BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ketika Upaya Pemberantasan Korupsi Dilumpuhkan

Ketika Upaya Pemberantasan Korupsi Dilumpuhkan

Written By gusdurian on Senin, 28 September 2009 | 10.03

Ketika Upaya Pemberantasan Korupsi Dilumpuhkan

Yenti Garnasih, Dosen/Sekretaris Pusat Studi Hukum Pidana, FH
Universitas Trisakti

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tampaknya memang tidak
semulus mengendarai mobil di jalan tol. Pada saat kita sedang
memikirkan bagaimana menyelamatkan Pengadilan Tipikor, yang dibahas di
DPR yang juga tidak jelas nasibnya, "malah" muncul kontroversi tentang
Perpu Pelaksanaan Tugas KPK (berisi perubahan Pasal 33 Undang-Undang
KPK) dan tentang Tim Rekomendasi menyusul dinonaktifkannya tiga
anggota KPK. Tentu saja hal tersebut menuai berbagai kritik, yang pada
umumnya khawatir akan keberadaan KPK, yang berujung pada pelemahan
upaya pemberantasan korupsi oleh KPK dan Pengadilan Tipikornya, yang
selama ini dianggap berhasil. Memang ada pendapat yang menganggap
bahwa keluarnya perpu oleh Presiden tersebut sudah tepat, namun
sebagian besar kalangan menganggap perpu tersebut merupakan langkah
keberpihakan Presiden terhadap institusi kepolisian, dan perpu
tersebut dianggap terlalu dini serta sekaligus mempertanyakan komitmen
Presiden terhadap pemberantasan korupsi.

Tidak mengherankan bila kontroversi tersebut muncul, mengingat korupsi
begitu marak di Indonesia dan banyak pejabat yang terlibat, sehingga
ada kecurigaan apakah sedang terjadi upaya melindungi pihak-pihak
tertentu, melalui pelemahan yang kerap dinilai dilakukan secara
sistematis. Bila dilihat dari lahirnya berbagai peraturan terkait
dengan pemberantasan korupsi, sekilas tampak ada komitmen pemerintah
memberantasnya. Namun, apa yang terjadi, berbagai peraturan dan badan
antikorupsi yang dibangun justru sering kali digoyahkan serta
dilumpuhkan, yang dicurigai hanya demi kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai bahan perenungan betapa terjal upaya pemberantasan korupsi ini
tampak dari sejarah panjang pengaturan antikorupsi yang pernah ada di
bumi tercinta ini.

Dari berbagai regulasi dan badan antikorupsi yang silih berganti
dilahirkan, itu bukannya memperlihatkan kemauan kuat untuk
pemberantasan korupsi yang sudah parah, yang terbaca malah sebaliknya.
Seperti saat ini, selalu saja ada upaya pelemahan KPK, misalnya upaya
mengamputasi kewenangan melakukan penuntutan melalui RUU Pengadilan
Tipikor. Kriminalisasi terhadap anggota KPK juga terjadi dengan
ditetapkannya dua anggota KPK menjadi tersangka dalam kasus
pencengkalan buron Direktur Masaro, dan sebelumnya beberapa kali
dilakukan uji materi atas kewenangan KPK tersebut ke Mahkamah
Konstitusi, yang untungnya ditolak dan sekaligus dikuatkan oleh MK.

Kembali pada masalah yang sedang dihadapi sekarang. Banyak
dipertanyakan, sudah tepatkah landasan dikeluarkannya perpu tersebut
yang harus dikaitkan atas dasar adanya kegentingan yang memaksa. Dalam
konteks ini, alasan kegentingan yang dijadikan landasan adalah
prediksi bahwa KPK tidak akan berjalan apabila hanya dipimpin oleh dua
pimpinan KPK. Padahal, pada saat Antasari Azhar nonaktif, KPK masih
mampu menangani banyak kasus korupsi, dan pihak KPK pun menyatakan
mereka mampu melanjutkan tugas mereka. Mestinya keluarnya perpu
tersebut mempertimbangkan kondisi pemberantasan korupsi setelah
nonaktifnya tiga pimpinan atau adanya desakan masyarakat karena
praktek pemberantasan korupsi semakin melemah.

Keluarnya perpu tak pelak menimbulkan prasangka yang sangat subyektif
bahwa dengan dua pimpinan, KPK tidak mampu menjalankan agenda
pemberantasan korupsi, padahal belum tentu. Prasangka adanya
subyektivitas atas keluarnya perpu juga tidak terlepas dari "ulah "
Bareskrim, yang menetapkan dua unsur pimpinan KPK sebagai tersangka.
Penetapan itu juga masih menuai kontroversi, yang mempertanyakan,
tepatkah kepolisian yang menangani perkara penyalahgunaan wewenang, di
manakah aspek tindak pidananya sehingga dua orang pimpinan KPK yang
diduga menyalahgunakan kewenangan terkait dengan pencekalan serta-
merta dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana. Lalu bagaimanakah
dengan masalah keterlambatan pencekalan yang sering terjadi dalam
kasus korupsi lainnya, misalnya kasus Adelin Lis, mengapa jaksa yang
terkait pencekalan itu tidak dipidanakan? Maka tidak mengherankan,
berkaitan dengan masalah ini, muncul beberapa tanggapan seperti dari
Mahfud Md., yang menyatakan pelanggaran yang dilakukan dua pimpinan
KPK adalah ranah hukum administrasi, bukan hukum pidana, jadi bukan
kewenangan Polri. Bahkan kuasa hukum Candra Hamzah dan Bibit Samad
Rianto berencana melakukan praperadilan terhadap Polri.

Dengan berbagai tanggapan yang muncul atas kejanggalan yang dilakukan
Polri, yang sangat bersentuhan dengan keberadaan KPK dan kinerjanya,
mestinya pemerintah lebih arif dan hati-hati serta tidak menampakkan
sikap ketergesaan, yang menuai kecurigaan masyarakat. Alangkah baiknya
bila berbagai tanggapan dikaji secara mendalam dan Presiden menunggu
putusan pengadilan terhadap upaya praperadilan yang akan dilakukan
kalau memang konsisten bahwa negara ini dibangun atas dasar hukum
sebagai panglima. Selain membawa kesan bahwa Presiden membenarkan apa
yang dilakukan Polri, lebih membahayakan lagi bahwa hal ini akan
menjadi preseden buruk, yaitu akan banyak penegak hukum yang sedang
menjalankan tugas dianggap tidak berwenang dan dikriminalisasi.
Akibatnya, sebanyak apa pun badan antikorupsi dibentuk dengan segala
kewenangannya, badan itu akan terus ditumbangkan begitu saja oleh
Polri.

Sekarang perpu telah dikeluarkan, Tim Khusus Rekomendasi KPK telah
memulai masa kerjanya selama tujuh hari, maka harapan kepada
pemerintah adalah tetap bertindak adil dan menjunjung tinggi asas
equality before the law, yaitu meminta aparat penegak hukum secepatnya
juga menindaklanjuti kasus Bank Century. Sebab, akar permasalahan
ditetapkannya dua komisioner KPK sebagai tersangka diduga atau
dicurigai adalah kasus penyadapan yang dilakukan KPK terhadap petinggi
Polri terkait dengan kasus Bank Century, dan tindakan Polri terhadap
keduanya adalah karena upaya balas dendam. Pandangan masyarakat bahwa
antara Polri dan KPK terjadi perseteruan tidak begitu saja bisa mudah
ditepiskan, meskipun pihak Polri berkali-kali mengklarifikasi, bahkan
"bela diri" dari pihak Polri yang berlebihan semakin mengundang
kecurigaan masyarakat terkait dengan adanya keterlibatan oknum Polri
dalam kasus Bank Century. Untuk ini semua, seharusnya tidak ada jalan
kecuali segera dilakukan pemeriksaan terhadap keterlibatan tersebut.
Bagaimanapun, masyarakat menuntut kejelasan kasus yang menjadi
berbelit dan kusut seperti sekarang ini, yaitu benarkah Polri
berwenang mengusut perkara penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan
pimpinan KPK, dan juga sekaligus menuntaskan keterlibatan Polri dalam
perkara Bank Century.

Dalam kondisi sekarang ini, tampaknya kita tidak boleh larut dalam
polemik, karena mungkin justru bisa lebih menghambat agenda
pemberantasan korupsi, dan situasi tersebut hanya akan menyenangkan
para koruptor dan calon koruptor. Dengan masih adanya gayutan
kekecewaan, kita menyelipkan harapan agar Tim dapat bekerja dengan
baik dan memberikan rekomendasi yang berakhir dengan terpilihnya orang-
orang baik, jujur, dan profesional sebagai pengganti pimpinan KPK yang
tersandung masalah hukum. Masyarakat akan selalu bertanya, mengapa
terhadap pemberantasan korupsi sepertinya sulit sekali dilakukan,
sedangkan terhadap pemberantasan kejahatan terorisme, Indonesia begitu
gemilang menanganinya. Apakah karena pelaku teroris hanya melibatkan
masyarakat biasa sebagai pelaku, sedangkan korupsi lebih banyak
melibatkan orang-orang kuat di negara ini? Semoga tidak!


http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/26/Opini/krn.20090926.177244.id.html
Share this article :

0 komentar: