BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Belajar dari Konflik di Xinjiang

Belajar dari Konflik di Xinjiang

Written By gusdurian on Rabu, 15 Juli 2009 | 11.22

Belajar dari Konflik di Xinjiang
Oleh: Mustofa Liem

*MESKI* kita tengah hidup di era kemajuan iptek yang tak pernah
terbayangkan sebelumnya, ternyata dunia belum bebas dari ancaman konflik
antaretnis. Tiongkok yang modern, misalnya, baru dilanda konflik antara
etnis Uighur dan Han di Urumqui, Xinjiang, Minggu (5 Juli 2009).
Akibatnya, 156 tewas dan 1.080 luka-luka. Pak Dahlan Iskan pun tidak
membayangkan itu bisa terjadi (/Jawa Pos, 10 Juli 2009/).

Konon, pemicunya hanya sepele, yakni anak-anak yang meributkan kembang
api. Lalu, timbul rusuh antara etnis Uighur yang muslim dan buruh pabrik
beretnis Han. Uighur tidak puas terhadap penanganan polisi yang memihak
Han. Xinjiang merupakan wilayah otonomi khusus bagi mayoritas muslim
Uighur. Pembangunan industri di kawasan itu mengundang etnis Han, yang
menjadi etnis mayoritas di Tiongkok.

Bagaimanapun, konflik menjadi noda bagi kemajuan Tiongkok. Cadangan
devisanya yang mencapai USD 2 triliun ternyata tak mampu meredam. Sudah
sejak lama, wilayah Xinjiang dan Tibet menjadi kerikil tajam bagi
Tiongkok. Padahal, selama ini, segenap warga di belahan dunia mana pun
selalu melihat Negeri Tirai Bambu itu dengan rasa kagum. Betapa tidak,
pada dekade 70-80-an, negeri itu dipandang sebelah mata. Namun, berkat
reformasi Deng Xiaoping pada 1978, Tiongkok terus berkembang.

*Bom Waktu Kemajuan*

Faktor yang menentukan kemajuan RRT adalah faktor kepemimpinan yang
mendorong segenap rakyat negeri itu untuk merespons ajakan memajukan
negara. Regenerasi kepemimpinan dari Deng ke Jiang/Zhu/Li Peng, kemudian
ke Hu Jintao/Wen Jiabao, berjalan damai. Dan, setiap pergantian
pemimpin, program untuk reformasi ekonomi, yang landasannya sudah
ditetapkan Deng, tetap dijalankan.

Misalnya, Hu Jinto/Wen Jiabao yang memegang kepemimpinan sekarang juga
tetap berpegang kepada kebijakan /gaige kaifang/ secara gradual dengan
tiga sasaran utama, yakni menarik BUMN merugi, * *restrukturisasi
menyeluruh sistem perbankan dan finansial, serta ketiga perampingan
birokrasi. Itulah rahasia kemajuan Tiongkok.

Masyarakat internasional pun takjub atas pencapaian itu. Bahkan, ketika
digelar Olimpiade Beijing pada 8 Agustus 2008, even olahraga terbesar
sejagat itu seolah menjadi ajang pengakuan dunia atas kemajuan Tiongkok.
Ini semakin klop dengan pemilihan pembukaan Olimpiade itu pada pukul
08:08:08 (tanggal 8 malam, menit ke-8 dan detik ke-8), sebab angka 8
yang merupakan gabungan dari dua angka 0 diyakini sebagai simbol
kemakmuran dalam peradaban Tiongkok.

Tapi, konflik antaretnis adalah bom waktu yang siap meledak kapan pun.
Kalau dikaji, ekonomi neoliberal yang diadopsi Tiongkok dari Barat
memang membuka ruang bagi kompetisi. Ekonomi neoliberal dengan pasar
bebasnya mendorong kemajuan dengan adanya persaingan. Persaingan
otomatis memicu pihak yang kuat untuk makin menguasai pasar. Sedangkan
pihak yang kalah tersisih serta diliputi perasaan cemburu. Di sinilah
terjadi ketidakadilan yang di dalamnya terkandung bom waktu berupa
konflik antaretnis (/Bdk Amy Chua dalam bukunya: World on Fire, How
Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred & Global Instability/).

*Konteks Indonesia*

Dalam konteks Indonesia, harus jujur kita akui adanya potensi konflik
antaretnis, apalagi di negeri ini ada ratusan suku dengan ratusan bahasa
daerah. Ini bukan hanya masalah relasi antara etnis Tionghoa dan
etnis-etnis lain, tetapi sesungguhnya masalah kita semua yang menyebut
diri sebagai warga negara Indonesia.

Kita harus mau belajar dari sejarah. Dalam sebelas tahun terakhir ini
saja, sudah meledak dua kerusuhan antaretnis, yakni Tragedi Mei 1998 di
Jakarta dan Kerusuhan Sampit 2001. Di sini menjadi relevan apa yang
disebut dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila
kelima Pancasila).

Kalau Pancasila masih kita yakini sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara, semangat keadilan sosial itu jelas tidak boleh
dipinggirkan (/Baca Opini Revolusi Menuju Indonesia Baru oleh Saut
Maruli Siregar, Jawa Pos 8 Juli 2009/).

Jika dikaitkan dengan keadilan sosial, jelas itu menjadi tantangan tidak
ringan bagi SBY-Boediono, pemenang Pilpres 8 Juli 2009. Kalau sistem
perekonomian kita memang menolak neoliberalisme dan memilih sistem jalan
tengah, sebagaimana diungkapkan SBY-Boediono, kini harus dicari formula
yang tepat agar keadilan sosial tidak menjadi slogan.

Keadilan sosial itu harus jadi acuan agar kebijakan pembangunan,
khususnya menyangkut perekonomian, tidak berat sebelah. Kesenjangan yang
terjadi antarkawasan, seperti Indonesia Barat dan Timur, antara Jawa dan
luar Jawa, harus pelan-pelan diperbaiki. Mulai Aceh, Kalimantan, hingga
Papua, warga asli yang ada di sana harus dijaga sehingga tidak merasa
diabaikan oleh pemerintah. (*)

* /*). Mustofa Liem PhD,/ * / Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk
Kesetaraan/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80456
Share this article :

0 komentar: