BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Buaya Vs Cicak

Buaya Vs Cicak

Written By gusdurian on Senin, 28 September 2009 | 09.09

Buaya Vs Cicak



Sarlito Wirawan Sarwono

Buaya lawan cicak. Itu adalah hiperbol KPK lawan Polri.

Entah berasal dari mana, hiperbol tersebut jadi bahan diskusi yang
kian panas, lebih panas dari materi masalah itu sendiri.

Padahal, hiperbol itu belum tentu benar. Buktinya, pada permainan suit
anak-anak, gajah kalah oleh semut. Padahal, semut mati diinjak manusia
dan manusia mati diinjak gajah. Masalahnya, giliran semut lawan gajah,
semut tidak menginjak gajah, tetapi masuk kuping gajah, gajah pun
mati. Jadi, siapa tahu cicak bisa membunuh gajah seperti David
mengalahkan Goliath.

Padahal, segala sesuatu yang belum tentu benar, pasti bukan kebenaran
alias tidak benar. Demikian dalil logika Aristoteles. Dan mereka yang
ramai berdebat di media (dari pembawa acara, wartawan, pakar, anggota
parlemen, LSM, tim pembela KPK atau pembela Polri, dan lainnya), semua
berdiskusi tentang sesuatu yang tidak benar.

Jelas, dampaknya bukan makin benar, tetapi makin keblinger. Masalah
tidak terselesaikan, yang muncul emosi belaka.

Taman kanak-kanak

Ketika menjadi presiden, Abdurrahman Wahid pernah menyatakan, anggota
DPR seperti taman kanak-kanak. Saat itu, para anggota DPR yang amat
terhormat itu marah. Namun, logika yang keblinger tidak terkait dengan
kehormatan.

Para ulama Aceh keblinger saat ditipu Snouck Hurgronje. Para raja dan
bangsawan Mataram keblinger saat menuruti kemauan Belanda untuk
memecah wilayah Mataram menjadi empat. Kaisar Romawi Caligula
menjadikan istananya ajang pesta seks.

Yang saya cemaskan adalah, kini bukan hanya DPR yang keblinger, tetapi
yang lain-lain juga. Yang lebih mengerikan adalah jika para petinggi
KPK yang kini menjadi tersangka, tidak hanya sekadar dikriminalisasi
(nanti bisa diklarifikasi di pengadilan), tetapi benar-benar sudah
terlindas gelombang keblingerisasi.

Banyak yang berargumen, KPK adalah institusi yang berani memberantas
korupsi tanpa pandang bulu (padahal semula KPK dituduh tebang pilih).
Lalu dideretkan sejumlah contoh, para tokoh penting yang dijerat hukum
oleh KPK. Termasuk di situ kasus Aulia Pohan, besan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sendiri.

Ini keblinger lagi. Secara logika, tak ada hubungan kasus-kasus yang
dilibas KPK (pada era Taufiequrachman Ruki) dengan kasus Bank Century
(era Antasari). Atau dalam bahasa logika, premisnya tidak sah, tidak
nyambung, sehingga kesimpulannya pun salah.

Contoh premis yang tak nyambung sering saya sampaikan di kelas
”Logika” di Universitas Indonesia, seperti ini, ”Manusia bernapas.
Mohamad Ali bernapas. Jadi, Mohamad Ali adalah manusia. Betul tidak?”
Maka, semua mahasiswa akan menjawab, ”Betuuul....” ”Tidak betul,” kata
saya. ”Coba tukar kata Mohamad Ali dengan kucing; Manusia bernapas,
kucing bernapas, jadi kucing adalah manusia. Salah, kan?”

Kipas-kipas mencari angin

Jikalau murid taman kanak- kanak belum bisa berpikir logis, itu wajar.
Namun, jika orang dewasa, politisi, jurnalis, pakar, doktor, profesor,
juga tidak bisa berpikir logis, ini keblinger. Psikologi
menjelaskannya sebagai gejala gangguan emosi sehingga rasio tidak
jalan. Makin panas emosi kita, makin tidak logis jalan pikiran kita.
Makin tidak logis pikiran kita, makin ngawur tindakan kita. Kalau
tidak percaya, rekam perdebatan suami-istri yang sedang bertengkar
hebat. Akan kita dengar kata-kata dan kalimat-kalimat mereka tidak
logis belaka.

Nah, untuk menjaga agar bangsa dan negara kita tidak makin keblinger,
maka kita perlu ikut nasihat para orangtua zaman dulu (termasuk
nasihat ayah saya), yaitu ”kipas-kipas mencari angin, badan boleh
panas tetapi kepala tetap dingin”.

Sarlito W Sarwono Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian, Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/26/02355848/buaya.vs.cicak
Share this article :

0 komentar: