BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kekalahan JK-Wiranto: Sebuah Penjelasan Awal

Kekalahan JK-Wiranto: Sebuah Penjelasan Awal

Written By gusdurian on Rabu, 15 Juli 2009 | 11.37

Kekalahan JK-Wiranto: Sebuah Penjelasan Awal
Oleh
Indra J. Piliang
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto

Hasil quick count, sebagai indicator awal hasil pilpres 2009, telah diumumkan. Sebagaimana diumumkan oleh Lembaga Survei Indonesia, pasangan SBY-Boediono mendapatkan 60.85%; Mega-Prabowo 26.56% dan JK-Wiranto 12.58%. Kalau diperhatikan, berdasarkan hasil survey LSI pada 25-30 Mei 2009, sebulan menjelang pilpres, perolehan suara SBY-Boediono 71%, Mega-Prabowo 16% dan JK-Wiranto 7%. Sebanyak 5% pemilih belum menentukan pilihannya.

Berarti, kalau dibuatkan, SBY-Boediono kehilangan suara sebanyak 10%, Mega-Prabowo naik sebesar 11% dan JK-Wiranto naik sebesar 6%. Pemilih lain tidak beranjak pilihannya kepada ketiga kandidat atau berpindah ke kandidat lain. Dengan demikian, selama pilpres berlangsung, pasangan Mega-Prabowo tampil sebagai pemenang pertama, JK-Wiranto muncul sebagai pemenang kedua, serta SBY-Boediono justru kehilangan banyak suara pemilih.

Kenapa argument “ganjil” ini diberikan? Terutama untuk menguji sejauh mana kampanye pilpres berpengaruh terhadap preferensi pemilih. Ternyata, hanya kurang dari 20% pemilih yang mengubah pilihannya sepanjang kampanye pilpres digelar, sementara 80% lebih tetap dengan pilihannya. Waktu yang terbatas dalam melakukan kampanye menunjukkan juga betapa rekam jejak sebelum kampanye digelar jauh lebih berpengaruh, ketimbang masa-masa kampanye yang gemuruh.

Sedikitnya pemilih yang mengubah pilihannya selama kampanye digelar menunjukkan sedikitnya perhatian atas isu-isu yang digelar ke hadapan public. Sebagai anggota tim kampanye, saya merasa manajemen kampanye memang masih terkesan amatiran di semua kandidat. Tim kampanye harus dipaksa mengambil keputusan tepat, di tengah waktu yang memburu. Seleksi atas kegiatan juga menjadi penting: apakah akan hadir di komunitas Tionghoa ataukah menemui kelompok-kelompok yang melakukan advokasi atas korupsi, lingkungan hidup dan hak asasi manusia?

Sedari awal, sekalipun saya usahakan untuk dilakukan, Tim Kampanye Nasional JK-Wiranto tidak menggunakan lembaga survey untuk melihat arah preferensi public atas kinerja Tim Kampanye Nasional. Ibarat mobil, tim berjalan tanpa peta yang jelas. Hal ini juga terkait dengan posisi politik Pak Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI yang masih menjabat.

Seingat saya, Pak JK hanya mengajukan cuti sebanyak 4 hari selama pilpres digelar. Kalaupun ada kunjungan ke daerah, itu lebih dalam rangka memenuhi undangan-undangan anggota-anggota organisasi social kemasyarakatan dan pemerintah, baik pusat atau daerah. Kesan yang dimunculkan media betapa Pak JK banyak menemui komunitas ulama tidak sepenuhnya salah, tetapi juga kurang tepat. Mengapa? Karena “legitimasi” kehadiran dalam kapasitas sebagai Wakil Presiden tentunya terkait dengan undangan yang diterima dari organisasi social kemasyarakatan dan pemerintah. Kalaupun kemudian hadir dalam acara-acara internal, misalnya menemui kelompok pendukung Capres-Cawapres, waktunya sangat terbatas.

“Belenggu” sebagai Wapres RI itulah yang menjadi penyebab kenapa Pak JK tampil tidak begitu “lepas” sebagai penantang. Hal itu juga berpengaruh besar dalam konsolidasi yang dilakukan di kalangan tim sukses di daerah-daerah. Hal yang sama juga terjadi di SBY-Boediono. Rombongan besar yang dibawa SBY ke setiap kunjungan ke daerah, sebagian besar tidak dapat dipisahkan dari kedudukan mereka yang sekaligus sebagai pejabat Negara, pimpinan partai politik dan tim sukses, terutama di jajaran menteri. Kalaupun di kubu JK-Wiranto tendapat nama-nama Yuddy Chrisnandi, Ali Mochtar Ngabalin dan Drajat Wibowo, dalam catatan di secretariat kantor wakil presiden, mereka adalah anggota DPR RI yang sedang menjabat.

Dilema serupa juga terjadi di kalangan pendukung dan fungsionaris Partai Golkar di daerah. Bagaimanapun, mereka sebagian besar adalah kepala-kepala daerah yang sedang menjabat. Beberapa kepala daerah lebih banyak hadir dalam kegiatan-kegiatan yang dihadiri oleh SBY dan tim kampanyenya, ketimbang kehadiran JK dan tim kampanyenya. Dukungan secara terbuka juga jarang dilakukan, mengingat mereka harus menjadi pihak yang netral dalam kegiatan kampanye. Hanya beberapa kepala daerah yang berani memasang gambarnya bersama JK-Wiranto, selebihnya lebih memilih mensosialisasikan pilpres dengan menggunakan seragam resmi sebagai kepala daerah. Dilemma rangkap jabatan menjadi hal yang menyulitkan dalam pilpres.

Bagi kepala-kepala daerah yang berasal dari 24 partai politik pendukung SBY-Boediono juga muncul dilemma serupa. Jangankan untuk menyatakan dukungan kepada pasangan JK-Wiranto, bahkan untuk datang menyambut saja di bandara jarang sekali dilakukan. Mereka memilih untuk menggelar kegiatan lain atau berkunjung ke Jakarta dengan alas an dinas. Media local yang sepenuhnya juga tergantung kepada iklan-iklan pemerintahan daerah juga mengambil sikap serupa. Porsi pemberitaan terhadap pasangan JK-Wiranto terlihat minim di media local.

Jadi, pada prinsipnya, kampanye hanya berlangsung di dalam ruang yang terbatas: media massa nasional, terutama televise. Makanya, Pak JK-Wiranto jarang menolak undangan televise manapun. Dalam ucapan Pak JK: “Mumpung masih gratis, kenapa ditolak!”, maka media televise menjadi ajang untuk menampilkan Pak JK-Wiranto dalam skala luas. Walaupun kita sepenuhnya sadar bahwa masyarakat bisa saja jenuh, mengingat sejumlah acara terkesan hanya mengonfitmasi framing dan agenda setting yang sudah disiapkan oleh televise yang bersangkutan. Belum lagi iklan-iklan yang berjubel. Kerjasama dengan televise paling-paling penampilan iklan yang kita buat dalam acara yang dihadiri oleh Pak JK-Wiranto.

Begitulah. Sebagai tim kampanye nasional, kami tidak merasa gagal. Kenaikan tingkat elektabilitas JK-Wiranto, bersama Mega-Prabowo, serta penurunan elektabilitas SBY-Boediono, menunjukkan betapa masa kampanye pilpres telah digunakan semaksimal mungkin oleh tim kami. Waktu yang kemudian menjadi kendala, di samping memang keterikatan Pak JK sebagai Wakil Presiden.

Suatu malam, saya sempat bertanya kepada Pak JK, ketika isu agar JK lebih baik mundur muncul di banyak media dari para pengamat dan tim sukses SBY-Boediono.

“Pak, kenapa tidak mundur saja dari posisi Wapres? Kan sudah banyak yang menuntut itu?” tanya saya.

Pak JK menjawab, disertai senyumnya: “ Bagaimana saya bisa mundur? Dulu pasangan SBY-JK dipilih secara bersama, dalam pilpres 2004. Lagipula, ada ketentuan di UUD bahwa kekosongan posisi Wapres bisa berbahaya bagi Negara. Kalau terjadi apa-apa dengan Presiden bagaimana?”

Ada penjelasan Pak JK lainnya yang saya lupa. Di dalam hati, saya hanya bisa menggerutu: “Bapak ini setia betul dengan SBY?” Belakangan saya menyadari bahwa keputusan untuk tidak mundur itulah yang terbaik buat Pak JK. Kenapa? Karena Pak JK setia kepada Negara sebagai Wapres RI. Dia tetap sebagai negarawan. Andai Pak JK mundur, apa jadinya dengan Indonesia sekarang?

Kesetiaan itu juga yang ditunjukkan oleh Pak JK dengan mengatakan bahwa Partai Golkar tetap sebagai partai pemerintah, sampai 20 Oktober 2009. Padahal saya tahu bahwa ketika anggota DPR 2009-2014 dilantik pada 1 Oktber 2009 nanti, peta politik di DPR RI akan berubah. Akan ada 20 hari yang mungkin penting untuk melihat wajah Partai Golkar ke depan, yakni pertarungan antar parpol di DPR RI dan MPR RI pada tanggal 1-20 Oktober 2009 nanti. Kita lihat saja.

Jakarta, 15 Juli 2009.
Share this article :

0 komentar: