BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » *Isu Politik Orang Hilang*

*Isu Politik Orang Hilang*

Written By gusdurian on Rabu, 30 September 2009 | 10.14

*Isu Politik Orang Hilang*

Keputusan Rapat Paripurna DPR, 28 Oktober, soal sejumlah aktivis yang
masih hilang, menarik perhatian publik di tengah isu-isu politik lainnya.

Dalam putusannya, DPR mendesak pemerintah mencari kejelasan nasib 13
orang yang dinyatakan masih hilang oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. DPR pun mendesak pemerintah mencari siapa yang bertanggung
jawab dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Para aktivis itu hilang
dalam periode 1997-1998.

Putusan DPR itu terasa mendadak karena diputuskan dua hari sebelum DPR
2004-2009 mengakhiri tugasnya, 30 September 2009. Karena mendadak itu
pulalah, muncul banyak prasangka dan dugaan politik di balik putusan itu.

Masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia adalah problem rumit
dan sulit dalam proses transisi demokrasi di banyak negara, termasuk
Indonesia. Isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu telah menjadi isu
politik yang tak kunjung selesai, bahkan terkesan dipelihara untuk
dijadikan komoditas politik. Isu itu timbul tenggelam tergantung situasi
dan iklim politik yang melingkupi. Saling bantah dan saling lempar
tanggung jawab di antara lembaga selalu menyertainya.

Timbul tenggelamnya isu hak asasi manusia yang sering berkembang menjadi
isu politik dan ditiupkan untuk kepentingan politik terjadi karena
memang masalah itu nyata dan memang belum terselesaikan. Dalam diskursus
hak asasi manusia status hilangnya aktivis—tanpa ada kejelasan meninggal
atau masih hidup—merupakan kekerasan berkelanjutan.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa Afrika Selatan telah mampu
menyelesaikan problem masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang dipimpin Uskup Desmond Tutu serta pengaruh
kepemimpinan Nelson Mandela. Di negara Amerika Latin, seperti Argentina
dan Cile, problem pelanggaran hak asasi manusia masa lalu juga telah
mampu mereka lewati.

Kita memang belum berhasil menemukan pola penyelesaian. Ada jalan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi diambil, tetapi eksistensi lembaga itu mati
sebelum lahir. Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Jalur
pengadilan ditempuh, tetapi banyak terdakwa yang bebas. Sulitnya
ditemukan bukti hukum dan tafsir yang berbeda mengenai definisi
pelanggaran HAM berat dijadikan alasan hakim untuk membebaskan terdakwa.

Kita berharap putusan DPR ini disikapi secara arif oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Keputusan memang harus diambil untuk menyelesaikan
problem hak asasi manusia masa lalu dan agar kita tak terus tersandera
oleh masa lalu. Kepentingan keluarga korban harus menjadi titik
perhatian utama penyelesaian kasus itu.

Memberikan kejelasan nasib orang yang masih hilang serta pemberian
rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban tentunya merupakan
salah satu langkah bijak yang bisa dilakukan pemerintah.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04570972/tajuk.rencana
Share this article :

0 komentar: