BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Senjakala Partai Golkar

Senjakala Partai Golkar

Written By gusdurian on Sabtu, 18 Juli 2009 | 14.44

Senjakala Partai Golkar

*Bonnie Triyana*
SEJARAWAN-CUM-WARTAWAN.

Bagaikan menelan dua bungkus puyer pahit, tahun ini Partai Golkar harus
menerima dua kekalahan sekaligus. Pertama karena kemerosotan perolehan
suara Partai Golkar pada pemilu legislatif dan kedua, kegagalan calon
presiden Partai Golkar Jusuf Kalla untuk memenangi pertarungan pemilu
presiden 8 Juli lalu. Kekalahan ini serta-merta mereduksi peluang Partai
Golkar untuk tetap duduk dalam struktur pemerintahan yang akan datang.

Apakah ini pertanda akhir masa keemasan Partai Golkar setelah empat
dasawarsa lebih selalu menjadi bagian integral kekuasaan? Mampukah
Partai Golkar menjadi oposisi tanpa modal pengalaman dan tradisi
beroposisi? Lantas akan ke mana Munas 2009 mendatang membawa Partai Golkar?

Membaca kembali catatan sejarah, praktis sejak Pemilu 1971 sampai Pemilu
1997 Golkar selalu berhasil keluar sebagai pemenang. Bahkan ahli nujum
politik paling slebor pun sudah bisa meramalkan kemenangan Golkar dalam
setiap pemilu, jauh sebelum pemilu itu sendiri dilangsungkan.

Selain dukungan pemerintah Orde Baru dan tentara, kemenangan Golkar pada
era Orde Baru banyak dibantu oleh adanya kebijakan monoloyalitas yang
mewajibkan seluruh korps pegawai negeri dan keluarga tentara menyalurkan
aspirasinya kepada Golkar. Dampak kebijakan itu terlihat dari perolehan
suara yang spektakuler. Pada 1971 Golkar meraih 62 persen suara, dan
mencapai puncaknya pada Pemilu 1987 ketika berhasil mendapatkan 73
persen suara. Pada Pemilu 1997, di tengah ketidakpastian masa depan Orde
Baru, Golkar meraup 70 persen suara. Setahun kemudian, alih-alih bubar
sebagai tanggung renteng kebangkrutan Orde Baru, Golkar "ganti baju"
menjadi Partai Golkar dengan mengusung semangat baru. Walhasil, Partai
Golkar tetap eksis walaupun perolehan suaranya tak lagi sefantastis dulu.

Sekadar menyegarkan ingatan, pada 1999 Partai Golkar berada di posisi
kedua di bawah PDIP dengan perolehan suara nasional sebanyak 22 persen.
Pada Pemilu 2004, Partai Golkar berhasil meraih posisi pertama dengan
perolehan suara 21,58 persen. Puncak anjloknya pendulangan suara terjadi
pada tahun ini dengan hanya memperoleh 14,5 persen.

Paling tidak, ada tiga hal yang ada kemungkinan menjadi musabab
merosotnya perolehan suara Partai Golkar. Pertama, tentu saja,
penghapusan monoloyalitas pegawai negeri sipil dan keluarga tentara yang
telah membuat Partai Golkar kehilangan hampir separuh penyumbang suara
terbesarnya.

Kedua, sebagai partai, Partai Golkar tak memiliki karakter ideologi yang
jelas dan solid. Sekber Golkar, cikal-bakal Golkar dan kemudian Partai
Golkar, didirikan atas sponsor Angkatan Darat dengan tujuan utama untuk
mengimbangi kekuatan komunis. Di dalam Sekber Golkar berhimpun para
politikus dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai kalangan Islam
tradisional, moderat, sampai beberapa gelintir politikus nasionalis.

Pada 1999 sejumlah partai yang memiliki genealogi ideologis dengan
partai-partai pra-fusi 1973 bermunculan kembali. Inilah suatu masa
ketika para politikus Partai Golkar yang memiliki keterikatan ideologis
kepada partai-partai pra-fusi 1973 pulang kembali ke partai asal setelah
sekian lama menjadi anak yang hilang. Kepindahan itu, walaupun
pengaruhnya masih bisa diperdebatkan, setidaknya turut andil dalam
mengubah konfigurasi kekuatan Partai Golkar.

Ketiga, sekitar 30 persen dari total jumlah pemilih pada Pemilu 2009
datang dari kalangan pemilih pemula. Mereka adalah generasi yang tak
memiliki ikatan, baik secara emosional maupun ideologis, terhadap partai
politik, termasuk Partai Golkar. Generasi baru ini tak lagi menerima
indoktrinasi P4 plus pelajaran sejarah ala Orde Baru yang hanya
melegitimasi peran Soeharto dalam sejarah. Sementara itu, pesatnya
kemajuan teknologi informasi juga memungkinkan mereka mengakses secara
reguler berbagai informasi tanpa khawatir akan mekanisme sensor.

Sebagaimana angkatan muda di era awal kekuasaan Soeharto yang melihat
Orde Baru sebagai antitesis Soekarno dan Orde Lama, generasi baru ini
pun mempunyai penilaian kritisnya sendiri terhadap Soeharto dan Orde
Baru. Sehingga, kalaupun mereka tak memilih Partai Golkar, hal itu lebih
karena pertimbangan logis berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki.
Jumlah pemilih dengan tipikal seperti ini tentu akan bertambah seiring
dengan berjalannya zaman.

Lantas, akankah Partai Golkar semakin terpuruk dalam Pemilu 2014 dan
pada pemilu-pemilu selanjutnya? Apabila melihat tren perolehan suara
Partai Golkar yang terjadi sejak Pemilu 1999 hingga hari-hari belakangan
ini, bukan mustahil jika perolehan suara Partai Golkar akan terus
menurun. Namun, politik tak ubahnya bola sepak yang bisa menggelinding
ke mana saja. Selalu ada kesempatan untuk berbenah, terlebih ketika
politik bisa diartikan sebagai suatu seni mempergunakan kesempatan.
Sebagai warisan Orde Baru, Partai Golkar memiliki infrastruktur dan
jaringan kerja yang luas. Partai Golkar tak punya pemilik saham
mayoritas, baik berdasarkan genealogi ideologis, biologis, maupun
hubungan patron dengan pendirinya. Hal tersebut menjadikan partai ini
terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung.

Melihat situasi yang berkembang saat ini, salah satu jalan untuk
memperbaiki kondisi Partai Golkar adalah melakukan "puasa berkuasa"
dengan berperan sebagai oposisi di parlemen. Pada periode lima tahun ke
depan, Partai Golkar harus bisa merekrut kader-kader partai yang berasal
dari elemen aktivis muda yang lebih kritis dan memiliki visi perubahan
yang lebih jelas dan terukur.

Barangkali Partai Golkar bisa meniru siasat Partai Demokratik Korea Baru
(New Korean Democratic Party, NKDP), yang pada awal berdirinya di tahun
1985 menjaring kader dari kalangan aktivis mahasiswa oposisi dan pegiat
lembaga swadaya masyarakat. Melalui jalan itulah NKDP tumbuh sebagai
partai oposisi terpandang dan memiliki legitimasi kuat untuk mengkritik
pemerintah yang sedang berkuasa pada zamannya.

Untuk mempercepat transformasi dan menghindari delegitimasi atas peran
oposisinya kelak, para politikus sepuh Partai Golkar yang pernah berlaga
di panggung kekuasaan Orde Baru harus mundur secara /legowo/. Untuk
selanjutnya, kemudi partai dipegang oleh para politikus muda yang lebih
progresif.

Kalau Partai Golkar ingin mengubah jalan sejarahnya, sekaranglah waktu
yang tepat. Momentum munas mendatang harus digunakan sebaik mungkin
untuk melakukan perubahan. Kecuali kalau partai ini ingin dicemooh
sebagai tempat berkumpulnya politikus jompo dengan libido kekuasaan yang
masih menggebu-gebu, sementara secara tak sadar mereka sedang mengalami
apa yang disebut orang sebagai /post-power syndrome/.

Pemeo Belanda berbunyi /In het heden ligt het verleden, in het nu wat
komen zal/, dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa
sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang. Apa yang Partai
Golkar dapatkan di tahun ini, bagaimanapun, tak bisa dilepaskan dari
masa lalunya. Karena itu, untuk meraih masa depan, kerja keras untuk
mengubah tabiat partai warisan masa lalu menjadi suatu keniscayaan
sejarah yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/18/Opini/index.html
Share this article :

0 komentar: