BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perppu, Wajah Otoriter Sebuah Rezim

Perppu, Wajah Otoriter Sebuah Rezim

Written By gusdurian on Rabu, 30 September 2009 | 12.06

Perppu, Wajah Otoriter Sebuah Rezim
Oleh Prof Dr Tjipta Lesmana, MA Mantan anggota Komisi Konstitusi MPR


BANYAK orang sesungguhnya tidak memahami betul apa itu peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, atau yang populer dengan singerppu.
Pemerintah sendiri tampaknya juga tidak menghayati betul makna perppu
sehingga ada kesan perppu seenaknya diterbitkan.

Secara konstitusional, perppu memang produk hukum yang sah di negara
kita karena diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, perppu berada di
`peringkat ketiga', setelah UUD 1945 dan undang-undang (UU). Pasal 22
ayat (1) mengatakan, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."
Selanjutnya, ayat (2) menetapkan bahwa, "Peraturan pemerintah itu harus
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut."
Apabila perppu tidak disetujui DPR, menurut ayat (3), perppu itu harus
dicabut.

Dalam amendemen UUD 1945 yang berlangsung berturut-turut pada 1999
sampai 2002, Pasal 22 tidak diubah sedikit pun. Oleh para wakil rakyat
di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), isi Pasal 22 UUD 1945 yang asli
`disalin' seluruhnya ke dalam UUD 1945 hasil amendemen 1999-2002.

Perhatikan secara cermat kata-kata `Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa', yang terdapat pada ayat (1) Pasal 22 UUD 1945. Itulah syarat
utama bagi pemerintah untuk bisa mengeluarkan perppu. A contrario,
pemerintah tidak boleh, atau dilarang konstitusi, untuk menerbitkan
perppu manakala tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Apa arti, "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa?" Menurut penjelasan
resmi UUD 1945, frase tersebut merupakan terjemahan dari
noodverordeningsrecht. Dalam bahasa hukum Amerika ini sama dengan konsep
`clear and present danger', situasi bahaya yang terang-benderang dan
memaksa. `Nood' mengandung arti bahaya, atau darurat. `Ordenen' berarti
mengatur, menyusun. Secara harfiah, `noodverordeningsrecht' bisa
diartikan peraturan hukum untuk mengatur keadaan bahaya/darurat. Menurut
Penjelasan UUD 1945, perppu perlu diadakan agar keselamatan negara dapat
dijamin pemerintah dalam keadaan yang genting.

Dengan demikian, logika penerbitan perppu bisa disusun sebagai berikut.
Pertama, ada situasi bahaya, situasi genting. Kedua, situasi bahaya ini
dapat mengancam keselamatan negara jika pemerintah tidak secepatnya
mengambil tindakan konkret. Ketiga, karena situasinya amat mendesak,
dibutuhkan tindakan pemerintah secepatnya; sebab jika peraturan yang
diperlukan untuk menangani situasi genting itu menunggu mekanisme DPR
memerlukan waktu lama. Oleh sebab itu, keempat, menyimpang dari prosedur
penyusunan UU yang normal, pemerintah diberikan kewenangan untuk segera
menerbitkan perppu, mem-bypass DPR.

Karena sifatnya yang sangat luar biasa ini, pemerintah mestinya ekstra
hati-hati sekali dengan masalah perppu. Dalam sistem demokrasi,
`senjata' perppu tidak boleh sering-sering diobral, kalau tidak terpaksa
sekali. Sistem demokrasi mengajarkan setiap kebijakan publik harus
dibuat rakyat sendiri melalui wakil-wakil mereka di DPR. Rakyat juga
yang mengawasi pelaksanaan kebijakan publik tersebut. Dalam konteks
Indonesia, proses penyusunan UU dilakukan secara bersama oleh DPR dan
pemerintah. Perppu merupakan produk hukum yang sama sekali mengabaikan
keterlibatan wakil wakil rakyat.
Maka, sifatnya Maka, sifatnya otoritarian.
Toh, langkah ini bisa dibenarkan manakala memenuhi dua ketentuan pokok,
yaitu (a) keadaan bahaya/genting, dan (b) keadaan bahaya itu dapat
mengancam keselamatan negara manakala tidak segera diambil tindakan
konkret. PA Perppu dan pemerintah Rezim Orde Baru sering dikatakan rezim
otoriter atau represif. Namun, dari perspektif perppu, Soeharto bukan
penguasa otoritarian. Selama 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto,
ternyata, hanya, mengeluarkan empat perppu, berturut-turut pada 1969,
1984, 1992, dan 1997.
Pemerintah Habibie yang cuma berumur 18 bulan hanya menerbitkan 1 satu
perppu, yakni Perppu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Setelah itu, Presiden Gus Dur mengeluarkan tiga perppu; sedang
Presiden Megawati 2 perppu saja: Perppu No 1 Tahun 2002 dan Perppu No 2
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kedua perppu
itu betul-betul dikeluarkan karena ada keadaan bahaya yang mendesak
sekali, setelah Indonesia dan dunia internasional diguncang ledakan Bom
Bali pada 2002 yang menewaskan lebih dari 200 jiwa manusia.

Bagaimana dengan pemerintah SBY? Selama lima tahun memerintah, SBY
diam-diam sudah menerbitkan 18 perppu. Luar biasa! Jika dikaji secara
cermat, sebagian besar perppu tersebut sesungguhnya tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Masalah kehutanan, otonomi
daerah, `pengadilan perikanan', keimigrasian, Bank Indonesia. Semua
`diperppukan'. Aneh sekali. Di mana urgensinya? Di mana keadaan
bahayanya? Benarkah perppu-perppu tersebut diterbitkan karena tatkala
itu keselamatan negara betul-betul terancam? Untuk membentuk Lembaga
Penja min Simpanan (LPS) saja pun dipakai perppu (Perppu No 3 Tahun
2008). (Perppu No 3 Tahun 2008). Menarik disimak bahwa Perppu No 3 Tahun
2008 tenang LPS ditanda tangani 13 Oktober 2008. Pada hari yang sama
Presiden juga me ngeluar kan Perppu No 2 Tahun 2008 tentang erubahan
Kedua UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Hari-hari itu, Oktober
2008, merupakan hari-hari nahas bagi TA AREADI Bank Century. Apakah
penerbitan kedua perppu tadi memang dalam rangka `mengamankan' efek
ledakan Bank Century?
Terakhir (Perppu ke-18), sebelum berangkat ke Amerika untuk menghadiri
KTT G-20, Presi den Yudhoyono menandatangani Perppu No 4 Tahun 2009
tentang Perubahan atas UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Ko rupsi. Perppu ini jelas dikeluarkan sehubungan dengan
ditersangkakannya dua pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra
M Hamzah oleh Polri. Sesuai dengan ketentuan dalam UU No 30 Tahun 2002,
pimpinan KPK yang sudah berstatus tersangka harus dinonak tifkan.

Banyak pihak melihat penerbitan Perppu No 4 Tahun 2009 prematur, atau
sangat terburuburu, bahkan terkesan dipaksakan. Di mana aspek
`noodverordenings' atau `clear and present danger'-nya? Pertama, tuduhan
terhadap Chandra dan Bibit yang menyebabkan mereka jadi tersangka
sesungguhnya masih debatable. Apa yang dituduhkannya? Penyimpangan
terhadap kewenangan pejabat publik? Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi,
Mahfud MD, masalah itu menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menerima suap dari Anggoro? Bibit Rianto dalam jumpa pers Minggu, 27
September, membantah secara kategorial.
Ia bahkan berani disumpah apa pun bahwa ia tidak menerima satu sen pun
dari Anggoro.
Lucunya lagi, Antasari juga membantah telah memerintahkan Ary Muladi
untuk memberikan uang Rp1 miliar kepada Chandra M Hamzah, padahal
menurut Susno, tuduhan terhadap Chandra berdasarkan testimoni Antasari.
Atau terlibat dalam kasus korupsi alih fungsi hutan Tanjung Api-Api?
Menyadap telepon pewira polisi yang dinilai bukan kewenangan KPK?
Kedua, KPK sebetulnya tetap bisa berfungsi dengan hanya dua pimpinan,
kalaupun Chandra dan Bibit memang cukup bukti melakukan tindak kejahatan
untuk dijadikan tersangka.
Ketiga, kalau memang KPK dianggap bakal berjalan terseok-seok dengan
dipimpin dua orang, proses pencarian dan penggantian pimpinan lain yang
kosong bisa dilakukan secara normal, yakni lewat mekanisme DPR. Sekali
lagi, kita tidak melihat adanya unsur clear and present danger bagi
presiden untuk menerbitkan sebuah perppu! Alangkah lebih tepat jika SBY
mengeluarkan perppu untuk menunjang keberadaan Pengadilan Tipikor karena
DPR yang sekarang dipastikan gagal meloloskan RUU tersebut. Jika SBY
memang serius memberantas korupsi, keberadaan KPK harus dijaga, bahkan
ditingkatkan. Caranya? Ya, lewat perppu mengingat DPR sejak awal tidak
serius meloloskan RUU ini, setelah sekian banyak anggota dan eks
anggotanya dijebloskan ke penjara oleh KPK.

Maka, kepada pemerintah, khususnya para ahli hukum di sekitar presiden,
kita minta supaya membaca secara teliti isi dan roh Pasal 22 UUD 1945
tentang Perppu. Tanpa memenuhi dua persyaratan pokok, perpu dengan
sendirinya batal demi hukum dan oleh sebab itu harus ditolak oleh DPR.

Perppu juga menjadi catatan buram bagi pemerintah SBY mengingat SBY
adalah sosok pemimpin yang sejak awal selalu mengangkat tinggi-tinggi
moto demokrasi dan reformasi.
Padahal, perppu merupakan cermin otoriter sebuah rezim! Dengan demikian,
terciptalah cognitive dissonance di benak masyarakat luas terhadap SBY.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/30/ArticleHtmls/30_09_2009_010_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: