BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien

Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien

Written By gusdurian on Rabu, 15 Juli 2009 | 12.03

Senjakala Politik Aliran dan Patron Klien

Kemenangan telak satu putaran pasangan SBYBoediono (versi quick qount)
pada Pilpres 8 Juli 2009 lalu mengejutkan banyak pihak. Terutama mereka
yang percaya pilpres akan berlangsung dua babak seiring makin sengitnya
persaingan antarcapres-cawapres di akhir masa kampanye.

Kenaikan elektabilitas JK-Wiranto waktu itu juga “mengkhawatirkan”
sejumlah pengamat di mana sebagian meyakini JK dengan gayanya yang khas
dan jargon “lebih cepat lebih baik” akan menyulitkan langkah SBY.

Sebagaimana hasil exit poll Lembaga Survei Indonesia (LSI), pasangan
SBY-Boediono menyabet dukungan mayoritas dengan 60,8%, disusul
Mega-Prabowo (26,6%) dan JK-Wiranto (12,6%). Jebloknya suara JK di
pilpres ini tak hanya menyembulkan kejutan, melainkan juga keheranan di
kalangan internal mereka.

Pasalnya sepak terjang JK yang “lincah” seperti langkahnya yang langsung
masuk ke jantung basis pesantren di sejumlah daerah diyakini akan
memberikan efek berarti dalam perolehan suara.Pesantren selama ini
dipercaya sebagai simbol politik dua organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia,yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Terlebih lagi manuver JK yang tertangkap oleh publik yang terkesan
sangat dekat dengan sejumlah tokoh Islam papan atas seperti KH Hasyim
Muzadi (Ketua Umum NU) dan Din Syamsuddin (Ketua Umum Muhammadiyah).
Semua tahu kedua ormas Islam ini memiliki massa terbesar di seluruh
Indonesia.

Jika digabung, massa NU dan Muhammadiyah mendekati 100 juta orang.Namun
fakta berbicara lain. Di basis-basis NU dan Muhammadiyah, suara
SBYBoediono ternyata tak dapat disaingi oleh JK-Wiranto. Di kalangan
pemilih NU, sebagaimana rilis LSI,SBY unggul jauh dengan 64%, sementara
JK di posisi buncit dengan 10%.Tren yang sama berlaku pada pemilih
dengan latar belakang Muhammadiyah di mana SBY meraih 58% dan JK hanya 18%.

Modernisasi Politik

Apa yang bisa dijelaskan dari fenomena ini? Pertama, patron client
relation dalam teori politik, khususnya di negara-negara berkembang,
yang selama ini dianggap masih berlaku,terbukti tak lagi relevan.
Mendekatnya tokohtokoh teras NU dan Muhammadiyah ke kubu JK tak mampu
“menarik” gerbong pemilih (umat) mereka ke capres nomor urut tiga itu.

Dalam teori patron klien,orientasi politik massa akan ditentukan oleh
tokoh-tokoh mereka. Massa cenderung akan mengikuti pilihan politik
tokoh-tokoh tersebut, termasuk dalam pilpres.Namun fakta berbicara
lain.Ada semacam silent protestyang ditunjukkan oleh umat NU dan
Muhammadiyah sehingga pilihan mereka berbeda dengan elite-elite di kedua
organ tersebut.

Kedua, tidak berlakunya lagi politik aliran seperti yang selama ini kita
percaya.Bukan hanya pada kasus NU-Muhammadiyah, melainkan juga pada
simbol-simbol politik primordial lain. Pasangan SBY-Boediono yang
“sangat Jawa”, karena keduanya kebetulan lahir di Jawa, ternyata tak
berpengaruh pada pilihan voters di luar Jawa.

Berdasarkan rilis LSI, pemilih di luar Jawa yang memilih SBY tetap
paling dominan,sekitar 61%, mengungguli “pasangan Nusantara”JKWiranto
yang hanya mendapat dukungan 17%. Kecenderungan serupa juga berlaku pada
pilihan voters berdasarkan latar belakang agama.

Gempuran negative campaign yang menimpa SBY dan Boediono selama
kampanye, yaitu istri Boediono dikatakan “bukan Islam”, terbukti tak
berdampak serius dalam memengaruhi pilihan penganut Islam. Sekitar 63%
pemilih muslim mengaku memilih SBY dan hanya 13% yang mendukung JK.

Padahal JK-Wiranto sejak awal kampanye sudah menonjolkan simbol-simbol
Islam, di antaranya dengan mengekspos kedua istri mereka yang berjilbab.
Ketiga, terjadinya modernisasi politik di Indonesia. Era keterbukaan
yang dimulai sejak 1998 (Reformasi) telah berdampak positif pada pilihan
yang rasional oleh voters.

Tak adanya tekanan politik seperti era Orde Baru membuat masyarakat
merasa “bebas” menentukan pilihannya. Bahkan pemerintah saat ini tak
lebih sebagai administrator bagi rakyat, bukan penguasa yang menakutkan
dan berjarak dengan warga negara.

Hasilnya, dalam politik setiap orang berhak menentukan pilihan dan sikap
politik masing-masing. Pada kasus NU-Muhammadiyah, perbedaan pilihan
elite dan umat tidak berarti hilangnya pengaruh ulama di mata umat.Yang
terjadi adalah, untuk urusan di luar keagamaan, termasuk politik, umat
mampu memisahkan hubungan mereka dengan ulama yang menjadi anutan.

Bahwa fatwa-fatwa ulama harus dihormati adalah benar, tetapi itu hanya
efektif untuk hal-hal yang terkait dengan kehidupan keagamaan seperti
penentuan awal puasa, Idul Fitri.Namun,dalam politik, umat merasa tak
“berdosa” jika berbeda pilihan dengan elitenya karena memang politik
tidak ada kaitannya (langsung) dengan agama.

Politik adalah urusan hablum-minan-nas. Masih dari rilis LSI, alasan
dominan pemilih dalam mencontreng capres-cawapres pilihannya adalah
karena program yang konkret (38,6%) dan prorakyat (35,6%). Sementara
pertimbangan agama dan ikatan-ikatan primordial lain hanya memengaruhi
sekitar 1,3%.

Sebuah perbandingan yang kontras. Di mata Samuel P Huntington, gejala di
atas bukanlah kejutan. Menurutnya, modernisasi politik memang akan
selalu diikuti oleh peningkatan kesadaran berpolitik masyarakat di
bidang politik.

Pelajaran bagi Elite

Hanya saja kita patut prihatin apakah perubahan (modernisasi politik) di
masyarakat diikuti pula dengan perubahan perilaku di kalangan elite.
Kecenderungan yang terjadi menunjukkan gejala sebaliknya. Pasalnya ada
kecenderungan hambatan modernisasi politik disinyalir justru berada di
level elite itu sendiri.

Banyaknya partai yang ikut berkompetisi pada pemilu legislatif lalu
menunjukkan bahwa tiap kelompok elite masih berpikir untuk dirinya dan
kelompoknya tanpa melihat realitas dan kekuatan mereka. Terbukti,
sebagian besar partai tersebut gagal mendapat dukungan rakyat sehingga
harus membubarkan diri.

Jika saja para elite sadar bahwa kehidupan berpolitik pada ujungnya
adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat, partai yang demikian banyak
tampaknya tak dibutuhkan. Pasalnya sebagian besar ideologi yang menjadi
simbol pluralitas negeri ini sudah terwakili di partai-partai besar dan
menengah yang lolos electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold
(PT).

Partai beraliran nasionalis, Islam, dan kerakyatan dengan segala
variannya sudah terakomodasi oleh partai-partai di atas. Satu hal lagi
yang membanggakan kita semua adalah kedewasaan berpolitik yang
(lagi-lagi) ditunjukkan oleh rakyat—bukannya elite.Selama masa kampanye,
tiap pendukung capres-cawapres yang ikut berkompetisi dalam pilpres
menunjukkan dukungan mereka ke tiap kontestan secara dewasa.

Tak ada kekerasan ataupun permusuhan di antara mereka. Tiap pendukung
justru kerap berjalan bersama walaupun pilihan mereka berbeda. Rakyat
memberi pelajaran kepada elite bahwa politik adalah kegiatan yang
menyenangkan. Mereka bisa berekspresi tanpa dihantui ketakutan.
Ikatan-ikatan persaudaraan dan kohesi sosial yang sudah terbangun kuat
tak mampu dikoyak oleh “kerasnya” persaingan politik.

Para elite harus melihat realitas ini sebagai preseden yang patut
diikuti. Ke depan, elite-elite lain harus melakukan transformasi politik
guna mengejar modernisasi politik yang terjadi di masyarakat bawah.
Jangan sampai rakyat sudah jauh melangkah menuju modernisasi politik,
sementara para elite terjebak dalam kubangan politik primitif akibat tak
kuasa menahan nafsu kekuasaan.

Akhirnya, Indonesia berhasil membuktikan bahwa antara Islam dan
demokrasi dapat berjalan bersama dan saling menguatkan. Sebuah
pencapaian yang luar biasa ketika sejumlah negara “Islam” atau
berpenduduk muslim masih menganggap demokrasi sebagai sesuatu yang
asing.(*)

Zaenal A Budiyono
Analis Politik
di Kantor Staf Khusus Presiden
Bidang Komunikasi Sosial


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/254930/
Share this article :

0 komentar: