BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mereka Mau Hidup Seribu Tahun Lagi

Mereka Mau Hidup Seribu Tahun Lagi

Written By gusdurian on Senin, 28 September 2009 | 08.21

Mereka Mau Hidup Seribu Tahun Lagi
Ada puluhan merek Indonesia yang mampu bertahan lebih dari setengah
abad. Bahkan ada kopi yang sudah diproduksi sejak 1878. Hampir
seluruhnya dibuat oleh saudagar Cina dalam industri rumahan. Mereka
tetap jaya karena cerdas membaca kemauan pasar, cepat memodernisasi
diri, dan cakap membuat inovasi.

WARUNG kopi Liaw Tek Soen di Hayam Wuruk, Jakarta, sudah tak ada
bekasnya. Tapi Tek Soen tentu tak menyangka resep kopi buatannya masih
bertahan setelah 131 tahun. Sejak 1967—ketika rezim Orde Baru melarang
orang Cina menggunakan nama asli—kopi Tek Soen juga diubah menjadi
kopi Warung Tinggi. Meskipun demikian, sesungguhnya nama itu melekat
dengan rumah makan awal Tek Soen di Hayam Wuruk. Karena gedungnya
besar dan tinggi, penduduk sekitar menyebutnya warung tinggi. Yang tak
berubah hanyalah resep dan logo: wanita sedang menggendong bakul dari
bambu.

Kopi Warung Tinggi, yang kini di tangan generasi keempat, masih
bertahan karena mereka sukses menjual nilai (value) produk mereka
sebagai barang premium: harga mahal, peredaran terbatas. Mereka tidak
menjual Warung Tinggi di sembarang supermarket atau toko. Hasilnya,
Warung Tinggi terus melakukan ekspansi. Dari 20 ton per bulan, mereka
berencana menaikkan produksi menjadi 100 ton. Cara yang hampir sama
dilakukan Widya Pratama, ahli waris kopi Aroma (1930), Bandung, atau
produsen sirup Sarang Sari (1934) di Jakarta. Mereka membuat produknya
sebagai warisan masa lampau.

Ini hanyalah salah satu cara merek-merek tua itu bertahan hingga
puluhan tahun. Beberapa di antaranya bahkan sudah di atas 100 tahun.
Dalam edisi ini, Tempo mencoba melacak merek-merek tua itu di tengah
makin kerasnya gempuran produk-produk asing belakangan ini. Kami
memilih tahun 1945 sebagai batas usia merek yang akan ditampilkan
dalam edisi setelah Lebaran ini. Batas ini hanyalah penanda untuk
menunjukkan betapa produk dengan merek antik itu memang sudah ada
sebelum kemerdekaan. Pada era itu, hampir semua produk dibuat dalam
industri rumahan dengan modal yang mungkin tidak terlalu besar.

Yang menarik, hampir semua produk itu dibuat oleh penduduk Indonesia
keturunan Cina. Pada zaman itu, penjajah Belanda memang memposisikan
mereka sebagai saudagar atau kelas pedagang. Dari sisi produk,
sebagian merek yang kami tampilkan adalah produk makanan, juga rokok,
pakaian, dan obat (jamu). Di zaman perjuangan itu, modal dan teknologi
memang masih belum jamak dipakai di Indonesia. Modal besar dan
teknologi sebagian besar masuk Indonesia pada 1967, setelah Undang-
Undang Penanaman Modal disahkan.

Sebagian besar merek itu kini bukanlah pemimpin yang mendominasi
pangsa pasar. Kopi Warung Tinggi, Aroma, dan sirup Sarang Sari,
misalnya, memilih bergerilya di ceruk yang sempit. Batik Oey Soe Tjoen
sudah digilas oleh batik-batik pabrikan seperti Batik Keris atau Danar
Hadi, meskipun sampai kini masih diproduksi terbatas. Tapi tak sedikit
yang dengan gagah beradu dada dengan perusahaan multinasional. Kopi
Kapal Api, misalnya, mampu memimpin pasar kopi kendati ada Nescafe.
Jangan lupa Sinar Sosro (Teh Botol Sosro) yang bertarung dengan
perusahaan multinasional seperti Coca-Cola atau Danone.

Kunci keberhasilan mereka bukan hanya positioning—memilih ceruk pasar
yang tepat—tapi juga melalui berbagai cara lain. Beberapa perusahaan
itu selalu mencoba melakukan inovasi, entah dalam proses produksi,
dalam hal produknya sendiri, atau dalam strategi pemasarannya. Ada
juga yang memodernisasi diri dengan merekrut manajer-manajer dari luar
keluarga atau bahkan go public dengan menjual sahamnya di bursa. Tapi
banyak juga yang akhirnya melego perusahaannya ke investor asing
dengan berbagai alasan. Putera Sampoerna menjual perusahaan yang
didirikan kakeknya ke Philip Morris atau Kecap Bango terpaksa dilepas
ke Unilever.

l l l

Kisah pendiri dan penerus pelbagai perusahaan berusia tua sungguh
berwarna. Ada Liem Seeng Tee yang jatuh-bangun mempertahankan rokok
kretek Dji Sam Soe melewati masa penjajahan Jepang dan kemerdekaan.
Putranya, Aga Sampoerna, berhasil membangun kembali Sampoerna dengan
tetap mengandalkan Dji Sam Soe. Perusahaan ini makin berkibar di
tangan Putera Sampoerna. Tapi kunci keberhasilan Sampoerna
sesungguhnya adalah inovasi. Ketika aturan rokok makin ketat,
Sampoerna merilis Sampoerna A Mild pada 1989. Pada mulanya, Sampoerna
memakai tagline ”Taste of the future” untuk menunjukkan tren baru
rokok. Tapi tak serta-merta A Mild sukses. Produk ini baru berhasil
merasuk ke pelanggan, terutama kalangan muda, setelah tagline-nya
diubah menjadi ”How low can you go”.

Pilihan itu bukan hal yang mudah. Rokok kretek sudah identik dengan
Indonesia. Bau yang menyengat, campuran cengkeh, dan kandungan nikotin
yang tinggi menjadi ciri khas rokok Indonesia. Tapi Putera melihat ada
tantangan di depan: faktor kesehatan akan menjadi momok serius.
Inovasi A Mild pada mulanya terasa aneh, tapi belakangan para
pesaingnya terpaksa mengikutinya, justru ketika Sampoerna sudah
melangkah jauh. Djarum dan Bentoel baru ”ikut” delapan tahun setelah
Sampoerna. Gudang Garam bahkan baru masuk pada 2002. Putera agaknya
juga melihat rokok merupakan sunset industry: baik karena alasan
kesehatan maupun karena alasan ekonomi (pajak). Maka, pada 2005,
Putera melego Sampoerna ke Philip Morris US$ 2 miliar.

Sosro juga punya kisah yang gegap-gempita. Bermula dari Slawi—kota
kecil di Jawa Tengah—Sosro kini menjadi produsen teh botol terbesar di
Indonesia. Di teh botol, Sosro berhadapan dengan Frestea (Coca-Cola)
dan Tekita (Pepsi). Ketika dua pesaingnya muncul dengan kemasan yang
lebih besar, Sosro memunculkan STee. Kadang Sosro juga ketinggalan
kereta, antara lain ketika muncul Sariwangi dengan teh celup atau teh
hijau (Nu dan Green Tea). Dalam dua kasus ini, Sosro berada di posisi
pengejar. Tapi Sosro juga beberapa kali melakukan inovasi, misalnya
melalui teh rasa buah (Fruit Tea).

Positioning Sosro yang pas tak lepas dari keberhasilannya menancapkan
tagline-nya di benak konsumen. Tagline korporat, ”Sosro ahlinya teh”,
atau tagline teh botol, ”Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol
Sosro”, menunjukkan bahwa kekuatan Sosro masih sulit digoyahkan oleh
para pesaingnya yang berasal dari perusahaan multinasional. Kolumnis
Bondan Winarno mengatakan kesuksesan Sosro salah satunya karena
pendirinya dengan cepat membaca pasar. Pada mulanya, Sosro hanya
beredar di kawasan Tegal, Slawi, dan Pemalang. Tapi Sosrodjojo—sang
pendiri—melihat masa depan usahanya ada di Jakarta. Kini
penglihatannya terbukti benar.

Putera Sampoerna dan Sosrodjojo, juga banyak pendiri dan penerus
perusahaan yang memiliki merek yang awet, mungkin hanya segelintir
pengusaha Indonesia yang punya naluri luar biasa. Di tangan mereka,
Dji Sam Soe, Teh Botol Sosro, dan merek lain mampu melewati berbagai
rintangan dan bangkit dari keterpurukan masing-masing. Dalam ilmu
manajemen, mereka sukses melewati daur hidup produk: fase pengenalan,
fase pertumbuhan, fase kematangan, dan fase penurunan. Hampir tak ada
produk dalam laporan ini yang berjalan mulus. Ada masa jatuh, ada juga
kebangkitan atau kejayaan.

Pada akhirnya, daya tahan merek itu semuanya memang bergantung pada
pemiliknya. Dalam banyak kasus, mulusnya regenerasi atau suksesi
sangat mendukung keberhasilan produk itu bertahan di tengah persaingan
bisnis yang ketat. Dalam kasus Sosro, atau kopi Warung Tinggi,
keberhasilan keluarga itu mempertahankan merek merupakan wujud dari
keberhasilan mereka mewariskan bukan hanya merek, melainkan juga
filosofi di balik produk-produk itu. Sampoerna mungkin kasus yang
berbeda. Tekanan dari faktor kesehatan dan perpajakan membuat Putera
mungkin melihat bisnis ini sudah tak menarik.

Memang, belum ada merek lokal yang mampu bertahan sampai ratusan
tahun. Paling tua adalah kopi Warung Tinggi, yang berumur 131 tahun.
Tapi itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Saat ini, ada 10 brand di
dunia yang sudah berusia seribu tahun. Delapan di antaranya berasal
dari Jepang. Bukan tidak mungkin pada suatu saat nanti akan ada produk
Indonesia yang dicatat dunia sebagai salah satu merek paling tua di
dunia. Setidaknya meniru sukses segelintir produk Jepang yang mampu
bertahan hidup seribu tahun….

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131491.id.html

[1918]
Jamu Jago
Perusahaan keluarga ini telah menembus pasar lokal dan internasional.
Sukses hingga generasi keempat. Di usianya yang sudah menjelang
seratus tahun, Jamu Jago mencoba bertahan.

PERISTIWA aneh itu terjadi pada 1917. Seorang pertapa—sebenarnya
penampilannya lebih mirip orang gila—tiba-tiba muncul di rumah
keluarga Tjoeng Kwaw Suprana di Wonogiri. Malam itu ia minta makan dan
mohon diperkenankan menginap.

Esok harinya, si pertapa mengucapkan terima kasih, dan membuka misteri
tentang jati dirinya. Ia sebenarnya pangeran Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat yang sedang melakukan tapa ngedan di Gunung
Lawu. Di antara rasa takjub yang belum reda, Tjoeng Kwaw Suprana
mendengar tamu istimewa itu berpesan agar ia menggunakan nama Jago
(ayam jantan, dalam bahasa Jawa).

Waktu itu ia baru saja membuka usaha kecil-kecilan. Mengamati
bagaimana ibundanya meracik jamu gendong siap minum, Suprana mencoba
membuat terobosan. Racikan ditumbuk, lantas dikemas kecil-kecil supaya
praktis. Setahun berselang, usaha ini bergerak maju. Saat itulah,
1918, Suprana membubuhkan nama yang dipesankan tamu itu untuk merek
jamunya.

Usahanya melejit cepat. Pada 1936, Suprana menyerahkan tongkat estafet
kepada empat putranya: Anwar Suprana, Panji Suprana, Lambang Suprana,
dan Bambang Suprana. Di tangan empat bersaudara itulah Jamu Jago
menguasai pasar jamu di eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.
Bahkan, pada 1937, Keraton Surakarta Hadiningrat menetapkan Jamu Jago
sebagai jamu resmi istana.

Di depan Pasar Induk Kabupaten Wonogiri di Jalan Raya Wonogiri, Jawa
Tengah, yang kini sesak oleh toko itu, pernah berdiri ”kompleks” Djamu
Djago. Itulah salah satu bukti kejayaan keluarga Suprana di Wonogiri.
Mudjimin, 74 tahun, warga Kampung Gerdu, Kelurahan Giripurwo,
Wonogiri, masih ingat bangunan pabrik berada di sebelah selatan pasar.
Agak ke selatan lagi ada rumah T.K. Suprana—kini menjadi Markas
Komando Distrik Militer Wonogiri. Sedangkan gerai Djamu Djago berada
di salah satu deretan toko di seberang pasar induk.

Pada 1949, keluarga Suprana memboyong pabrik ke Semarang. Kota ini
dipilih karena posisinya strategis, berada di pusat lalu lintas Pulau
Jawa. Ada akses transportasi—darat dan laut—untuk mendatangkan bahan
baku jamu dan mengapalkan produk ke luar Jawa dan mancanegara. Toh,
kedekatan dengan keraton tetap dijaga. Pabrik kelas rumahan di
Wonogiri digeser ke Solo.

Dari Semarang, Jamu Jago masuk ke pasar Bali dan Lampung. Empat tahun
kemudian, mereka menembus mancanegara. Misalnya Belanda, Malaysia,
Jepang, Australia, Taiwan, dan Vietnam. Pabrik baru—kali ini lebih
modern—seluas dua hektare dibangun di Jalan Setiabudi. Mesin-mesin
canggih didatangkan dari Amerika. Dibikin pula pusat laboratorium obat
dan jamu. Dua sarjana farmasi direkrut. Mereka bertugas menjelaskan
khasiat jamu secara ilmiah, bukan hanya mitos.

Kini Jamu Jago dikelola generasi ketiga: Nugraha Suprana, Jaya
Suprana, Sindu Suprana, dan Monika Suprana sebagai komisaris. Generasi
keempat dipersiapkan untuk melanjutkan dinasti. Ada Arya Suprana
sebagai direktur sumber daya manusia dan Ivana Suprana sebagai
direktur produksi. Dimotori Jaya, mereka mendirikan Museum Rekor
Indonesia yang bersinergi.

l l l

SUMIRAH memasukkan satu per satu strip kapsul ke dalam bungkus kertas.
Lantas bungkus itu dikemas lagi dengan plastik bening. Sayuri, begitu
tulisan yang tertera di dalam kertas pembungkus warna merah. Inilah
produk paling gres Jamu Jago, diluncurkan pertengahan 2009.

Kapsul ini mengandung sayuran yang dikeringkan. ”Sayuri menjawab
keresahan ibu yang anaknya susah makan sayur,” kata Nugraha Suprana,
Direktur Pemasaran PT Jamu Jago, kepada Tempo, di Semarang, awal
September lalu.

Memasuki usia 91 tahun, pabrik jamu tertua ini gencar berinovasi.
Terutama menyasar konsumen anak-anak. Ini dilakukan setelah sukses
melempar Buyung-Upik—jamu untuk menambah nafsu makan dan daya tahan
tubuh, mengobati cacingan, serta mengusir masuk angin—pada 1994.

Nugraha ingat betul 15 tahun lalu orang begitu pesimistis: ”Orang tua
saja susah minum jamu, apalagi anak-anak.” Nyatanya, Buyung-Upik
menjadi produk andalan.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131492.id.html

Pada Awalnya...

DI depan Pasar Induk Kabupaten Wonogiri di Jalan Raya Wonogiri, Jawa
Tengah, yang kini sesak oleh toko, pernah berdiri toko Djamu Djago.

Toko ini bukan toko yang luas. Mudjimin, 74 tahun, warga Kampung
Gerdu, Kelurahan Giripurwo, Wonogiri, ingat bangunan sempit memanjang
yang kerap dipenuhi pembeli dari kabupaten tetangga. ”Babah Tukang
Uang”, begitu Suprana biasa disapa. Ia disegani sebagai warga kelas
mapan, mempunyai kereta kuda di antara segelintir orang di Wonogiri
yang memilikinya.

Sebagian besar penduduk Wonogiri kaum pendatang. Mungkin hanya warga
asli yang sempat melihat ”kompleks” milik Suprana itu, dan Mudjimin
salah satu saksi kebesaran Suprana di Wonogiri. Saat itu, ayah Mudjimin
—Pawiro—bekerja sebagai penumbuk jamu di pabrik, bersama puluhan warga
lain. Saat itu, cara pembuatan jamu masih tradisional. Bahan-bahan
ditumbuk menggunakan lesung kayu.

Pawiro berhenti bekerja karena pabrik diboyong ke Semarang, ketika
manajemen dipegang anak-anak Suprana. ”Seingat saya setelah clash
kedua,” kata Mudjimin. ”Waktu itu saya masih di sekolah rakyat.”
Agresi militer Belanda kedua terjadi pada Desember 1949. Teman Pawiro
banyak yang ikut hijrah. Mereka pulang ke Wonogiri setahun sekali, pas
Lebaran.

Konon, kata Mudjimin, pemilik Jamu Jago gemar melakukan kegiatan
spiritual. Misalnya di Gua Siganggo, di bawah Gunung Gandul, Giriwono,
Kecamatan Wonogiri. Ia juga kerap nyepi di Mojoroto, satu setengah
kilometer dari Kota Wonogiri ke arah timur. Mojoroto terletak di
tepian Bengawan Solo. Di sana Suprana juga memelihara satwa. ”Seperti
kebun binatang,” Mudjimin menambahkan, ”orang bebas melihat.” Di
lokasi itu sekarang berdiri panti asuhan yang dikelola pemerintah
daerah.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131493.id.html

[1940]
PT Sido Muncul

SEMUA ini berawal dari sebuah industri rumahan milik Nyonya Rakhmat
Sulistio di Yogyakarta. Dibantu tiga karyawannya, sang nyonya mulai
meramu dan mengedarkan jamu hasil racikannya. Membesarnya permintaan
pasar membuat Nyonya Rakhmat mengambil jalan yang lebih praktis: ia
memproduksi jamu dalam bentuk serbuk.

Pada 1951 Nyonya Rakhmat boyongan ke Semarang. Di sini lahirlah
perusahaan sederhana bernama Sido Muncul. Tapi pabrik berskala kecil
di Jalan Mlaten Trenggulun itu tidak sanggup menjawab permintaan pasar
yang membengkak. Kemudian terjadilah ekspansi kecil yang diawali
dengan pendirian pabrik baru di Jalan Kaligawe, pada 1984. Dan ini
berlanjut dengan pembangunan unit pabrik berskala lebih besar dan
modern di Klepu, Kecamatan Bergas, Ungaran, 13 tahun kemudian. Pabrik
Sido Muncul terletak di atas tanah seluas 29 hektare, dengan lahan
agrowisata seluas 1,5 hektare di dalamnya, dan bangunan pabrik 7
hektare.

Sido Muncul ternyata mampu bertahan hingga generasi ketiga. Menurut
Irwan Hidayat, ahli waris bisnis ini, konflik internal bisa dihindari.
Yang paling berat soal uang dan kepemimpinan. ”Kalau perusahaan
dikembangkan dengan baik, semua akan mendapat bagian sebagai
pemimpin,” kata Presiden Direktur Sido Muncul itu.

Sido Muncul kini memiliki 150-an produk, seratus di antaranya generik.
Produk branded misalnya Kuku Bima dan STMJ. Kini Irwan berusaha
menggeser citra tradisional jamu melalui iklan yang menggunakan moto:
”Orang pintar minum tolak angin”.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131494.id.html

[1919]
PT Nyonya Meneer

LAUW Ping Nio perempuan perkasa. Orang sering memanggilnya Menir, atau
Meneer dalam bahasa Belanda. Manakala suaminya sakit, perempuan
keturunan Cina kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, ini mulai meracik jamu
dari tumbuhan dan rempah-rempah. Ia pun meracik obat demam, sakit
kepala, masuk angin, dan penyakit ringan lain.

Merasa ada sambutan masyarakat, dia mendirikan perusahaan Jamu Jawa
Asli Cap Portret Nyonya Meneer pada 1919 di rumah Jalan Raden Patah
195, Semarang. Dia membuka toko di Jalan Pedamaran 92 Semarang. Pada
1940, Nonnie, putri Ping Nio, pindah ke Jakarta dan membuka gerai di
Jalan Juanda, Pasar Baru.

Bisnis Nyonya Meneer sempat terguncang oleh konflik keluarga pada
1985. Ratusan karyawan terbengkalai. Menteri Tenaga Kerja—saat itu
Sudomo—ikut menengahi. Konflik kedua 1989-1994, berujung pelepasan
saham anggota keluarga pada 1995. Kini Nyonya Meneer telah berkembang
jauh. Pemasaran modern lewat Meneer Cafe, awalnya di Jalan Hasanuddin,
Solo. Meneer Cafe pun bertebaran di beberapa pusat belanja.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131495.id.html

[1910]
PT Jamu Iboe Jaya

BERMULA dari rumah di Jalan Ngaglik 3-5, Surabaya, pada 1910. Namanya
Djamoe Industrie Chemicalien Handel ”Iboe Dua Njonja”. Inilah produk
yang paling legendaris: jamu galian singset. Dulu para ibu ”memaksa”
anak gadisnya mengkonsumsi jamu pelangsing ini.

Bisnis dijalankan Nyonya Tan Swan Nio dan Nyonya Siem Tjiong Nio.
Kemasannya kertas roti, tapi pada 1979 diganti aluminum foil—diikuti
juga oleh produsen jamu lain.

Sejak 1938 , berekspansi ke Bali. Pada masa kemerdekaan 1945, 11
cabang dan 1.000 agen didirikan. Pada 1979, PT Jamu Iboe Jaya mulai
menggalakkan riset laboratorium untuk membuat jamu bermutu tinggi.
Pada 1980, Jamu Iboe mendirikan PT Iboe Sativa Camilind yang
memproduksi jamu alternatif. Kini, di bawah generasi ke-3, produknya
telah mencapai 123 item. Generasi ke-4 sebentar lagi akan mengambil
alih kendali.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131496.id.html

[1913]
Rokok Kretek Dji Sam Soe
Dari produksi rumahan, Dji Sam Soe menjadi rokok kretek terbesar di
Indonesia. Percaya pada angka sembilan.

RUMAH kuno itu tak lagi berpenghuni. Pagarnya tertutup seng. Ketika
didatangi Tempo tiga pekan lalu, tampak empat petugas bergantian
menjaga rumah. Di rumah inilah Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna,
mengawali sejarah pada 1927.

Beralamat di Jalan Ngaglik, Surabaya, rumah ini—selain menjadi tempat
tinggal—dulunya berfungsi sebagai gudang tembakau dan pabrik rokok.
Selama lima tahun Seeng Tee menguji berbagai campuran rempah dan
cengkeh di rumah ini. Dji Sam Soe salah satu produknya. Dari rumah ini
pula Dji Sam Soe mulai diproduksi secara masif.

Formula rokok ini dibuat 15 tahun sebelumnya, saat Seeng Tee masih
bekerja di pabrik rokok kecil di Lamongan. Tugasnya kala itu meracik
dan melinting rokok. Belakangan, racikannya menjadi cikal-bakal
formula Dji Sam Soe.

Penghasilannya di pabrik ditabung untuk menyewa warung di Jalan
Cantian Pojok—kini Jalan Pabean Cantian, Surabaya. Berukuran empat
meter persegi, beratap ilalang dan bertiang bambu, warung tanpa
dinding ini menjual aneka makanan dan minuman. Replika warung itu kini
dapat dilihat di House of Sampoerna di Jalan Taman Sampoerna,
Surabaya.

Hidup Seeng Tee tidak cuma bersandar dari warung. Ia dan istrinya,
Tjiang Nio, mencampurkan rempah-rempah, seperti cokelat, vanili, pala,
kayu manis, dan cengkeh, ke dalam tembakau. Campuran ini dilinting
dengan tangan menjadi rokok.

Berbekal sepeda onthel, pria kelahiran Provinsi Hokkian, Cina daratan,
itu berkeliling Surabaya berjualan rokok. Oleh Tjiang Nio, perempuan
yang dinikahinya pada 1912, uang hasil usaha itu disimpan di dalam
tiang bambu penyangga rumah. Sebagian tabungan digunakan kembali untuk
membeli tembakau.

Agar usahanya berkibar, Seeng Tee membentuk badan hukum Handel
Maatschappij Liem Seeng Tee pada 1913. Nama ini kemudian menjadi PT
Handel Maatschappij Sampoerna—setelah perang kemerdekaan usai, namanya
berubah menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna.

Pemilihan kata Sampoerna, kata Elvira Lianita, Manajer External
Communication PT HM Sampoerna, memiliki dua makna. Kata itu merupakan
ejaan dari kata ”sempurna”. Kedua, kata ”sampoerna” berjumlah sembilan
huruf. ”Orang Cina percaya sembilan merupakan angka keberuntungan,”
katanya.

Kemasan Dji Sam Soe memang sarat dengan angka sembilan. Berasal dari
bahasa Hokkian, Dji Sam Soe berarti dua, tiga, dan empat. Bila
dijumlahkan, hasilnya sembilan. Logo kemasan berupa sembilan bintang.

l l l

DARI Ngaglik, Seeng Tee pindah ke kawasan Jembatan Merah pada 1932. Ia
membeli bangunan milik Jongens Weezen Inrichting, yayasan panti asuhan
milik pemerintah kolonial Belanda. Di atas lahan 1,5 hektare, pabrik
sekaligus tempat tinggal dibangun pada 1864. Sejak enam tahun lalu,
gedung itu berfungsi sebagai Museum House of Sampoerna.

Sejak itu, usaha Seeng Tee makin moncer. Dengan 1.300 karyawan,
produksi pada 1940 menembus 3 juta batang per minggu. Menurut Hermawan
Kartajaya, Yuswohady, dan Sumardy dalam buku 4-G Marketing: A 90-year
Journey of Creating Everlasting Brands, Dji Sam Soe bahkan pernah
menjadi ”mata uang” pedagang masa itu karena nilainya lebih stabil
ketimbang mata uang resmi. Permintaannya membeludak. Agen harus
menunggu dua-tiga minggu untuk memperoleh pesanan.

Usaha rokok Seeng Tee berantakan setelah Jepang masuk pada 1942. Ia
ditahan dan menjalani kerja paksa di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pabriknya digunakan buat memproduksi rokok merek Fuji untuk tentara
Jepang. Beruntung, seluruh keluarganya selamat dalam persembunyian.

Seusai perang, pabrik dalam kondisi porak-poranda. Harta keluarga dan
perusahaan dirampas Jepang. Satu-satunya aset cuma merek dagang Dji
Sam Soe. Seeng Tee berusaha menata kembali usahanya. Berkat merek ini,
mitra bisnis Seeng Tee kembali berdatangan. Mereka menyuplai cengkeh,
tembakau, dan bahan baku lain. Perlahan-lahan Dji Sam Soe kembali
berkibar. Pada 1949, pabrik sudah pulih seperti semula.

Situasi ini cuma berlangsung hingga 1956. Setelah Seeng Tee meninggal
pada tahun itu, Sampoerna jeblok. Mesin pelinting tidak beroperasi.
Pekerja tidak mencapai 150 orang. Tiga tahun kemudian, pabrik ditutup
karena pailit.

l l l

RODA bisnis keluarga Sampoerna kembali bergerak setelah Liem Swie Hwa,
putra tertua Seeng Tee, meminta adiknya, Liem Swie Ling—yang telah
membuka perusahaan rokok merek Penamas di Bali—memindahkan perusahaan
rokoknya ke Malang pada 1965. Di tengah kuatnya arus rokok putih di
pasar, Swie Ling berkonsentrasi membesarkan kembali Dji Sam Soe.

Swie Ling alias Aga Sampoerna memulai dari nol: membeli tembakau
secara tunai, menjual rokok dengan tunai, dan membangun perusahaan
berdasarkan arus kas harian. Nama besar Dji Sam Soe menjadi
penyelamat. Agen kembali berdatangan.

Dalam 12 tahun, pabrik kian berkembang. Karyawan lebih dari 1.200,
dengan produksi 1,3 juta batang rokok per hari. Ia berpedoman tidak
boleh ada rokok menginap di pabrik meski sebagai persediaan. Produksi
hari itu harus dijual hari itu juga. Hasilnya, Dji Sam Soe untung US$
200 ribu per bulan.

Pada 1977, Aga mulai melibatkan Putera Sampoerna, anak bungsunya.
Salah satu terobosan Putera adalah meniadakan agen dari rantai
distribusi. Ia membuat fasilitas produksi terpadu seluas 153 hektare
di Sukorejo, Jawa Timur, dan membeli tembakau langsung dari petani. Ia
juga mengubah usaha menjadi perusahaan terbuka.

Hasilnya, penjualan Dji Sam Soe meroket dari 21 juta batang per minggu
pada 1980 menjadi 64 juta batang per minggu pada 1991. Pada 2000,
penjualan Dji Sam Soe menembus 18,9 miliar batang per tahun. ”Merek
ini tulang punggung perusahaan,” kata Eka Darmajanto Kasih, orang
dekat keluarga Sampoerna.

Kunci keberhasilan penjualan, kata Eka, terletak pada konsistensi
perusahaan dalam mengkomunikasikan kualitas merek ke pelanggan.
Alhasil, citra yang tertancap di pelanggan selalu sama. ”Ini
menciptakan loyalitas konsumen,” kata bekas Chief Financial Officer HM
Sampoerna itu.

Tradisi angka sembilan juga dipertahankan. Mobil Rolls-Royce milik
Aga, misalnya, berpelat nomor SL-234. Semua mobil pabrik di Sukorejo
dan Rungkut memakai pelat nomor yang bila dijumlahkan hasilnya
sembilan. Luas tanah di pabrik Sukorejo hasilnya sembilan. Penjumlahan
saham Sampoerna ke publik juga sembilan.

Empat tahun lalu, saat berada di puncak, Putera melepas 40 persen
saham HM Sampoerna—induk Dji Sam Soe—ke Philip Morris. Kapitalisasi
pasarnya ketika itu US$ 5 miliar. Perusahaan Amerika Serikat yang
terkenal dengan merek Marlboro itu merogoh kocek US$ 2 miliar. ”Tak
cuma membeli saham, Philip juga membeli merek dan budaya perusahaan,”
kata (almarhum) Anky Camaro, bekas Presiden Komisaris HM Sampoerna,
ketika itu.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131497.id.html

[1930]
Minak Djinggo

PADA mulanya dia menjadi agen rokok Tjap Bal Tiga di Pati, Jawa
Tengah. Dari profesi itulah Kho Djie Siong mendapat informasi babon:
racikan dan strategi dagang Tjap Bal Tiga. Bocoran itu diperolehnya
dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu
Nitisemito, pendiri Bal Tiga dan perintis rokok kretek di Kudus.

Bersama Tan Djing Thay dan Tjoa Kang Hay, Kho Djie Siong lantas
mendirikan Grup Nojorono di Desa Godi, Pati. Merek dagang pertamanya
Minak Djinggo. Tiga serangkai itu lalu memindahkan produksi ke Kudus
pada 1932. Sejak 1953 hingga kini, pabrik rokok kretek itu berpusat di
Jalan Sudirman, Kudus.

Setelah nakhoda perusahaan berganti tujuh kali, kepemilikan Nojorono
kini dipegang oleh 35 keluarga pemegang saham dengan porsi yang sama.
Mereka itu, kata konsultan manajemen A.B. Susanto dari Jakarta
Consulting Group, masih keturunan generasi pertama.

Di mata Susanto, Minak Djinggo tipikal merek lokal tua yang pernah
tenar pada 1960-1970-an. Seiring dengan perubahan zaman, kehadirannya
pernah dilupakan orang. Baru pada akhir 1990-an, rokok ini berusaha
bangkit. ”Komunikasi pemasarannya masuk lewat pergelaran musik dangdut
yang marak di awal tahun 2000-an,” kata konsultan strategi manajemen
yang pernah diminta menangani Nojorono itu. Segmen pasar yang disasar
kelas menengah ke bawah.

Meski menjadi tulang punggung Nojorono, posisi pasar Minak Djinggo
masih kalah dibanding Dji Sam Soe atau merek rokok kretek lainnya.
Meski posisinya penantang, bukan berarti pasar merek ini tidak bisa
dikembangkan. ”Pasarnya belum mentok,” ujar Susanto.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131498.id.html

[1935]
Bentoel

DARI tangan pemuda Bojonegoro bernama Ong Hok Liong, terciptalah rokok
kretek lintingan merek Bentoel. Awalnya ia berguru pada sang ayah,
pemilik sebuah perusahaan tembakau. Ong bersama istrinya, Liem Kwie
Nio, lantas memulai bisnis rokok rumahan skala kecil di Malang.
Namanya The Strootjes Fabriek Ong Hok Liong. Perusahaan itu berubah
menjadi PT Perusahaan Rokok Tjap Bentoel pada 1951.

Bentoel merintis jalan menjadi perusahaan rokok modern dengan
memperkenalkan mesin linting berfilter. Sejarah mencatat produsen
rokok inilah yang pertama memakai mesin, pada 1968. Kecepatan
melintingnya 6.000 batang per menit. Pada 1974, Bentoel mulai
memproduksi rokok kretek menggunakan mesin buatan Inggris merek Molin
Machines. Produknya diberi nama Bentoel International.

Roda bisnis Bentoel tak selalu lancar. Akibat setumpuk beban utang,
kreditor lokal Rajawali Group mengambil alih dan merestrukturisasi
perusahaan pada 1991. Tugas pertama manajemen baru mengatasi tekanan
dari kreditor asing dan lokal serta memecahkan persoalan keuangan.
Restrukturisasi kelar pada pertengahan 1990-an. Pada 2002, Bentoel
International mengubah namanya menjadi Bentoel Klasik, dan bersalin
menjadi Bentoel Biru dua tahun lalu.

Kepemilikan saham Bentoel kini berubah setelah Rajawali menjual pabrik
rokok itu kepada British American Tobacco, tahun ini. Sejak menguasai
85,13 persen saham, British American memulai tender offer saham pada
16 Juli-14 Agustus lalu. Proses tender itu hanya berhasil menyerap
983,72 juta saham dari 1,001 miliar saham yang beredar di publik. Kini
British American menguasai 99,74 persen saham Bentoel. Perusahaan
rokok asal Inggris ini menghabiskan dana Rp 858,78 miliar dalam aksi
itu.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131499.id.html

[1918]
Taru Martani

BAGI penggemar meditasi seperti T. Sudiarno, cerutu bisa membantu
menenangkan pikiran. Dengan mengisap cerutu, pria 45 tahun ini tambah
khusyuk berkontemplasi. Kebiasaan itu dilakoni fotografer asal
Yogyakarta itu sejak 1996. Cerutu yang sering diisapnya antara lain
Senator dan Mundi Victor.

Inilah dua merek cerutu tertua buatan Perusahaan Daerah Taru Martani,
Yogyakarta. Model dan ukuran yang sama dari dua cerutu ini diproduksi
sejak 1918—saat Taru Martani pertama kali berdiri. Namun Senator dan
Mundi Victor Boheme baru dipakai sebagai merek secara resmi pada 1952.

Menurut Johanes Muran Kedang, Kepala Divisi Produksi PD Taru Martani,
cerutu generasi pertama Senator dan Mundi Victor mempunyai bentuk yang
unik, yakni lancip seperti peluru. Belanda dan Cek menjadi negara
tujuan ekspor merek cerutu ini.

Bahan baku cerutu Senator dan Mundi Victor, kata Johanes, murni dibuat
dari tembakau di kawasan Besuki, Jember, Jawa Timur. ”Rasa cerutu
tidak pernah berubah karena memakai bahan yang sama dengan proses
manual tanpa mesin,” kata Johanes, yang bekerja di Taru Martani sejak
1973.

Satu pohon tembakau Besuki, kata dia, sudah bisa memenuhi tiga unsur
cerutu, yakni filler (isi), binder/omblad (pembungkus dalam) dan
wragger/dekblad (pembungkus luar). Namun untuk isi biasanya digunakan
tembakau Besuki yang telah dicampur dengan tembakau Havana dan Brasil.

Satu bungkus Senator isi 10 batang kini dijual Rp 38.000. Sedangkan
Mundi Victor isi lima batang dijual Rp 18.000. Ukuran Senator 107 mm x
19 mm. Mundi Victor 115 mm x 9,5 mm. Dari 100 ribu batang Senator dan
Mundi Victor yang diproduksi per tahun, lima persennya diekspor.

Pabrik cerutu tertua di Tanah Air ini awalnya berlokasi di daerah
Bulu, pinggir Jalan Magelang, dengan nama NV Negresco. Tiga tahun
kemudian, pabrik itu pindah ke Jalan Agrolo Baciro—sekarang Jalan
Kompol B. Suprapto— di sebelah barat Stadion Mandala Krida,
Yogyakarta.

Cerutu Taru Martani semula hanya dikonsumsi orang Belanda di Yogya.
Dalam perkembangannya cerutu ini juga dijual ke Belanda. Sejarah
mencatat, pada 1930, Negresco melakukan ekspansi dengan 1.000 pekerja.

Perusahaan ini sempat diambil alih oleh Jepang pada 1942. Lalu Sri
Sultan Hamengku Buwono IX mengambil inisiatif mengganti nama
perusahaan setelah Indonesia merdeka menjadi Taru Martani—artinya daun
yang menghidupi.

Hingga kini model pabrik berarsitektur Eropa itu tetap dipertahankan.
Beberapa mesin peninggalan Belanda, antara lain unit mesin stripping
(pemisah daun tembakau dan batangnya), mesin besar pemanas tembakau,
dan empat buah mesin linting cerutu, masih tersimpan di pabrik itu.

Cerutu Taru Martani kini tersedia lebih dari 40 jenis, dengan produksi
lebih dari 10 juta batang cerutu per tahun. Sedangkan total omzetnya
Rp 20 miliar per tahun.

Adam Santoso, internal auditor Taru Martani, mengatakan perusahaan
menyisihkan 55 persen keuntungan bersih buat pemiliknya: pemerintah
daerah.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131500.id.html

[1930]
Sabun Cuci B29
Mereguk untung besar berkat terobosan sabun krim. Menurun, tapi tak
kehilangan pasar.

PASAR Pagi Jakarta, akhir 1930-an. Sekumpulan ibu-ibu yang sedang
belanja di Toko Sewu Gunawan meriung bicara soal sabun. Sabun Cap
Tangan, produk Unilever—ketika itu satu-satunya sabun cuci yang
beredar di pasar—mendadak langka. Jikapun ada, harganya mahal. Para
ibu mengeluh: mereka tak bisa mencuci baju, piring, bahkan mandi.

Sewu Gunawan prihatin. Anak tunggal yang merantau dari Mojokerto, Jawa
Timur, pada usia 16 tahun itu pun putar otak. Dengan bantuan seorang
guru kimia sebuah sekolah menengah atas, dia mencari bahan pengganti
kaustik soda—bahan utama sabun saat itu. ”Akhirnya pakai bahan gula
dari tebu,” kata Eka Gunawan, putra bungsu Sewu, mengingat cerita
ayahnya. ”Jauh lebih murah dan ekonomis.”

Pada 1942, mulailah sebuah pabrik rumahan dibangun di lahan 300 meter
persegi di Jalan Malaka, Jakarta Pusat. Nama B29 didaftarkan kepada
pemerintah Hindia Belanda oleh Sinar Antjol, perusahaan yang didirikan
Sewu.

Sekitar seratus orang direkrut Sewu untuk ”mengaduk” bahan sabun dan
mencetak B29. Saat itu B29 belum menjadi pesaing Cap Tangan, yang
namanya sudah ke mana-mana. Tujuannya, kata Eka, semata membuat sabun
banyak dan dijual semurah mungkin. ”Jadi awalnya lebih ke misi
sosial.”

l l l

SURATMI, pelawak wanita bertubuh subur, nyaris setiap hari hadir di
ruang keluarga. Suratmi memang jadi ikon sabun B29. Di layar televisi,
dari sore hingga malam, dengan gayanya yang kenes, ia membujuk para
ibu memakai sabun krim B29. Bentuk krim, atau lebih dikenal ”colek”,
merupakan terobosan baru di bidang sabun cuci saat sabun bubuk mewabah
di Indonesia pada dekade 1970.

Cuma perlu waktu singkat bagi B29 masuk di hati ibu-ibu rumah tangga.
Selain harganya murah, sabun itu banyak manfaatnya. Bisa membersihkan
piring, pakaian, hingga cuci mobil. B29 langsung menguasai 80 persen
pasar Indonesia. ”Banyak sekali permintaan, tapi kami tak bisa
memenuhinya dalam waktu singkat,” ujar Direktur Sales dan Marketing
Arie Handoyo Halim. Suratmi sendiri, karena identik dengan sabun itu,
namanya lebih dikenal sebagai ”Ratmi B29”.

Menurut Eka, ayahnya memang punya misi menciptakan produk murah untuk
ibu-ibu di Indonesia. Bentuk awal sabun bubuk yang basah sendiri
sebetulnya seperti krim. Krim itu kemudian dikeringkan. ”Kalau nanti
dibasahi lagi, kenapa tidak dijual dalam bentuk krim saja,” demikian
pikir ayahnya, Sewu, ketika itu. Jadilah B29 itu. Dengan cara itu,
ongkos produksi juga dihemat karena tak perlu menyediakan mesin
pengering.

Masa kejayaan B29 mulai menyurut sejak akhir 1980-an. Sejumlah sabun
serupa masuk ke pasar. Menurut Eka, ketika diserahi tongkat estafet
bisnis sabun colek pertama di Indonesia tersebut, pada 1991, ia
menghadapi masalah pelik: bagaimana mengangkat kembali B29 agar
berjaya di pasar.

Alumnus Universitas San Francisco, Amerika Serikat, itu lalu membidik
pasar luar negeri. B29 diekspor ke Uni Soviet. Tapi terganggu lantaran
di wilayah itu terjadi pergolakan politik. Eka lalu beralih ke negara-
negara Afrika.

Hasilnya tak mengecewakan. Sabun itu menjadi sabun produk Indonesia
pertama yang mendarat di benua hitam tersebut. Ekspor itu kemudian
merambah pula ke Cina. ”Ketimbang ngotot-ngototan di dalam negeri,
lebih baik cari pasar lain,” kata Eka. Di Afrika dan Cina, bentuk
sabun batangan—bisa untuk mandi dan mencuci baju—laku keras.

Manisnya ekspor itu dirasakan B29 pada saat krisis ekonomi. Permintaan
membeludak sampai dua kali kondisi normal. Tapi, ekspor tak bisa
menutup dampak krisis ekonomi 1997. Para pekerja dipangkas jadi satu
shift dari tiga shift. Beruntung tak ada pemberhentian karyawan.
”Pesan ayah jangan ada PHK sesulit apa pun,” ujar bungsu dari tujuh
bersaudara itu.

Setelah krisis berangsur-angsur berakhir, perlahan pasar dalam negeri
kembali digarap. Kendati demikian, dibanding pesaingnya, B29 tetap
saja kalah agresif. ”Kami lebih mengandalkan mutu,” kata Eka. Sebagian
besar dana perusahaan digunakan untuk riset dan pengembangan ketimbang
promosi.

Kini, B29 cuma ”menguasai” 10 persen dari total pasar sabun cuci
nasional. Selain bersaing dengan sabun produk nasional, Sinar Antjol
mesti berhadapan dengan sabun-sabun hasil perusahaan lokal.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131501.id.html

[1878]
Kopi Warung Tinggi
Beberapa kali berhenti berproduksi, tetap hidup berkat kepercayaan
pelanggan. Dulu resep lisan, kini tersimpan di komputer.

BATAVIA, 1878. Restoran di tepian Moolen Vliet Oost—kini Jalan Hayam
Wuruk—Jakarta, itu berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Tampak
lebih bagus, lebih besar, dan tinggi. Masyarakat di tepian Ciliwung
lalu menyebutnya Waroeng Tinggi.

Adalah Liaw Tek Soen, perantau asal Tiongkok, yang membangun warung
itu bersama istrinya. Selain menyuguhkan makanan, mereka sedia kopi.
Karena itu, waktu belum banyak yang menjual kopi seduh di Batavia,
warung Engkoh Liaw laris manis. ”Menurut cerita Kakek, dulu habis
makan, orang pasti duduk berlama-lama sembari ngopi,” kata Rudy
Widjaja, 67 tahun, ahli waris generasi keempat kopi Warung Tinggi.

Rudy menerima Tempo di kantor pusat Warung Tinggi di Jalan Batu Jajar,
Hayam Wuruk, Jakarta Barat, dua pekan lalu. Melihat aktivitas di toko
kopi yang terletak di Jalan Tangki Sekolah, juga di kawasan Hayam
Wuruk, tampak sekali Warung Tinggi sudah memiliki pasar dan pelanggan
sendiri. Di toko sekitar 25 meter persegi, di dalam gang yang hanya
pas dilewati dua mobil itu, transaksi dilakukan dengan ”gaya lama”.
Penjual tinggal bertanya, ”Biasa, kan?” Semua langsung beres: jenis
kopi, jumlah kiloan, digiling halus atau kasar.

Warung Tinggi memang bukan lagi sekadar toko kopi, melainkan ”gaya”.
Semuanya dimulai ketika kakek Rudy, Liaw Tek Siong ”dibeli” Liaw Tek
Soen, karena anak lelaki tunggal Tek Soen dianggap tak mampu
berdagang. Tek Siong mewarisi warung ayah angkatnya pada 1927. Di
tangannya, kopi segera menjadi bisnis utama keluarga Liaw, bukan
sekadar usaha sampingan dari makanan di warung.

Ia mendirikan pabrik sederhana dan menamai tokonya Tek Soen Hoo Eerste
Weltevredensche Koffiebranderij, yang kala itu lebih dikenal dengan
nama Toko Tek Soen. Tek Siong juga merancang alat khusus yang mampu
menggoreng lebih banyak biji kopi hingga matang secara merata. Gambar
perempuan menyunggi bakul anyaman bambu dijadikan logo perusahaan baru
itu. ”Itu gambar ibu-ibu yang setiap pagi datang menjual kopi ke
warung kakek buyut saya,” kata Rudy.

Hingga Liaw Tian Djie, ayah Rudy, mewarisi bisnis keluarga Liaw Tek
Siong, dua tahun setelah Indonesia merdeka, nama perusahaan mereka
masih Tek Soen Hoo. Tapi orang sekitar dan pelanggan setia warung kopi
Tek Soen tak pernah berhenti menyebut tempat usaha keluarga itu
sebagai Warung Tinggi.

Ketika itu Warung Tinggi hanya menjual satu jenis kopi, dibungkus
dalam kertas cokelat sederhana dan diberi cap. Waktu Jepang menduduki
Indonesia, ayahnya membawa keluarga mengungsi ke Mega Mendung, Ciawi,
Jawa Barat. Ketika itu ibunya sedang mengandung Rudy.

Barulah pada 1945, setelah Jepang pergi, Tek Djie membuka kembali
pabrik kopinya. Sebetulnya, waktu itu dia tak punya modal lagi. Tapi,
para pemasok lama, termasuk ibu-ibu bakul kopi, tak keberatan Tek Djie
berutang bahan baku. Pelan-pelan bisnis berjalan lagi. Bahkan, pada
1950-an, Tian Djie mulai menjual kopi racikan (blend) dengan mencampur
beberapa jenis kopi.

Nama Warung Tinggi mulai dipakai sebagai merek dagang pada 1967.
Soeharto, yang baru saja menggantikan Soekarno sebagai presiden,
melarang orang Indonesia keturunan Tionghoa menggunakan nama Cina.
Nama keluarga Liaw pun diubah menjadi Widjaja, atas usul seorang
pegawai Tian Djie setelah melihat kitab primbon Jawa. Tian Djie sejak
itu beralih nama menjadi Udjan Widjaja.

Sejak ayahnya wafat, pada 1978, perusahaan dikelola oleh Rudy beserta
tiga saudaranya: Darmawan, Suyanto, dan Yanti. Berkali-kali usaha
mereka goyah, tapi selalu bisa bangkit kembali. Sebagai anak
kedelapan, Rudy bukan yang paling berhak mewarisi usaha orang tua
mereka. Tapi, ketika kesebelas kakak-adik itu membagi warisan, pada
pertengahan 1990-an, tak satu pun yang berminat meneruskan bisnis kopi
keluarga itu kecuali Rudy.

Dalam bagi-bagi warisan itu, Warung Tinggi yang asli—rumah di Jalan
Hayam Wuruk Nomor 55-57—jatuh ke tangan kakak-kakaknya. Maka Rudy
memindahkan pabriknya ke Jalan Daan Mogot. Rumahnya di Jalan Tangki
Sekolah, di kawasan Hayam Wuruk, dia jadikan toko kopi.

Pada kerusuhan jahanam, Mei 1998, pabrik Warung Tinggi dijarah.
Beruntung, Rudy dan keluarganya diselamatkan masyarakat sekitar.
Mereka lalu hengkang ke Singapura, hanya membawa surat-surat penting.
Satu setengah tahun kemudian baru dia kembali ke Jakarta.

Dia beruntung: para penjarah hanya mengambil barang yang bisa cepat
dijual. Mesin dan ratusan karung kopi mentah sama sekali tak disentuh.
Rudy memindahkan pabrik ke Tangerang, dan kembali berbisnis. Ternyata,
seperti yang dialami ayahnya, pelanggan setia tetap menunggu
kembalinya Warung Tinggi.

”Banyak orang bilang, ah... kopi mah gampang, tinggal goreng, tumbuk,
seduh, jadi. Ya, memang itu jadi kopi, tapi untuk bisa dinikmati, kopi
membutuhkan perlakuan khusus,” tutur Rudy. Dia mencontohkan kadar air.
Jika kadar airnya terlalu rendah, aroma bisa hilang. Tapi, bila
kandungan air terlalu banyak, air kopi akan berbau daun. ”Orang dulu
bilang bau kencing kuda,” katanya.

Tidak gampang, memang, mengolah kopi hingga menghasilkan bubuk hitam
bercita rasa mantap. Dulu, dituntun ayahnya, Rudy membutuhkan waktu
lama untuk belajar menakar kadar air kopi, hanya dengan menggenggamnya
di tangan. Sekarang sudah ada mesin untuk mengetahui kadar air dan
kafein. Bahkan kopi bisa dibuat berbagai rasa: moka, stroberi, apa
saja.

”Tapi kami hanya menjual kopi dengan kualitas terbaik. Enggak pakai
pewangi. Itu sebabnya, kopi kami mahal,” kata Rudy. Warung Tinggi
memang hanya menjual kopi beraroma orisinal.Mereka menjual setidaknya
delapan varian kopi, dari robusta yang berharga Rp 80 ribu per
kilogram hingga kopi racikan Excellence yang Rp 500 ribu per
kilogramnya.

Warung Tinggi kini ajek dengan total produksi sekitar 20 ton per
bulan. Tahun lalu mereka memesan mesin baru dengan kapasitas 100 ton
per bulan. Sudah ekspor ke Jepang mereka sedang menjajaki pasar
Amerika, Hong Kong, Taiwan, Australia, dan Eropa.

Dari segi jumlah penjualan, Warung Tinggi mungkin tak akan menjadi
merek kopi nomor satu. Tapi Rudy percaya kopinya akan terus bertahan.
Rahasia umur panjang, menurut dia, adalah kemampuan mempertahankan
kualitas campuran. ”Saya mewarisi resep keluarga secara lisan dari
Ayah. Tapi anak saya akan mewarisi buku resep di komputer,” kata Rudy
sembari tertawa.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131503.id.html

[1927]
Kapal Api

GO Soe Loet, perantau asal Fujian, Cina, memulai usaha keluarga ini di
Surabaya. Dia membeli biji kopi, menggoreng dan menumbuknya sendiri,
lalu menjualnya di pasar. Di luar dugaan, kopi tumbuk Go Soe laris
manis. Dia lalu memberi nama kopinya Kapal Api dan menjualnya dalam
kemasan kertas cokelat.

Pada masa itu, kapal api atau kapal uap merupakan simbol teknologi
tertinggi dan kemewahan. Meski demikian, baru setelah anak Go Soe,
Soedomo Mergonoto, terjun membantu, Kapal Api mulai memodernkan diri.
Pada 1970-an, mereka mengganti mesinnya dengan yang lebih canggih,
menerapkan manajemen modern dalam perusahaan, dan memperluas wilayah
pemasaran.

Salah satu langkah ”besar” Kapal Api adalah beriklan di siaran niaga
TVRI. Mereka mengontrak Paimo—pelawak tenar Srimulat masa itu—menjadi
bintang iklan.

Langkah strategis Soedomo nyatanya berbuah manis. PT Santos Jaya
Abadi, yang menaungi merek Kapal Api, berkembang menjadi perusahaan
besar dengan merek-merek baru kopi yang tak kalah terkenalnya. Bahkan,
menurut Manajer Pemasaran PT Santos, Soegiono, Kapal Api dan
”anaknya”, ABC, kini menguasai 40 persen pasar kopi nasional.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131504.id.html

[1930]
Aroma

PAPAN namanya, Aroma, nyaris tak tampak. Tersembunyi di balik banjaran
gerobak kaki lima yang menjajakan aksesori mobil dan gorengan. Begitu
Tempo mendekat, wangi kopi robusta dan arabika yang digoreng
berhamburan dari cerobong putihnya.

Bangunan dua lantai itu didirikan Tan Houw Sian, mantan pegawai di
perkebunan kopi Belanda, pada 1930. Dia menggunakan tabungan
pensiunnya untuk membangun rumah sekaligus pabrik kopi di Jalan
Banceuy, Bandung, itu. Judulnya: Koffie Fabriek Aroma.

Sebagai mantan pegawai perkebunan kopi, Houw Sian tahu cara membuat
kopi enak. Dia juga mengenal banyak pemilik kebun kopi, sehingga
pasokan kopi terjamin adanya. Menggunakan sepeda ontel, Tan menjual
kopi di Bandung dan sekitarnya. Ketika nama Aroma makin dikenal,
pelanggannya termasuk sejumlah hotel Belanda, seperti Savoy Homann dan
Preanger.

Setelah Tan wafat, pada 1982, perusahaan beralih ke tangan Widya
Pratama, putranya. Di tangan Widya, Aroma tak banyak berubah, termasuk
alat dan cara mengolah kopi. Seperti bapaknya, Widya, kini 52 tahun,
hanya menggarang biji kopi berwarna cokelat gelap yang sudah diperam
5-8 tahun. ”Itu untuk menurunkan kadar asam dan kafeinnya,” katanya.

Widya menjual kopi arabika Rp 52 ribu per kilogram, sedangkan robusta
Rp 42 ribu. Alih-alih merayu pembeli memborong dalam jumlah banyak,
Widya lebih sering menganjurkan pelanggannya membeli sedikit demi
sedikit. ”Lebih baik minum kopi segar yang baru digiling,” katanya.
Widya memang tak rela bila kopi yang dijualnya menjadi tak nikmat gara-
gara salah perlakuan.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131505.id.html

[1940]
Teh Cap Botol
Bisnis keluarga yang tetap subur hingga generasi ketiga. Cerdas
mengantisipasi pasar di tengah persaingan yang kian ketat.

RIBUAN botol plastik hijau itu bergerak dalam irama teratur di atas
jalur roda berjalan. Lalu, plop, plop, plop: letupan mesin memasangkan
plastik kemasan ke satu per satu botol yang berisi teh amat panas.
Antrean lantas menjalar ke mesin berikut yang memasangkan tutup botol.
Dari sini jalur roda bergerak lagi menuju pengemasan akhir. Maka
jadilah teh botol merek Joy Tea Green, yang siap dikirim ke jutaan
konsumen di seluruh Indonesia serta mancanegara.

Ilustrasi kecil di atas melukiskan satu rantai kecil di lini produksi
PT Sinar Sosro, raksasa teh siap minum buatan Indonesia. Satu ikon
Sosro yang luas dikenal adalah Teh Botol Sosro. Joy Tea Green, yang
dirilis dua tahun lalu, pun telah menjadi salah satu produk unggulan
Sinar Sosro. ”Sudah punya pasar sendiri,” ujar Joseph Soewito
Sosrodjojo.

Joseph, 43 tahun, adalah generasi ketiga Sosrodjojo—kini Presiden
Direktur PT Sinar Sosro. Dia menerima Tempo di pabrik teh Sosro di
Jalan Cakung, Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis, 10 September lalu.
Joseph menuturkan ihwal kakeknya, Sosrodjojo, yang membangun cikal-
bakal minuman ini di Slawi, Jawa Tengah, pada 1940. Juga tentang jatuh-
bangunnya usaha keluarga mereka.

Kini, dalam usia hampir tujuh dekade, Sinar Sosro tampaknya kian
bersinar. Varian produknya tumbuh dari minuman teh seperti STee, Fruit
Tea, TEBS, Joy Tea Green, dan merambah ke produk minuman non-teh,
umpamanya air mineral Prim-A, Happy Jus, dan Country Choice.

Menurut Joseph, mereka berupaya mengeksplorasi tren minuman untuk tiap
generasi—sebagai salah satu strategi bisnis. ”Ketika penggemar teh
rasa buah muncul, kami meresponsnya dengan Fruit Tea mulai 1997,”
tuturnya. Tapi tulang punggung perusahaan tetaplah Teh Botol Sosro—
keputusan yang bukan tanpa alasan.

Riset media Nielsen mencatat, Teh Botol Sosro menguasai 70 persen
pasar minuman nasional. ”Angka ini stabil sejak lima tahun lalu,” kata
Joseph. Direktur Riset Jasa Retail Nielsen, Yongky Surya Susilo,
menyebutkan bahwa pasar teh siap minum nasional selama Januari-
September tahun lalu mencapai Rp 17,14 miliar, atau tumbuh 27,7 persen
dibanding periode yang sama pada 2007. Indikasi lain adalah belanja
iklan produk teh. Selama Januari-Juli 2009, iklan produk teh mencapai
Rp 52,1 miliar, naik 52 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Omzet penjualan Sinar Sosro pada periode 2008 mencapai Rp 1,8 triliun—
Rp 9 miliar berasal dari nilai ekspor. Sosro memang bertahan memimpin
pasar di tengah persaingan ketat. Posisi Teh Botol Sosro yang terus
bertahan di peringkat pertama penjualan tak bisa dipisahkan dari
filosofi produk Sosro, yaitu Niat Baik. Sosrodjojo melahirkan filosofi
ini dengan tujuan menghasilkan minuman yang aman bagi kesehatan serta
ramah lingkungan.

Seluruh produk Sosro tak memakai zat pewarna, bahan pengawet, serta
pemanis buatan. Hanya gula pasir dan daun teh hijau hasil racikan PT
Gunung Slamat—anak usaha Holding Rekso yang berfokus pada lini
produksi teh kering siap saji—dari perkebunan Cianjur, Garut,
Pangalengan, dan Tasikmalaya.

Soegiharto Sosrodjojo, ayah Joseph, hingga kini masih turun tangan
menguji racikan daun teh di Slawi. Ketatnya uji mutu itu untuk
memastikan rasa Teh Botol Sosro—muncul pertama pada 1974—tak berubah.
Jaringan distribusi adalah kekuatan lain Sinar Sosro. Kini seluruh
pelosok Indonesia akrab dengan Teh Botol Sosro. Ketua Asosiasi Minuman
Ringan Suroso Natakusumah menilai masifnya jaringan Sosro hingga ke
pelosok daerah membuat Teh Botol Sosro sulit tersaingi.

Harga adalah faktor berikutnya. ”Orang tua dan om-om saya bilang, jual
teh jangan lebih mahal dari ongkos parkir. Harga segitu yang dapat
dijangkau konsumen,” kata Joseph. Dia menambahkan, kini target mereka
lebih mengoptimalkan kapasitas produksi pabrik ketimbang memperluas
pasar domestik.

Alasannya? Kapasitas mesin produksi 1 miliar liter per tahun di 10
pabrik Sinar Sosro baru terpakai 70 persen. Joseph juga ingin
menggenjot pasar ekspor yang dirintisnya sejak 2000. Toh, dia mengaku
tidak ngoyo dan masih akan bergerak di angka ekspor 5 persen.

Regenerasi manajemen Sosro juga terus dilakukan. Pengembangan
perusahaan tak lagi melulu diurus oleh pihak keluarga, tapi juga para
profesional dari luar. ”Yang terpenting fondasi harus kuat. Kami
pertahankan filosofi Niat Baik dan aturan berbisnis yang benar.
Seperti jangan curang, tepat janji, jangan ngemplang utang, serta etos
kerja yang baik,” kata Joseph.

Pengamat kuliner Bondan Winarno, yang intens mengamati sepak terjang
bisnis Teh Sosro, mempunyai catatan untuk perusahaan ini. Mereka harus
lebih sigap mengantisipasi pasar, seperti ketika air minum dalam
kemasan Aqua muncul. Sosro, menurut Bondan, tak pernah membayangkan
air putih bisa jadi bisnis yang meledak.

Ketika Sosro merilis air minum kemasan Prim-A, ”Ya, langkah dia sudah
terlambat,” kata Bondan. ”Begitu juga saat Teh Sosro ’menganggap remeh
pemain baru’ teh celup Sariwangi,” Bondan menambahkan. Ketika
Sariwangi sudah besar, Sosro berniat membelinya, lagi-lagi sudah
terlambat, keduluan Unilever,” kata Bondan. Padahal, untuk mengejar
penjualan Sariwangi di retail modern, menurut Bondan, bukan soal mudah
bagi Sosro.

l l l

Sosrodjojo memulai usaha teh wangi merek Cap Botol pada 1940 di Slawi
dan Tegal, Jawa Tengah. Ketika itu sudah banyak pemain lawas. Sosro
lantas memindahkan kantor pusatnya ke Jakarta pada 1965. Ini langkah
berani dengan sejumlah risiko. Sosro tua harus pasrah ketika bisnisnya
di Pekalongan, Brebes, dan Tegal yang sudah kuat dicaplok para pesaing
seperti Teh Gopek dan Teh Tjatoet.

Di Jakarta, Soetjipto Sosrodjojo (anak keempat Sosrodjojo) mulai
mengenalkan teh buatan keluarga ini melalui Promosi Cicip Rasa di
pusat-pusat keramaian. Menggunakan mobil, mereka memutar lagu-lagu
guna menarik massa.

Lalu Teh Wangi Cap Botol—merek Sosro ketika itu—dibagikan cuma-cuma.
Ada pula demo menyeduh teh. Tapi, karena butuh waktu lama, banyak
penonton bubar sebelum mencicip.

Teknik kedua, menyeduh teh di kantor lalu dibawa ke tempat keramaian.
Tapi air teh dalam panci banyak tumpah karena jeleknya kondisi jalan
saat itu. Teknik ketiga, memasukkan minuman teh ke dalam botol bekas
limun atau kecap yang sudah dibersihkan. Nah, cara ini memuaskan
konsumen. ”Ini juga menjawab sindiran masyarakat kenapa menjual teh
cap botol di cangkir,” ujar Joseph.

Proses pembotolan teh pada masa itu amat sengsara. Teh direbus dan
dijual pada pagi hari. Petangnya, para salesman harus mengambil botol-
botol teh yang tak laku. Sebab, jika dijual keesokan harinya, teh itu
sudah basi. Ada juga cara teh dibotolkan dan direbus, tapi hanya awet
tujuh hari.

Baru pada 1970, setelah bertahun-tahun Program Cicip Rasa dilakukan,
keluarga Sosrodjojo meluncurkan teh siap minum merek Teh Cap Botol
Softdrink Sosrodjojo. Desain botolnya berubah pada 1972. Lalu pada
1974 desain botol kembali berubah dengan merek Teh Botol, seiring
dengan lahirnya PT Sinar Sosro: pabrik teh siap minum pertama di
Indonesia dan dunia.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131506.id.html

[1933]
Teh Bandulan

GUNA menjaga kepekaannya menghidu gambir dan bunga melati serta
mencicipi racikan daun teh, Willyanto rela tidak sarapan pagi tiap
hari. ”Agar lidah bisa netral," kata ahli waris bisnis teh merek
Bandulan asal Pekalongan, Jawa Tengah ini. Urusan bunga gambir dan
melati bukan main-main karena jadi ciri khas teh Bandulan.

Willyanto adalah cucu Thang Tjeng Kiat dan Nyonya Kho Pek Ngoo yang
meneruskan usaha yang dirintis kakek-neneknya. Kini dia satu-satunya
yang bisa mengecap bahan baku teh Bandulan. Untuk mendapatkan cita
rasa pas, ahli waris bisnis teh yang berdiri sejak 1933 ini hanya mau
menerima daun teh dari Sukabumi dan bunga melati dari Purbalingga.

Thang Tjeng Kiat meracik tehnya di gudang rumah di Gang Sugih Waras,
Pekalongan. Kini cucunya, Willy, punya pabrik seluas 1,5 hektare di
Jalan Ahmad Yani di kota yang sama. Pada masa lalu, perluasan wilayah
pemasaran teh sering dilakukan tanpa sengaja. Pada 1950-an, 10 bungkus
teh dititipkan ke saudara Thang Tjeng yang tinggal di Semarang sebagai
oleh-oleh. Hasilnya? Makin banyak pesanan muncul.

Ingin menaklukkan Jakarta dan Jawa Barat, Willy menyimpan cita-cita
lain, "Kami ingin membuat minuman berenergi seperti Extra Joss atau
Kratingdaeng yang berasa dan beraroma teh,” ujarnya kepada Tempo.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131507.id.html

[1932]
Teh Kajoe Aro

SIRENE pabrik meraung-raung pada pukul 06.30. Kesunyian pagi
perkebunan teh di lereng Gunung Kerinci itu koyak seketika. Terletak
di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi, perkebunan itu
menghampar seluas 3.014 hektare. Ratusan pemetik teh dengan caping,
jaket, sepatu bot, dan keranjang di bahu bergegas menembus kabut tebal
yang menggantung di atas perkebunan.

Perkebunan teh Kajoe Aro termasuk yang tertua di Indonesia. Dibangun
pada zaman Belanda oleh Namlodee Venotchaat Handle Vereniging
Amsterdam (NV HVA), penanaman teh di kebun ini bermula pada 1929.
Pabriknya berdiri tiga tahun kemudian.

Sejak 1996, PT Perkebunan Nusantara VI mengambil alih kebun dan pabrik
di bawah nama PT Perkebunan Kayu Aro PTP Nusantara VI.

Dari produksi 5.500 ton, 90 persen diekspor. Lipton, Sariwangi,
Vanrees, L. Elink Schuurman, Padakersa, Trijasa SDB, Suruchi adalah
beberapa konsumen teh perkebunan Kayu Aro.

Konsumen lokal Kajoe Aro di Jambi dan beberapa daerah Sumatera hanya
kebagian jatah 5 persen. Maireza Sudino, penggemarnya, mengaku, ”Sulit
menemukan teh ini di luar Jambi.”

Belakangan produk teh Kajoe Aro bisa diperoleh dalam bentuk kemasan
teh saring, teh celup, atau kemasan siap saji lain di toko-toko di
sejumlah daerah di Jambi.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131508.id.html

[1940]
Teh Gopek

MEREK ini bermakna ganda karena diambil dari dua sumber. Pertama,
pucuk daun teh yang bagus alias Golden Orange Pekoe, lalu dari nama
tengah lima pemuda keluarga Kwee, yaitu Kwee Pek Tjoe, Kwee Pek Hoey,
Kwee Pek Lioe, Kwee Pek Lo, dan Kwee Pek Yauw. Kwee Pek Tjoe, anak
tertua, mengusulkan usaha keluarga ini pada 1940. Tadinya Kwee Pek
bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan perkebunan teh di
Slawi, Jawa Tengah.

Ketika Teh Gopek diserahkan ke generasi kedua, Kwee Pek Tjoe menunjuk
anaknya Hantoro sebagai penerus bisnis. Tapi bisnis keluarga ini tak
selamanya mulus. Ada anggota keluarga menggunakan modal bukan untuk
berbisnis.

Walhasil, pada masa generasi kedua (1940-1998) Gopek sangat tertinggal
dibanding pesaingnya, seperti Sosro dan Dua Tang. Teh Gopek baru
bangkit pada 1998, setelah Hantoro lengser dan menunjuk putra
tunggalnya, Soediono, sebagai ahli waris bisnis keluarga itu.

Di tangan Soediono, nilai penjualan teh ini terus menggelembung.
Sebelumnya pertumbuhan penjualan Teh Gopek hanya berkisar 2 persen, di
zaman Soediono bisa mencapai 20 persen.

Keberhasilan ini tak lepas dari perjuangan Soediono menghadapi pesaing
tangguh. Dari trik yang halus hingga paling kasar: para pesaing
memborong teh—termasuk Teh Gopek—dan menghancurkan hadiah gelas yang
mereka siapkan untuk pedagang.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131509.id.html

[1942]
Teh Tjatoet

BICARA tentang Teh Tjatoet atau Teh Dua Tang tidak bisa lepas dari
cerita keluarnya Kwee Pek Hoey dari kongsi keluarga yang mendirikan
Teh Gopek. Hoey, saat itu 30 tahun, memulai bisnisnya pada 1942 dengan
meracik, mengemas, hingga memasarkan sendiri teh buatannya. Dia
bersepeda keliling kampung di Desa Banjaran, Adiwerna, Tegal, Jawa
Tengah.

Kini perusahaannya dijalankan oleh pewaris generasi ketiga. Pada 1980
mereka mendirikan pabrik di Cimanggis, Jakarta. Mengekor kesuksesan
Sosro, pada 1989 Dua Tang merilis produk teh dalam botol, disusul teh
celup pada 1992.

Hingga kini Dua Tang sudah merilis sedikitnya 20 kemasan teh dengan
berbagai label: teh celup aroma vanila, Tjatoet, 2 Tang Classic, Teh
Melati Premium, Frutang Orange, Zestea, Teh Hijau Alami, Teh Vanila,
Black Tea, dan Teh Istimewa Kwalitet Premium.

Untuk meningkatkan penjualan, sejak tiga tahun lalu mereka merambah
pasar Australia. Resep jitu lain: giat mensponsori acara. Jika tur
Manchester United tidak batal karena bom di Hotel JW Marriott, Teh
Tjatoet sebagai sponsor bakal kian terkenal hingga ke luar negeri.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131510.id.html

[1928]
Kecap Bango
Kemasan diremajakan, rasa dipertahankan, penetrasi pasar diperkuat.
Jurus inovatif memperpanjang umur.

BANGO itu terbang tinggi. Dari jago lokal, dia menjadi bintang di
tingkat nasional. Bermula dari pojok kampung di daerah Benteng,
Tangerang, pada 1928, kini sang Bango mudah dijumpai di toko kelontong
di hampir seluruh penjuru Indonesia.

Delapan puluh satu tahun silam, suami-istri Tjoa Pit Boen (Yunus
Kartadinata) dan Tjoa Eng Nio mengawali cikal bakal Kecap Bango di
rumah mereka di Benteng. Sayang, jejak awal sudah amat samar. Napak
tilas Tempo di kawasan Benteng tak menemukan sarang pertama sang
Bango. ”Saya tak pernah tahu ada pabrik Kecap Bango di sini,” kata
Jaya Kurnia, 55 tahun, warga Kelurahan Suka Asih, Kecamatan Tangerang.

Benar, ada sebuah rumah tua dengan arsitektur bangunan Cina yang
dikenal sebagai bekas pabrik kecap di kawasan itu. Namun, ”Bukan
Bango, itu pabrik kecap Kepala Kerbau,” kata seorang penduduk.
Perjalanan Tempo menelusuri jejak Bango di daerah pecinan, Benteng,
juga nihil.

Ketika usaha Yunus Kartadinata berkembang, Bango tak lagi cukup hanya
bersarang di rumah. Pabrik pertama Kecap Bango diketahui berada di
Jalan Asem Lama (sekarang Jalan Wahid Hasyim), Tanah Abang, Jakarta
Pusat, persis di belakang gedung Badan Pengawas Pemilu. Namun kawasan
itu sudah berubah menjadi deretan rumah perkantoran. ”Memang, dulu ada
pabrik kecap di sini,” kata Hadi, 70 tahun, penduduk Asem Lama, tiga
pekan lalu.

Dede, 57 tahun, penduduk setempat, juga membenarkan ada pabrik Kecap
Bango di kawasan Tenabang. Lokasinya tak jauh dari Pasar Tanah Abang
sekarang. ”Dulu saya tinggal di sebelah pabrik itu,” kata Dede. Dulu
dia sering main di seputar pabrik. ”Ada ruang bawah tanah di dalamnya.
Tapi enggak tahu buat apa,” ujarnya mengenang.

l l l

KERJA keras Yunus Kartadinata tak sia-sia. Kecap Bango tumbuh dan
populer di Jawa Barat dan Jakarta. Usahanya berkembang menjadi
perseroan terbatas, PT Anugrah Indah Pelangi dan PT Anugrah Damai
Pratama. Manajemen dikelola anaknya yang keempat, Eppy Kartadinata,
pada 1982. Pabriknya kini menempati area seluas delapan hektare di
Desa Wantilan, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Pada akhir 2000, keluarga Kartadinata menerima pinangan Unilever.
Produsen kebutuhan rumah tangga asal Inggris ini mengakuisisi merek
Bango. Brand Manager Bango, Memoria Dwi Prasita, kepada Tempo pekan
lalu mengatakan kualitas produk Kecap Bango sangat bagus. Potensi
pasar lokal pun sangat besar. ”Itulah alasan Unilever
mengakuisisinya.”

Sayang, tak ada penjelasan mengapa keluarga Kartadinata menjual Bango.
Tempo berusaha mendatangi rumah keluarga ini di Jalan Wahid Hasyim,
sekitar 500 meter dari pabrik lama Kecap Bango di Asem Lama. Halaman
rumah berpagar hitam tinggi ini dipenuhi tanaman perdu yang kering dan
tak terawat. Di depan pintu tampak pengumuman: ”Disewakan”. Menurut
penduduk sekitar, terakhir rumah ditempati cucu Yunus Kartadinata,
yakni Serli Kartadinata. ”Rumah itu jarang ditempati lagi sejak Bango
dijual,” ujar Edi, petugas satpam di kantor sebelah rumah.

Unilever dan keluarga Kartadinata membentuk perusahaan patungan
bernama PT Anugrah Lever. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan
kecap, sambal, dan saus bermerek Bango. Unilever menguasai 65 persen
saham, sisanya 35 persen dimiliki Anugrah Indah Pelangi dan Anugrah
Damai Pratama. Pada 2007, Unilever mengakuisisi sisa saham Bango milik
keluarga Kartadinata.

Langkah awal setelah akuisisi, Unilever mengubah tampilan merek, logo,
dan kemasan Bango. Dulu mereknya ”Kecap Bango”. Pada 1 Februari 2008,
mereknya resmi menjadi ”Bango”. Kemasannya beraroma lebih muda dengan
warna-warna segar. Unilever meremajakan Bango, mirip dengan jurus yang
digunakan untuk meremajakan kembali Rinso—produk sabun Unilever—yang
lifetime mereknya sempat menurun.

Kemasan boleh berubah, pemilik memang berganti, tapi ada satu yang
tetap dijaga: rasa. Unilever, kata Memoria, sadar betul kekuatan Bango
adalah merek dan kualitas produk. Resep pembuatan Bango tetap
dipertahankan sesuai dengan formula asli. ”Bango adalah kecap yang
benar-benar kecap,” kata Memoria, mengutip tagline Bango.

Umur panjang Bango juga ditunjang oleh distribusi dan penetrasi pasar
yang kuat. Unilever agresif memasarkan kecap ini. Dulu Bango hanya
jago di Jawa Barat dan Jakarta. Dengan jurus pemasaran yang agresif,
kata Memoria, sekarang Bango sudah ada di semua kota di Indonesia.

Bango juga diekspor ke negara di Asia Tenggara dan Arab Saudi.
Kekuatan distribusi Unilever di dalam dan luar negeri menjadi kunci
kuatnya penetrasi Bango. Meski ekspor bagus, kata dia, ”Bango masih
memprioritaskan permintaan dalam negeri yang tinggi.”

Manajer Pemasaran Spread & Savoury Unilever, Adeline Ausy S. Suwandi,
menambahkan kekuatan Bango semakin optimal karena ditunjang oleh
promosi inovatif dan agresif. Nah, jangan heran bila Unilever gencar
mengiklankan Bango di televisi, koran, majalah, juga media luar ruang.
Di salah satu televisi swasta, misalnya, Bango mengambil slot program
acara kuliner Cita Rasa Nusantara.

Unilever juga gencar mengerek popularitas Bango lewat Festival Jajanan
Bango—embrionya Gerobak Sate Bango pada 2004. Festival ini rutin
digelar di beberapa kota di Indonesia. Kata Adeline, ini jurus
menerapkan misi sosial Bango melestarikan warisan kuliner Nusantara.
”Dari kalangan ibu rumah tangga sampai pedagang kaki lima,” ujarnya.

Di mata konsumen, Kecap Bango punya kelebihan dan kekurangan. Menurut
Sartika Dewi, ibu rumah tangga di Perumahan Ciomas Permai, Bogor,
Kecap Bango lebih cocok untuk penyedap masakan, karena lebih kental
dibanding kecap lainnya. ”Bango kurang pas untuk kecap meja,” katanya.
Pendapat ini disetujui Heni Hariyanto, ibu rumah tangga di Cilangkap.
”Kepekatan Bango lebih cocok untuk masakan seperti semur, nasi goreng,
dan mi goreng.”

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131511.id.html

Merek Djadoel dan Kerawanan Generasi Ketiga

Bondan Winarno *)
*) Pengamat manajemen, tinggal di pinggiran Bogor

MASIH beredarnya merek-merek djadoel (djaman dahoeloe) di pasar
menunjukkan bahwa sebetulnya dari dulu produk kuliner Indonesia selalu
jaya. Kecap Bango, Kecap Benteng SH, Kecap Sawi, misalnya, sudah
berusia lebih dari 80 tahun. Biskuit Olympic dan Kopi Aroma dari
Bandung bahkan sudah populer van voor de oorlog atawa sebelum Perang
Dunia II.

Deretan merek antik lainnya juga hebring. Teh Cap Botol dari Slawi,
anggur kolesom Cap Orang Tua dari Semarang, ting-ting jahe Cap
Kelenteng dari Salatiga, wingko babat Cap Lokomotif dari Semarang,
Roti Bagelen dari Kutoarjo, Bakpia 25 dari Yogyakarta, sirup Sarang
Sari dari Jakarta dan Tjampolay dari Cirebon, semuanya sudah berusia
lebih dari setengah abad dan masih berjaya hingga kini.

Masih banyak lagi contoh yang lain yang pada satu saat nanti mungkin
akan memenuhi syarat Jim Collins sebagai lembaga usaha yang built to
last.

Di Sukoharjo, Jawa Tengah, Tan Pia Sioe membuat bihun atau mihun dari
bahan tepung jagung sejak akhir dekade 1930. Pada 1959 ia mulai
mengenal konsep branded product, dan memberi merek Cangak Ular untuk
bihun jagungnya yang laris-manis. Seperti kita ketahui, bihun biasanya
dibuat dari tepung beras—dalam bahasa Inggris disebut rice vermicelli.

Tan Pia Sioe punya lima anak—empat perempuan, dan seorang laki-laki
bernama Priyo Hadi Sutanto. Sebagai generasi kedua, Priyo jungkir-
balik bekerja keras membesarkan Cangak Ular sehingga pasarnya menembus
ke luar Jawa Tengah. Sekarang, dalam wadah baru PT Tiga Pilar
Sejahtera yang dikomandani Joko Mogoginta—salah seorang cucu Tan Pia
Sioe, generasi ketiga—urusannya bukan lagi sekadar bihun jagung cap
Cangak Ular.

Perusahaan ini telah mengakuisisi pabrik mi cap Ayam Dua Telor yang
punya nama besar. Hengky Kustanto, anak Priyo, juga menjadi direktur
TPS yang menangani bisnis tenaga listrik. Lho? TPS kini memang bukan
sekadar pabrik mi dan bihun, melainkan perusahaan terbuka yang
terdiversifikasi merambah bisnis makanan (mi, bihun, biskuit, permen,
dan lain-lain), tenaga listrik, agrobisnis (perkebunan kelapa sawit
dan singkong) serta pabrik mocaf alias modified cassava flour.

Kasus TPS ini hanyalah a case in point untuk menunjukkan tidak
sahihnya ”kepercayaan” yang selama ini dianut oleh kalangan pebisnis
keturunan Tionghoa. Bunyi ”kepercayaan” itu bak mimpi buruk bagi
mereka: generasi pertama merintis dan membangun dalam kemiskinan,
generasi kedua gigih mengembangkan kejayaan, dan generasi ketiga
ongkang-ongkang kaki menghabiskan kekayaan keluarga.

Gugon-tuhon semacam ini agaknya memang dipercaya oleh banyak pengusaha
keturunan Tionghoa di Indonesia. Salah satu bukti yang diacu mereka
adalah Oey Tiong Ham, si Raja Gula legendaris dari Semarang, yang
bahkan sudah ludes hartanya di tangan generasi kedua.

Di Surabaya, seorang Liem Swie Ling—anak Liem Seeng Tee yang merintis
rokok kretek beraroma cengkeh yang jaya hingga kini, Dji Sam Soe—juga
memiliki kerisauan yang sama. Karena Swie Ling—kemudian bersalin nama
menjadi Aga Sampoerna—sudah merupakan generasi kedua, ia menyadari
perlunya membuat keputusan penting agar ketiga anaknya yang menjadi
generasi ketiga tidak akan menjadi ”penghancur” usaha yang
dibesarkannya.

Menurut cerita yang saya dengar dari Kwik Kian Gie, pada pertengahan
dasawarsa 1980, Aga melakukan valuasi terhadap usahanya. Katakanlah
harga PT HM Sampoerna pada waktu itu senilai Rp 100 miliar.

Lalu, dipanggillah ketiga putranya yang sudah bermukim di Amerika
Serikat. Putra pertama diberi uang sejumlah Rp 100 miliar (nilai
teoretis!) dan dipersilakan merintis usaha sendiri. Putra kedua
mendapat ”warisan” yang sama. Putra bungsu, Putera Sampoerna, tidak
diberi uang, melainkan diwarisi perusahaan PT HM Sampoerna dan diminta
meneruskan pengembangan bisnis. Dua putra pertama tidak boleh campur
tangan dalam bisnis PT H.M. Sampoerna. Kalau saya tidak salah dengar,
yang seorang mendirikan pabrik cat di AS sana. Yang kedua berusaha di
bidang peranti lunak komputer. Aga kemudian pensiun, dan lebih banyak
bermukim di Singapura.

Aga Sampoerna sudah lama meninggal. Apakah karena keputusannya yang
manjur, atau karena penyebab lain, kenyataannya PT HM Sampoerna memang
semakin berkibar di tangan Putera Sampoerna. Putera bahkan mengejutkan
dunia ketika ia menjual perusahaannya dengan harga bagus ke Philip
Morris, dan sekarang merintis bisnis baru di luar industri rokok.

Masih ada contoh baik lain di industri rokok kretek. Pabrik Rokok
Djarum (aslinya Djarum Gramofon) dari Kudus bahkan sudah mengubah ways
of working-nya menjadi profesional sejak generasi kedua. Didirikan
pada 1951 oleh Oei Wie Gwan, perusahaan ini sebetulnya nyaris bangkrut
ketika pabriknya dilahap api pada 1963.

Tetapi, seperti Phoenix yang bangkit menjelma kembali dari abu, Djarum
berhasil keluar dari trauma itu. Di tangan dua anak Wie Gwan—Robert
Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono— perusahaan ini sudah
mengembangkan diri dengan melibatkan para profesional. Kini, dengan
BCA dan Grand Indonesia di tangan, Djarum Group berkibar sebagai salah
satu konglomerat solid terbesar di Indonesia.

”Profesionalisasi” di generasi kedua juga kita lihat di keluarga
Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Sedangkan William Soeryadjaya dan
Ciputra bahkan sudah langsung melibatkan profesional di generasi
pertama.

Lalu bagaimana cara Djarum mempersiapkan generasi ketiganya? Saya
mengamati dari jauh bagaimana Robert Budi Hartono mendidik dan
memberlakukan putranya—Armand Hartono—dan saya merasa yakin bahwa
Djarum Group akan berhasil menembus generasi ketiga dan seterusnya.

Kesimpulan ini mungkin terdengar terlalu simplistis bagi Anda. Tetapi
begitulah kenyataannya. Cara asih-asah-asuh anak ternyata memegang
peran utama dalam kelangsungan hidup perusahaan keluarga. Dalam
kepercayaan Tionghoa, ada pepatah yang mengatakan: xing bo chau no,
xing khia pu thao. Kurang-lebihnya bermakna: terlalu sayang istri
dapat mengakibatkan kekacauan, terlalu sayang anak dapat membuat
mereka murtad.

Pepatah ini disampaikan kepada saya oleh Soegiharto Sosrodjojo
(terlahir Souw Hway Gie), perintis teh wangi Cap Botol yang kini
merajai pasar minuman teh dalam botol. Seperti Djarum, pabrik teh
wangi Cap Botol juga pernah ludes dimakan api. Tetapi Soegiharto
bangkit kembali. Tidak seperti pabrik teh wangi lain yang ”berkutat”
di sekitar Tegal, Soegiharto merebut pasar Jakarta. Dengan
keberhasilan menguasai Jakarta, pasar nasional hanyalah sebuah
keniscayaan. Kemudian, dengan kedua adiknya—Soetjipto dan Surjanto—ia
mengembangkan minuman teh yang dikemas dalam botol, dan kini Teh Botol
Sosro adalah juara Indonesia.

Inovasi yang sempat ”bikin malu” ini dikenang Soegiharto. ”Awalnya
karena saya sering malu disindir orang ketika melakukan propaganda
cicip rasa ke konsumen. Saya dengar orang-orang bilang: namanya Teh
Botol kok disajikan dalam cangkir?” begitu kata Soegiharto mengenang.
”Dulu saya juga diketawain orang. Ngapain jual minuman teh dalam
botol? Di warung-warung nasi kan teh disediakan gratis?”

Pada ulang tahunnya yang ke-75, Soegiharto memanggil kelima anaknya.
Hari itu ia mengundurkan diri secara total dari kepengurusan dan
kepemilikan. Ia bahkan tidak lagi menjadi komisaris. Seluruh
kepemilikannya dibagi rata kepada lima anaknya. Hanya tiga anaknya—
Peter, Joseph, dan Sukowati Sosrodjojo—yang duduk di puncak manajemen.
Cucu-cucunya—generasi ketiga—masih terlalu muda untuk dilibatkan.

Obligasi Sosro yang sukses pada 2001 membuat mereka tampaknya mulai
berpikir-pikir untuk menawarkan saham perdana. Apalagi karena
perusahaan sudah terdiversifikasi ke industri perhotelan (Mercure
Rekso di Jakarta dan proyek hotel berbintang enam di Pecatu, Bali),
perkebunan teh, dan baru-baru ini memenangi waralaba McDonald’s di
Indonesia. Kini semua unit bisnis strategis itu tergabung dalam Rekso
Group.

Ya, sangat boleh jadi, langkah IPO (initial public offering) yang akan
membawa Rekso Group mampu menembus usia 100 tahun. Bahkan lebih!

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131516.id.html

[1931]
Permen Davos

SOEYATI Soekirman tak pernah luput membawa Davos. Nenek 68 tahun warga
Banyumas ini sudah puluhan tahun menggemari permen itu. ”Orang-orang
tua memang konsumen loyal kami,” kata Nicodemus Hardi, Managing
Director Operasional PT Slamet Langgeng, produsen permen Davos.

Permen ini dirintis oleh Siem Kie Djian pada 28 Desember 1931. Lokasi
pabriknya tetap sama hingga kini: Jalan Ahmad Yani 67, Kelurahan
Kandang Gampang, Purbalingga, Jawa Tengah. Perusahaan dilanjutkan
anaknya, Siem Tjong An. Enam tahun berikutnya, bisnis diteruskan lagi
ke anak dan menantu Tjong An: Toni Siswanto Hardi dan Corrie
Simadibrata. Kini perusahaan tersebut dipimpin oleh Budi Handojo
Hardi, generasi ketiga pendiri bisnis ini.

Pada masa penjajahan Jepang, perusahaan sempat tersungkur dan baru
bangkit lagi sesudah 1945. Perusahaan berganti nama menjadi PT Slamet
Langgeng & Co., yang memproduksi permen mint merek Davos, Kresna,
Alpina, dan Davos Lux. Ada pula produk non-permen: limun dan biskuit
bermerek Slamet. Karena kesulitan bahan baku, produksi biskuit
berhenti pada 1973.

Nama Slamet Langgeng diambil dari nama gunung terbesar di Jawa yang
terletak di Purbalingga: Gunung Slamet. Sedangkan Davos terinspirasi
dari nama kota berhawa sejuk di Swiss, yang dianggap cocok
menggambarkan dinginnya permen mint ini.

Hingga kini bentuk dan kemasan Davos tak berubah: satu bungkus berisi
10 butir berdiameter 22 milimeter. ”Pernah kami mengubah ukuran jadi
lebih kecil, konsumen langsung protes,” kata Nico. Bahan yang
digunakan, 98 persen gula dan sisanya mentol dan zat pengikat. Kini
Davos dibanderol Rp 1.000 sedangkan Davos Lux Rp 500.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131520.id.html

Bukan Asli Indonesia

[1936]
Blue Band

BLUE Band pertama kali diproduksi di Batavia pada 1936. Blue Band juga
menjadi produk makanan pertama yang dihasilkan Van den Bergh NV, milik
Unilever, gabungan perusahaan margarin asal Belanda, Margarine Unie,
dan pabrik sabun Lever Brothers asal Inggris. ”Sejak pertama kali
diluncurkan, Blue Band sudah menjadi merek kuat yang memimpin pasar
dengan kompetitor utama mentega dan margarin impor, seperti Palmboom,”
kata Agus Nugraha, Brand Manager Blue Band PT Unilever Indonesia.

Aslinya, Blue Band pertama kali dibuat di Belanda untuk diekspor ke
Inggris pada awal abad ke-20. Pada 1920, produk ini kemudian
dipasarkan di negara asalnya dan langsung menjadi produk utama
Belanda. Blue Band saat itu juga mulai masuk ke Indonesia melalui
perusahaan Van den Bergh, Jurgen and Brothers.

Sebagai salah satu merek tertua di Unilever, Blue Band sempat pula
mengalami masa sulit di era 1957-1967, ketika terjadi ketidakstabilan
politik dan ekonomi di Indonesia. Kondisi serupa terulang pada
1997-1998 saat krisis ekonomi menimpa Indonesia. ”Daya beli masyarakat
menurun, berdampak pada penjualan Blue Band,” Agus menjelaskan. Nah,
ketika krisis global kembali menerjang pada 2008, Blue Band mencoba
menyiasatinya dengan memperkenalkan kemasan sekali pakai 17 gram yang
dibanderol Rp 700 agar terjangkau semua lapisan masyarakat.

Strategi lainnya yang sudah diterapkan Blue Band sejak 1978 adalah
lewat kampanye di media massa yang mengedepankan kesehatan dan gizi.
Kampanye pertama di televisi pada 1978, misalnya, berbunyi, ”Buatlah
hari mereka menyehatkan.” Nah, untuk tahun ini, Blue Band meluncurkan
kampanye ”Bekal tumbuh besar Blue Band” yang berisi ajakan kepada para
ibu untuk menyediakan bekal makanan bagi anak ketimbang uang jajan.

[1931]
Bata

BERJAM-JAM sepatu berbahan kanvas itu mengendap di ember penuh air.
Basah kuyup, tapi tetap baik kondisinya. Wilfried Tampubolon, pemilik
sepatu itu, cuma bisa memandanginya dengan kecewa. Pupus harapannya
untuk mendapat sepatu baru. ”Dua tahun sepatu saya tidak diganti,
makanya sepatu itu sengaja saya rendam,” kata Wilfried tertawa
mengenang kenakalannya semasa kanak-kanak.

Ibunya hanya mau membelikan sepatu baru kalau sepatu lama sudah rusak.
Nyatanya sepatu Bata miliknya awet dipakai bertahun-tahun. ”Keunggulan
inilah yang membuat Bata bertahan sampai sekarang,” kata Wilfried,
kini Operation Manager PT Sepatu Bata Tbk., kepada Tempo di kantornya.

Bata bisa dibilang sebagai merek sepatu paling populer di Indonesia.
Begitu kuatnya merek itu melekat di benak orang, ada yang
menganggapnya asli Indonesia. Apalagi pabrik pertama sepatu ini
berlokasi di Kalibata, Jakarta Selatan. Banyak yang mengira-ngira,
nama Bata diambil dari nama kawasan itu. Padahal itu nama pendirinya,
Tomas Bata, pengusaha asal Cekoslovakia. Nama Kalibata sendiri punya
sejarah lain. Konon nama itu muncul karena sungai di kawasan itu kerap
dilalui rakit pembawa batu bata dari Bogor menuju Jakarta.

Sebetulnya sepatu Bata sudah wira-wiri di Tanah Air sejak 1931 lewat
jalur impor, didatangkan dari Singapura (dulu Malaya). Pengimpornya
perusahaan penyalur sepatu NV Nederlandsch-Indische di kawasan
pergudangan Tanjung Priok. Enam tahun kemudian, Tomas Bata, sang
pemilik, membangun pabrik raksasa di tengah-tengah perkebunan karet di
Kalibata. ”Banyak warga sini yang turun-temurun bekerja di Bata,” kata
Ikhsan, warga Rawajati, perkampungan tak jauh dari pabrik sepatu.

Dari sinilah bisnis sepatu Bata menggurita ke seluruh pelosok Tanah
Air. ”Waktu itu sepatu kulit dan karet jadi andalan,” kata Wilfried.
Hampir 90 persen bahan baku dipasok dari dalam negeri. Bata menikmati
masa jaya hingga era 1980. Hampir semua orang yang besar di era itu
pernah menjajal sepatu ini. Pada 24 Maret 1984, perusahaan associate
dari Bata Shoe Organization yang berpusat di Lusanne, Swiss, itu
tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai PT Sepatu Bata Tbk.

Di tengah kepungan berbagai merek sepatu yang membanjiri Tanah Air,
Bata yang kini dipegang oleh generasi ketiga, Thomas G. Bata, berusaha
bertahan dengan mengedepankan kualitas yang sudah digaungkan secara
turun-temurun dan harga terjangkau. Dua strategi ini membuat
perusahaan modal asing itu tak jatuh diguncang badai krisis ekonomi
yang menghajar Indonesia pada 1997-1998.

Pada 2008 mereka memindahkan pabrik dan pusat distribusi dari Kalibata
ke Purwakarta.

Inovasi terus dikembangkan, antara lain dengan mengeluarkan merek
alternatif seperti North Star, Power, Bubblegummers, dan Marie-Claire.
Distribusi pemasaran terus digenjot, dari mal besar sampai toko-toko
Bata di pinggir jalan. Hasilnya cukup memuaskan. Pada 2008, perusahaan
yang menyasar keluarga kelas menengah itu mampu membukukan hasil
penjualan bersih Rp 539,8 miliar atau meningkat 9,3 persen dari tahun
sebelumnya.

[1927]
Coca-Cola

COCA-COLA masuk ke Indonesia pada 1927. Minuman berwarna cokelat
bersoda itu dibawa orang Belanda yang bermukim di Batavia. Aslinya,
minuman ini diciptakan John Styth Pemberton, ahli farmasi dari
Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, pada 8 Mei 1886. Dia mencampur
sirop karamel dengan air berkarbonasi.

Minuman itu terdaftar sebagai merek dagang pada 1887, dengan nama Coca-
Cola. Logonya tulisan ”Coca-Cola” berwarna merah dengan huruf-huruf
miring mengalir. Pada 1892, Pemberton menjual hak cipta Coca-Cola ke
Asa G. Chandler yang kemudian mendirikan perusahaan Coca-Cola.

Di Indonesia, perusahaan pembotolan Coca-Cola pertama berdiri pada
1932 di kawasan Pasar Baru, Jakarta, milik orang Belanda. ”Sekarang
jejaknya sudah hilang sama sekali,” kata Arif Mujahidin, Media
Relations Manager Coca-Cola Indonesia.

Dari Pasar Baru, pabrik Coca-Cola pindah ke kawasan Cempaka Putih.
Kali ini dipegang perusahaan pembotolan lokal, Djaja Beverages
Bottling Company. Tapi Djaya tidak bermain sendiri. Ada tiga
perusahaan lain yang kecipratan legitnya bisnis minuman ringan itu di
Indonesia: Tirtalina Bottling, Pan Java, dan Bangun Wenang Beverages.

”Masing-masing menguasai wilayah berbeda,” kata Arif. Djaya untuk
pasar Jakarta, Tirtalina di Jawa Barat dan Sumatera, Bangun Wenang di
Manado, dan Pan Java memfokuskan bisnisnya di Jawa Tengah. Dari tiga
perusahaan itu, hanya Bangun Wenang yang masih bertahan. Tiga
perusahaan lain diambil alih Coca-Cola Bottling Indonesia pada 1996.
Pabrik di Cempaka Putih lantas dipindahkan ke Cibitung.

Penjualan Coca-Cola di Indonesia sempat vakum saat penjajahan Jepang
dan ketika kampanye ganyang imperialis memanas di Indonesia pada
1964-1965. Tapi setelah itu penjualan kembali lancar. Bahkan kemudian
masuk dua ”saudaranya”, Fanta (1973) dan Sprite (1975).

Coca-Cola memelopori penjualan dengan kotak pendingin. Hingga kini
mereka terus menambah jumlah lemari pendingin. Sekarang tak kurang
dari sepuluh pabrik pembotolan di Indonesia memproduksi Coca-Cola.

Meski brand Coca-Cola sudah begitu akrab dengan masyarakat Indonesia,
angka penjualan minuman ini masih rendah, cuma 15 botol per kapita per
tahun. Kalah oleh penjualan di Palestina, misalnya, yang mencapai 40
botol per kapita per tahun. Padahal, di jajaran minuman karbonasi,
Coca-Cola nyaris tanpa pesaing. Pepsi Cola, misalnya, hanya mampu
menembus pasar terbatas.

Sampai sekarang Coca-Cola masih dianggap sebagai minuman mewah yang
disajikan di saat pesta atau hari raya. ”Itulah dilema sebuah merek
global, padahal kami ingin memposisikan Coca-Cola sebagai minuman
sehari-hari,” tutur Arif. Biarpun begitu, pihaknya tetap optimistis
angka itu perlahan terus terdongkrak lewat strategi bisnis yang jitu:
gampang didapat, tampilan menarik, dan harga terjangkau.

[1933]
Lifebuoy dan Lux

AULA pendapa Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu pagi, Awal
Agustus lalu, sesak oleh ratusan anak-anak. Mereka datang dari
berbagai sekolah dasar di pelosok kabupaten untuk mendeklarasikan
petisi ”Keluarga Sehat untuk Indonesia Sehat”. Ini kegiatan yang
digalang produsen sabun Lifebuoy untuk membudayakan pola hidup bersih
dan sehat. Salah satunya dengan membiasakan mencuci tangan dengan
sabun. Kegiatannya tak melulu ceramah, tapi dikemas dalam aneka
suguhan kesenian.

Membuat kegiatan yang melibatkan konsumen, merupakan strategi produsen
Lifebuoy untuk menjaga brand appeal. Di samping iklan, tentu saja.
Maklum Lifebuoy tak ingin ditinggal penggemarnya. ”Kami juga
menghadirkan varian sesuai dengan kebutuhan konsumen,” ujar Erwin
Cahaya Adi, Senior Brand Manager Lifebuoy.

Langkah Lifebuoy bukan tanpa hasil. Yongky Suryo Susilo, Direktur
Retail Service AC Nielsen, mengatakan Lifebuoy berhasil menciptakan
tren baru bahwa menjadi kotor itu baik untuk anak-anak. ”Market share
sabun keluaran Unilever ini meningkat tajam sejak Lifebuoy mengubah
brand health and medicated soap-nya menjadi family soap,” kata Yongky.

Dari segi pengalaman, Lifebuoy memang cukup kenyang asam garam. Produk
asal Inggris ini mulai dibuat di Indonesia pada 1933 oleh pabrik
Lever’s Zeepfabrieken NV—milik Unilever—di Bacherachsgracht, yang kini
dikenal dengan Jalan Tubagus Angke. Selain Lifebuoy, pabrik itu
menghasilkan sabun Lux. Sementara Lifebuoy memposisikan diri sebagai
sabun kesehatan, Lux menyasar kaum hawa yang peduli kecantikan.

Promosi dan iklan gencar jadi jurus jitu yang membuat dua produk ini
bertahan sampai sekarang. Lux, misalnya, menggaet sejumlah artis
ternama sebagai bintang iklan. Awalnya, dipenuhi artis Hollywood,
seperti Michelle Pfeiffer. Belakangan Lux cukup percaya diri
menggunakan artis dalam negeri. Sederet artis ngetop Tanah Air pernah
jadi ikon sabun kecantikan ini. Sebut saja Ida Iasha, Dian Sastro, dan
Luna Maya. ”Bintang lokal lebih dekat dengan konsumen, sehingga
memberikan inspirasi yang jauh lebih realistis,” kata Aurellio Y.F.
Kaunang, Public Relations Unilever Indonesia.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131526.id.html

Apa yang Dibeli Masyarakat Indonesia

METODE SURVEI
Jumlah responden: 2.800 rumah tangga di 5 kota besar
(Jabodetabek,Semarang, Surabaya, Medan), 1.600 rumah tangga di
pedesaan Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur)
Teknik pemilihan responden: Stratified disproportionated random
sampling
Pengumpulan data: Audit catatan harian (diary)
Periode penelitian: Tahun 2006—Agustus 2009
Pelaksana: Divisi Consumer Panel Service The Nielsen Company

Lima Kota Besar
(Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Medan)
Jumlah Rumah Tangga Pembeli/ Penetrasi (%)
Mi instan 88,6
Sabun 84,8
Deterge 84,4
Minyak goreng 82,5
Pasta gigi 77,1
Sampo 76,9
Kopi 75,8
Bumbu penyedap 68,3
Biskuit 62,7
Teh seduh 61,1

Frekuensi Belanja per Bulan
*Rata-rata Jumlah Belanja per Kunjungan

Kopi
99 gram*

Mi instan
4 unit*

Teh seduh
46 gram*

Bumbu penyedap
37 gram*

Biskuit
121 gram*

Sabun
171 gram*

Pasta gigi
142 gram*

Minyak goreng
973 mililiter*

Sampo
58 gram*

Detergen
338 gram*

Alokasi Anggaran Belanja Bulanan per Kategori
Perawatan rumah tangga 13%
Makanan 51%
Perawatan pribadi 19%
Minuman 18%

Di Pedesaan Jawa
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur)
Jumlah Rumah Tangga Pembeli/ Penetrasi (%)
Mi instan 95,6
Minyak goreng 94,6
Sabun 90,1
Detergen 83,2
Bumbu penyedap 83,1
Sampo 80,4
Pasta gigi 70,6
Kopi 66,8
Biskuit 65,4
Teh seduh 49,2

Frekuensi Belanja per Bulan
*Rata-rata Jumlah Belanja per Kunjungan

Kopi
86 gram*

Mi instan
3 unit*

Teh seduh
39 gram*

Bumbu penyedap
36 gram*

Biskuit
93 gram*

Sabun
118 gram*

Pasta gigi
98 gram*

Minyak goreng
683 mililiter*

Sampo
27 gram*

Detergen
235 gram*

Alokasi Anggaran Belanja Bulanan per Kategori
Perawatan rumah tangga 14%
Makanan 54%
Perawatan pribadi 19%
Minuman 13%

KETERANGAN KATEGORI

MAKANAN
Biskuit, Bumbu penyedap, Penyedap rasa cair, Tepung bumbu, Kecap, Saus
sambal, Saus tomat, Minyak goreng, Margarin, Mi instan, Selai roti,
Sereal sarapan, Kornet, Sosis-bakso, Keju, Nuget, Makanan bayi

MINUMAN
Kopi, Teh seduh, Teh siap minum, Minuman stamina, Minuman berenergi,
Es krim, Air mineral, Galon mineral, Susu bubuk, Selai roti, Susu
cair, Susu kental manis, Yoghurt

PERAWATAN PRIBADI
Popok bayi, Deodoran, Pembalut wanita, Sampo, Pelembut rambut, Gel
rambut, Tonik rambut, Pewarna rambut, Perawatan kulit, Sabun, Sikat
gigi, Pasta gigi,Bedak

PERAWATAN RUMAH TANGGA
Detergen bubuk, Detergen nonbubuk, Pelembut cucian, Pewangi, Pembersih
lantai, Tisu, Tisu khusus wajah, Sabun pencuci piring, Pembasmi
serangga

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/LK/mbm.20090928.LK131527.id.html
Share this article :

0 komentar: