BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kekuatan Manusia Indonesia

Kekuatan Manusia Indonesia

Written By gusdurian on Sabtu, 18 Juli 2009 | 14.48

Kekuatan Manusia Indonesia



Oleh *Radhar Panca Dahana*

Bagaimana sebenarnya cara kita mengapitalisasi 235 juta warga Indonesia,
mengapitalisasi diri sendiri? Dalam pengertian paling umum, jumlah itu
adalah sebuah potensi kerja yang luar biasa. Yang diukur dengan
kemampuan produktifnya dan sumbangannya pada ”pendapatan nasional”.

Maka angka hebat itu sekadar bermakna ranking terbesar keempat di dunia,
bermakna Rp 5.000 triliun dalam PDB, 2.000 dollar AS per kapita, Rp 200
triliun untuk pendidikan, 52 persen persen konstituen untuk satu putaran
pilpres, Rp 70 triliun subsidi energi, 10 persen penganggur, Rp 100
triliun kontribusi industri kreatif, atau 100.000 megawatt tambahan
listrik, dan seterusnya.

Dengan itu, kita sadar, betapa nilai satu manusia di negeri ini, jiwa,
raga, dan seluruh potensi mentalnya, dihitung dalam materialisasi
angka-angka yang pada akhirnya melenyapkan kenyataan dan keberadaan
manusianya sendiri. Simplifikasi yang penuh reduksi ini membuat negeri
kita bukan hanya tampak miskin dan sengsara, tetapi juga rapuh tak berdaya.

Betapa semua angka itu hanya menjadi artifisialisasi dari realitas
majemuk dan padat dimensi dari kemanusiaan kita sendiri. Satu bentuk
komprehensi yang juga menunjukkan kemiskinan visi, wawasan, dan bacaan
para penyelenggara negeri atas negeri yang dipimpin. Dan kemiskinan ini
begitu rentan dalam pertarungan global, bahkan di tingkat virtual.

Hanya dalam hitungan hari, bahkan mungkin jam, angka-angka itu bisa
berubah radikal, anjlok ke jurang terdalam, oleh ulah pialang-petualang.
Katakanlah semacam George Soros, yang bukan hanya pernah menghantam
Thailand, Korea, Indonesia, dan banyak negara Asia, tetapi juga negeri
dengan kekuatan moneter dahsyat seperti Inggris. Maka, bila tidak rentan
dan rapuh, angka-angka yang memaknai dan mengapitalisasi 235 juta
manusia itu sebenarnya adalah palsu.

*Unikum kebudayaan*

Kepalsuan itu terlihat bukan hanya karena sebuah argumentasi teoretis
atau filosofis saja, tetapi juga berdasar fakta dan realita, bahwa
sejarah para penghuni negeri kepulauan itu, lebih dari dua milenia
membangun dirinya, sama sekali tidak dengan angka, tidak dengan
statistik ekonomi, data kependudukan, atau jumlah produksi celana yang
dipakainya.

Negeri yang dipahami dengan baik oleh Soekarno dengan Pancasila-nya ini
dibangun melalui kekuatan-kekuatan kebudayaan (sebagaimana Soekarno
memaksudkan semua sila yang ia kristalkan itu sebagai hasil dan bermakna
kebudayaan). Kekuatan yang membuat negeri-negeri dan bangsa-bangsa di
dalamnya bertahan, berkembang, bahkan memiliki posisi atau peran yang
tidak remeh dalam percaturan mancanegara.

Karena, bagaimana kita dapat mengapitalisasi, mematerialisasi, karya dan
produk kultural, seperti Borobudur, wayang, batik, kitab-kitab ajaran
kuno, keterbukaan dan kosmopolitanisme yang membentuk identitas
suku-suku, bahasa yang menyatukan, pergaulan yang intens dan progresif
di antara mereka, kemampuan mengakulturasi semua adab/budaya asing yang
datang dan seterusnya.

Kealpaan pada hal-hal itu bukan hanya menafikan keunggulan dan kekayaan
kita, tetapi juga seperti mempabrikasi bom waktu kehancuran sendiri.
Karena justru dengan itulah, dengan—katakanlah—nilai-nilai ideal
Pancasila-Soekarno, sebenarnya kita bisa bertahan sebagai sebuah negeri,
sebuah bangsa, dari kemungkinan segregasi yang diramal, dicemaskan dan
ditiupkan segolongan pihak.

Itulah fakta. Sebenarnya 235 juta manusia adalah jumlah dari para
produsen kebudayaan, dari unikum-unikum kebudayaan. Mereka, pada setiap
entitasnya, memiliki daya, kekuatan produktif, bertahan dan berkembang
tersendiri. Yang secara akumulatif terbukti membangun negeri ini, dengan
atau tanpa modal kapital yang serakah, dengan atau tanpa—setidaknya
keterlibatan minimal—negara.

Seorang wartawan National Geographic melukiskan dengan haru saat ia
berkunjung ke negara yang merupakan ”Naga Kecil” di tahun 1950-an. Satu
konjen AS di Surabaya saat itu membuat pengumuman yang membuka lowongan
kerja bagi juru ketik dengan gaji cukup. Negeri miskin ini dipercaya
akan membanjiri lowongan itu. Berminggu-minggu ditunggu, pelamar yang
datang hanya sehitungan jari.

Namun, saat pengumuman itu diganti lowongan juru gambar, maka hanya
dalam hitungan hari, puluhan pelamar datang. Kejadian mengejutkan ini
tak bisa lain hanya menciptakan impresi sederhana dari sang wartawan
yang lalu menuliskan, ”di negeri ini semua orang seniman”.

*Pragmatisme idealis*

Sebagai sebuah impresi, komentar hiperbolik itu sah. Namun, setidaknya
ia telah menunjukkan, kekuatan terbaik dan terbesar bangsa ini ada pada
kebudayaan yang inheren bahkan transenden dalam hidup sehari-hari
masyarakatnya. Sebuah kekuatan pimpinan yang penuh visilah yang akan
mampu menangkap, mengolah, dan mengoptimalisasi kekuatan itu menjadi
kesejahteraan, sebuah kejayaan.

Di sini, kesejahteraan tidak lain adalah terjadinya integrasi sinergis
antara daya-daya praktis-pragmatis dari standar hidup sehari-hari dan
daya-daya idealis dari kekuatan kultural-spiritual masyarakat. Ini juga
sebuah realita—yang kian rusak karena pemahaman dan penataan yang
keliru—di mana hidup pragmatis manusia Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari ritus-ritus artistik dan religiusnya. Ini pula yang mungkin membuat
Soekarno menempatkan sila ”Ketuhanan Yang Mahaesa” dari tempat kelima,
1945, menjadi sila pertama di saat berikutnya.

Maka, misalnya, bila daya ekonomi kita, terutama di pedesaan atau grass
root, didesak untuk meningkatkan produktivitasnya, sementara kultur atau
ritus religiusnya dirusak budaya kota/asing melalui berbagai media,
jangan harap hasil memuaskan akan didapat. Karena tiap butir gabah yang
dihasilkan petani bukan hanya wujud kebutuhan pragmatis, tetapi juga
sebagai rasa syukur, sebagai ibadah, sebagai kewajiban kultural.

Seberapa jauh presiden terpilih menyadari hal ini, bisa dibaca dari
dialog atau debat. Keringnya wacana, sempitnya apresiasi pada realitas
itu, juga cara mereka mengukur diri dan bangsa melalui angka,
menunjukkan visi—dengan ruang dan waktu lebih lapang dan dalam—yang kita
harapkan masih jauh dari jangkauan.

Untuk itu, tidak ada alasan lain, keberanian dan kehendak politik harus
kuat untuk bekerja sama dengan elemen-elemen lain, khususnya kebudayaan.
Karena dari sana bisa diharapkan, keluasan dan kedalaman visi dapat
ditingkatkan. Mereka, kekuasaan dan kebudayaan, yang selama ini arogan
dengan mengatakan ”aku bisa hidup tanpa kau”, sudah saatnya datang ke
ruang yang sama. Bukan untuk sekadar salaman dan minum bersama, tetapi
beradu hati, kepala, dan mimpi: menemukan diri kita yang sebenarnya,
saat ini dan nanti. Pada kala itu, harapan tidak lagi tinggal dalam
kotak kenangan.

*Radhar Panca Dahana* /Sastrawan
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/03181639/kekuatan.manusia.indonesia
Share this article :

0 komentar: