BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kado Pahit Seusai Lebaran

Kado Pahit Seusai Lebaran

Written By gusdurian on Senin, 28 September 2009 | 09.04

Kado Pahit Seusai Lebaran
Pertamina akan menaikkan harga elpiji 12 kilogram bertahap setiap
bulan. Menutup rugi jadi alasan utama. Berpotensi memicu perburuan
elpiji tiga kilogram yang disubsidi pemerintah.

ENAM tabung elpiji kemasan tiga kilogram dan tiga elpiji 12 kilogram
berderet rapi dari atas ke bawah dalam rak besi di depan Indomaret,
Jalan R.E. Abdullah, Bogor, Rabu pekan lalu. Sembilan tabung gas
berwarna hijau dan biru itu terikat rantai besi berkunci gembok.
Tampak dua label harga pada kertas berlapis plastik bertulisan ”Rp
13.250” menggantung dekat elpiji hijau dan ”Rp 73.500” di bawah elpiji
biru.

Dari PT Pertamina, pemasok tunggal gas dalam tabung, harga resmi
elpiji itu sebenarnya masing-masing Rp 12.750 dan Rp 69 ribu. Di
minimarket Kota Hujan itu, juga pengecer dan agen lain, harga elpiji
sedikit ”dinaikkan” karena mereka memperhitungkan biaya dan margin
keuntungan.

Tapi konsumen elpiji harus bersiap-siap menerima kenaikan harga riil.
Penyebabnya, Pertamina telah berancang-ancang menaikkan harga elpiji
12 kilogram seusai Lebaran ini atau paling lambat akhir 2009.
”Realisasinya sedang menunggu waktu yang tepat,” kata juru bicara
Pertamina, Basuki Trikora Putra, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu

Terakhir kali perusahaan minyak pelat merah ini menaikkan harga elpiji
12 kilogram—berat kosong 15 kilogram—pada Agustus 2008. Ketika itu,
harga elpiji beringsut dari Rp 5.250 per kilogram (Rp 63 ribu per 12
kilogram) menjadi Rp 5.750 per kilogram (Rp 69 ribu per 12 kilogram).
Rupanya, Pertamina merasa harga itu belum pas. Mereka mengklaim tak
mendapatkan bati sama sekali alias rugi dari bisnis elpiji. Alhasil,
kata Basuki, Pertamina terpaksa mengubah lagi harga jual elpiji 12
kilogram.

Total kebutuhan elpiji nasional pada 2009 adalah tiga juta metrik ton.
Satu juta metrik ton dipasok dari kilang Pertamina, 1,1 juta metrik
ton disuplai dari kilang non-Pertamina, dan sisanya 900 ribu metrik
ton diimpor. Dalam menentukan harga elpiji, pemasok Pertamina
menggunakan harga patokan contract price Aramco (CP Aramco), kontrak
pembelian elpiji internasional.

Saat ini harga elpiji di pasar dunia sekitar US$ 586 per metrik ton.
Dengan nilai tukar Rp 9.978 per dolar Amerika Serikat, Pertamina
membeli elpiji impor Rp 7.800 per kilogram. Harga ini belum
memperhitungkan pajak pertambahan nilai dan margin agen. Pertamina
menjual elpiji 12 kilogram kepada masyarakat dengan harga Rp 5.750 per
kilogram. Mereka mengaku tekor dan rugi. Sampai akhir tahun ini, papar
Basuki, Pertamina akan rugi Rp 2,3 triliun bila harga elpiji itu
dipertahankan.

Besaran kenaikan harga elpiji memang belum diputuskan. Tapi, menurut
Basuki, Pertamina akan menggenjot harga elpiji sampai mencapai harga
keekonomiannya alias sesuai dengan harga pasar. Kenaikannya tidak
sekaligus, tapi bertahap Rp 100-200 per kilogram setiap bulan sampai
akhir 2010 atau awal 2011. ”Secara prinsip, pemerintah sudah setuju,”
katanya.

Betulkah? Direktur Jenderal Minyak dan Gas Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, kepada wartawan pernah menyebutkan
kenaikan harga elpiji 12 kilogram merupakan aksi korporasi Pertamina.
Perubahan harganya tak perlu mendapat persetujuan pemerintah karena
bukan barang subsidi.

Pertamina merasa di atas angin karena Kementerian Badan Usaha Milik
Negara, pemegang sahamnya, juga mendukung. Sekretaris Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara, Said Didu, kepada Tempo pekan lalu
mengatakan, pada 2008, Pertamina merugi Rp 3-5 triliun dari bisnis
elpiji 12 kilogram. Kerugian perusahaan ini akan semakin gede bila
harga elpiji tak dinaikkan. ”Ini aksi korporasi biasa dari Pertamina,
tak perlu persetujuan pemerintah,” ujarnya.

Harga elpiji 12 kilogram, kata Said, layak naik karena bukan barang
bersubsidi. Konsumennya masyarakat mampu dari kelas menengah ke atas.
”Mengapa harus mensubsidi orang kaya?” Peraturan Presiden Nomor 104
Tahun 2007 menyebutkan pemerintah hanya mensubsidi elpiji tiga
kilogram. Harga jualnya dari Pertamina Rp 4.250 per kilogram atau Rp
12.750. Setiap perubahan harga harus mendapat persetujuan pemerintah.

Bagi anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Tjatur Sapto Edy,
status subsidi dan nonsubsidi elpiji 12 kilogram justru masih kabur
sehingga harus diperjelas dulu sebelum harganya dinaikkan. Konsumen
elpiji 12 kilogram, katanya, bukan hanya industri dan rumah tangga,
melainkan juga para pengusaha atau pedagang kecil. ”Ini kuasi subsidi,
barang bersubsidi tapi angkanya tidak sebesar elpiji tiga kilogram,”
katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Pengamat energi, Kurtubi, juga berpendapat elpiji 12 kilogram
merupakan barang subsidi. Tapi yang mensubsidinya Pertamina, bukan
pemerintah langsung. Itu berarti sumber uangnya sama, dari negara
juga, sehingga pemerintahlah yang seharusnya menetapkan harganya.
Dalam memutuskan kenaikan harga elpiji, pemerintah sebaiknya mengacu
pada biaya pokok Pertamina, bukan CP Aramco. Alasannya, sebagian besar
elpiji berasal dari dalam negeri, bukan impor. ”Pertamina
mengklarifikasi dulu biaya pokoknya,” ujar Kurtubi kepada Tempo di
Jakarta pekan lalu. Biaya pokok dan volume kebutuhan elpiji, kata dia,
harus diaudit oleh auditor independen, bukan oleh Pertamina sendiri.

Setelah biaya pokok Pertamina jelas, dia melanjutkan, ditambahkan
harga CP Aramco, terus dikalikan bobot masing-masing. ”Itulah standar
acuan harga elpijinya.” Dengan begitu akan ketahuan besaran nilainya.
”Masih ada selisih harganya atau sudah pas dan tak perlu naik.”

Segendang sepenarian, menurut Tjatur, acuan harga elpiji domestik
kurang proporsional. Dia merujuk formula harga elpiji CP Aramco
ditambah biaya sampai pelabuhan (FOB), bea impor, beta (biaya operasi
distribusi, penanganan, termasuk margin keuntungan), dan pajak.
Proporsi elpiji impor rata-rata sekitar 37,5 persen dari total
kebutuhan nasional. Tapi, kenyataannya, seluruh harga elpiji domestik
memasukkan komponen harga Aramco. Seharusnya, kata dia, hanya 37,5
persen elpiji impor yang mengacu ke harga internasional, dan sisanya
menggunakan harga acuan domestik.

Penetapan nilai ”beta” oleh Pertamina sebesar 40 persen juga
bermasalah. Angka betanya, kata Tjatur, terlalu tinggi dan bisa
ditekan hingga 25-30 persen. Caranya persis dengan saat Pertamina
melakukan efisiensi penanganan bahan bakar minyak bersubsidi. Saat itu
angka ”alpha” ditekan dari 14 persen menjadi 8 persen. Agar adil,
anggota Dewan dari Fraksi Amanat Nasional ini mengatakan, Badan
Pemeriksa Keuangan mengaudit dulu nilai beta dan biaya pokok
Pertamina. ”Harga boleh naik setelah ada audit dulu dari BPK,”
katanya. Tjatur memprediksi harga elpiji 12 kilogram bisa naik tapi
tidak akan melebihi Rp 6.000 per kilogram.

Sumber Tempo di Pertamina mengungkapkan, adanya kontrak pengadaan
elpiji selama 10 tahun dengan Petradec merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan beban subsidi elpiji Pertamina melonjak. Perusahaan
yang berbasis di Bermuda ini memasok elpiji sebesar 1 juta metrik ton
per tahun. Petradec, kata dia, bukan produsen elpiji, melainkan hanya
pedagang (trader) dan tak punya kilang. ”Lantaran membeli dari
pedagang, jangan heran harganya kurang kompetitif,” ujarnya.

Basuki membantah beban subsidi elpiji naik akibat kontrak dengan
Petradec. Justru karena kontrak dengan Petradec berjangka panjang,
kata dia, ”Pertamina bisa memperoleh harga yang lebih kompetitif.”
Soal sorotan atas harga patokan Aramco, Basuki mengatakan, patokan
harga itu sudah lazim dan sudah diakui secara internasional.

Tampaknya, kado pahit tak bisa dihindari lagi. Konsumen harus merogoh
kocek lebih dalam karena kelak elpiji 12 kilogram di dalam negeri bisa
menjadi Rp 93.600 bila harganya diseragamkan dengan harga di pasar
dunia. ”Kami (konsumen) keberatan,” kata pengurus harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, di Jakarta pekan lalu.
Kenaikan harga bahan bakar biasanya akan diikuti kenaikan harga barang
lainnya.

Tulus juga waswas kenaikan harga bisa membuat selisih harga elpiji 12
kilogram dengan elpiji tiga kilogram—khusus untuk rakyat kecil—semakin
lebar. Konsumen bisa ramai-ramai memburu elpiji tiga kilogram yang
harganya tak naik. Buntutnya, permintaan elpiji tiga kilogram melonjak
tajam. Bukan mustahil juga menjadi langka dan harganya terbang tinggi.
Kembali ke minyak tanah sulit lantaran sudah ditarik Pertamina.
”Masyarakat kecil akan menderita lagi,” ujarnya.

Target pemerintah menekan subsidi lewat konversi minyak tanah ke
elpiji tiga kilogram juga bisa meleset. ”Anggaran subsidi elpiji malah
bisa naik karena kebutuhannya bertambah,” kata Tulus. Tahun ini,
jumlah rumah tangga sasaran program konversi energi adalah 23 juta
kepala keluarga. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009,
pemerintah menganggarkan penghematan dana Rp 7,2 triliun. Pemerintah
tak mungkin menambah subsidi lagi. ”Jadi Pertamina harus memastikan
elpiji tidak langka dan tak memicu inflasi,” kata Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional Paskah Suzetta di Jakarta pekan lalu. Alhasil,
keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji perlu dihitung secara
cermat.

Padjar Iswara, Ismi Wahid, Akbar Tri Kurniawan, Sorta Tobing

Perkembangan Harga Elpiji
pada 2008 (Rp/Kg)

3 Kg 12 Kg 50 Kg
Januari 4.250 4.250 7.932
April 4.250 4.250 6.803
Juli 4.250 5.250 6.878
Agustus 4.250 5.750 7.255

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/09/28/EB/mbm.20090928.EB131489.id.html
Share this article :

0 komentar: