BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pengalaman Pemilu 2009

Pengalaman Pemilu 2009

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 15.06

Pengalaman Pemilu 2009



Oleh *M Alfan Alfian*

Apa yang dapat dicatat dari Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 8 Juli
2009?

Tiap orang memiliki catatan atas sudut pandang masing-masing. Ada yang
biasa-biasa saja, ada yang senang, ada pula yang menggerutu, terutama
jika namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena hak
politiknya hangus. Pemilu 2009 lebih baik atau tidak dapat dibandingkan
dengan pemilu-pemilu sebelumnya, terutama sejak 1999.

Sistem pemilu sudah berubah dan mengandung beberapa konsekuensi.
Misalnya, dengan dibukanya aturan penetapan peraih kursi berdasar suara
terbanyak, bukan nomor urut, membuat perilaku politik aktor dan pemilih
”berubah”. Perubahan perilaku di level aktor, terutama calon anggota
legislatif, tampak dari hadirnya konsekuensi atas persaingan terbuka
antar-aktor internal dan eksternal partai dalam berebut dukungan suara.

Persaingan ketat itu membuat perilaku pragmatis kadang demikian
menonjol. Pragmatisme berebut kemenangan juga amat berimbas pada level
pemilih. Aktor bersaing berebut pemilih dengan banyak cara, termasuk
adakalanya melakukan politik uang bahkan secara demonstratif. Pada level
pemilih yang tidak kritis, pilihan ditentukan oleh yang memberi uang
terbanyak.

Hal-hal seperti ini terasakan, tetapi sulit dibuktikan apalagi
diperkarakan, mengingat banyak kasus yang diungkap Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) pun tak terselesaikan dengan baik melalui proses hukum.

Catatan lain yang sering dianggap sebagai kemajuan adalah, justru karena
publik sudah mulai merasakan pemilu merupakan bagian kehidupan politik
yang biasa-biasa saja. Diskusi dan perdebatan politik (yang ideologis
pun) tak sampai memengaruhi aktivitas hidup yang lain.

*Banyak catatan kaki*

Di ranah pelaksana, baik pemilu legislatif maupun pilpres, masih
dipenuhi banyak catatan kaki. Yang mengemuka terutama kisruh DPT.
Banyaknya warga yang memiliki hak pilih, tetapi tak tercantum dalam DPT,
membuat warga itu tak dapat mengikuti pemungutan suara. Silang sengkarut
DPT ini tak sampai membatalkan hasil pemilu, tetapi membuat kekecewaan
menumpuk. Ini adalah catatan buruk.

Akibat ketidaksempurnaan DPT, jumlah golput administratif membengkak.
Karena itu, kualitas demokrasi elektoral menurun. Isu sensitif DPT ini
membuka mata untuk lebih tertib menata aspek kependudukan kita dan
perlunya teknis penyelenggaraan pemilu yang menjamin hak-hak politik warga.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berdalih waktu yang diberikan amat
sempit mengingat UU tentang Parpol, UU tentang Pemilu, serta UU tentang
Pilpres selesai hanya dalam hitungan bulan untuk diimplementasikan
sebelum hari-H pemungutan suara. Belum lagi ada pasal-pasal
multi-interpretatif, yang menghambat efektivitas penyelenggaraan pemilu,
karena konflik penafsirannya pun berlarut-larut. Mahkamah Konstitusi
(MK) yang banyak meralat pasal- pasal tertentu dalam UU Pemilu membuat
suasana terkesan tidak pasti dan hal ini sekaligus membuktikan bahwa
elite-elite politik DPR yang menggarap aturan main politik sejak awal
tak didasari oleh pertimbangan-pertimbangan teknis pemilu yang ideal.

*Menggenjot kualitas*

Pertarungan kepentingan yang begitu menonjol membuat UU bidang politik
seperti wadah bagi banyak akomodasi politik yang ”tambal sulam”, karena
tidak diawali dengan desain kelembagaan ideal. Akibat aturan main
(sistem) yang didesain tidak optimal, maka buntutnya panjang.

Jadi, jika mau dirunut, penurunan kualitas pemilu kita kali ini tak
dapat dilepaskan dari elite- elite politik yang berebut kepentingan
dalam membuat aturan main (sistem) yang ada. Tidak ada suatu blue print
yang jelas, kecuali terbentuk suatu sistem yang muncul akibat dinamika
politik sesaat, yang kurang memerhatikan permanensi aturan main yang
berjangka panjang.

Karena itu, guna menggenjot kualitas Pemilu 2014, UU bidang politik
harus dibongkar lagi agar celah-celah kekisruhan dan konflik politik
serta kecurangan tidak muncul lagi.

Jadi, bagaimanapun Pemilu 2009 telah memberi pelajaran bahwa kualitas
pelaksanaan demokrasi elektoral kita harus diperbaiki. Indonesia telah
dicap sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi dengan
masih banyaknya catatan kaki atas pelaksanaan Pemilu 2009, Indonesia
belum bisa menjadi model negara demokrasi yang sempurna.

M ALFAN ALFIAN /Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/13/03132154/pengalaman.pemilu.2009
/
Share this article :

0 komentar: