BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Dua Rektor Calon Kuat Moderator Debat

Written By gusdurian on Sabtu, 23 Mei 2009 | 11.17

Dua Rektor Calon Kuat Moderator Debat

JAKARTA(SI) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggodok 6 moderator untuk
proses debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan calon moderator yang sedang
digodok adalah Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Soemantri,
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Komaruddin Hidayat, pengamat
ekonomi dari Indef Aviliani, Direktur Lembaga Penyiaran Publik RRI Parni
Hadi.

Selain mereka ada pula Ketua IDI Fachmi Idris.”Satu lagi seorang pakar
hukum tata negara, kalau tidak salah namanya Sofian Samad,” ungkap Hafiz
seusai salat Jumat di Gedung KPU kemarin. Menurut dia, nama-nama
tersebut akan didiskusikan dengan para tim sukses pasangan bakal calon
presiden dan calon wakil presiden.

Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Pilpres terkait mekanisme debat
capres-cawapres. Dia juga menegaskan calon moderator nantinya harus
memenuhi beberapa kriteria, menjaga bersikap netral, tidak memiliki
kepentingan dengan pihak tertentu,dan memiliki pengetahuan di bidangnya.

”Keenam calon dinilai memenuhi kriteria tersebut,” katanya. Sekadar
diketahui,debat akan dilaksanakan dalam lima tema. Pertama, strategi
tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih terkait penegakan hukum
dan HAM.Kedua, strategi peningkatan untuk mewujudkan ketahanan
pangandanmengatasikemiskinandan pengangguran.

Ketiga, ilmu pengetahuan dan keagamaan.Keempat, lingkungan hidup.
Kelima, fokus pembangunan lima tahun ke depan. Anggota KPU I Gusti Putu
Artha menambahkan, nanti setiap capres akan berdebat dengan capres lain.
Frekuensi debat antarcapres ini tiga kali.Debat antarcawapres juga
dilakukan, tetapi terpisah, yakni dua kali. ”Jadi nanti debat ada lima
kali,”ujarnya. (kholil)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/240744/

Nilai Egaliter Masyarakat Mendut

Nilai Egaliter Masyarakat Mendut
Gugun El-Guyanie Peneliti Kebangsaan


M UNGKIN tidak banyak orang M tahu bahwa Candi Mendut M yang menjadi
sentrum dan M simbol umat Buddha, warga M nya di Kelurahan Mendut tidak
satu pun yang beragama Buddha. Tapi siapa pula yang pernah tahu bahwa
setiap perayaan Waisak sebagian besar panitianya adalah warga Kelurahan
Mendut yang muslim? Atau mungkin banyak orang yang kurang percaya, bahwa
setiap tahun perayaan Waisak, acara pengobatan gratis yang
diselenggarakan umat Buddha justru merangkul warga muslim yang menjadi
pasien mayoritas.

Satpam dan para pelayan yang melayani kebutuhan para biksu di Wihara
Mendut juga orang muslim dan orang Katholik.

Di tengah-tengah terancamnya kerukunan antarumat beragama, radikalisme,
dan fanatisme agama yang mengancam cita-cita kebangsaan, perlu kiranya
becermin kepada masyarakat Mendut. Mendut adalah cermin jernih yang
tersembunyi, menyembunyikan kearifan penduduknya yang religius, tetapi
sekaligus arif dan berperadaban tinggi.

Begitu terdengar kata mendut, yang pertama kali muncul dalam imajinasi
kebanyakan orang adalah Candi Mendut, yang terletak di Desa Mendut,
Kecamatan Kota Mungkid, Magelang Jawa Tengah. Tiba-tiba menjadi sorotan
publik pada saat perayaan Hari Raya Waisak.

Padahal bukan hanya Candi Mendut dan wihara yang menjadi magnet eksotik
di Kelurahan Mendut tersebut. Kehidupan masyarakatnya yang plural,
toleran, dan berperadaban tinggi juga menarik untuk dipelajari.

Mayoritas penduduknya hampir 90% beragama Islam. Kira-kira 70% berada di
bawah ormas Nahdlatul Ulama, dan sisanya 30% menjadi orang Muhammadiyah.

Namun pemeluk agama Katholik dan Protestan juga mendapatkan ruang untuk
beribadah. Mereka semua hidup damai berdampingan, membangun masyarakat
yang gemah ripah loh jinawi, tata tenterem karta raharja, baldatun
thayyibatun warabbun ghaffur.

Di Kelurahan Mendut terdapat beberapa tempat ibadah, di antaranya adalah
Masjid Baitul Murtadho, Gereja Bunda Maria Sapta Duka, Wihara Mendut,
dan Candi Mendut.

Mereka semua menjunjung tinggi toleran si dan solidaritas untuk
membangun masyarakat tanpa membeda-bedakan baju ormas keagamaan.

Sudah puluhan tahun tempat-tempat ibadah beserta para pemeluknya yang
berbeda agama, berbeda mazhab, tidak satu pun persoalan yang mengangkat
sentimen perbedaan agama atau aliran. Umat Islam di Mendut semakin
khusyuk menjadi muslim.

Umat kristiani juga semakin meyakini agamanya, juga umat Buddha merasa
mantap dengan ajarannya.

Namun mereka semua tidak kemudian menjadi fanatik dan radikal,
menganggap yang lain salah. Bahkan kedalaman warga dengan agamanya
masing-masing membuahkan kehidupan masyarakat yang toleran dan etos
sosial yang tinggi.

Inilah yang disebut pluralisme versi Emha Ainun Nadjib. Yakni, biarkan
kambing menjadi kambing, dan biarkan anjing menjadi anjing, tetapi
sama-sama mencari makan di lapangan dengan rukun. Bukannya anjing
dikambing-kambingkan, atau kambing dianjing-anjingkan, atau
menyembunyikan identitas dan ideologinya yang asli.

Agama Buddha, Islam, dan Katholik, sama-sama memiliki sejarah dan akar
yang men dalam di Mendut. Prinsip-prinsip keadilan, persamaan derajat
dan toleransi benar-benar tegak berdiri di Mendut sebagaimana yang
diajarkan Rasulullah Muhammad SAW ketika membangun peradaban Madinah.
Hak-hak pendidikan, kemajuan di bidang pertanian dan kesehatan di Mendut
jauh lebih maju daripada di tempat lain.

Bahkan kaum tani mampu mengatur sen diri kebijakan pertanian tanpa harus
diin tervensi birokrasi pemerintah.

Jika selama ini Candi Mendut saja yang hanya menjadi objek wisata di
jalur strategis Internasional Yogyakarta-Borobudur, sekarang saatnya
‘masyarakat Madani Mendut’ tampil menjadi objek wisata dan tujuan studi
banding untuk model kerukunan umat beragama.

Tanpa masyarakat yang religius dan toleran, mungkin artefak-artefak
semacam candi, gereja tua, ataupun bangunan lain tidak akan bertahan
sampai hari ini. Masyarakat Mendut bukan hanya merawat simbol-simbol
agama, melainkan juga meruwat sikap dan substansi beragama yang
memberikan cinta damai untuk sesama.

Masyarakatnya yang religius, berbudaya, berakhlak, serta solidaritas dan
toleransinya yang tinggi, dilengkapi dengan hadiah Tuhan panorama alam
yang indah, terdapat Su ngai Elo, tanah pertanian yang subur, se
olah-olah Mendut sengaja didesain Tuhan men jadi surga bagi manusia abad
ke-21.(M-4)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/23/ArticleHtmls/23_05_2009_011_002.shtml?Mode=0

Religi Jawa Manusia Kejawen

Religi Jawa Manusia Kejawen
Wusthol Bachrie Mahasiswa Fak Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

*Alam pikiran orang Jawa, merumuskan kehidupan manusia ke dalam
makrokosmos dan mikrokosmos.*

ORANG Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan segala
kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang
pertama kali ada. Tuhan juga bertindak sebagai pengatur, karena segala
sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas izin serta kehendak-Nya.

Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini ialah sumber yang dapat
memberikan penghidupan, keseimbangan, dan kestabilan, yang dapat juga
memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan
orang Jawa yang demikian bia sa disebut manunggaling kawula lan gusti,
yai tu pandangan yang beranggapan bahwa ke wajiban moral manusia ialah
mencapai harmo ni dengan kekuatan dan kesatuan terakhir, bah wa manusia
menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gustinya.

Ciri pandangan hidup orang Jawa yaitu realitas yang mengarah kepada
pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, ma syara kat, dan alam
adikodrati yang dianggap ke ramat. Sedangkan alam yaitu ungkapan ke
kuasaan yang menentukan kehidupan.

Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehi dupan manusia berada dalam dua
kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.

Makrokosmos adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta, yang
me ngandung kekuatan-kekuatan supranatural. Sebagai tujuan utamanya
dalam hidup tidak lain mencari dan menciptakan keselarasan atau
keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.

Sikap dan pandangan terhadap dunia nya ta (mikrokosmos) adalah tecermin
pada ke hidupan manusia dengan lingkungannya, su sunan manusia dalam
masyarakat, tata ke hidupan manusia sehari-hari, dan segala se suatu
yang tampak dalam mata.

Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada pimpinan atau raja dan
keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja dianggap
perwujudan wakil Tuhan di dunia, sehingga dalam dirinya terdapat
keseimbangan berbagai kekuatan dari dua alam.

Jadi raja dipandang sebagai pusat komunitas di dunia seperti halnya raja
menjadi mikrokosmos dari wakil Tuhan dengan keraton sebagai tempat
kediaman raja.

Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja, karena
raja pun dianggap merupakan sumber kekuatan kosmis yang mengalir ke
daerah kedaulatannya dan membawa ketenteraman, keadilan, dan kesuburan
wilayah.

Inilah kehidupan manusia Jawa tentang alam pikiran, sikap dan pandangan
hidup yang dimiliki pada zaman kerajaan. Alam pikiran ini telah berakar
kuat dan menjadi landasan falsafah dari segala perwujudan yang ada dalam
tata kehidupan orang Jawa.

Kejawen Religius orang Jawa (kejawen) merupakan suatu cap deskriptif
bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan
yang mendefinisikannya sebagai suatu kategori khas.

Pandangan ini menekankan ketenteram an batin, keselarasan, dan
keseimbangan, si kap nrima terhadap segala peristiwa yang ter jadi
sambil menempatkan individu di bawah masya rakat dan masyarakat di bawah
semesta alam.

Pandangan kejawen (javanisme) yang diperke nalkan sosiolog Barat Neil
Mulder, bahwa unsur-unsur ini berasal dari masa HinduBuddha dalam
sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu fi lsafat, yaitu sistem khusus
dari dasar bagi perilaku kehidupan.

Intinya, javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai
suatu ba dan pengetahuan yang menyeluruh, yang di pergunakan untuk
menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya. Jadi kejawen bukanlah suatu
kategori keagamaan, melainkan menunjukkan kepada suatu etika dan gaya
hidup yang diilhami cara berpikir.

Dasar pandangan Jawa berpendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah
di ten tukan dalam segala seginya. Mereka meng anggap bahwa pokok
kehidupan dan sta tus dirinya sudah ditetapkan, nasibnya su dah
ditentukan sebelumnya. Jadi mereka ha rus menanggung kesulitan hidupnya
dengan sabar.

Kesadaran akan budaya ini sering kali men jadi kebanggaan dan identitas
kultural.

Orang-orang inilah yang memelihara warisan bu daya Jawa secara mendalam
yang dapat dianggap sebagai kejawen.

Budaya Jawa (kejawen) memahami kepercayaan pada pelbagai macam roh-roh
yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan
atau penyakit apabila mereka dibuat marah.(M-4)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/23/ArticleHtmls/23_05_2009_011_003.shtml?Mode=0

J.F.X. Hoery

J.F.X. Hoery
Tak Ingin Sastra Jawa Mati

Sepeda motor Honda Astrea keluaran 1980-an memasuki pekarangan rumah
yang penuh pepohonan di Desa Padangan, Kecamatan Padangan, Bojonegoro.
Pengendaranya, pria bertopi yang berboncengan dengan wanita paruh baya.

Pria itu bernama JFX Hoery, 64 tahun, dan Sri Narjati, istrinya. Ya,
setidaknya, dalam 10 tahun terakhir ini, sepeda motor warna hitam itulah
yang berjasa mengantar beraktivitas pemiliknya. Termasuk antar-jemput
sang istri, seorang guru yang juga kepala sekolah dasar negeri di sebuah
desa di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. "Saya sedang
menyiapkan berkas sertifikasi guru untuk istri saya," ujar pria
kelahiran Pacitan ini.

Dalam jagat jurnalistik, terutama bahasa Jawa, nama J.F.X. Hoery sudah
tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai seorang sastrawan Jawa yang kini
mulai langka. Banyak hasil karangannya telah diterbitkan dalam bentuk
buku, antara lain /Lintang-lintang Abyor/, /Langit Jakarta/, dan buku
cerita anak dengan judul /Permaisuri yang Cerdik/ dan /Sosiawan-sosiawan
Kecil/.

Sebagian besar karya Hoery ditulis dalam bahasa Jawa, baik berupa
/geguritan/ (puisi) atau kumpulan cerita cekak (cerita pendek), yang
dimuat di sejumlah media seperti /Penjebar Semangat/, /Joyo Boyo/, /Joko
Lodang/, /Dharma Nyata/, /Dharma Kanda/, /Parikesit/, /Pustaka Candra/,
/Praba/, /Damar Jati/, dan harian /Suara Merdeka/ di Semarang.

Boleh dibilang, di antara sejumlah nama besar sastrawan Jawa di Jawa
Timur, Hoery termasuk salah satu sastrawan yang produktif. Hingga 2006,
Hoery sudah menghasilkan sekitar 100 cerita cekak dan sekitar 350
/geguritan/. Bahkan, pada 2004, buku /Pagelaran/, kumpulan /geguritan/
Hoery, juga mendapatkan hadiah Rancage, penghargaan paling bergengsi
untuk sastra daerah.

Di luar aktivitasnya sebagai pengarang Jawa, Hoery juga pernah menjadi
wartawan /Kedaulatan Rakyat/ (1985-1989) dan /Bernas/ (1990-2001) di
Bojonegoro dan Blora. Tetapi, bagi Hoery, sastra Jawa lebih kuat daya
tariknya ketimbang menjadi wartawan. Menurut dia, sastra Jawa bisa
memberikan kepuasan batin ketimbang sastra Indonesia. "Intuisi saya ke
sastra Jawa lebih kuat," pria sederhana ini menegaskan.

Selain sebagai penggurit yang andal, Hoery dikenal sebagai pekerja
keras, ulet, teliti, sekaligus seorang pendokumen yang baik. Arsip-arsip
hasil karya tulisnya--termasuk foto--masih disimpan rapi di rumahnya di
Dusun Kalangan, Desa Padangan. Bahkan, hingga saat ini Hoery juga masih
telaten menjadi agen sejumlah media Jawa seperti /Jaya Baya/ dan
/Penjebar Semangat/. Bagi Hoery, kerelaannya menjadi agen majalah
tersebut adalah bagian dari kecintaan dan penghormatannya pada sastra Jawa.

Berkat upaya /menguri-uri/ (merawat) sastra Jawa ini, Hoery kerap
menjadi narasumber penelitian dari para mahasiswa dan dosen dari
sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Semarang dan
Universitas Negeri Surabaya. Bahkan, salah seorang peneliti dari
Universitas Canberra, Australia, George Quinn, juga pernah meneliti
karya Hoery.

Proses kreatif Hoery sebagai sastrawan diawali pada 1960, saat
tulisannya (cerita anak) di rubrik Taman Putra di majalah /Penjebar
Semangat/. Kegiatan menulis ini tak lepas dari lingkungan masa kecilnya
yang kental dengan tradisi Jawa seperti kegiatan macapat (menyanyi
Jawa). Dari pergaulannya dengan tradisi ini, pada l969 hingga kini Hoery
terus mengembangkan kemampuannya dalam menulis geguritan dan cerita pendek.

Setelah menerbitkan buku /Pagelaran/ (2003) /Bojonegoro Ing Gurit/, dan
/Banjire Wis Surut/ (2006), Hoery kini bersiap menerbitkan empat buku
lagi, dua di antaranya berjudul /Kabuncang Ing Pangengan/ dan /Tandure
Wis Sumilir/. Namun, rencananya ini masih tersendat karena terganjal
dana. "Belum ada sponsor yang mau menerbitkannya," kata Hoery.
Penerbitan buku sastra Jawa memang masih tergantung sponsor. "Soalnya,
jarang penerbit yang tertarik sastra Jawa," dia menambahkan.

Latar belakang pendidikan Hoery sebenarnya tidak ada sangkut pautnya
dengan sastra Jawa. Pendidikan terakhirnya adalah sekolah tinggi
menengah (STM) di Semarang. Karena itu, pada 1970-an, Hoery sempat
bekerja di pengeboran minyak di sejumlah daerah di Jawa. Di luar
kegiatannya sebagai pengarang, pada 1999-2004, Hoery juga pernah menjadi
anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bojonegoro
dari PDI Perjuangan.

Di tengah euforia politik yang kini melanda elite Indonesia, Hoery
mengaku sangat prihatin atas perkembangan sastra Indonesia, terlebih
sastra Jawa. Kegiatan sastra Jawa kini semakin redup. Akibatnya,
anak-anak muda zaman sekarang sudah tidak punya /unggah-ungguh/ (sopan
santun) terhadap orang tua. "Itu karena pelajaran bahasa Jawa mulai
ditinggalkan," katanya.

Meskipun kegiatan sastra Jawa semakin surut, Hoery tak rela jika suatu
saat nanti sastra Jawa mati. Untuk itu, dia terus menulis dan
menggerakkan Pamursudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB)--organisasi yang
kini dipimpinnya--agar karya dan jejaknya menjadikan pelita bagi sastra
Jawa. *Sujatmiko*

*Penggerak Organisasi*

Kegelisahan dan emosi J.F.X. Hoery sebagai seorang sastrawan Jawa tidak
hanya disalurkan dalam bentuk tulisan, tetapi juga diwujudkan dalam
kegiatan di Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB).

Organisasi ini didirikan pada 6 Juli 1982 oleh sejumlah pengarang di
Bojonegoro, seperti Yusuf Susilo Hartono, Jayus Pete, Sardjoe
Resosepoetro, Yes Ismie Soeryaatmaja, dan Hoery. Nama PSJB sempat
/moncer/ di era l982-l986. Puncaknya terutama ketika PSJB
menyelenggarakan sarasehan sastra daerah dengan tema "Jati Diri Sastra
Daerah". Selain mengundang penggiat sastra dari Aceh, Minang, Sunda,
Jawa, Bali, Banjar, dan Bugis, PSJB mengundang George Quinn, peneliti
dari Australia.

Sebagai organisasi nirlaba, pasang surut PSJB sangat bergantung pada
figur dan kepedulian pengurusnya. PSJB mulai vakum pada l987 setelah
Yusuf Susilo Hartono--Ketua PSJB saat itu--merantau ke Jakarta.
Komunitas ini baru aktif lagi pada 2000 setelah PSJB dipimpin oleh
Hoery. Selain sudah menerbitkan tiga buku, pada masa kepemimpinan Hoery,
PSJB menyelenggarakan sejumlah seminar dan pelatihan bagi guru-guru di
Bojonegoro.

Yang terbaru, PSJB juga ikut memelopori penelitian situs di Bojonegoro
dengan bekerja sama dengan jurusan Arkeologi Universitas Udayanai. Pada
Juni depan, PSJB juga akan menggelar lomba tulis bahasa Jawa
se-Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. "Ini upaya untuk
melestarikan sastra Jawa," kata Hoery.

Untuk mempertahankan bahasa daerah di Tanah Air, Hoery sependapat dengan
Ajib Rosidi, sastrawan Sunda yang juga pendiri Yayasan Rancage, yaitu
agar para penggiat sastra daerah secara berkala menyelenggarakan kongres
bahasa daerah. "Dan ini sudah kita lakukan," kata Hoery.

Kini, di usianya yang mulai senja, Hoery masih bersemangat untuk
melestarikan sastra Jawa. Ini dibuktikannya dengan mengajak anak-anak
muda dalam menjalankan PSJB. "Ini untuk kaderisasi," ucapnya. *Sujatmiko
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/23/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090523.165961.id.html

Boediono tidak Mau Dijadikan Ban Serep SBY

Boediono tidak Mau Dijadikan Ban Serep SBY



CALON wakil presiden Boediono mengungkapkan bila terpilih dalam
pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), ke lak ia tidak ingin
dijadikan ban serep. Pendamping calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) ini ingin diberi peranan konkret dan riil dalam menjalankan segala
tugas dan kewajiban sebagai seorang wakil presiden.

“Dalam sistem presidensial, kewenangan harus utuh di tangan presiden.
Tidak dibagibagi karena kalau dibagi-bagi seakan-akan ada dua pilar
kepemimpinan.

Namun, sebagai wapres saya ingin juga diberi peranan yang konkret dan riil.

Saya tidak mau dijadikan ban se rep,” kata Boediono saat ber kunjung ke
kantor Media Group di Jakarta, kemarin.

Boediono mengatakan ketimbang bagi-bagi wewenang, ia le bih ingin agar
kebersamaan antara presiden, wapres, dan pa ra menteri kelak merupakan
kebersamaan dalam sebuah tim. Untuk itu, keberhasilan pe merintahan
diukur dan di klaim sebagai keberhasilan tim, bukan keberhasilan
presiden, wapres, dan menteri secara individu.

Mantan Gubernur Bank Indonesia ini menambahkan, hingga kini tidak ada
penandatanganan kontrak politik antara ia dan SBY terkait dengan
pembagian tugas sebagai presiden dan wapres.

“Saya mengenal Pak SBY sudah cukup lama, bahkan jauh se belum beliau
menjadi presiden.

Saya tahu betul beliau akan membuka ruang bagi tim untuk melakukan
inisiasi. Itu adalah style beliau dari dulu. Atas dasar itulah saya
menerima tawaran ini (cawapres). Sa ya percaya ke lak saya mendapatkan
peran yang riil,” tutur nya.

Terkait dengan isu paham neo liberalisme yang menerpa di rinya, Boediono
mengaku ti dak mau ambil pusing. Menurutnya, perdebatan mengenai ‘is me’
adalah perdebatan abstrak dan kontraproduktif.

“Membuang waktu kita berdebat hal-hal di awang-awang.

Habis energi kita dan saya pun tidak ingin melakukan counter labelling
meski saya tidak paham mengapa pemberian labellabel seperti
neoliberalisme seakan-akan seperti mengecap orang kafir,” tukasnya.

Dalam kesempatan terpisah, jubir Boediono, Rizal Mallarangeng meminta
Wapres yang juga capres Jusuf Kalla menjaga tutur kata. Banyak
pernyataan JK dinilai menyerang pasangan SBY-Boediono. “Pak Kalla
kandidat presiden, tetapi juga wapres.

Kami mengimbau agar setiap tutur kata harus mencerminkan posisinya yang
terhormat itu.” (MP/Rin/X-9)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/23/ArticleHtmls/23_05_2009_012_003.shtml?Mode=0

*KINI LINUX SEMAKIN CANTIK DAN MUDAH DIGUNAKAN.*

*KINI LINUX SEMAKIN CANTIK DAN MUDAH DIGUNAKAN.*

SS EORANG teman bercerita telah S mencoba salah satu sistem ope S rasi
berbasis Linux. Ia tertarik S mencoba karena jenuh terha S dap sistem
operasi komputer S yang sudah ada. Namun, sejak saat itu ia juga mengaku
kapok dan tidak akan mencoba Linux lagi. Alasannya praktis, karena Linux
ketika itu masih sangat rumit digunakan.

Namun, itu terjadi beberapa waktu lalu saat Linux masih sebatas baris
perintah.

Kini Linux telah berubah, menjadi lebih canggih, relatif mudah
digunakan, dan memiliki tampilan cantik.

Di kalangan pengguna komputer, kemudahan penggunaan Linux ketimbang
sistem operasi lain seperti Windows atau Macintosh memang masih menjadi
perdebatan. Namun harus diakui, sistem operasi Linux saat ini sudah jauh
lebih mudah ketimbang Linux generasi sebelumnya.

Sistem operasi bermaskot penguin itu telah menggunakan graphical user
interface (GUI) yang lebih praktis. Kita tinggal memilih menggunakan
tampilan ala GNOME, KDE, atau Xfce. Ketiganya juga sudah mendukung
tampilan tiga dimensi yang manis.

Hadirnya amunisi-amunisi baru Linux seperti Linux untuk netbook,
instalasi lewat flashdisk, Linux Portabel, dan Linux LiveCD dan LiveUSB
menunjukkan perkembangan Linux yang signifikan.

Ketersediaan Wubi Installer juga turut memudahkan pengguna Windows
memasang dan membuang Linux seperti memasang dan membuang aplikasi biasa.

Anda yang membutuhkan waktu beralih ke Linux juga difasilitasi dengan
perangkat Lunak cuma-cuma bernama Wine (Winehq.org). Dengan Wine, kita
tetap bisa menggunakan semua perangkat lunak berbasis Windows dalam
sistem operasi Linux.

Perbedaan utama Linux dengan sistem operasi lain terletak pada kernel
dan komponen-komponennya yang bebas dan terbuka. Kernel semacam
perangkat lunak yang menjadi bagian utama dari sebuah sistem operasi.
Tugasnya melayani bermacam program aplikasi untuk mengakses perangkat
keras komputer secara aman.

Keluarga Linux Sistem operasi Linux memiliki banyak kerabat.
Kerabat-kerabat dalam Linux dikenal dengan istilah distro. Hingga saat
ini ratusan distro Linux bisa kita dapatkan secara gratis. Tapi sayang,
karena pilihan yang terlalu banyak itu, para pengguna justru sering
dibuat bingung.

Menurut catatan Distrowatch.com distro Linux yang paling populer pada
2008 lalu adalah Ubuntu (termasuk Kubuntu, Xubuntu, dan Edubuntu),
Opensuse, Mandriva, dan PCLinuxOS.

Ada pula distro Linux yang mengabdikan diri terhadap dunia pendidikan,
yakni Edubuntu (Edubuntu.org). Generasi Linux terbaru yang kita kenal
saat ini antara lain Mandriva 2009, OpenSuse 11.1, dan Ubuntu 9.04.

Perkembangan generasi Linux sangat cepat jika dibandingkan dengan sistem
operasi lain, rata-rata berganti setiap enam bulan sekali. Kita juga
tidak perlu repot melakukan instal ulang untuk berganti dari generasi
lama ke generasi terbaru. Kita tinggal menekan tombol upgrade dan proses
akan selesai.

Mesin virtual Salah satu faktor yang mempersulit penetrasi penggunaan
Linux ialah keraguan para pengguna komputer untuk melepaskan sistem
operasi yang sudah ada.

Untuk menepis keraguan itu, kita bisa menjajal teknologi mesin virtual.
Dengan teknologi tersebut, Linux bisa kita gunakan di atas Windows yang
sedang berjalan layaknya menonton televisi.

Bahkan kita bisa langsung menggunakan Linux di atas Windows.

Virtualisasi bisa kita lakukan menggunakan perangkat lunak milik Sun
Microsystem, yakni Sun xVM Virtualbox. Kita bisa mengunduhnya di situs
Sun.com.

Sebelum menjajal mesin virtual, kita tetap mesti mengunduh CD ISO Linux
di situs distro masing-masing. Dengan mesin virtual, kita bisa menjajal
puluhan distro Linux tanpa menjalani proses instalasi sama sekali.

Internet cepat Linux konon menawarkan sensasi berinternet dengan
kecepatan lebih baik jika dibandingkan dengan sistem operasi lain.

Hal tersebut sangat terasa ketika kita mengunduh data. Linux juga
relatif aman dari serangan virus dari dunia maya karena menggunakan
sistem file dan kernel yang berbeda dengan sistem operasi lain.

Dengan Linux, kita juga tidak perlu membeli perangkat lunak tambahan
karena semua sudah tersedia dalam satu paket. Misalnya, untuk mengetik
kita tidak perlu membeli aplikasi perkantoran karena telah ada Open
Office. Demikian pula perangkat lunak untuk chatting, browsing, dan
sebagainya bisa langsung kita gunakan dalam sistem operasi tersebut.

Semuanya bisa kita peroleh secara cuma-cuma. Alhasil, kita tidak perlu
lagi menggunakan perangkat lunak bajakan.

Linux juga tidak bergantung kepada vendor (vendor independence) karena
dikendalikan oleh pengembang dan komunitas pengguna. Karena tidak
bergantung pada vendor, Linux juga memiliki kelemahan. Beberapa pabrikan
perangkat keras masih ada yang anti-Linux. Tidak mengherankan jika
beberapa perangkat keras masih enggan bekerja maksimal di Linux.

Di Indonesia, ketertarikan masyarakat terhadap Linux terbukti menguat.
Hal itu bisa dilihat dengan maraknya komunitas pengguna Linux Indonesia
seperti yang bisa kita lihat di Linux.or.id, Opensuse.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/23/ArticleHtmls/23_05_2009_014_002.shtml?Mode=0

Ulama Haramkan Facebook

Ulama Haramkan Facebook

Muhammadiyah menilai berlebihan.

*KEDIRI *-- Forum /bahtsul massail/ (pembahasan masalah) putri XI di
Pondok Pesantren Lirboyo memutuskan mengharamkan mencari jodoh melalui
situs jejaring sosial semacam Facebook dan Friendster.

Rapat yang diikuti oleh 700 perwakilan dari pondok pesantren
se-Jawa-Bali itu memutuskan hanya memperbolehkan situs jejaring sosial
untuk kebutuhan syariat. Kebutuhan ini semisal muamalat atau jual-beli,
dakwah, tablig, dan /khitbah/ (lamaran).

"Mencari jodoh yang belum diketahui orangnya itu haram. Sebab, akan
cenderung memicu perbuatan iseng dan pornografi," kata Ketua Komisi C
yang menggodok masalah itu, ustad Masruchan, kemarin.

Karena itu, kata Masruchan, forum itu merekomendasikan kepada para
penggemar Facebook atau Friendster untuk menghindari hal-hal yang
diperbolehkan itu.

Selain itu, kata Masruchan, forum meminta kepada pemilik Facebook untuk
lebih mengontrol situsnya itu. "Jangan sampai menjadi seperti
Friendster," katanya. "Friendster sudah mengarah ke pornografi."

Juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo, Nabil Haroen, mengatakan salah
satu ulama Pondok Pesantren Lirboyo ada yang memiliki Friendster. Ulama
itu, kata dia, pernah mendapat kiriman gambar porno.

"Jika dalam perkembangannya peringatannya tak diindahkan pemilik, kami
akan berkumpul kembali untuk membahas penetapan pengharaman Facebook,"
ujarnya.

Gayung bersambut. Keputusan itu disambut baik oleh Majelis Ulama
Indonesia Jawa Timur. Mereka mendukung keputusan yang ditelurkan forum
/bahtsul massail/ Ponpes Lirboyo itu. "Pokoknya, apa pun yang
dikonotasikan dengan maksiat memang haram," kata Ketua MUI Jawa Timur
Abussomad Bukhori.

Apalagi, kata Bukhori, jejaring sosial seperti itu masuk kategori
/khalwah/ (mojok) yang sangat rentan terhadap kemaksiatan.

Kerentanan ini, kata dia, disebabkan oleh komunikasi yang dilakukan
tidak berupa tatap muka langsung, melainkan hanya menggunakan media
Internet.

Hal berbeda diungkapkan oleh pengurus Muhammadiyah Jawa Timur.
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jawa Timur Nadjib Hamid
mengatakan fatwa haram itu sangat berlebihan. "Itu bukan wilayah halal
dan haram," katanya.

Kata Nadjib, situs jejaring sosial semacam itu merupakan kemajuan
teknologi yang harusnya dimanfaatkan. "Manfaat atau tidaknya tergantung
penggunaannya," ujarnya.

Adapun Muhammadiyah, kata Nadjib, sangat mendukung kemajuan teknologi
semacam itu. Sebab, teknologi itu sangat bermanfaat untuk komunikasi.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf meminta para
peserta forum /bahtsul masail/ di itu berhati-hati dalam memutuskan
hukum teknologi jejaring sosial itu.

Kata Gus Ipul--sapaan akrab Saifullah, untuk mengkaji masalah itu
diperlukan pemahaman yang mendalam tentang teknologi. Sebab, kecanggihan
teknologi selalu membawa dampak manfaat dan mudarat sekaligus. "Jangan
sampai yang memutuskan itu tidak pernah membuka Facebook," katanya.

Gus Ipul khawatir jika keputusan yang diambil instan justru akan tak
digubris orang seperti saat ulama mengeluarkan fatwa haram rokok.
"Setelah diprotes banyak orang, haram itu akhirnya menjadi halal,"
katanya. *Hari TW | Rohman T | Dini M
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/23/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090523.165951.id.html

"Mati Baik-Baik, Kawan" Membuka Selubung Kegelapan

"Mati Baik-Baik, Kawan" Membuka Selubung Kegelapan



*oleh Maria D. Andriana*

Jakarta (ANTARA News) - Bagaimanakah orang biasanya menginginkan
kematiannya? Tentu jawabannya adalah mati wajar, tanpa sakit
berkepanjangan, tidak merepotkan orang lain dan mendapat penghormatan
terakhir dari orang-orang yang menyayanginya.

"Mati Baik-baik Kawan", seperti judul Antologi Cerpen karya Martin
Aleida (65) yang diterbitkan oleh penerbit Akar, Yogyakarta, April 2009.

Nyaris tidak ada orang yang bermimpi untuk mati konyol di tangan
perampok, mengalami kecelakaan atau disiksa, dihina dan dibunuh, bahkan
jasadnya diperlakukan lebih buruk dari bangkai tikus. Tentu tidak.

Cerpen berjudul "Mati Baik-baik, Kawan" yang menjadi judul antologi
cerpen ini diangkat dari kisah Mangku, putera Bali yang rela
meninggalkan kampung halamannya, melakukan perjalanan terakhir untuk
mencari tempat kematian yang "agung" bagi dirinya.

Impian yang dirajutnya sejak menyaksikan kematian ayahnya yang amat
terhina. Ayahnya digambarkan sebagai petani tak punya lahan yang disiksa
dan dibunuh karena menerima pembagian tanah dalam "landreform" tanah
pertanian yang terjadi pada awal 1960-an.

Mangku seperti orang Bali umumnya, penganut Hindu, bahkan sudah
mengabaikan impian upacara Ngaben untuk kematiannya. Ia hanya ingin
dikuburkan dengan terhormat, seperti ketika ia menguburkan sahabatnya,
seekor kera Bali yang menemani pengembaraannya: "Persis sebagaimana kau
dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan, Mati baik-baik ,
Kawan. Diringi doa" (halaman 17).

Dalam cerpen yang aslinya berjudul Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh,
penulis mengungkapkan "kematian sia-sia" kaum petani miskin yang menjadi
korban pergolakan politik seputar peristiwa 1965. Satu sisi gelap dalam
sejarah bangsa Indonesia.

Bagi banyak orang, peristiwa 1965 (begitu biasa disebut) adalah
kegelapan yang membingungkan. Sejarah yang tercatat dan diajarkan di
sekolah menyebut peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah Orde Lama pimpinan Presiden
Soekarno, ditandai dengan penculikan dan pembunuhan petinggi militer.

Bagaimana kebenaran peristiwa tersebut dan bagaimana membuktikannya,
sejauh ini tak banyak terungkap. Peristiwa itu tetap menjadi perdebatan
karena kegelapan dan informasi yang membingungkan. Siapa yang
memberontak, siapa bersalah, siapa kalah dan siapa pemenangnya? Terus
diperdebatkan.

Buku antologi cerita pendek "Mati Baik-Baik Kawan", karya Martin Aleida
banyak menampilkan tragedi manusia, yaitu kisah nestapa mereka yang
terimbas oleh peristiwa tersebut, yang terjadi pada tanggal 30 September
1965. Cerita-cerita yang ditulis Martin sama sekali tidak menyentuh
salah satu peristiwa pemberontakan yang terjadi di republik ini.

Martin, kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara, 31 Desember 1943, sempat
menjadi tahanan politik pada tahun 1966 karena profesinya sebagai
penulis pada media massa berhaluan kiri.



Membela yang Terpinggirkan



Cerpen-cerpennya yang terbit sesudah era Orda Baru tumbang, bukanlah
menceritakan peristiwa pemberontakan tersebut. Melalui cerita-cerita
yang ditulisnya, Martin mengungkapkan kritik kepada penguasa Orba yang
dinilainya telah semena-mena dan tanpa belas kasih membuat atau
setidaknya membiarkan orang-orang tak bersalah harus terkungkung dalam
kesengsaraan jiwa dan raganya.

Waktu itu, sebagai pemuda yang sedang bergairah meniti karir di bidang
jurnalistik, Martin mempunyai referensi cukup banyak untuk ditulisnya.

Lahirnya reformasi dan tumbangnya masa Orba, seakan menjadi muara bagi
Martin, yang dengan deras mengalirkan kisah-kisah nyata di sekitarnya
yang diangkatnya dalam karya fiksi. Semua bercerita tentang kepahitan
hidup istri, anak dan orang-orang yang dengan serampangan dituding oleh
pemerintah Orba --yang menyelamatkan Negara dari peristiwa
pemberontakan-- terlibat dalam pemberontakan itu dan harus
mempertanggungjawabkannya.

Kekejian yang tersisa dari peristiwa 1965 misalnya, digambarkan Martin
dengan sedu-sedan seorang kekasih yang kehilangan tunangannya, hanya
karena ayahnya lenyap dan pamannya adalah anggota PKI.

Peristiwa sedih yang tak tertanggungkan itu membuat Kamaluddin Armada,
tokoh dalam cerita bertajuk "Malam Kelabu" nekat mengakhiri hidupnya
dengan ritual yang bisa mengingatkan pembaca pada kisah tragis penulis
Jepang, Mishima, yang mengakhiri hidupnya dengan ritual bunuh diri,
hara-kiri atau menusuk perut sendiri.

"Dia rejamkan pisau berdarah itu ke tengkuk, menarik pisau itu ke bawah,
memotong urat nada lehernya, dan melukai tulang iganya. Leher itu koyak.
Darah menyembur dari lehernya, menyembur dari lengannya." (halaman 46)

Membaca beberapa cerita dalam antologi itu mula-mula bisa membuat
pembaca tergiring pada pendapat bahwa cerita-ceritanya berwarna
pelampiasan dendam orang-orang yang tersingkir dan terhinakan oleh sikap
stereotipe masyarakat dan aparat pemerintah terhadap keluarga atau
kerabat orang-orang yang dianggap atau diketahui sebagai anggota PKI.

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka, adalah salah satu cerpen yang sebaliknya,
menyiratkan duka seorang istri tentara yang suaminya semestinya
bertanggung- jawab atas kematian orang-orang tak bersalah, yang
ditudingnya dengan bengis telah menjadi anggota PKI atau terlibat dalam
kegiatan partai tersebut.

Ia juga memenjarakan keluarga-keluarga mereka atau membuat mereka hidup
sengsara.

Tentara bengis itu mati tanpa pelayat dan tak seorang pun berkenan
menguburkan jasadnya. Dosa yang kini harus ditanggung oleh istrinya yang
harus menggali sendiri kubur suaminya.

Gambaran sebuah dendam, seperti juga dalam kisah "Dendang Perempuan
Pendendam" yang berlatar relegius, Islami, yaitu jika seseorang
mengambil tanah orang lain, dosanya akan membuat jasadnya kelak tidak
akan diterima bumi. Seberapa pun liang kubur digali, tidak akan
menampung jasadnya.

Di sini Martin mengungkapkan fakta, bahwa korban bisa saja terjadi di
dua sisi, bukan hanya pada mereka yang dicap "tercemar" komunisme,
tetapi juga pada penguasa atau orang-orang yang menjadi lupa diri dan
memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan. Mereka dan keluarganya,
tak luput dari kesengsaraan yang bagaikan siklus, datang menerpa, ketika
gilirannya tiba.



Bukan Dendam Semata



Tetapi buku berisi sembilan cerpen itu - beberapa sudah dimuat dalam
Koran-koran dan bahkan mendapat penghargaan, bukan semata-mata mengumbar
dendam.

Pada cerita tentang seorang haji pedagang kopiah yang jenaka, pendakwah
menggambarkan suasana yang lebih riang, tentang sosok yang religius
sekaligus memiliki sifat iseng, suka mengerjai teman-temannya.

Haji Johansyah Kuala yang baik hati itu justru karena kebaikannya
mendermakan kupiah-kupiah dagangannya untuk para seniman komunis
mementaskan seni drama. Untuk itu ia pun sempat mengalami pemenjaraan.

Sisi muram yang digambarkan dengan riang pada cerita ini, tetap memberi
makna untuk direnungkan dan memberi pelajaran hidup, tentang tindakan
gegabah, kesabaran dan penerimaan. Pelajarannya adalah bahwa sikap baik
seseorang akan selalu dikenangkan oleh orang-orang yang pernah menikmati
kebaikkannya.

Kisah-kisah yang ditulis Martin hanyalah bagian kecil dari cerita di
balik peristiwa 1965 yang kini nyaris tak perlu lagi disembunyikan, dan
mulai bermunculan.

Pada tahun 2004, Yayasan Lontar menerbitkan cerita pengalaman hidup
bahkan juga cerita fiksi yang ditulis oleh kaum pelarian -orang-orang
Indonesia yang hidup dalam pengasingan terutama di Eropa- karena mereka
tidak bisa pulang ke Tanahair, bahkan kewarganegaraan mereka pun telah
dihapuskan.

Nama Martin sebagai penulis yang akhir-akhir ini menekuni kisah-kisah
seputar peristiwa 1965 semakin menggema. Ia pun makin laris diwawancarai
media asing, peneliti sejarah dan ini mungkin bisa menggugah minat
tumbuhnya semakin banyak karya sastra yang mengungkap kebenaran
masa-masa gelap itu, seperti harapan Katrin Bandel. Dosen S2 untuk Ilmu
Religi dan Budaya pada Universitas Sanata Darma yang menulis penutup
pada buku Martin.

Pengenalan tentang penulisnya sendiri, dapat disimak dari penuturan
pribadi Martin melalui memoar sepenggal masa hidup dan karirnya ketika
13 tahun menjadi wartawan majalah Tempo.

Leontin Dewangga, salah satu cerpen yang termuat dalam Antologi ini
adalah karya Martin tahun 2003 yang mendapat penghargaan dari Pusat
Bahasa untuk Penulisan Karya Sastra dengan penilaian keajekan menulis
dan pencapaian artistik.

Buku setebal 144 halaman dengan desain sampul dari cerita utama tentang
Mangku dan rombongan komedi monyetnya, garapan Ipong Purnamasidhi itu
dijual dengan harga semurah sebungkus rokok, Rp10.000,- hadir mengungkap
tabir, membuka sedikit selubung yang menutup sepenggal sejarah Indonesia.(*)

COPYRIGHT © 2009

http://antara.co.id/arc/2009/5/23/mati-baik-baik-kawan-membuka-selubung-kegelapan/

Mega Akui Hashim Dalang Sulitnya Prabowo 'Kawin' dengan PDIP

Mega Akui Hashim Dalang Sulitnya Prabowo 'Kawin' dengan PDIP
*Ramadhian Fadillah* - detikPemilu

*Jakarta* - Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengakui selama ini
anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djoyohadikusumo-lah yang
membuat duet Mega dan Prabowo Subianto tersendat-sendat. Padahal Prabowo
sudah mengiyakan untuk bersama dengan Mega pada Pilpres 2009.

"Waktu mau ngelamar Prabowo Subianto ini, saya bilang sama Pram. Pram,
kayaknya nggak mau sama kita. Karena saat itu kan orang-orang pada
twist, ketemu orang, ketemu ini itu. Kayaknya mau, jadi tetapi tidak
jadi. Saya pikir republik ini mau dibawa ke mana," ujar Mega.

Hal ini disampaikan Mega dalam sambutannya pada Rakernas Gerindra di
Hotel Grand Kemang, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (23/5/2009).

Menurut Mega, Hashim juga sempat menghalangi dirinya untuk bertemu
dengan Prabowo. Meski demikian, Mega tidak menyerah, dia terus mendekati
Prabowo.

"Tiap saya mau ketemu Mas Bowo itu dihalangin. Dengan gaya intel, saya
pun kasak-kusuk. Ternyata siapa dalang utamanya, ya yang paling ujung
itu," kata Mega sambil menunjuk ke arah Hashim. Hashim pun tertawa dan
berdiri sambil membungkukkan badannya kepada para peserta Rakernas.
Hadirin pun bertepuk tangan.

Mega juga menuturkan, cara lainnya yang dilakukan untuk menundukkan
Prabowo yakni dengan mengundang mantan Pangkostrad itu ke Rakernas PDIP.
Kemudian luluhlah Prabowo pada satu hari menjelang batas akhir
pendaftaran capres dan cawapres.

"Alhamdulillah kurang dari satu hari batas waktu, eh mau juga akhirnya.
Mungkin mikirnya sayang juga ya, ada bunga cuma satu nggak diambil,"
katanya.

Mega juga berseloroh bahwa bukan hanya Prabowo yang jual mahal. Dia juga
jual mahal ketika ditawari oleh satu partai politik.

"Yang lain pun sebenarnya mau, saya saja yang jual mahal. Itu boleh
tanya, kalau saya bilang mau, itu jadi," ujar Mega sambil tertawa.

* ( nik / asy )

http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/23/121433/1135925/700/mega-akui-hashim-dalang-sulitnya-prabowo-kawin-dengan-pdip

*Sabtu, 23/05/2009 11:33 WIB

Kalah di 2009, Gerindra Genjot Mesin Partai untuk Pemilu 2014
*Ramadhian Fadillah* - detikPemilu

*Jakarta* - Partai Gerindra akan menggenjot mesin partai untuk Pemilu
2014 mulai minggu ini. Gerindra kecewa dengan perolehan suara yang hanya
mendapat 4,6 persen pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu.

"Kita mulai kampanye untuk Pemilu 2014 hari ini," ujar anggota Dewan
Pembina Partai Gerindra Hashim Djoyohadikusumo di sela-sela Rakernas
Gerindra, di Hotel Grand Kemang, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (23/5/2009).

Hashim mengaku akan fokus pada upaya pembenahan internal partai
Gerindra. "Kita mulai program penataran dan pelatihan struktur
kader-kader kita," jelas adik Prabowo Subianto ini.

Hashim mengakui, Gerindra juga siap bertarung dalam pilkada-pilkada
mendatang di seluruh daerah di Indonesia. "Jika saya hitung rata-rata
pilkada ada 96 tiap tahunnya di seluruh Indonesia," katanya.

Sementara Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo mengaku akan
memaksimalkan mesin politik partai untuk menyampaikan visi dan misinya
pada kampanye Pilpres 2009.

"Partai akan kita jadikan mesin yang paling efektif untuk menyampaikan
itu (visi misi Gerindra)," tegas mantan menantu almarhum Soeharto itu.

* ( nik / asy ) *


http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/23/113340/1135918/700/kalah-di-2009-gerindra-genjot-mesin-partai-untuk-pemilu-2014

Sabtu, 23/05/2009 10:57 WIB
Rakernas Gerindra
Ketua Umum Beberkan Sebab-sebab Kekalahan Gerindra
*Ramadhian Fadillah* - detikPemilu


*Jakarta* - Partai Gerindra kecewa dengan perolehan suara pada pemilu
legislatif yang cuma 4,6 persen dari suara sah. Padahal sesuai Kartu
Tanda Anggota (KTA) Gerindra, simpatisan partai anyar ini berjumlah 12 juta.

"Kita cuma dapat 4,6 persen, padahal di KTA kita punya 12 juta. Kita
sudah berjuang habis-habisan dan kampanye kita merupakan kampanye
terbesar dan meriah," kata Ketua Umum Gerindra Suhardi dalam sambutannya
di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gerindra di Hotel Grand Kemang, Jl
Kemang Raya, Jakarta Selatan, Sabtu (23/5/2009).

Suhardi lantas mengungkapkan sejumlah penyebab kekalahan partai besutan
bekas Pangkostrad Prabowo Subianto tersebut, baik faktor eksternal dan
internal Gerindra. Gerindra meredup akibat munculnya isu-isu seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kampanye gelap.

"Kita sudah berjuang habis-habisan kemudian dikalahkan isu BLT, kampanye
gelap lewat kenaikan tunjangan PNS, tunjangan profesi guru," kata Suhardi.

BLT yang merupakan kompensasi kenaikan harga BBM itu, lanjut Suhardi,
seolah-olah menjadi dewa penyelamat bangsa. Alih-alih mengentaskan
kemiskinan, BLT cuma membawa utang yang luar biasa bagi Indonesia.

"Kita kalah oleh money politics, kampanye senyap, dan nama-nama fiktif
di Daftar Pemilih Tetap (DPT)," jelasnya.

Kendati demikian, Suhardi mengakui, kader Gerindra belum mendapat
sentuhan yang maksimal dari partai. Pada pileg 9 April lalu, banyak
saksi dari Gerindra yang tidak mengerti teknologi informasi (TI)
sehingga tidak berani protes atas kecurangan yang terjadi.

"Kita belum punya saksi yang mengerti IT, belum ada yang berani
menggebrak meja," cetus Suhardi yang mengatakan Gerindra juga belum
maksimal menggunakan dana partai.

"Perang udara Gerindra sukses, namun perang darat kita baru mulai,"
pungkasnya.

* ( irw / asy )

http://pemilu.detiknews.com/read/2009/05/23/105736/1135899/700/ketua-umum-beberkan-sebab-sebab-kekalahan-gerindra

Jago Makro yang Minus Mikro

Jago Makro yang Minus Mikro

Tiap bulan Mei dalam dua tahun ini, nama Boediono menjadi perhatian
publik. Tahun lalu, ekonom kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari
1943, ini resmi dilantik menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI)
menggantikan Burhanuddin Abdullah. Boediono sukses melenggang ke kursi
Gubernur BI setelah sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menunjuknya sebagai calon tunggal Gubernur BI yang disodorkan ke DPR.
Empat puluh lima dari 46 anggota Komisi XI DPR yang hadir secara
aklamasi menunjuknya.

Kini, hampir genap setahun, nama Boediono kembali mencuri perhatian
publik. Mantan menteri di pemerintahan tiga presiden itu santer
disebut-sebut menjadi calon kuat pilihan SBY untuk mendampinginya maju
sebagai pasangan capres dan cawapres mendatang. Banyak yang menilai
Boediono pas mendampingi SBY lantaran memiliki latar belakang ekonom
yang sangat kuat.

Namun tidak sedikit yang tak setuju jika latar belakang yang dimiliki
Boediono menjadi hal terpenting yang dibutuhkan seorang wakil presiden.
Maklum, selama ini, sosok irit bicara ini dinilai tidak terlalu banyak
memunculkan kejutan. Ia lebih banyak dikenal sebagai profil yang /cool/.
Berikut pendapat beberapa tokoh yang dihimpun /Gatra/.

*Firmanzah, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia:*
*Tidak Pro-Rakyat*

"Pengalaman menghadapi situasi sulit di berbagai era pemerintahan dan
kompetensi yang dimiliki Boediono cukup untuk memenuhi figur cawapres
yang mengerti ekonomi. Harapannya, duet SBY-Boediono mampu membentuk
persepsi di masyarakat bahwa pasangan ini dapat dipercaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Pengelolaan makro-ekonomi yang menjadi tugasnya ketika menjabat sebagai
Menteri Koordinator Perekonomian di era SBY tidak sebagus yang
diharapkan. Saat menjabat sebagai Gubernur BI pun, kebijakannya belum
dapat memberikan jawaban yang ditunggu-tunggu pasar. Kondisi ekonomi
global, yang menuntut berbagai kebijakan yang tidak biasa, malah
disikapi Boediono dengan melakukan langkah kebijakan yang normal-normal
saja.

"Namun ketenangan dan pembawaannya yang /cool/ menjadi poin positif
Boediono di mata pasar. Dia juga punya hubungan yang baik dengan
jaringan internasional, seperti IMF dan World Bank, yang perannya sampai
sekarang belum bisa diabaikan Indonesia. Tampaknya kebijakan ekonomi
yang akan dijalankannya tidak menjadikan sektor riil menjadi /core/,
alias tidak pro-rakyat.

"Harapan saya, Boediono bisa lebih fokus pada upaya pengentasan
kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi di sektor riil. Strategi
pemerataan perlu dilakukan, karena tidak ada pertumbuhan tanpa
pemerataan. Pencapaian yang dapat menjadi target awal Boediono adalah
pemerataan dengan ukuran koefisien gini di bawah 0,3. Artinya, tingkat
keseimbangan pendapatan masyarakat Indonesia semakin bagus, pendapatan
semakin merata dibandingkan dengan kondisi sekarang, di mana indeks
koefisien kini masih di atas 0,35."

GATRA (Dok. GATRA)

*Yanuar Rizky, Analis Pasar Independen:*
*Belum Sentuh Sektor Riil*

"Figur profesional bukanlah alasan utama SBY dalam mencari pasangannya.
Alasan politiklah yang masih lebih melatarbelakanginya. Termasuk
seandainya jadi memilih Boediono sebagai calon wakil presiden. SBY
mencari orang yang bisa bicara dengan Megawati. Sebagai menteri di zaman
Megawati, dia dianggap sebagai figur yang bisa mencari jalan tengah
untuk berdamai.

"Selain itu, Boediono-lah figur yang cocok dengan gaya kepemimpinan
ekonomi parameter yang selama ini diterapkan SBY. Aliran konservatif dan
makro ini tampak pada kemauannya untuk selalu terbuka berhubungan dengan
dunia internasional. Terbukti, prestasinya selama menjadi Gubernur BI
hanya membuat kebijakan dan menghasilkan ekonomi stabilitas parameter.
Sedangkan yang dibutuhkan untuk jabatan wakil presiden adalah negarawan
yang harus mengetahui dan memahami berbagai kebutuhan masyarakat.

"Boediono harus sadar bahwa tidak semua masyarakat di Indonesia adalah
pelaku pasar atau orang yang bermain di portofolio. Persentase rakyat
Indonesia yang bermain di pasar saham dan uang tak lebih dari 1%; dan
yang dibutuhkan tentu seorang wakil presiden yang lebih mengayomi 99%
rakyatnya.

"Memang sejauh ini pelaku pasar cukup menerimanya. Itu tercermin dari
terkereknya indeks saham. Namun, dari segi teknikal, harus dilihat untuk
kepentingan siapa? Karena penurunan BI /rate/ tidak diimbangi dengan
penyaluran kredit untuk pelaku usaha di sektor riil. Dengan kata lain,
kebijakannya belum menyentuh sektor riil.

"Harus diakui, sebagai Gubernur BI, dia cukup baik dalam menjaga
stabilisasi. Manajemen birokrasinya bagus, termasuk dalam menjaga
stabilisasi makro, karena dukungan lembaga internasional. Tapi, ketika
ditempatkan sebagai menteri di kabinet SBY, justru dia tak tampak
mengeluarkan kebijakan yang pro-rakyat. Jika SBY-Boediono jadi
berpasangan dan ternyata terpilih, hal paling utama dilakukan adalah
membenahi platform ekonomi agar menyentuh semua kalangan."

GATRA (Dok. GATRA)

*Fransiscus Welirang, Wakil Presdir PT Indofood Sukses Makmur:*
*Tak Bisa Didikte*

"Jabatan wakil presiden sebenarnya tidak pas untuk Boediono. Memang
/track/ /record/-nya dikenal bersih. Selain itu, dia cukup konsisten,
tidak bisa didikte, serta punya prinsip dan pemikiran yang logis. Tapi
justru posisinya saat ini sebagai Gubernur BI-lah yang paling cocok.
Alasan bahwa figur wapres itu harus mengerti ekonomi tak berarti harus
orang berlatar belakang ekonom. Apalagi, krisis yang melanda Indonesia
kini tidak seperti krisis yang sedang melanda dunia.

"Jabatan wapres cukup terpenuhi oleh orang yang memiliki pengetahuan
ekonomi dan dampaknya. Justru untuk menguatkan ekonomi itulah, yang
terpenting figur wapres juga harus mampu me-/manage/ agar tim ekonominya
bekerja. Hal itu bisa diukur dari prestasi menteri-menteri ekonominya.
Saya belum bisa memprediksi kebijakan sektor rill seperti apa yang akan
dijalankan Boediono seandainya dipilih SBY dan akhirnya terpilih oleh
rakyat. Keahliannya adalah makro-ekonomi. Jabatan wapres dan posisi
Boediono di BI saat ini tentu dua hal yang berbeda.

"Jika Boediono terpilih sebagai cawapres mendampingi SBY, dan rakyat
akhirnya memutuskan untuk memilih pasangan ini, sebagai pengusaha kami
berharap, kontrol dan pelaksanaannya sebagai wapres sejalan dengan
kebijakan presidennya. Saya yakin, SBY mengetahui seperti apa pendamping
yang dibutuhkannya. Dan SBY tentu sudah punya pertimbangan cukup matang,
termasuk jika memilih Boediono."

GATRA (Dok. GATRA)

*Djimanto, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia:*
*Bisa Bekerja Sama*

"Dalam bekerja, Boediono sangat tekun dan tidak pernah konfrontatif
sehingga cukup bisa bekerja sama dengan tokoh mana pun, termasuk dengan
SBY. Dialah ekonom yang irit bicara. Kalaupun terpaksa, ia selalu
berbicara seperlunya dan berbobot. Dia cocok disandingkan dengan siapa
saja. Terbukti, dia cukup sukses menjalankan berbagai jabatan di
berbagai pos.

"Sebagai Gubernur BI, ia membuktikan bahwa dirinya selalu jelas dalam
mengambil setiap keputusan. Kebijakan dan stabilitas moneter ala
Boediono, seperti pengendalian inflasi dan kurs rupiah, dapat diterima
para pengusaha. Ia berpotensi menciptakan iklim kondusif agar investasi
berjalan lebih baik selama diberi wewenang yang penuh. Tapi harus
didukung oleh keadaan ekonomi dan keamanan yang stabil.

"Analisis ekonomi mikro menjadi satu kekurangan Boediono, terutama hal
yang bersifat teknis di lapangan. Terbukti, ketika menjabat sebagai
Menteri Keuangan di Kabinet Gotong Royong (2001-2004), ia malah
menurunkan bea masuk komoditas pertanian yang akan merugikan para
petani. Tapi situasi ini ke depan bisa disiasati dengan dukungan tim
ekonomi yang kuat.

"Meski kurang oke di sektor riil, berbagai kebijakan Boediono bersifat
pro-rakyat, misalnya menaikkan aksesibilitas usaha mikro kecil menengah
(UMKM) agar lembaga pembiayaan perbankan menurunkan aktiva tertimbang
menurut risiko (ATMR), yaitu menurunkan risiko kredit agar bunga tidak
terlalu tinggi.

"Yang terpenting, sebagai orang profesional, Boediono tidak akan
terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan lain. Kalau Tuhan
mengizinkan pasangan ini terpilih untuk memimpin negeri ini, semoga
Boediono tetap konsisten dan memberikan perhatian lebih dalam hal
mengurangi angka pengangguran."

*Hatim Ilwan, Astari Yanuarti, dan Anthony*
[*Nasional*, /Gatra/ Nomor 27 Beredar Kamis, 14 Mei 2009]

http://gatra.com/artikel.php?id=126369

Audit Setengah Hati Kekayaan Capres

Audit Setengah Hati Kekayaan Capres
Oleh: Febri Diansyah

Saat ini, perhatian publik tertuju kepada fantastisnya kekayaan calon
presiden dan wakil presiden. Prabowo Subianto yang berpasangan dengan
Megawati tercatat punya kekayaan tertinggi jika dibandingkan dengan
pasangan lainnya, lebih dari Rp 1,5 triliun. Kekayaan calon incumbent
Susilo Bambang Yudhoyono pun meningkat jika dibandingkan dengan sebelum
menjadi presiden pada 2004.

Apakah itu berarti kekayaan dan kesejahteraan rakyat Indonesia juga
meningkat? Tunggu dulu. Mengacu kepada data Bappenas, per Maret 2008
jumlah penduduk miskin masih sekitar 34,52 juta. Angka ini akan
meningkat drastis jika standar penghasilan yang digunakan mengacu kepada
indikator Bank Dunia, yakni USD 2 per hari. Bagaimana menjelaskan
ketimpangan itu?

Dari sudut pandang pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, ketimpangan
penguasaan kekayaan antara mayoritas rakyat Indonesia dan calon pemimpin
terlihat jelas. Potret tingginya tingkat kemiskinan menjadi fakta yang
sulit dibantah. Ini tentu menjadi pesan buruk jika dibandingkan dengan
janji kampanye setiap calon presiden.

Padahal, isu pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan bersama, bahkan apa yang
disebut ekonomi kerakyatan selalu kita dengar. Pada kenyataannya, sistem
ekonomi, politik, dan kebijakan hingga saat ini cenderung menguntungkan
sekelompok kecil elite.

Atas dasar itulah, apa yang pernah disebut seorang filsuf Yunani seperti
Plato ada benarnya. Dalam sistem oligarki, struktur ekonomi dan politik
dikuasai dan didesain untuk kepentingan segelintir orang kaya. Tetapi,
alih-alih berdebat panjang tentang konsep kekuasaan dan pemerintahan
tersebut, pada tahapan pemilu presiden ini, yang paling mungkin
dilakukan adalah memastikan kekayaan para kandidat berasal dari
penghasilan yang sah. Dalam norma hukum internasional, hal itu disebut
Illicit Enrichment (UNCAC, 2003).

United Nation Against Corruption (UNCAC) tersebut bahkan meyakini
perolehan kekayaan pribadi yang tidak sah akan merusak lembaga
demokrasi, sistem ekonomi nasional, dan penegakan hukum. Karena itulah,
konvensi tersebut merekomendasikan agar peningkatan signifikan terhadap
kekayaan secara tidak sah dijerat dengan aturan pidana.

Agaknya, semangat ini juga yang melatarbelakangi adanya aturan di
Undang-Undang Pemilu dan Pilpres kita, semua calon harus mengungkap
harta kekayaan pribadinya. Dengan demikian, institusi seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjalankan kewenangannya untuk
memeriksa, menguji, dan melakukan audit mendalam terhadap semua kekayaan
pribadi tersebut.

*Setengah Hati*

Tetapi, sayang, beberapa pernyataan KPK terdengar mengkhawatirkan.
Mereka hanya akan lakukan pemeriksaan parsial, item-item yang penting
saja, dan tidak menyeluruh. Sikap tersebut tentu sangat mengecewakan.
Jika benar, KPK dapat disebut bertindak ''setengah hati" dalam
menjalankan semangat keterbukaan, pertanggungjawaban, dan perintah
undang-undang.

Secara eksplisit, kewajiban KPK melakukan klarifikasi daftar kekayaan
tersebut memang tidak diatur. Tetapi, merujuk pada prinsip pemilihan
presiden yang harus dilaksanakan secara demokratis melalui partisipasi
rakyat seluas-luasnya, maka klausul pelaporan, pemeriksaan, dan
pengumuman harta kekayaan menjadi wajib dilaksanakan.

Lebih menukik pada persoalan, hal itu berarti mekanisme hukum kita harus
memastikan rakyat berpartisipasi di semua tahapan pilpres ini. Mulai
proses penyusunan daftar pemilih hingga pengucapan sumpah pasangan
terpilih. Khusus untuk laporan harta kekayaan, Pasal 5 UU Pilpres
menegaskan hal itu sebagai syarat menjadi calon presiden atau wakil
presiden.

Artinya, undang-undang ingin semua calon terbuka dan transparan perihal
harta kekayaannya kepada rakyat Indonesia. Kaitannya dengan partisipasi
rakyat terletak pada pemberian ruang bagi masyarakat untuk mengetahui,
mengoreksi, dan memperbaiki data kekayaan capres/cawapres, atau bahkan
hak untuk mendapatkan informasi yang tidak bohong.

Atas dasar itulah, kewenangan KPK yang diberikan oleh UU 2002:30 untuk
melakukan pemeriksaan laporan harta kekayaan menjadi relevan dan wajib
digunakan. Dengan demikian, salah kaprah jika KPK mengatakan hanya akan
melakukan pemeriksaan secara parsial item-item yang signifikan dan tidak
menyeluruh terhadap kekayaan calon (Jawa Pos, 20/5).

Hal itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, berdasar UU KPK, bahkan
komisi ini harus memastikan semua kekayaan tersebut diperoleh dari
penghasilan yang sah. Bukan dari korupsi dan bukan dari abuse of power
yang dilakukan selama berkuasa. Bahkan, jika terdapat sejumlah temuan
mencurigakan, mungkin saja KPK meneruskan hasil pemeriksaan tersebut
pada jalur pertanggungjawaban pidana korupsi.

*Pencegahan Korupsi*

Pada UU KPK, kewenangan komisi ini untuk menyelenggarakan pelaporan dan
pemeriksaan harta kekayaan merupakan salah satu bagian dari strategi
pencegahan. Diatur pada pasal yang sama dengan kewajiban lapor
gratifikasi untuk penyelenggara negara. Artinya, UU menempatkan kekayaan
pejabat/calon sebagai salah satu alur potensi korupsi yang perlu
diwaspadai. Sebagai pihak yang akan menjadi orang nomor satu di
Indonesia, mengelola lebih dari Rp 1.000 triliun APBN, dan mengambil
keputusan tentang hidup/matinya rakyat, maka dia harus dipastikan bersih
dari potensi korupsi sekecil apa pun.

Dan, sebagai calon pemilih, rakyat berhak tahu orang seperti apa yang
akan dipilih dan bagaimana para kandidat mendapatkan harta kekayaannya.
Bahkan, di tataran ideal, seharusnya bukan hanya kekayaan pribadi calon
yang dibuka, tetapi juga seluruh aset yang dikuasasi keluarga di
lingkaran pertama. Sebab, potensi penggunaan kekuasaan untuk memperkaya
keluarga dan konco selalu menjadi celah terbuka untuk korupsi. Di satu
titik tertentu, bukan tidak mungkin sang calon presiden atau wakil
presiden tercatat sangat sederhana, tetapi suami, anak, dan keluarga
dekat mereka punya perusahaan, saham, dan kekayaan yang sulit dijelaskan
berdasar penghasilan yang sah. *(*)*

/*). Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW/

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Pendidikan Gratis dan Nasib Sekolah Swasta

Pendidikan Gratis dan Nasib Sekolah Swasta
Oleh Biyanto

Kampanye pendidikan gratis melalui slogan ''sekolah harus bisa'' yang
dicanangkan pemerintah benar-benar menyisakan persoalan serius bagi
sekolah swasta. Sebab, sekolah swasta banyak mengandalkan donasi
pendidikan dari masyarakat, termasuk wali siswa. Tegasnya, pertumbuhan
dan perkembangan pendidikan swasta selama ini sangat bergantung pada
komitmen kelompok-kelompok di masyarakat yang menjadi stakeholder sekolah.

Sejarah perkembangan sekolah swasta juga selalu tumbuh dari masyarakat.
Bahkan, tidak sedikit sekolah swasta yang kini menjelma menjadi besar
dan mapan berasal dari wakaf seseorang yang kemudian dikelola dan
dikembangkan dengan baik oleh pengurusnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa eksistensi sekolah swasta sesungguhnya lebih banyak
ditentukan oleh militansi perjuangan guru, kepala sekolah, serta para
pengurusnya.

Perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi bagian
dari bidang yang dapat dikelola secara profit. Fenomena itu dapat
diamati melalui beberapa sekolah swasta yang tumbuh dan berkembang
dengan dimodali sekelompok orang kaya yang bergabung dalam suatu yayasan
pendidikan.

Segala kebutuhan operasional pendidikan sekolah itu ditanggung yayasan.
Sebagai timbal balik, yayasan mewajibkan siswa membayar donasi
pendidikan yang telah ditentukan. Bahkan, tidak sedikit sekolah swasta
tersebut berhasil menjadi lembaga pendidikan berkategori besar dan mapan.

Sekolah berkategori itu kemudian berani menentukan biaya pendidikan
dalam jumlah sangat tinggi. Yang dijual sekolah swasta berkategori itu
adalah layanan akademik dan nonakademik yang memuaskan. Bahkan, dapat
dikatakan layanan yang diberikan telah melebihi standar yang ditentukan
pemerintah.

Bagi sekolah swasta berkategori besar dan mapan, kampanye pendidikan
gratis barangkali tidak banyak berpengaruh. Sebab, sekolah berkategori
itu biasanya telah memiliki pelanggan tersendiri. Mayoritas pelanggan
sekolah tersebut adalah kelompok menengah ke atas.

Persoalan donasi pendidikan bagi stakeholder sekolah swasta berkategori
besar dan mapan tentu tidak lagi menjadi masalah. Bahkan, sebagian besar
stakeholder sekolah itu meyakini bahwa lembaga pendidikan yang
berkualitas memang seharusnya dijual dengan harga mahal. Sebaliknya,
lembaga pendidikan yang dijual murah biasanya berkualitas rendah.

Karena itu, mereka tidak pernah mempersoalkan mahalnya biaya pendidikan.
Sebab, bagi mereka, yang penting adalah kepuasan siswa dan orang tua
karena mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas.

Tapi, rasanya masih sangat sedikit sekolah swasta yang berkategori besar
dan mapan. Kebanyakan sekolah swasta yang ada saat ini berkategori
menengah ke bawah. Bahkan, bisa dikatakan mayoritas sekolah swasta
berkategori kecil dengan fasilitas seadanya. Biasanya, donasi pendidikan
sekolah bertipe itu bersumber dari masyarakat dan pemerintah.

Dana dari masyarakat dihimpun melalui tarikan dalam bentuk SPP, dana
pembangunan, sumbangan kegiatan pembelajaran intra dan ekstra kurikuler,
serta donatur stakeholder. Sedangkan dana bantuan pemerintah diterima
dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS) dan beberapa block grant
untuk pengembangan sarana-prasarana.

Akibat adanya kampanye pendidikan gratis, mayoritas sekolah swasta
berkategori kecil harus membebaskan siswa dari segala bentuk tarikan.
Hal tersebut dilakukan karena pemerintah menganggap telah banyak
memberikan bantuan operasional pendidikan, termasuk kepada seluruh
sekolah swasta.

Yang menjadi persoalan sekolah swasta berkategori kecil adalah jika
bantuan pemerintah tidak diterima secara rutin. BOS memang diberikan
setiap bulan berdasar jumlah siswa. Tapi, berdasar pengalaman beberapa
sekolah, BOS tidak pasti keluar setiap bulan. Bahkan, terkadang
pencairan dana BOS mengikuti jadwal pemerintah dalam pencairan anggaran
dalam setiap tahun.

BOS juga menghadirkan persoalan bagi sekolah swasta yang memiliki jumlah
rombongan belajar kecil. Jika mengandalkan BOS, tentu tidak mencukupi
kebutuhan menggaji tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Belum lagi
dana operasional sekolah yang secara berkala harus dikeluarkan. Fakta
itu jelas menunjukkan problem riil yang dihadapi sekolah swasta ketika
berhadapan dengan kampanye pendidikan gratis.

Tantangan terbesar yang segera dihadapi sekolah swasta berkaitan dengan
kampanye pendidikan gratis adalah musim pendaftaran siswa baru (PSB)
yang kini sedang dilaksanakan. Saat PSB ini, sekolah swasta harus
bersaing memperebutkan siswa baru dengan sekolah pemerintah dan sekolah
swasta lain. Sekolah pemerintah dengan daya tarik SPP gratis, buku
pelajaran gratis, dan seragam sekolah gratis akan tetap menjadi
primadona bagi masyarakat.

Dengan posisi seperti ini, sekolah pemerintah akan berada di atas angin.
Bahkan, sekolah pemerintah bisa dengan mudah memperoleh siswa baru yang
berkualitas melalui sistem seleksi yang sangat ketat. Sedangkan sekolah
swasta harus mau menerima kenyataan mendapatkan siswa baru dengan
kualitas seadanya.

Bagi sekolah swasta, memperoleh siswa baru sesuai kuota yang ditetapkan
tentu harus disyukuri. Sebab, ada banyak sekolah swasta yang harus
menerima kenyataan tidak memperoleh jumlah siswa sebagaimana yang
diharapkan.

Bagi sekolah swasta, jumlah siswa akan sangat menentukan besaran dana
operasional yang dapat dihimpun. Jika jumlah siswa berlebih, dipastikan
pemasukan dana akan cukup untuk membiayai operasional pendidikan.
Bahkan, sebagian dana bisa dimanfaatkan untuk berinvestasi guna
mengembangkan sekolah. Tapi, jika jumlah siswa berkurang, pengurus harus
berusaha mencari kekurangan dana.

Kondisi terakhir itulah yang dialami mayoritas sekolah swasta
berkategori menengah ke bawah. Fakta tersebut telah menyebabkan banyak
sekolah swasta mempertaruhkan eksistensinya saat musim PSB tiba.

Berkaitan dengan kampanye pendidikan gratis, yang perlu dilakukan
sekolah pemerintah adalah berempati pada sekolah swasta ketika melakukan
PSB. Sekolah pemerintah dengan fasilitas sekolah gratis harus bisa
menahan diri untuk tidak terlalu bernafsu memperoleh siswa sebanyak
mungkin. Yang perlu dilakukan adalah menerima siswa sesuai fasilitas
yang tersedia. Calon siswa yang tidak diterima di sekolah pemerintah
bisa memilih sekolah swasta sesuai yang dikehendaki.

Sikap berempati ini perlu dikembangkan. Sebab, tidak mungkin fasilitas
sekolah pemerintah mampu menampung seluruh siswa. Di sinilah fungsi
sekolah swasta sebagai partner sekolah pemerintah bisa bersinergi
melakukan tugas mulia yang diamanahkan konstitusi, yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Lebih dari itu, yang juga perlu dilakukan pemerintah adalah
mendistribusikan anggaran 20 persen pendidikan secara lebih proporsional
dan berkeadilan bagi sekolah pemerintah dan sekolah swasta. Jika sikap
berempati itu tidak dijalankan, berarti pemerintah telah membunuh kiprah
sekolah wasta. *(*)*

/*). Biyanto, dosen IAIN Sunan Ampel dan sekretaris Majelis Dikdasmen
PWM Jatim/

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=70704

Pembesar Sibuk Pilpres, Kita Terus Bekerja

Pembesar Sibuk Pilpres, Kita Terus Bekerja
*SELALU* ada kekhawatiran ketika musim pilpres seperti saat ini. Karena
presiden dan wakil presiden mencapreskan diri, dicemaskan ada penurunan
kinerja pemerintah. Apalagi para menteri juga terbelah untuk mendukung
capres masing-masing, baik sesuai garis koalisi partai maupun garis
kesetiaan. Koran ini kemarin memberitakan 19 menteri pro-SBY, tiga ke
Jusuf Kalla.

Memang sangat terasa, SBY dan JK sudah sibuk dengan dirinya sendiri.
Setelah deklarasi capres-cawapres, mereka memang terus melakukan
kunjungan atau meninjau proyek. Tapi, nuansanya tidak sedang bekerja
sebagai pemerintah, tetapi sudah bernuansa kampanye, yakni meningkatkan
citra diri di hadapan publik.

Jusuf Kalla, misalnya. Untuk merealisasikan slogan Lebih Cepat Lebih
Baik, JK sudah pergi ke mana-mana bersama cawapresnya, Wiranto. Tentu,
dengan fasilitas lengkap protokoler Wapres. Padahal, sebagai pejabat
publik, seharusnya JK tetap menjalankan fungsi sebagai Wapres dan nanti
baru bisa bergandengan tangan dengan Wiranto setelah musim kampanye
resmi tiba.

Deklarasi SBY-Boediono juga sudah menunjukkan adanya kerancuan peran
sebagai pejabat publik. Pada saat deklarasi sebagai cawapres, Boediono
belum mundur dari posisi gubernur BI. Selain itu, penyampai pidato
puja-puji kepada SBY-Boediono di panggung deklarasi adalah Gubernur
Sumbar Gamawan Fauzi.

Memang, gubernur adalah jabatan politis dan boleh memberikan dukungan
politis kepada capres-cawapres. Tapi, karena sudah memberi contoh, kelak
SBY tak boleh komplain ketika ada gubernur, bupati, atau wali kota
dikumpulkan oleh induk partainya untuk suatu arahan politis. Apakah ini
tak merusak fatsun politik?

Tapi, kita mau apa? Apakah para pembesar itu masih mau mengingat dengan
ketat aturan main dan etika dalam berpolitik? Apalagi sekarang mereka
menguber waktu agar meningkatkan popularitasnya. Pemilihan presiden dan
wakil presiden Juli mendatang memang sudah sangat dekat.

Kalau memang suasana dalam pemerintahan puncak sudah sibuk dengan
dirinya sendiri, kita tetap harus bekerja seperti biasa. Kita tetap
harus yakin bahwa inisiatif dan kreativitas kita tetap harus berjalan
dalam suasana apa pun. Tak akan ada habisnya membicarakan politik.
Setelah pemilu pusat, nanti ada pemilu daerah. Begitu seterusnya.
Sebagai partisipan, kita harus selalu kritis dan santai memandang hajat
politik yang tak berkesudahan itu. Karena itu, agar tak terlena, koran
ini pernah memopulerkan kredo: Kerja! Kerja! Kerja!

Ada catatan ekonom Faisal Basri yang menarik, yang dimuat di blog-nya
dan dimuat di koran bisnis. Pemilu lima tahun lalu, Wapres (Hamzah Haz,
Red) berduet dengan seorang menteri (Agum Gumelar) menantang atasannya
(Megawati Soekarnoputri). Dua menteri (SBY dan Jusuf Kalla) juga ikut
pilpres. Sejumlah menteri pun sibuk berkampanye untuk partai mereka
masing-masing dan merapat ke capres-cawapres yang berbeda-beda pula.

Namun, kata ekonom yang integritasnya terpuji itu, perekonomian ternyata
malah membaik. Pertumbuhan 2004 bahkan lebih tinggi daripada 2003.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV (Oktober-Desember) /2004 tercatat
yang tertinggi sejak krisis hingga sekarang, yakni 6,65 persen. Sejumlah
indikator makroekonomi lainnya juga membaik, seperti laju inflasi, suku
bunga, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah.

Jadi, biarlah orang-orang yang sebenarnya masih berkewajiban memerintah
itu sibuk dengan dirinya sendiri. Kita tak perlu risau. Mari bekerja
terus dengan segenap kemampuan. Demi bangsa. *(*)

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=70703

SBY-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto Saling Sindir

SBY-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto Saling Sindir

JAKARTA (SI) – Suhu politik menuju Pemilu Presiden (Pilpres) 2009
memanas. Dua kubu yang akan bertarung, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY)-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto, saling sindir.

Kemarin tim kampanye pasangan SBY-Boediono meminta Jusuf Kalla bisa
menjaga pernyataan dan kearifan.”Pernyataan Pak Jusuf Kalla itu, saya
bacakan kutipan langsungnya, kalau si A, yang dimaksud Boediono, yang
neoliberal, itu benar, maka negara itu akan dikuasai oleh pemilik saham.

Kami, sebagai tim kampanye SBY-Boediono, mengatakan bahwa pernyataan itu
tidak benar,” kata juru bicara tim kampanye SBY-Boediono, Rizal
Mallarangeng, dalam sebuah konferensi pers kemarin. Dalam konferensi
pers itu turut hadir Boediono, cawapres SBY.

Permintaan kepada Kalla itu dimulai dengan mengutip pernyataan Kalla di
sebuah media massa. Rizal berharap Kalla mampu menempatkan diri sebagai
wakil presiden.Pada posisi itu,ujar Rizal, Kalla dituntut bersikap arif
dan santun, baik dalam perilaku maupun dalam membuat pernyataan. ”Kami
harap Pak Jusuf Kalla sebagai wapres menjaga posisi itu tetap terhormat.

Dengan posisi itu, sebaiknya, pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan
adalah pernyataan yang terukur,”kata Rizal. Rizal mengakui saat ini
pemerintahan dalam posisi sulit,di mana presiden dan wakil presiden
berhadap-hadapan langsung dalam pemilihan presiden untuk periode
berikutnya.

Jika situasi ini tidak benar-benar dipahami, rakyat akan sodori gambaran
sebuah aktivitas berdemokrasi yang tidak santun dan saling menyerang.
”Berkompetisi tidak pernah ada yang melarang, kritik juga diperbolehkan,
tapi perlu ditekankan pentingnya rasa saling menghargai dan dalam
situasi yang tepat.

Jangan menuduh yang tidak berdasar,”tukasnya. Soal tudingan sebagai
penganut neoliberal, kata Rizal, Boediono sudah menyangkal dengan pidato
bahwa dia bukan seorang neoliberal.Pandangan utama mantan Gubernur Bank
Indonesia (BI) soal ekonomi adalah menciptakan keseimbangan yang
produktif antara negara dan pasar untuk kesejahteraan rakyat.

Boediono yang juga hadir dalam kesempatan itu enggan berkomentar
banyak.”Nanti ada waktunya saya memberi penjelasan,” kata Boediono.
Selain soal pernyataan yang dinilai tidak terukur, kubu SBY – Boediono
juga menilai aktivitas Kalla mencari dukungan politis sebagai hal yang
tidak etis. Kalla harusnya mengutamakan tugas sebagai wapres.

”Satu detik pun pemerintahan tidak boleh berhenti,apalagi hanya untuk
kampanye, penggalangan dukungan dan keliling-keliling. Menomorduakan
tugas sebagai pemimpin hanya untuk kampanye dan
penggalanganadalahperilakuyang kurangetis, ”tutur Ketua DPP Partai
Demokrat Anas Urbaningrum.

Anas kemudian membandingkan Jusuf Kalla dengan capres partainya, SBY.
Menurut dia, hingga saat ini langkah SBY masih proporsional dan tidak
mengganggu tugas sebagai presiden. ”Anda bisa lihat, SBY sebagai
presiden tetap menjalankan tugas-tugas pemerintahan,pembangunan,dan
pelayanan publik,”ujar Anas. Juru bicara tim kampanye nasional Jusuf
Kalla-Wiranto,Poempida Hidayatullah, mempertanyakan kapasitas Rizal yang
melarang Kalla berbicara.

”Kebebasan berpendapat dan berbicara diatur dalam UUD 1945. Jadi kenapa
pakai dilarang kalau memang apa yang disampaikan benar adanya,” kata
Poempida kepada Seputar Indonesiakemarin. Menurut dia,Kalla tidak asal
memberikan pernyataan. Apa yang disampaikan Kalla tersebut dalam
kapasitas pribadi, bukan sebagai wakil presiden.

Termasuk juga kunjungan Kalla ke sejumlah daerah mencari dukungan
politik dalam kapasitas sebagai calon presiden. Bahkan pernyataan Kalla
selalu disampaikan dalam forum informal, bukan forum resmi— dalam
kapasitas Kalla sebagai wapres. ”Kalau dalam kapasitas pribadi apa yang
mau diprotes? Bukankah banyak gubernur yang hadir dalam deklarasi
SBYBoediono, tapi dalam kapasitas pribadi kok hanya Kalla yang
dipersoalkan,”ujarnya.

Tindakan Nyata

Kemarin Jusuf Kalla kembali menyindir secara tidak langsung rivalnya di
pilpres, SBY. Pada acara deklarasi tim suksesnya di Bandung,kemarin,
Kalla meminta masyarakat memperhatikan sisi keterwakilan dalam kontestan
pilpres.”Ini bukan pilkada,tapi pilpres.Makanya memilih presiden (harus)
berdasarkan kebhinnekaan dan (dalam skala) Nusantara,” ujar Kalla.

Kalla menyatakan sudah berpengalaman dalam urusan mempersatukan bangsa.
Menurut dia,konflik di Poso,Aceh, dan Ambon bisa selesai pada saat dia
menjabat sebagai menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Bagi Kalla,
menyelesaikan persoalan bangsa tidak bisa hanya dilaksanakan dengan
rapat alias tanpa tindakan nyata.

”Hobi rapat tidak selalu baik untuk kemajuan bangsa ini, karena bangsa
ini butuh tindakan nyata. Saya nanti akan memperbanyak tindakan
ketimbang menghabiskan waktu di ruang rapat,”papar Kalla. (helmi
firdaus/ahmad baidowi/radi saputro)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/240819/38/

Audit Bolong Kantong Politikus

Written By gusdurian on Selasa, 19 Mei 2009 | 12.14

Dana Kampanye
Audit Bolong Kantong Politikus

Laporan dana kampanye partai selesai ditelisik pekan ini. Bersiaplah
untuk kecewa.

KANTOR Akuntan Publik Chatim, Atjeng, Yusuf, dan Rekan di lantai dua
Gedung Pulomas Satu, di Jalan Ahmad Yani, Jakarta, bak kapal pecah.
Kardus cokelat berisi tumpukan dokumen teronggok di sana-sini. Gunungan
kertas memenuhi semua meja. Belasan akuntan, laki-laki dan perempuan,
hilir-mudik memeriksa laporan. Sebagian sibuk di depan komputer, yang
lain memberikan instruksi lewat telepon. ”Kami bekerja habis-habisan,”
kata Chatim Baidaie, pemimpin kantor akuntan publik itu, Jumat pekan lalu.

Pekan ini Chatim dan puluhan akuntan publik lain di seluruh Indonesia
harus menyelesaikan audit atas laporan dana kampanye semua partai
politik peserta pemilu dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Chatim
sendiri bertanggung jawab atas audit laporan dana kampanye Partai Golkar
dan tiga partai lain yang tidak lolos parliamentary threshold. Selain
itu, kantor yang dipimpinnya juga bertugas memeriksa laporan keuangan 50
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
Yogyakarta. Tak mengherankan bila mereka bekerja ekstrakeras. ”Kalau
terlambat, kami bisa didenda,” katanya.

Hasil audit Chatim dan akuntan lainnya bisa mengubah nasib partai
politik peserta pemilihan umum. Jika ditemukan ada sumbangan dana
kampanye dari sumber ilegal, pengurus partai akan masuk bui. Hukuman
maksimalnya sampai tiga tahun penjara. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Legislatif tegas melarang peserta pemilu menerima
dana dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya,
pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara, dan pemerintah desa.

Tak hanya itu. Jika auditor menemukan ada dana kampanye yang digunakan
untuk membeli suara, ancaman hukumannya tak kalah seram. Si pelaku
politik uang terancam dikurung dua tahun dan kehilangan haknya sebagai
peserta pemilihan umum. Bahkan, sekadar terlambat mengirim laporan pun
diancam sanksi. Komisi Pemilihan Umum bisa membatalkan kemenangan calon
anggota parlemen dari partai yang tidak melapor sesuai jadwal.

Di atas kertas, semua aturan itu tampak bergigi. Banyak orang lalu
berharap hasil audit akan mengungkap hitam-putih fulus partai politik
dan peserta pemilu lainnya. Tapi bagaimana pelaksanaannya?

”Siap-siap saja kecewa,” kata anggota Badan Pengawas Pemilu, Bambang Eka
Cahya Widodo. Menurut dia, pagi-pagi proses audit ini sudah dirundung
kisruh. Bambang menunjuk tiga biang keladi: batasan audit yang terlampau
sempit, terlambatnya penerbitan aturan teknis, dan tidak adanya kontrol
publik.

Undang-Undang Pemilu Legislatif memang membatasi audit hanya pada
rekening khusus dana kampanye. ”Padahal, siapa yang bisa menjamin semua
dana kampanye masuk ke rekening itu?” kata Bambang. Selain itu, akuntan
publik juga hanya memeriksa pemasukan dan pengeluaran partai yang
dilaporkan kepada auditor. Artinya, jika ada sumbangan ilegal yang
langsung masuk ke kas partai atau rekening perorangan calon legislator,
pelanggaran itu bakal lolos.

Masalah berikutnya, soal aturan teknis yang terlambat turun. Komisi
Pemilihan Umum baru merilis Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pelaporan Dana Kampanye pada awal Februari lalu. Padahal laporan
peserta pemilu harus mencakup seluruh pemasukan dan pengeluaran sejak
kampanye dimulai pada pertengahan Juli tahun lalu. ”Akibatnya, banyak
laporan yang tidak lengkap dan tidak mengacu pada format laporan yang
diminta Komisi,” kata Bambang.

Yang paling parah adalah minimnya kontrol publik. Soal ini, Bambang tak
bisa menyembunyikan kegusarannya. Permintaan Badan Pengawas untuk
mendapatkan salinan laporan dana kampanye partai politik, sampai pekan
lalu, tak kunjung diluluskan Komisi Pemilu. ”Kami sudah mengirim surat
berkali-kali, tapi dibalas pun tidak,” katanya pekan lalu.

Tak hanya Badan Pengawas Pemilu, banyak organisasi nonpemerintah
pemantau pemilu bernasib sama. Indonesia Corruption Watch sampai pekan
lalu juga tidak mendapat akses untuk memperoleh laporan dana kampanye
partai. Padahal, sebagai lembaga antikorupsi, ICW berkepentingan
memastikan tidak ada dana hasil korupsi yang dicuci lewat partai.

Komisi Pemilihan Umum beralasan mereka tidak punya laporan itu. ”Partai
politik mengirim laporan itu langsung ke kantor akuntan publik,” kata
anggota Komisi, Andi Nurpati Baharuddin. Kantor akuntan publik sendiri
diikat kode etik auditor untuk tidak mempublikasikan data laporan
keuangan klien. Walhasil, publik tidak bisa ikut memeriksa kesahihan
data laporan dana kampanye partai.

Simpang-siur soal proses audit dana kampanye partai ini tecermin jelas
dalam acara yang digelar Institut Akuntan Publik Indonesia, Jumat dua
pekan lalu. Dalam acara bertajuk Dialog Audit Dana Kampanye Pemilu 2009
yang diadakan di Gedung Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Surabaya itu, puluhan akuntan publik yang hadir tak putus-putus
mengacungkan tangan, mengajukan pertanyaan.

”Banyak peserta dialog yang kebingungan,” kata Tarkosunaryo, Sekretaris
Institut Akuntan Publik Indonesia, saat ditemui pekan lalu. Tarko hadir
di Surabaya sebagai pembicara tunggal dalam dialog itu. Menurut dia, ada
dua masalah yang ketika itu bolak balik ditanyakan.

Soal pertama, lagi-lagi seputar format laporan dana kampanye yang tidak
seragam. ”Banyak partai mengaku tidak tahu ada pedoman pelaporan dari
Komisi Pemilu,” kata Tarko. Sedangkan soal kedua, lebih gawat lagi:
banyak kantor akuntan publik yang belum menerima kontrak kerja sama dari
KPU setempat. ”Padahal mereka sudah mulai bekerja melakukan audit,” kata
Tarko.

*l l l*

AKHIR April lalu, Komisi sempat mengumumkan total dana kampanye yang
dilaporkan partai politik. Partai Gerakan Indonesia Raya ada di urutan
teratas dengan total penerimaan dana Rp 308,8 miliar, disusul Partai
Demokrat dengan jumlah pemasukan Rp 234, 8 miliar. Partai Golkar ada di
peringkat ketiga dengan total sumbangan yang diterima Rp 145,5 miliar.

Malkan Amin, Wakil Sekjen Partai Golkar, mengaku dana kampanye partainya
lebih banyak berasal dari kader Beringin sendiri. Dia membenarkan
sumbangan dana yang berasal dari luar partai biasanya dibarengi titipan
tertentu. ”Donatur besar biasanya minta imbalan berupa kebijakan,” katanya.

Karena itu, kata Malkan, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla selalu
wanti-wanti agar tim sukses partai tidak menjanjikan sesuatu yang tak
mungkin diberikan Golkar. ”Kami sangat berhati-hati menerima bantuan,
karena bisa merusak posisi kami sendiri di kemudian hari,” katanya.

Ketua Partai Demokrat Max Sopacua membenarkan. Menurut Max, dana
kampanye partai sekarang lebih banyak berasal dari anggota partai dan
calon legislator partai. ”Para calon yang lebih banyak mengeluarkan dana
dari tabungan masing-masing,” katanya.

Kebenaran pengakuan dua petinggi partai ini harus diuji. Alat uji yang
ideal adalah audit investigatif atas laporan dana kampanye partai
mereka. Namun, lagi-lagi soal itu terbentur ketiadaan aturan yang tegas.
”Sejak awal, audit ini memang tidak didesain menjadi indikator
akuntabilitas dan transparansi partai politik,” kata Bambang Eka.

*Wahyu Dhyatmika, Ismi Wahid
*

*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/18/NAS/mbm.20090518.NAS130353.id.html
*

Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah

Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah

Kita bertemu di sini—di gedung tempat Bung Karno mengucapkan pleidoinya
di pengadilan kolonial 79 tahun yang lalu—karena kita merasa sesuatu
yang ganjil terjadi. Sesuatu yang tak lazim dan mengandung harap.

Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang yang akan
dicalonkan jadi wakil presiden, dan orang itu tak datang dari kancah
yang ribut di mana partai-partai politik bersaing mendapatkan uang atau
kedudukan.

Boediono seorang ekonom; ia bekerja dalam pengelolaan perekonomian
Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan tokoh partai. Ia bukan anggota
dinasti pemimpin partai. Ia tak tersohor dalam pasaran media seperti
para bintang sinetron, komedian, dan penyanyi. Ia bukan seorang
vote-getter.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai calon wakilnya
tentu karena Boediono memenuhi sejumlah syarat. Tapi lebih penting lagi
adalah kenyataan bahwa Boediono bukan saja seorang yang telah bekerja
untuk perbaikan kehidupan perekonomian bangsa, tapi juga seorang pejabat
dan pribadi yang bersih.

Di atas saya sebut, itulah sebuah ”keganjilan”—dan di atas saya sebut
juga, ”keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau tidak, ada yang
merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik kita. Kini SBY, dengan
memilih Boediono, menunjukkan langkah kepemimpinan yang berani—dan itu
indikasi bahwa kita, sebagai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang
merisaukan itu.

Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan semacam
sinisme yang gelap: pada sebuah zaman ketika semua dapat
diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus
juga dianggap sebagai komoditas.

Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa bercerita,
bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk memperoleh suara.
Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih mengorganisasi diri
jadi kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli.

Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan cita-cita,
melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli.

Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koalisi
antarpartai dibentuk atau dibatalkan bukan berdasarkan program ataupun
ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan bagi
Republik. Koalisi antarpartai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar
siapa dapat jabatan apa, bahkan siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.

Di tengah berisiknya tawar-menawar yang seperti pasar ternak itu
pertanyaan pun timbul: Adakah prinsip tentang kebaikan dan kebenaran
dalam politik? Benarkah semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak
ada suatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk kesepakatan?

*l l l*

79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai pleidoinya dengan
sebuah statemen yang menarik. Sebuah statemen yang menunjukkan, betapa
bisa palsunya klaim pemerintah kolonial bahwa kebenaran dan keadilan
yang hendak ditegakkannya—dalam tubuh hukum—adalah kebenaran dan
keadilan yang universal.

Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang dipergunakan hari
itu. ”Tuan-tuan Hakim,” katanya, ”kami di sini didakwa bersalah
menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada
pendapat subyektif….”

Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan pasal tentang
”pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan, pasal itu, seperti pasal
yang menyebut diri ”pencegah penyebaran rasa benci” (haatzaai
artikelen), mengandung kata-kata yang bisa ditafsirkan seenaknya oleh
yang membacanya, terutama para jaksa dan hakim kolonial. Bung Karno
mengulang apa yang sering dikatakan tentang pasal-pasal seperti
itu—yakni ”aturan karet yang keliwatan kekaretannya”. Artinya, aturan
yang dapat direntang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak,
atau apa yang disebut Bung Karno sebagai ”subyektif”.

Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa keadilan dan
kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah direduksi jadi
pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga, telah
dikuasai oleh bahasa, sistem simbolik yang mau mendikte karena berkuasa.

Tak mengherankan bila Bung Karno pada akhirnya dinyatakan bersalah. Ia
dihukum empat tahun penjara dan dikurung di Sukamiskin. Tapi tak mudah
menerima keputusan itu sebagai ekspresi keadilan. Pada saat palu
diketukkan, terasa benar apa yang diingatkan Marxisme: keadilan dan
kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari yang berkuasa.
Dengan kata lain, dalam rumusan nilai-nilai selalu ada dimensi politik,
pertarungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni.

Memang, Marxisme sebuah suara zaman modern, bagian dari apa yang disebut
hermeneutics of suspicion, yang meragukan bahwa ada kebenaran yang mulus
dan murni. Tapi kita ingat, bahkan dalam Marxisme orang senantiasa
dirundung pertanyaan: benarkah politik hanya pergulatan kepentingan
”subyektif” atau sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan
proletariat untuk membebaskan manusia dari ikatan kepentingan
kelas-kelas? Bila perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran
dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah
banyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak?

Saya termasuk orang yang percaya, politik adalah perjuangan yang
terdorong untuk melawan kepentingan ”aku”. Politik berbeda dari pasar
ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang membuat kita memenuhi
panggilannya.

Tapi sejarah perjuangan politik juga menunjukkan, yang universal
bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya. Yang universal adalah
yang justru dirasakan sebagai kekurangan yang akut. Keadilan (sebuah
nilai universal) jadi sesuatu yang seakan-akan hadir, memanggil-manggil,
ketika ketidakadilan merajalela. Kebenaran (sebuah nilai universal) jadi
mendesak semua orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia
Menggugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang memukau:

… Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak
diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat—tiap-tiap
machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti
achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakkan
tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri
teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!”

Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan
pada akhirnya hanya berarti ketika keadilan dan kebebasan itu ditujukan
buat siapa saja. Sejarah bergerak karena sebanyak-banyaknya orang ikut
bergerak.

*l l l*

Tapi bisakah sejarah berakhir? Kita berada pada awal abad ke-21, yang
mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah
menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh,
namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan.

Dengan ketabahan itu sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin
cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya,
kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga
persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan.

Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk
memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi
kini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin
yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah
alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan
sumber kreatif yang beraneka.

Boediono tentu sangat akrab dengan keniscayaan itu. Seorang ekonom
adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan dan kelangkaan, dan
seorang teknokrat adalah seorang yang harus bersua tiap kali dengan
kerumitan. Itu sebabnya Boediono tahu, doktrin seperti ”neoliberalisme”
tak akan pernah berhasil, sebagaimana ”ekonomi yang etatis” tak akan
pernah sampai di tujuan.

Sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti sikap yang
hanya mengutamakan hasil dan tak mempedulikan nilai-nilai, tak
mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Seorang ekonom, terutama di
Indonesia, tak mungkin mengabaikan persoalan korupsi, ketakadilan dalam
aturan main, goyahnya kemandirian lembaga yudikatif, dan last but not
least, tipisnya modal sosial dalam bentuk sikap yang lebih percaya
kepada liyan—orang lain yang juga sesama.

Seorang ekonom, seperti kita semua, punya daftar panjang tentang hal-hal
yang tak bisa diabaikan. Untuk itu diperlukan kesetiaan yang tak
habis-habisnya: kesetiaan kepada negeri ini.

Kesetiaan kepada negeri ini bukanlah karena patriotisme yang pongah.
Kita setia kepada Indonesia justru karena ia terus-menerus memanggil: ia
belum selesai. Kita tak bisa melepaskan diri dari ikatan kita kepadanya;
kita tak bisa melupakannya; kita terkadang bangga terkadang risau oleh
karenanya. Tapi tetap: Indonesia bukan hanya sebuah tempat tinggal.
Indonesia adalah sebuah amanat. Begitu banyak sudah orang berkorban
untuk cita-cita yang membuat negeri ini lahir.

Saudara Boediono, kami percaya, Anda tak akan menyia-nyiakan amanat itu.
Dari ruang ini, pada hari ini, izinkanlah kami mengucapkan selamat
bertugas.

Bandung, 15 Mei 2009

/*Goenawan Mohamad
*/

/*http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/05/18/CTP/mbm.20090518.CTP130350.id.html
*/

Mencari The Living Leader

Mencari The Living Leader
*Harry "Uncommon" Purnama* - suaraPembaca
*Jakarta* - Leadership should be fun as mathematics is fun. Einstein
berteori dan benar. 'Di tengah kerumitan selalu muncul kesederhanaan'.

Banyak yang berteori tinggi bahwa jika akan menjadi pemimpin seorang
kandidat harus lulus S1 (sarjana). Harus kompeten ('capable'). Harus
cerdas. Harus berpengalaman. Harus berpengetahuan luas. Apalagi harus
berperawakan meyakinkan (tidak cacat). Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dalam pandangan saya teori 'harus' ini 'harus' itu yang sifatnya
personality (dari sisi luar ke dalam) itu sudah runtuh. Sedang
digantikan oleh prinsip-prinsip baru. Prinsip dari dalam keluar ('inside
out').

Belajar dari sejarah semua keharusan itu nyatanya tidak atau kurang
relevan lagi. Jika dibandingkan dengan keharusan yang lebih fundamental
yaitu hati yang bersih (jujur), jiwa yang besar (murah hati), dan budi
pekerti yang mulia (martabat). Mengapa?

Kepemimpinan sekali lagi adalah logika tentang memberi manfaat kepada
manusia (konstituen, rakyat, tim). "Tak banyak gunanya jika banyak
pemimpin punya ilmu top 'bibit bebet bobot'. Namun, rakyat tetap
melarat". Kalimat ini dilontarkan oleh pengirim SMS dari Bekasi, di
acara 'Aspirasi', Selasa sore, 17 Maret 2009 di radio Smart FM.

Tidak banyak manfaatnya. Pemimpin itu cerdas, pandai, kaya, proaktif,
kreatif, jika ia tak mampu memberi manfaat bagi rakyatnya bukan? Tak
kurang apa kebanyakan para pemimpin kita terdahulu mereka pemimpin top.
Berpendidikan tinggi-tinggi. Taat beragama, pintar-pintar. Namun, rakyat
tetap saja miskin dan terbelakang tetapi mereka sendiri kaya dan makmur
(lupa keadilan).

Lalu muncul pemimpin monster yang kehilangan daya hidup dari dalam
(value, karakter, sikap). Saya sebut ini sebagai "leadership dryness"
(kekeringan kepemimpinan). Tak ada kehidupan di sisi dalam. Contohnya:
tidak bisa adil, suka egois, suka menang sendiri, maunya benar sendiri,
enak sendiri, dan seterusnya.

*Definisi Baru*
Kini persoalannya bukannya pemimpin kurang pandai melainkan kurang punya
moral. Pemimpin masa kini dan masa depan yang dibutuhkan Indonesia
adalah pemimpin yang hatinya untuk rakyat (inside out). Pemimpin yang
"hidup" di dalam. Karena ia "hidup" (tidak mati) di dalam. Maka yang
keluar darinya adalah segala yang hidup. Kebaikan dan kemuliaan ("man
for others", "selfless").

Jika ia ingin kaya rakyatnya dulu yang dibuat kaya. Jika ia ingin
sejahtera rakyatnya dulu yang dibuat sejahtera. Jika ia ingin meraih
sukses rakyatnya dulu yang dibuat sukses. Jika ia ingin meraih target
rakyatnya dulu yang dibantu meraih target. Dan seterusnya. Rakyat yang
dimuliakan. Bukan pemimpin.

Paradigma dan definisi kepemimpinan "baru" ini saya senang menyebutnya
dengan
"the living leadership". Ia sudah meninggalkan pakem 'klasikal' yang
dibuat di masa lampau yang berbau sangat manajemen. Manajemen hanya
diperlukan sebagai alat ('tools') dan bukan segala-galanya.

Pemimpin yang hanya mengandalkan keahlian manajemen belaka akan gagal.
Ia hanya akan ahli putar sana putar sini fungsi manajemen. Memoles
proses bisnis. Membongkar struktur organisasi. Membuat prosedur
(standard operational procedure, SOP). "Working instruction". Dan
seterusnya. Lalu, berakhir sebagai ahli manajemen.

Kita sudah lama sepakat pekerjaan macam itu cukup dikerjakan manajer.
Bukan oleh leader. Sebaliknya kepemimpinan yang mengandalkan hati akan
berhasil di mata rakyat (baca: dicintai rakyat karena mementingkan
rakyat, membawa perubahan demi rakyatnya, memberi hasil bagi rakyatnya).
Itulah leader yang sedang kita cari bagi bangsa ini.

"Saya memang berwajah pelayan karena tugas saya adalah melayani rakyat
Iran'. Itulah kalimat pembuka penuh karisma dan jiwa penuh melayani
dalam wawancara Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan TV FOX beberapa
bulan yang lalu. Pemimpin besar yang mencintai rakyat dan dicintai
rakyat seperti Ahmadinejad ini ternyata terlahir dalam krisis
kepemimpinan di Iran.

Menariknya, ia bukan mullah. Bukan pula politisi dan bukan bangsawan. Ia
hanya rakyat jelata. Seorang dosen biasa yang tidak dikenal. Namun, jiwa
dan kebesaran cintanya pada rakyatnya itulah (the serving heart) yang
telah membuktikan premisis kepemimpinan modern (inside out).

Hatinya yang melebihi intelegensianya telah membawanya ke permukaan elit
politik pemilihan presiden Iran tahun 2005 lalu dan jadilah ia seorang
presiden "baru" pilihan rakyat. Menggeser kepemimpinan Rafshanjani dan
Katami. Bukan dengan uang. Bukan dengan materi. Ia menang pemilihan
presiden namun dengan kekuatan cintanya (the inside, the value, the heart).

The living leadership-nya kental ketika ia membiasakan diri menyapu
jalan Teheran di pagi hari bersama tukang sapu jalanan ketika masih
menjadi walikota Teheran. Ia melayani rakyatnya dengan tulus ikhlas.

Kualitas inilah yang membuatnya menang pemilu. Dikabarkan ia tak
mempunyai cukup uang untuk memasarkan dirinya sendiri via poster dan
spanduk. Ia berjuang dan menang lewat kekuatan cinta (the living inside).

*Pemimpin Baru*
Rakyat sedang merindukan pemimpin dengan kualitas besar yang mampu
dengan tulus ikhlas untuk menghidupkan dan membela rakyatnya. Seperti
Ahmadinejad di Iran. Seperti Gandhi di India. Seperti Obama di Amerika.

Mengatasi krisis ekonomi penting. Namun, yang terpenting adalah mencari
the living leader yang tepat. KH Ma'ruf Amin dalam Rakernas Majelis
Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang Sumatera Barat, 24-26 Januari
2009 lalu mengatakan pemimpin Islami sulit dicari. Banyak orang, banyak
partai, banyak keinginan mencari pemimpin besar. Lalu di manakah mereka?

Yang pasti mereka tidak kita temukan di atas pohon dan di tiang listrik
- yang tiba-tiba nama dan fotonya serta janji-janjinya memenuhi kota
kita. Dari mana mereka? Kita tidak mengenalnya dan tidak merasa dekat
dengannya? Kontribusinya tidak kita ketahui.

Ada sebuah baliho besar di depan pohon dari partai X di Bogor yang
berjanji: "Siap dihukum mati, jika korupsi". Hmm ... Itu baru janji.

Ada lagi di atas pohon: "Saya pemimpin amanah dan bersih siap membawa
perubahan, pilihlah aku ... !" Hmmm ... Yang ini bukan hanya janji.
Tapi, menganggap dirinya sendiri yang paling hebat dan nomor satu.

Kepada jenis pemimpin seperti itu kita tak akan menyerahkan hidup rakyat
banyak kepadanya bukan?

*"Humble Heart"*
The living leader memiliki 3 kriteria H ('humble heart', 'high hope',
'huge resul'). Kebanyakan pemimpin yang tepat bagi rakyatnya terlahir
sebagai rakyat kecil melalui hidupnya dari paling bawah yang didukung
rakyatnya dan mati membawa cinta rakyatnya serta dikenang sepanjang masa.

Dari Porbandar di India Barat terlahir Mahatma Gandhi dari ayah Kaba
Gandhi dan Ibu Putlibai. Yang sama-sama orang tua yang saleh, jujur,
tidak mudah disuap. Gandhi besar sebagai rakyat biasa dari kasta Vaisya
(di bawah Brahmana dan Ksatria di atas Sudra).

Jiwa pemimpinnya yang 'humble' muncul karena didera diskriminasi dan
ketidakadilan oleh lingkungannya. Hati dan jiwanya tertantang. Dari
titik itulah Gandhi mulai melayani rakyatnya. Mempersembahkan hidupnya
bagi orang lain. Meyakininya dengan teguh. Memperjuangkannya dengan
gigih, ulet, dan tekun. Ahimsanya adalah wujud dari cintanya dan
pengorbanannya yang besar bagi rakyatnya. Anehnya, ia tak merasa
mengalahkan siapa-siapa dan tak pernah mau ditawari kursi PM India
hingga ia meninggal 30 Januari 1948.

Ken Blanchard mengatakan "true leader starts on the inside with servant
heart, then moves outward to serve others". Ciri pemimpin yang
menghidupkan rakyat. Yang pertama-tama adalah dekat dengan rakyatnya.
Rakyat adalah amanahnya.

Semakin hari mereka (pemimpin) semakin mendapat cinta dari pengikutnya
dan pendukungnya. Mereka tidak suka perang dan kekerasan. Bercitarasa
damai dengan siapa saja. Mereka senantiasa memupuk dan menajamkan rasa
cintanya setiap hari dengan pengikutnya. Pemimpin yang mengenal
rakyatnya dan rakyat yang mengenali pemimpinnya.

Mereka dibesarkan melalui sebuah proses. Inilah pegangan kita untuk
memilih pemimpin yang besar (the living leader). Jika ada calon pemimpin
yang tidak memiliki jiwa dan hati yang melayani mereka bukan pilihan
dalam "supermarket" pemimpin saat ini.

Jika ada sosok bagai seorang gembala yang mencintai pengikutnya maka
merekalah sosok pemimpin yang tepat. Otomatis calon yang tidak kita
kenal, tidak jelas asal-usulnya, lewati saja mereka. Kita sebaiknya
tidak memilih pemimpin yang tiba-tiba muncul di umbul-umbul dan baleho.
Entah dari mana. Mereka yang tidak melalui proses untuk mendekati,
merangkul, dan menyatu dengan konstituen yang dilayaninya.

Pemimpin yang kita pilih sebaiknya yang kita ketahui telah melalui
proses pematangan sebelumnya di masyarakat. Ia dekat dengan kita. Bukan
yang tiba tiba ingin mendekati rakyat hanya ketika menjelang pemilu. Ini
tipe pemimpin "laron" (bukan living) dari paradigma memimpin di masa
lalu yang tak akan laku. Hari ini ada esok hilang.

*"High Hope"*
Pemimpin besar lainnya, Barry Obama, yang lahir di Hawai 1961 dan pernah
besar di Jakarta. Juga berasal dari keluarga biasa. Ayahnya Barack
Husein Obama orang Kenya dan Ann Dunham, Ibunya orang Kansas Amerika.
Mereka membesarkan Obama dengan cara-cara biasa dengan tekanan minoritas
khas Amerika.

Namun, hati dan jiwanya berhasil membuka tekanan ketidakadilan dan
diskriminasi itu perlahan dengan perjuangannya semenjak ia kuliah di
Harvard Law School, memperjuangkan undang-undang, melakukan advokasi
hukum dan politik bagi rakyat Amerika. "Kekuatan cintanya yang membara
bagai api di horison". Itu kata pujian dari presiden Venezuela Hugo Chavez.

Ia tidak mendadak terjun dari langit. Ia dekat dengan rakyatnya. Menyatu
bersama warganya di Illinois sebagai senator yunior dan menawarkan
harapan besar bagi rakyatnya. Yaitu perubahan kehidupan. The New America.

Gandhi dan Obama sama-sama dekat dengan rakyatnya. Membawa misi
perubahan dan menunjukkan kinerja mereka dalam takaran yang berbeda.
Ketika mereka berjuang agenda rakyat yang diperjuangkan dan ketika
mereka berbicara rakyat yang pertama kali disebutkan dalam kata-kata mereka.

Ketika mereka bernegosiasi rakyat yang diuntungkan dan dimenangkan.
Bukan dirinya sendiri. Hati dan jiwanya tumbuh bersama hati dan jiwa
rakyatnya. Mereka menjadi satu. Sangat dekat dan saling mendukung
("synergy in unity").

The living leader membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Minimum
perubahan dalam hal human development indexnya (HDI). Mereka tidak
pernah memakai cara kontrak-kontrakkan politik yang rumit itu. Namanya
juga kontrak. Ia akan pindah jika kontrakannya sudah habis bukan?

Bagi kita menjadi lebih mudah mengenali pemimpin yang layak dipilih.
Pertama, yang tidak sekedar menyurakan perubahan dan pemihakan kepada
rakyat kecil (wong cilik). Tetapi, yang disertai program kerja yang
realistis. Seperti yang dicontohkan Obama.

Kedua, bukan yang paling kencang teriakannya tentang perubahan (iklannya
paling banyak). Tetapi, yang impiannya lebih masuk akal, wajar, dan
dapat diterima oleh akal sehat rakyat biasa. Ketika rakyat
mendengarkannya rakyat tersentuh dan hati kita pun tergerak untuk
mendukungnya mati-matian. Yang tidak dapat menyentuh ("disconnected")
dengan hati kita. Dialah yang paling dahulu harus kita pisahkan dari
daftar pilihan. Lalu lupakan saja! "Leadership should be a living and
fun, too".

*"Huge Result"*
Jim Collins dalam bukunya Good to Great membantu kita membuat pilihan
kita lebih mudah. Pilihlah pemimpin yang hanya kita ketahui telah
menunjukkan kinerja bagus di level yang paling kecil. Paling rendah. Tak
perlu di level paling senior.

Dari level rendah inilah kita lebih mudah mengujinya. Catatan kinerjanya
dapat kita dapatkan. Dapat kita analisa. Dan, dari situlah kita membuat
keputusan. Pemimpin yang telah terbukti bekerja baik di level akar
rumput di bidangnya.

Logikanya merekalah pilihan terdekat kita dibandingkan yang tidak pernah
kita ketahui kinerjanya ("gelap kinerja"). Karena jika mereka sukses dan
dapat dipercaya untuk tanggung jawab yang kecil maka mereka akan lebih
mungkin sukses dan lebih mampu menangani tanggung jawab yang besar.

David Bohm, ahli fisika kenamaan, mengutarakan adanya koneksitas
(connectedness) antara hal yang kecil dan hal yang besar ("everything is
connected"). Sosok yang besar. Dukan dari janjinya yang besar. Tetapi,
dari nilai-nilainya ("value"). Yang besar dan itu dicerminkan oleh
perbuatannya. Kinerjanya yang nyata ("action", "execution").

Hati yang besar "menggerakkan" pengorbanan dan begitu ada pengorbanan
maka hasilnya akan besar. Satu-satunya cara termudah untuk menilai
kinerjanya adalah melihat dampaknya terhadap indikator kesejahteraan
rakyat. Semakin banyak rakyat tidak lapar. Semakin banyak rakyat sehat.
Semakin banyak rakyat berpendidikan. Dan seterusnya.

Jika indikator yang kasat mata itu tidak nampak. Lupakanlah dia. Entah
itu siapa.

*Harry "Uncommon" Purnama,

/Penulis adalah Pembicara Motivation Leadership dari Mature Leadership
Center
www.mature-leadership.com

http://suarapembaca.detik.com/read/2009/05/18/183816/1133564/471/mencari-the-living-leader
/*