kadang demikian
menonjol. Pragmatisme berebut kemenangan juga amat berimbas pada level
pemilih. Aktor bersaing berebut pemilih dengan banyak cara, termasuk
adakalanya melakukan politik uang bahkan secara demonstratif. Pada level
pemilih yang tidak kritis, pilihan ditentukan oleh yang memberi uang
terbanyak.

Hal-hal seperti ini terasakan, tetapi sulit dibuktikan apalagi
diperkarakan, mengingat banyak kasus yang diungkap Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) pun tak terselesaikan dengan baik melalui proses hukum.

Catatan lain yang sering dianggap sebagai kemajuan adalah, justru karena
publik sudah mulai merasakan pemilu merupakan bagian kehidupan politik
yang biasa-biasa saja. Diskusi dan perdebatan politik (yang ideologis
pun) tak sampai memengaruhi aktivitas hidup yang lain.

*Banyak catatan kaki*

Di ranah pelaksana, baik pemilu legislatif maupun pilpres, masih
dipenuhi banyak catatan kaki. Yang mengemuka terutama kisruh DPT.
Banyaknya warga yang memiliki hak pilih, tetapi tak tercantum dalam DPT,
membuat warga itu tak dapat mengikuti pemungutan suara. Silang sengkarut
DPT ini tak sampai membatalkan hasil pemilu, tetapi membuat kekecewaan
menumpuk. Ini adalah catatan buruk.

Akibat ketidaksempurnaan DPT, jumlah golput administratif membengkak.
Karena itu, kualitas demokrasi elektoral menurun. Isu sensitif DPT ini
membuka mata untuk lebih tertib menata aspek kependudukan kita dan
perlunya teknis penyelenggaraan pemilu yang menjamin hak-hak politik warga.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berdalih waktu yang diberikan amat
sempit mengingat UU tentang Parpol, UU tentang Pemilu, serta UU tentang
Pilpres selesai hanya dalam hitungan bulan untuk diimplementasikan
sebelum hari-H pemungutan suara. Belum lagi ada pasal-pasal
multi-interpretatif, yang menghambat efektivitas penyelenggaraan pemilu,
karena konflik penafsirannya pun berlarut-larut. Mahkamah Konstitusi
(MK) yang banyak meralat pasal- pasal tertentu dalam UU Pemilu membuat
suasana terkesan tidak pasti dan hal ini sekaligus membuktikan bahwa
elite-elite politik DPR yang menggarap aturan main politik sejak awal
tak didasari oleh pertimbangan-pertimbangan teknis pemilu yang ideal.

*Menggenjot kualitas*

Pertarungan kepentingan yang begitu menonjol membuat UU bidang politik
seperti wadah bagi banyak akomodasi politik yang ”tambal sulam”, karena
tidak diawali dengan desain kelembagaan ideal. Akibat aturan main
(sistem) yang didesain tidak optimal, maka buntutnya panjang.

Jadi, jika mau dirunut, penurunan kualitas pemilu kita kali ini tak
dapat dilepaskan dari elite- elite politik yang berebut kepentingan
dalam membuat aturan main (sistem) yang ada. Tidak ada suatu blue print
yang jelas, kecuali terbentuk suatu sistem yang muncul akibat dinamika
politik sesaat, yang kurang memerhatikan permanensi aturan main yang
berjangka panjang.

Karena itu, guna menggenjot kualitas Pemilu 2014, UU bidang politik
harus dibongkar lagi agar celah-celah kekisruhan dan konflik politik
serta kecurangan tidak muncul lagi.

Jadi, bagaimanapun Pemilu 2009 telah memberi pelajaran bahwa kualitas
pelaksanaan demokrasi elektoral kita harus diperbaiki. Indonesia telah
dicap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi dengan
masih banyaknya catatan kaki atas pelaksanaan Pemilu 2009, Indonesia
belum bisa menjadi model negara demokrasi yang sempurna.

M ALFAN ALFIAN /Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/13/03132154/pengalaman.pemilu.2009
/