BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Inspirasi dari Amerika Latin

Inspirasi dari Amerika Latin

Written By gusdurian on Sabtu, 18 Juli 2009 | 14.52

Inspirasi dari Amerika Latin
Oleh: Endang Suarini

Meski KPU belum secara resmi mengumumkan hasil final pilpres 8 Juli
lalu, berbagai media, termasuk koran ini, sudah memastikan Soesilo
Bambang Yudhoyono keluar sebagai pemenang berdasar hasil /quick count/
berbagai lembaga survei. Perolehan suara SBY diyakini begitu signifikan
sehingga tak perlu pilpres dua putaran.

Pada hari-hari ke depan, media pasti didominasi spekulasi tentang siapa
yang dipilih menjadi menteri. Terkait dengan hal tersebut, usul pola
hidup sederhana sebagai kriteria patut dipertimbangkan (/Jati Diri/,/
Jawa Pos/,/ /14 Juli 2009). Ini relevan dengan "wong cilik" yang
jumlahnya hampir separo di antara total penduduk negeri ini yang hidup
di bawah USD 2 per hari (salah satu kategori miskin menurut Bank Dunia).

Dengan memikirkan pola hidup semacam itu, alangkah eloknya bila
SBY-Boediono langsung menjadi teladan, sebagaimana pola hidup sederhana
dan populer dari para presiden Amerika Latin (/Fokus Dunia/,/ Jawa
Pos/,/ /8 Juli 2009).

***

Salah seorang presiden dari kawasan itu yang mungkin bisa dijadikan
inspirasi bagi SBY adalah Fernando Lugo, presiden Paraguay yang dilantik
pada 15 Agustus 2008. Salah seorang di antara sembilan presiden sosialis
di Amerika Latin itu dikenal sangat populis. Selama masa kampanye,
nyaris tidak ada biaya beriklan. Hanya, kata-kata Lugo mampu menyentuh
hati rakyat yang bertahun-tahun dikuasai militer dan tuan tanah. Lugo
berhasil mengalahkan Blanca Ovelar dari Partai Colorado, partai yang
berkuasa sejak 1947.

Saat pelantikan Lugo, beberapa presiden populis Amerika Latin hadir
untuk memberi ucapan selamat. Di antaranya, Presiden Venezuela Hugo
Chavez yang pertama hadir, Presiden Bolivia Evo Morales yang berdarah
Indian, dan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva yang didukung
Partai Buruh.

Ketika dilantik, kaum buruh, petani, dan orang-orang miskin ikut makan
dan berpesta di istana. Meski pesta, menu yang tersaji ternyata
didominasi singkong. Lugo benar-benar "President for the Poor" (presiden
/wong cilik/).

Yang sangat mengesankan dari para presiden populis Amerika Latin memang
kedekatannya dengan rakyat, khususnya "wong cilik". Nyaris tak berjarak.

Lugo bisa menyapa petani Indian miskin atau buruh pabrik di kota dalam
keakraban yang tidak dibuat-buat. Bahkan, protokoler istana, seperti di
Istana Merdeka, Jakarta, yang mengesankan nuansa neofeodalistis, tak
berlaku di istana para presiden di Amerika Latin.

Fasilitas seperti mobil pun bukan mobil mewah. Dalam keseharian, para
presiden itu hidup sederhana seperti kebanyakan rakyat mereka. Sungguh
presiden yang dekat dengan rakyat!

Kedekatan seperti itu jelas menjadi cermin dari kemenangan demokrasi.
Bukankah demokrasi merupakan pemerintah oleh rakyat dan untuk rakyat?
Meski selama kampanye pilpres tidak mengusung slogan "pro rakyat",
bukankah demokrasi kita juga demokrasi rakyat sehingga SBY sebagai
presiden terpilih mutlak harus pro rakyat?

Kalau demokrasi kita memang demokrasi oleh dan untuk rakyat, apa
salahnya rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesungguhnya merindukan
sosok presiden populis yang dekat dengan rakyat?

***

Tentu kedekatan tersebut jangan dimaknai secara dangkal atau sekadar
kedekatan guna mendongkrak citra seperti di dalam iklan-iklan capres.
Yang dibutuhkan lebih dari penampilan luar, yakni kebijakan nyata yang
sungguh-sungguh pro rakyat. Misalnya, sembako bisa dibuat
semurah-murahnya dan upah buruh dibuat layak. Kalau perlu, upah buruh
ditetapkan dalam Keppres sehingga tiap tahun para buruh tidak perlu
berdemo meminta kenaikan upah (UMK).

Selain itu, sistem ketenagakerjaan perlu direformasi sehingga sembilan
juta pengangguran bisa bekerja, termasuk tiga juta pengangguran
terdidik. Enam juta TKI sebaiknya bisa ditampung bekerja di dalam
negeri, seperti terjadi di Venezuela.

Terkait dengan Venezuela, Presiden Hugo Chavez memang membuat gebrakan
pro rakyat dan antineoliberalisme yang patut diteladani. Jelas, hal itu
relevan dengan tuduhan pro neoliberalisme, khususnya bagi Boediono.
Jadi, SBY-Boediono perlu menimba dari langkah-langkah Chavez. Misalnya,
kita harus berani meninjau segala kontrak karya pertambangan yang
merugikan negara dan menggadaikan kedaulatan NKRI kepada pihak asing.

Simaklah, Chavez berani menasionalisasi PDVSA (perusahaan migas negara).
Pada tahun pertama nasionalisasi, perusahaan itu hanya berpendapatan USD
64,5 miliar. Setahun kemudian, perusahaan tersebut telah menyumbangkan
keuntungan kepada negara sebesar USD 10,3 miliar. Kini Venezuela menjadi
produsen minyak terbesar di dunia. Para buruh minyak pun sejahtera.

Jadi, kedekatan Chavez dengan rakyat juga ditindaklanjuti dengan
kebijakan yang sungguh merakyat. Bukan retorika pro rakyat!

Dalam kearifan budaya kita, sebenarnya sudah banyak ajaran tentang
seorang pemimpin harus dekat dengan rakyatnya seperti dalam Asta Brata.
Dalam kisah Panji juga dikisahkan raja yang rela meninggalkan istana dan
tega menyamar agar tahu dan dekat dengan rakyatnya, bukan hanya puas
dibisiki oleh para penasihat istana.

Kita berharap, dengan "style" sekaligus kebijakan pro rakyat, derajat
negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini bisa terangkat di mata
dunia. Khususnya, /wong cilik/ seperti buruh tani atau buruh pabrik bisa
segera menikmati kesejahteraan.* (*)*

/*) Endang Suarini, aktivis buruh di Sidoarjo/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80693
Share this article :

0 komentar: