BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kaya Rasa, Kaya Makna

Kaya Rasa, Kaya Makna

Written By gusdurian on Sabtu, 18 Juli 2009 | 14.49

Kaya Rasa, Kaya Makna


Oleh *Gede Prama*

”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”

Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid
mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.

Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja
mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu
menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi
berbagai penangkapan, menakutkan.

*Sekolah yang indah*

Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah
karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada
habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.

Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang
menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena
tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang
enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah
untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan
makanan yang dibawa orang lain.

Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau
nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya.
Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah,
peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.

Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa
borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut
orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak,
betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada
guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu
menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.

Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga
mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung.
Intinya, menyadarkan pentingnya memberi.

Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja
mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi
kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.

*Tiga tangga pemberian*

Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita:
”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.

Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang
memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan
terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah
menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga,
bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.

Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi
kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo
Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di
mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di
mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci
memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa
detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”

Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih
ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat
ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”

Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang
dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh.
Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan
seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga
kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik:
bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.

Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa
kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena
manusia belum terbiasa melepaskan.

Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian.
Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.

Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena
menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar
makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa
memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas.
Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa
(kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan.
Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan.

Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara
mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap
menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan
yang serba mahal.

*Gede Prama* /Penulis buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan
Menjadi Keteduhan
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/0319069/kaya.rasa.kaya.makna
Share this article :

0 komentar: