Melanjutkan Neoliberalisme?
Neoliberalisme pada dasarnya perluasan dari ideologi ekonomi pasar
liberal atau kapitalisme dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Ekonomi pasar atau ekonomi liberal atau ekonomi kapitalis menganut
kepercayaan dasar bahwa pasar dengan mekanismenya itu memiliki kemampuan
mengurus dirinya sendiri secara adil dan efisien dalam mengalokasi
resources terhadap barang dan jasa yang bersifat private (nonpublik).
Karena itu peran atau campur tangan pemerintah harus ditiadakan atau di
minimalisasi sebatas untuk meniadakan—kalau ada—externalities atau
distorsi yang mengganggu kebebasan pasar. Neoliberalisme memperluas
pengertian pasar bebas tidak saja dalam ruang lingkup nasional (suatu
negara), tetapi regional dan internasional.
Dalam paham ekonomi neoliberal, tidak dieksplisitkan batas-batas
kewenangan negara terhadap pasar atau kapan negara seharusnya masuk ke
atau berperan di pasar.Yang lebih terasa atau ditonjolkan justru
pengerdilan peran negara dalam mekanisme pasar, baik dalam pembentukan
harga maupun alokasi resources-nya.
Dalam praktiknya, pasar tidak sesakti atau seindah yang digambarkan
neoliberalisme. Lebih-lebih dalam perdagangan internasional yang sering
dilaksanakan secara tidak fair. Meskipun mempunyai kekuatan dan
kebaikan, pasar juga punya kelemahan dan keburukan. Demikian juga dengan
negara.Begitu pula dengan campur tangan negara terhadap pasar sebagai
alat untuk menjembatani dua pilar ini.
John Maynard Keynes, misalnya, berpendapat bahwa selama masih terdapat
pengangguran, campur tangan negara dalam perekonomian pasar dibenarkan
dan diperlukan.Di sini terkandung pesan untuk tidak terlalu mendewakan
pasar atau sebaliknya mengerdilkan negara.
Penjelasan sejarah neoliberalisme biasanya dimulai dari kegagalan pasar
bebas yang mengakibatkan Great Depression 1930-an, kesepakatan PBB di
Bretton Woods Amerika Serikat (1944),berkuasanya Ronald Reagan sebagai
Presiden AS, dan Margareth Thatcher sebagai PM Inggris di era 1980-an
sebagai tokoh-tokoh garis keras ekonomi neoliberal.
Kemudian dilanjutkan dengan krisis ekonomi di negara-negara Amerika
Latin yang membuka jalan bagi Pemerintah AS dan Inggris bekerja sama
dengan IMF dan Bank Dunia melahirkan Konsensus Washington alias Paket
Kebijakan Ekonomi Neoliberal yang dipasarkan secara internasional.
Konsensus Washington inilah yang dipaksakan IMF/ Bank Dunia/ Pemerintah
AS untuk dijalankan di negara-negara Asia yang terkena krisis moneter
1997/1998. Beberapa kebijakan Konsensus Washington itu (1) Pelaksanaan
kebijakan anggaran negara yang ketat dan penghapusan subsidi (sebagai
bagian dan upaya mengerdilkan peran negara).
(2) Liberalisasi sektor keuangan, perbankan, dan investasi termasuk
rezim devisa super bebas (sebagai bagian dari upaya penguatan peran
sektor swasta).(3) Liberalisasi sektor perdagangan, termasuk bisnis
raksasa eceran asing seperti Carrefour dan lain-lain yang cenderung
mematikan pengecer kecil atau pasar tradisional.
(4) Privatisasi BUMN dan aset-aset milik negara lainnya. (5) Privatisasi
sektor-sektor publik, yaitu barang dan jasa yang semestinya ditangani
negara (pemerintah pusat maupun pemda) karena sifatnya yang
dikategorikan sebagai public goods and services atau karena menguasai
hajat hidup orang banyak (pasal 33 UUD 1945), dialihkan menjadi private
goods atau dimekanisme-pasarkan atau dikomersialkan atau diswastakan.
*** Sejak krisis moneter 1998, di bawah tekanan IMF dan pengawalan tim
ekonomi jebolan Berkeley, Pemerintah Indonesia amat gencar melaksanakan
kebijakan ekonomi neoliberal,baik di bidang perbankan, sistem devisa
bebas,perdagangan, investasi, migas dan pertambangan, pasar uang dan
modal, transportasi, impor pangan, kesehatan, pendidikan,dan lain-lain.
Dalam 10 tahun terakhir Indonesia telah melahirkan berbagai undangundang
dan kebijakan ekonomi neoliberal yang merugikan kepentingan
nasional.Politik utang luar negeri telah dimanfaatkan sebagai pintu
masuk atau melancarkan ideide neoliberal di samping untuk mendukung
eksistensi tim ekonomi proneoliberal.
Pemerintah juga semakin terang-terangan memuja pasar saham,pasar
uang,serta perbankan dan semakin tidak berdaya menghadapi kekuatan para
pelaku ekonomi domestik maupun asing.Kegetolan dunia dan Indonesia
menjalankan ekonomi neoliberal dilanjutkan dengan meningkatkan volume
perdagangan uang,dan suratsurat utang yang dikenal dengan bubble economy
atau ekonomi gelembung alias abal-abal yang kemudian mengantarkan dunia
kepada krisis ekonomi global.
Di atas kertas,bubbleeconomyini memang menaikkan pertumbuhan ekonomi,
pendapatan nasional maupun per kapita, tetapi kenaikan ini tidak riil
dalam arti tidak sustainaible dan tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat
banyak. Pergeseran pengelolaan barang dan jasa dari jalur publik
(negara) ke jalur private (swasta atau pasar) oleh kalangan neoliberal
juga dipercaya akan mampu meningkatkan efisiensi.
Karena itu, dalam ekonomi neoliberal, sektor kesehatan, pendidikan,
jalan-jalan umum,pelayanan administrasi umum, dan lain-lain yang
tradisinya ditangani negara, pelan-pelan dikomersialkan atau ditangani
swasta melalui mekanisme pasar.Perubahan ini dipercayai para neoliberal
akan mengundang investasi swasta di bidang kesehatan/rumah sakit,
sekolah/ perguruan tinggi, jalan tol, listrik swasta dan lain-lain.
Dengan demikian, terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan
harga-harga di sektor yang diswastakan itu, yang dengan sendirinya
menaikkan PDB dan pendapatan per kapita. Tetapi kenaikan itu belum tentu
sehat dan sesuai dengan yang dicita-citakan, karena hampir dipastikan
terjadi kenaikan harga (inflasi) di sektor publik yang dialihkan ke
pasar itu.Proses neoliberalisasi ini juga mengakibatkan melebarnya gap
si kaya dan si miskin (memperburuk Gini ratio) seperti yang terjadi di
Indonesia dan di negara-negara lain yang menjalankan kebijakan yang sama.
*** Dalam rezim ekonomi neoliberal, bargaining position rakyat kecil
lemah, cenderung kurang terlindungi, dan semakin tercekik oleh kenaikan
harga-harga. Sebaliknya proses pengalihan ekonomi dari sektor publik ke
sektor private ataupun proses privatisasi BUMN sering dijadikan lahan
konspirasi KKN atau pengurasan kekayaan negara yang dananya dimanfaatkan
untuk memperkaya diri sendiri ataupun kampanye politik dalam kultur baru
demokrasi liberal yang mahal dan kebablasan.
Dengan semakin banyaknya posisi-posisi kunci di bidang otoritas fiskal,
moneter dan perdagangan yang dipegang pendukung fanatik ekonomi
neoliberal, proses neoliberalisasi di Indonesia nyaris tidak lagi
terbendung.Subsidi-subsidi kerakyatan yang masih berlangsung dalam APBN
tidak lain sebagai trade-off dalam proses neoliberalisasi dan bersifat
sementara, khususnya untuk mengamankan dukungan politik terhadap penguasa.
Di lain pihak, subsidi dan keberpihakan terhadap pilar-pilar utama
ekonomi neoliberal, terutama perbankan, cenderung diperjuangkan all out
seperti dalam skandal BLBI jilid I (1997/98) maupun BLBI jilid II
seperti skandal Bank Century.Apakah pemerintahan SBY 2009–2014 ingin
melanjutkan atau mengakhiri rezim ekonomi neoliberal? Itu akan terlihat
dari susunan kabinetnya Oktober mendatang! (*)
DR Fuad Bawazier MA
Mantan Menteri Keuangan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269163/
Home »
» Melanjutkan Neoliberalisme?
Melanjutkan Neoliberalisme?
Written By gusdurian on Rabu, 30 September 2009 | 12.19
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar