BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sejarah Partisipatoris

Sejarah Partisipatoris

Written By gusdurian on Rabu, 30 September 2009 | 10.24

Sejarah Partisipatoris



*Armada Riyanto*

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang ”menyejarah”. Artinya, manusia adalah
pencipta sejarahnya.

Namun, sudah cukup lama sejarah seolah menjadi sebuah ”laporan politis”
sebuah rezim. Narasi historis disistematisasi, dimanipulasi, dan
diterminologisasi untuk sebuah kekuasaan. Sejarah lalu berubah menjadi
indoktrinasi.

Begitulah. Ihwal peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) telah lama
diktum historisnya digandengkan dengan kudeta PKI dan aneka bentuk
kutukan hidup manusia hingga saat ini.

*Jatuh bangun bangsa*

”Laporan politis” mengabdi kekuasaan. Sebuah kesadaran sejarah akan
peristiwa ”jatuh bangun bangsa” mengabdi kemanusiaan. Jika yang pertama
mengedepankan indoktrinasi, yang kedua melakukan studi dan mengajukan
pertanyaan.

Siapakah korban G30S? Kita tahu, korban bukan hanya para jenderal,
tetapi juga ribuan bahkan konon sampai jutaan nyawa manusia. Para
jenderal telah menjadi Pahlawan Revolusi, sementara korban lain hingga
kini tak dikenal. Bagi keluarga korban, mulut pun masih membisu jika
menyebut namanya.

Para ahli sejarah umumnya sepakat, peristiwa G30S merupakan sebuah
”tragedi kemanusiaan terbesar” bangsa kita. Ranah tragedinya bukan hanya
pada fakta pembasmian massa secara ngawur maupun sistematis terhadap
mereka yang dikategorikan PKI dan ”antek-anteknya”, tetapi juga terhadap
para peselamat dan keluarganya.

Jika melihat sejarah G30S dari perspektif korban, kita akan memiliki
narasi kisah-kisah luar biasa. Keteguhan, cinta, kekokohan, episode
dramatis penindasan dan ketahanan diri yang mengharukan campur baur
menjadi satu. Simak bagaimana Pulau Buru yang selama puluhan tahun
menjadi wilayah terkutuk telah berubah menjadi sebuah pulau ”gudang beras”.

Simak juga bagaimana Gerwani (salah satu sayap PKI) diberitakan dalam
harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha sebagai wanita-wanita bejat
moral karena menyiksa secara keji para Pahlawan Revolusi. Namun, menurut
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan yang diketemukan, para
jenderal wafat karena luka tembak dan tusukan bayonet (tidak dijumpai
penyiksaan keji seperti dituduhkan kepada Gerwani). Tidak seorang pun
berani menulis tentang kebenaran ini hingga Ben Anderson memublikasikan
artikel ”How did the Generals die?”; dan itu pun baru terjadi tahun 1987
(Intisari, September 2009, 126).

Ini berarti laporan sejarah bagaimana para pahlawan kita dibunuh
(seperti jelas disaksikan dalam film yang diputar berulang-ulang selama
puluhan tahun) terkesan mengada-ada. Kepahlawanan mereka tak terkurangi
sedikit pun oleh cara bagaimana mereka disiksa. Namun, aneka tuduhan
yang memicu kemarahan massa terhadap Gerwani dan lainnya kini memiliki
kebenaran yang problematis.

Saskia E Wieringa melakukan penelitian secara ekstensif atas Gerwani.
Temuannya mengejutkan: Gerwani ternyata sebuah gerakan perempuan yang
mendeklarasikan kemandirian dan komitmen tinggi pada prinsip-prinsip
moral serta merupakan organisasi pertama di Indonesia yang menolak tegas
poligami.

Majalah Intisari menyebut kesalahpahaman tragis pelaporan penganiayaan
para Pahlawan Revolusi sebagai ”kesalahan media” (hal 122-129). Namun,
Pierre Bourdieu mengatakan, media massa bukan sekadar ”alat komunikasi”,
tetapi ”alat kekuasaan”. Maksudnya bahasa komunikasi massa bukan sekadar
menyampaikan informasi, tetapi juga mempropagandakan ideologi. Dan,
aneka fenomena selanjutnya tidak sulit dibayangkan, Gerwani dan siapa
pun yang pernah terlibat komunisme harus dilenyapkan.

*Partisipatoris*

Partisipatoris berarti membebaskan. Sejarah dalam ranah pengalaman
eksistensial manusia bukan peristiwa masa lampau yang sudah selesai.
Sejarah adalah kisah hidup yang mengukir rasionalitas dan pasionitas.
Sejarah adalah kisah yang berbicara saat ini dan masa depan.

Konstruksi sejarah yang ”membebaskan” adalah yang memberi ruang
seluas-luasnya kepada narasi-narasi partisipatoris pengalaman hidup para
korban, peselamat, dan keluarganya. Selain itu, ruang diberikan juga
kepada para pelaku, yang memiliki perspektifnya sendiri dan konon kerap
”terbangun” dari tidurnya oleh mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya.

Hingga kini hampir mustahil kita mendengarkan pahit getirnya perjuangan
keluarga korban. Nama-nama korban yang terbunuh bukan saja lenyap dari
makam (saat itu jenazah dibuang di sungai atau dibakar), tetapi juga
kerap hilang dari ingatan kasih doa anak dan cucu mereka. Dan, tak satu
pun dari kita, tetangga, berminat menanyakan dan mengingat kebaikannya.

Sementara itu, para peselamat yang sehabis masa tahanan penuh
penderitaan dan penghinaan berjuang hidup. Itu pun terasa sulit dan
sering menyakitkan sebab tetangga sudah keburu menghukum mereka dan
mengasosiasikannya dengan komunis, tak bertuhan, tak bermoral.

Sejarah partisipatoris G30S mengandaikan ketajaman nurani bahwa bangsa
ini pernah jatuh di lubang dalam kesalahpahaman antartetangga dan
antarkerabat hingga lenyap sia-sia jutaan nyawa saudara-saudari sendiri.
Kepiluan tragedi ini jika dilucuti dari ”laporan politis” penguasa
kiranya akan mencairkan kebekuan hati untuk bersedia mendengarkan keluh,
tangis, cemas, dan harapan para korban, peselamat, dan keluarga mereka.
Sebab, mereka pun dilahirkan di tanah ini, pernah berjuang untuk negeri
ini, dan berhak hidup damai di bumi ini.

Sejarah yang membebaskan terjadi ketika narasi tangis dan cemas mereka
adalah juga tangisan dan kecemasan nurani kita. Mungkinkah sejarah itu
partisipatoris? Mengapa tidak?

/Armada Riyanto CM Guru Besar Filsafat Politik dan Ketua STFT Widya
Sasana, Malang
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04542318/sejarah.partisipatoris
Share this article :

0 komentar: