ANALISIS POLITIK
Kesucian dalam Kekotoran
*YUDI LATIF*
Ibarat embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul
Fitri kali ini melahirkan situasi ”kesucian” yang riskan.
Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi
relung kehidupan negara tempat mereka bertahan adalah ruang yang cemar.
Menjelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran Bumi, dari
onggokan sampah kebiadaban terorisme, megaskandal Bank Century,
penggelapan seputar cekcok kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi,
hingga persekongkolan untuk melemahkan pemberantasan korupsi.
Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster yang
berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang
meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan Bumi yang menebar
bayangan hidup yang negatif.
Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus
diterima secara taken for granted. Kita tidak cukup menjadi suci (secara
pribadi), tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai
untuk menyucikan (negara). Seperti kata Aristoteles, ”Manusia baik belum
tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi
warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam
negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang
buruk”.
Di satu sisi kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab
pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn
mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah.
Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya
hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D—defeated (rasa pecundang), defective
(rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa
tercerabut)—yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.
Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar, bahwa setiap krisis
mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab
mengatakan, ”Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan,
dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang
berbaik sangka kepada Pemilik Arasy akan memetik manisnya buah yang
dipetik dari pohon berduri.”
Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa
kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa
diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gundukan sampah persoalan yang
dihadapi bangsa saat ini diperlukan persenyawaan jutaan titik embun
untuk menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran
yang melumuri jiwa kenegaraan.
*Simpul terlemah*
Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal
kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi
Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan
sejauh tidak melakukan ”kebohongan”. Celakanya, pada titik inilah
jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi
kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara.
Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme
yang mengabaikan esensi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang
mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank
Century, dan dalam penggantian komisioner KPK, otoritas terkait menutupi
kebohongannya dengan dalih yang sama, ”sudah sesuai dengan prosedur”.
Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan
negeri ini menjadi negeri kebohongan. ”Korupsi setiap pemerintahan,”
kata Montesquieu, ”selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan
aturan permainan.” Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru
ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.
Pemerintahan negeri ini juga akan semakin sempurna dalam memperlihatkan
watak koruptifnya jika berbagai pos pemerintahan baru diciptakan demi
mengakomodasi kepentingan orang per orang, bukan demi kemaslahatan
kedudukan itu sendiri.
Dalam pemerintahan yang korup, kedudukan dipilih demi seseorang,
sedangkan dalam pemerintahan yang baik, seseorang dipilih demi kebaikan
kedudukan. Dalam situasi krisis, berbagai pos baru itu semakin menguras
keuangan negara, untuk semakin memperumit jejaring kebohongan.
Akhirnya, kekuasaan memang cenderung korup, tetapi mereka yang di ambang
kehilangan kekuasaan kerap lebih giat mengembangkan korupsi. Di dalam
demokrasi yang tak kunjung terkonsolidasikan, dan kekuasaan silih
berganti begitu cepat, selalu ada godaan untuk mengembangkan praktik aji
mumpung, seperti kemungkinan praktik ”cuci gudang” penyelesaian RUU
tertentu untuk ditransaksikan. Maka, skala korupsi dan kebohongan di
negeri ini pun semakin tak tepermanai.
Pilar kebohongan dan korupsi di negeri ini tak kunjung roboh.
Perkembangan demokrasi tidak memiliki pijakan yang kuat. Kuncup
kebebasan demokrasi sedang dipertaruhkan. Seperti kata Edmund Burke, ”Di
antara gugus manusia yang cenderung berbohong dan korup, kebebasan tak
bisa bertahan lama.”
Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk
memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme
simboliknya, melainkan pada penguatan misi profetiknya dalam
memperjuangkan kemaslahatan hidup bersama.
Keterbukaan pemerintahan tidak cukup dengan keterbukaan proseduralisme.
Kita memerlukan proses penyingkapan yang lebih dalam, dalam kemampuan
untuk menjangkarkan kepentingan pada nilai.
Bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban secara
bertanggung jawab, bukan saja melalui akuntabilitas prosedural, tetapi
juga akuntabilitas di hadapan Tuhan.
Kalaupun pejabat bisa membohongi rakyat lewat selubung prosedur, mereka
tidak akan bisa lolos dari pengawasan Yang Maha Menyaksikan.
Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, semoga
bumi kehidupan dapat disucikan kembali!
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/03084999/kesucian.dalam.kekotoran
Kesucian dalam Kekotoran
*YUDI LATIF*
Ibarat embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul
Fitri kali ini melahirkan situasi ”kesucian” yang riskan.
Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi
relung kehidupan negara tempat mereka bertahan adalah ruang yang cemar.
Menjelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran Bumi, dari
onggokan sampah kebiadaban terorisme, megaskandal Bank Century,
penggelapan seputar cekcok kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi,
hingga persekongkolan untuk melemahkan pemberantasan korupsi.
Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster yang
berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang
meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan Bumi yang menebar
bayangan hidup yang negatif.
Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus
diterima secara taken for granted. Kita tidak cukup menjadi suci (secara
pribadi), tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai
untuk menyucikan (negara). Seperti kata Aristoteles, ”Manusia baik belum
tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi
warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam
negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang
buruk”.
Di satu sisi kita harus tetap menjaga sikap hidup yang positif sebab
pemikiran negatif tak akan membawa kebaikan. Psikolog David D Burn
mengingatkan, depresi kejiwaan merupakan hasil pemikiran yang salah.
Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya
hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D—defeated (rasa pecundang), defective
(rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan deprived (rasa
tercerabut)—yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan sejati.
Lebaran menghadirkan optimisme yang lebar, bahwa setiap krisis
mengandung peluang pembelajaran dan penyelesaian. Penyair Arab
mengatakan, ”Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan,
dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang
berbaik sangka kepada Pemilik Arasy akan memetik manisnya buah yang
dipetik dari pohon berduri.”
Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa
kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa
diusahakan dengan pengorbanan. Dalam gundukan sampah persoalan yang
dihadapi bangsa saat ini diperlukan persenyawaan jutaan titik embun
untuk menjadi gelombang kesucian yang bisa menyucikan najis kekotoran
yang melumuri jiwa kenegaraan.
*Simpul terlemah*
Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal
kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi
Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan
sejauh tidak melakukan ”kebohongan”. Celakanya, pada titik inilah
jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi
kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara.
Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme
yang mengabaikan esensi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang
mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank
Century, dan dalam penggantian komisioner KPK, otoritas terkait menutupi
kebohongannya dengan dalih yang sama, ”sudah sesuai dengan prosedur”.
Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan
negeri ini menjadi negeri kebohongan. ”Korupsi setiap pemerintahan,”
kata Montesquieu, ”selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan
aturan permainan.” Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru
ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.
Pemerintahan negeri ini juga akan semakin sempurna dalam memperlihatkan
watak koruptifnya jika berbagai pos pemerintahan baru diciptakan demi
mengakomodasi kepentingan orang per orang, bukan demi kemaslahatan
kedudukan itu sendiri.
Dalam pemerintahan yang korup, kedudukan dipilih demi seseorang,
sedangkan dalam pemerintahan yang baik, seseorang dipilih demi kebaikan
kedudukan. Dalam situasi krisis, berbagai pos baru itu semakin menguras
keuangan negara, untuk semakin memperumit jejaring kebohongan.
Akhirnya, kekuasaan memang cenderung korup, tetapi mereka yang di ambang
kehilangan kekuasaan kerap lebih giat mengembangkan korupsi. Di dalam
demokrasi yang tak kunjung terkonsolidasikan, dan kekuasaan silih
berganti begitu cepat, selalu ada godaan untuk mengembangkan praktik aji
mumpung, seperti kemungkinan praktik ”cuci gudang” penyelesaian RUU
tertentu untuk ditransaksikan. Maka, skala korupsi dan kebohongan di
negeri ini pun semakin tak tepermanai.
Pilar kebohongan dan korupsi di negeri ini tak kunjung roboh.
Perkembangan demokrasi tidak memiliki pijakan yang kuat. Kuncup
kebebasan demokrasi sedang dipertaruhkan. Seperti kata Edmund Burke, ”Di
antara gugus manusia yang cenderung berbohong dan korup, kebebasan tak
bisa bertahan lama.”
Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk
memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme
simboliknya, melainkan pada penguatan misi profetiknya dalam
memperjuangkan kemaslahatan hidup bersama.
Keterbukaan pemerintahan tidak cukup dengan keterbukaan proseduralisme.
Kita memerlukan proses penyingkapan yang lebih dalam, dalam kemampuan
untuk menjangkarkan kepentingan pada nilai.
Bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban secara
bertanggung jawab, bukan saja melalui akuntabilitas prosedural, tetapi
juga akuntabilitas di hadapan Tuhan.
Kalaupun pejabat bisa membohongi rakyat lewat selubung prosedur, mereka
tidak akan bisa lolos dari pengawasan Yang Maha Menyaksikan.
Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, semoga
bumi kehidupan dapat disucikan kembali!
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/03084999/kesucian.dalam.kekotoran