*Baskara T Wardaya*
Jika kita termasuk orang yang berpikir, sejarah hanya urusan masa lalu,
mungkin kita perlu berpikir ulang.
Mengapa? Karena sebagaimana diketahui, tiap dinamika sosial merupakan
rangkaian diskontinuitas, juga kontinuitas. Suatu peristiwa sejarah yang
terjadi pada masa lalu memang tak akan terulang. Meski demikian,
pola-pola dalam peristiwa itu bisa terulang kembali. Itu sebabnya orang
sering mengatakan, sejarah berulang. Bukan peristiwa, tetapi pola yang
berulang (Sartono: 1993).
Meski suatu peristiwa terjadi pada masa lalu, dampak atau konsekuensinya
bisa berlangsung hingga kini, bahkan pada masa depan. Hal ini terutama
berlaku untuk peristiwa-peristiwa kemanusiaan luar biasa pada masa lalu
meski ada berbagi upaya untuk melupakannya.
Misal, tragedi 1965. Tragedi itu merupakan peristiwa kemanusiaan luar
biasa. Banyak upaya dilakukan dengan maksud mendistorsi atau jika perlu
menghapusnya dari ingatan. Kalaupun dinarasikan, alur cerita dibuat
sederhana: ada tujuh jenderal militer yang pada 1 Oktober 1965 dibunuh
secara keji oleh Gerakan 30 September yang dikendalilan Partai Komunis
Indonesia. Karena itu, sudah sewajarnya jika setengah juta anggota
partai itu dibantai dan dipenjarakan secara massal.
Narasi sederhana seperti itu mudah ditangkap, tetapi sebenarnya
menyisakan banyak segi yang menuntut kajian hukum, kemanusiaan, moral,
etika politik, sejarah, ekonomi, dan lainnya. Singkat kata, atas
peristiwa itu dibutuhkan kajian-kajian multiperspektif.
*Masih terulang*
Kajian-kajian multiperspektif penting agar pemahaman tentang suatu
peristiwa sejarah bisa menyeluruh. Tanpa pemahaman memadai, bisa-bisa
kita beranggapan, korban tragedi 1965 hanya mereka yang dibunuh dan
dipenjarakan saat itu. Padahal, sebenarnya yang menjadi korban adalah
seluruh bangsa. Mengapa? Karena peristiwa 1965 menyangkut masalah yang
lebih kompleks daripada narasi itu.
Selain pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal sesama warga,
tragedi 1965 juga masalah pembelokan arah sosial-politik dan ekonomi
Indonesia. Sebelum tragedi itu terjadi, dinamika sosial-politik dan
ekonomi Indonesia berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing.
Setelah itu, berubah menjadi elitis, militeristik, dan amat promodal
asing. Lahirnya UU Penanaman Modal Asing dan kebijakan ekonomi promodal
luar negeri yang dipelopori sekelompok ekonom adalah salah satu
contohnya. Sejak tragedi 1965, Indonesia kian terintegrasi ke dalam
sistem kapitalisme global, dan tahu-tahu merasa ”nyaman” ada dalam
pelukan neoliberalisme yang mematikan.
Sejak tragedi 1965, posisi rakyat Indonesia berubah dari subyek menjadi
obyek, yakni obyek dinamika sosial-politik dan ekonomi negeri sendiri.
Di bawah Orde Baru rakyat dipandang tak lebih dari ”massa mengambang”
yang hanya dibutuhkan menjelang pemilu. Jika sebelumnya rakyat Indonesia
dengan kekiritisannya mampu bersikap resisten terhadap kekuatan modal
yang ingin mengebawahkan hajat hidup orang banyak, setelah tragedi 1965,
yang terjadi justru sebaliknya. Modal menjadi penguasa, status rakyat
digeser menjadi ”pasar” yang perlu terus dimanipulasi dan dieksploitasi.
Seiring kian derasnya modal asing masuk Indonesia, banyak pejabat dan
pengusaha dalam negeri berganti peran menjadi ”kolaborator” yang taat,
yang tak jarang mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan
diri dan pemilik modal asing. Modal pun kian tampil sebagai tiran yang
bengis dan tak kenal ampun. Ia makin jauh merasuk ke berbagai aspek
kehidupan, baik aspek ekonomi, politik, relasi sosial, agama,
pendidikan, administrasi pemerintahan, maupun aspek-aspek lain.
Korupsi merajalela, kolusi menjadi praktik jamak, dan nepotisme menjadi
gejala yang seakan sulit diberantas. Ketidakpuasan atas hasil pemilu
belum lama ini, berikut tarik ulur kepemimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan pertanyaan publik soal triliunan rupiah yang digelontorkan
untuk sebuah bank swasta hanya beberapa contoh kasus aktual. Sementara
itu, tampaknya kita dibuat makin cenderung menjadi bangsa konsumen yang
lebih suka mengimpor hasil kerja bangsa lain daripada berpikir keras dan
memproduksinya sendiri.
Dengan demikian, menjadi tampak, sebuah peristiwa sejarah tidak hanya
berhenti pada masa lalu. Pembunuhan massal seperti yang terjadi pada
1965 mungkin sudah tidak terjadi lagi. Namun, pola-pola kekuasaan
politik dan ekonomi yang cenderung mengorbankan kepentingan rakyat masih
terulang. Itu sebabnya di satu sisi kita tidak boleh terbelenggu masa
lalu, tetapi pada sisi lain kita tidak boleh malas untuk terus belajar
dari pengalaman kolektif sebagai bangsa.
*Penentu utama*
Berdasarkan pengalaman kolektif bangsa itulah kita didorong untuk terus
mencari terobosan guna menemukan penyebab aneka persoalan yang kita
hadapi masa kini dan mencari berbagai kemungkinan jalan keluarnya bagi
masa depan. Diperlukan penelusuran historis tentang bagaimana modal
asing yang semula selalu ditanggapi dengan sikap kritis, lalu menjadi
mulus dan mendominasi Indonesia.
Juga diperlukan analisis perkembangan selanjutnya, di mana modal asing
begitu deras mengalir masuk, sementara utang luar negeri terus
meningkat. Perlu dicari pemikiran-pemikiran baru untuk membebaskan
rakyat Indonesia dari tirani modal. Upaya pembebasan itu penting agar
bukan lagi modal yang menjadi tiran penentu kepentingan rakyat, tetapi
rakyatlah yang menjadi penentu utama kehidupan bersama sebagai
negara-bangsa.
/Baskara T Wardaya Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep)
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
/
/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04560019/sejarah.dan.tirani.modal
Sejarah dan Tirani Modal
Written By gusdurian on Rabu, 30 September 2009 | 11.57
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar