J.F.X. Hoery
Tak Ingin Sastra Jawa Mati
Sepeda motor Honda Astrea keluaran 1980-an memasuki pekarangan rumah
yang penuh pepohonan di Desa Padangan, Kecamatan Padangan, Bojonegoro.
Pengendaranya, pria bertopi yang berboncengan dengan wanita paruh baya.
Pria itu bernama JFX Hoery, 64 tahun, dan Sri Narjati, istrinya. Ya,
setidaknya, dalam 10 tahun terakhir ini, sepeda motor warna hitam itulah
yang berjasa mengantar beraktivitas pemiliknya. Termasuk antar-jemput
sang istri, seorang guru yang juga kepala sekolah dasar negeri di sebuah
desa di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. "Saya sedang
menyiapkan berkas sertifikasi guru untuk istri saya," ujar pria
kelahiran Pacitan ini.
Dalam jagat jurnalistik, terutama bahasa Jawa, nama J.F.X. Hoery sudah
tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai seorang sastrawan Jawa yang kini
mulai langka. Banyak hasil karangannya telah diterbitkan dalam bentuk
buku, antara lain /Lintang-lintang Abyor/, /Langit Jakarta/, dan buku
cerita anak dengan judul /Permaisuri yang Cerdik/ dan /Sosiawan-sosiawan
Kecil/.
Sebagian besar karya Hoery ditulis dalam bahasa Jawa, baik berupa
/geguritan/ (puisi) atau kumpulan cerita cekak (cerita pendek), yang
dimuat di sejumlah media seperti /Penjebar Semangat/, /Joyo Boyo/, /Joko
Lodang/, /Dharma Nyata/, /Dharma Kanda/, /Parikesit/, /Pustaka Candra/,
/Praba/, /Damar Jati/, dan harian /Suara Merdeka/ di Semarang.
Boleh dibilang, di antara sejumlah nama besar sastrawan Jawa di Jawa
Timur, Hoery termasuk salah satu sastrawan yang produktif. Hingga 2006,
Hoery sudah menghasilkan sekitar 100 cerita cekak dan sekitar 350
/geguritan/. Bahkan, pada 2004, buku /Pagelaran/, kumpulan /geguritan/
Hoery, juga mendapatkan hadiah Rancage, penghargaan paling bergengsi
untuk sastra daerah.
Di luar aktivitasnya sebagai pengarang Jawa, Hoery juga pernah menjadi
wartawan /Kedaulatan Rakyat/ (1985-1989) dan /Bernas/ (1990-2001) di
Bojonegoro dan Blora. Tetapi, bagi Hoery, sastra Jawa lebih kuat daya
tariknya ketimbang menjadi wartawan. Menurut dia, sastra Jawa bisa
memberikan kepuasan batin ketimbang sastra Indonesia. "Intuisi saya ke
sastra Jawa lebih kuat," pria sederhana ini menegaskan.
Selain sebagai penggurit yang andal, Hoery dikenal sebagai pekerja
keras, ulet, teliti, sekaligus seorang pendokumen yang baik. Arsip-arsip
hasil karya tulisnya--termasuk foto--masih disimpan rapi di rumahnya di
Dusun Kalangan, Desa Padangan. Bahkan, hingga saat ini Hoery juga masih
telaten menjadi agen sejumlah media Jawa seperti /Jaya Baya/ dan
/Penjebar Semangat/. Bagi Hoery, kerelaannya menjadi agen majalah
tersebut adalah bagian dari kecintaan dan penghormatannya pada sastra Jawa.
Berkat upaya /menguri-uri/ (merawat) sastra Jawa ini, Hoery kerap
menjadi narasumber penelitian dari para mahasiswa dan dosen dari
sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Semarang dan
Universitas Negeri Surabaya. Bahkan, salah seorang peneliti dari
Universitas Canberra, Australia, George Quinn, juga pernah meneliti
karya Hoery.
Proses kreatif Hoery sebagai sastrawan diawali pada 1960, saat
tulisannya (cerita anak) di rubrik Taman Putra di majalah /Penjebar
Semangat/. Kegiatan menulis ini tak lepas dari lingkungan masa kecilnya
yang kental dengan tradisi Jawa seperti kegiatan macapat (menyanyi
Jawa). Dari pergaulannya dengan tradisi ini, pada l969 hingga kini Hoery
terus mengembangkan kemampuannya dalam menulis geguritan dan cerita pendek.
Setelah menerbitkan buku /Pagelaran/ (2003) /Bojonegoro Ing Gurit/, dan
/Banjire Wis Surut/ (2006), Hoery kini bersiap menerbitkan empat buku
lagi, dua di antaranya berjudul /Kabuncang Ing Pangengan/ dan /Tandure
Wis Sumilir/. Namun, rencananya ini masih tersendat karena terganjal
dana. "Belum ada sponsor yang mau menerbitkannya," kata Hoery.
Penerbitan buku sastra Jawa memang masih tergantung sponsor. "Soalnya,
jarang penerbit yang tertarik sastra Jawa," dia menambahkan.
Latar belakang pendidikan Hoery sebenarnya tidak ada sangkut pautnya
dengan sastra Jawa. Pendidikan terakhirnya adalah sekolah tinggi
menengah (STM) di Semarang. Karena itu, pada 1970-an, Hoery sempat
bekerja di pengeboran minyak di sejumlah daerah di Jawa. Di luar
kegiatannya sebagai pengarang, pada 1999-2004, Hoery juga pernah menjadi
anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bojonegoro
dari PDI Perjuangan.
Di tengah euforia politik yang kini melanda elite Indonesia, Hoery
mengaku sangat prihatin atas perkembangan sastra Indonesia, terlebih
sastra Jawa. Kegiatan sastra Jawa kini semakin redup. Akibatnya,
anak-anak muda zaman sekarang sudah tidak punya /unggah-ungguh/ (sopan
santun) terhadap orang tua. "Itu karena pelajaran bahasa Jawa mulai
ditinggalkan," katanya.
Meskipun kegiatan sastra Jawa semakin surut, Hoery tak rela jika suatu
saat nanti sastra Jawa mati. Untuk itu, dia terus menulis dan
menggerakkan Pamursudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB)--organisasi yang
kini dipimpinnya--agar karya dan jejaknya menjadikan pelita bagi sastra
Jawa. *Sujatmiko*
*Penggerak Organisasi*
Kegelisahan dan emosi J.F.X. Hoery sebagai seorang sastrawan Jawa tidak
hanya disalurkan dalam bentuk tulisan, tetapi juga diwujudkan dalam
kegiatan di Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB).
Organisasi ini didirikan pada 6 Juli 1982 oleh sejumlah pengarang di
Bojonegoro, seperti Yusuf Susilo Hartono, Jayus Pete, Sardjoe
Resosepoetro, Yes Ismie Soeryaatmaja, dan Hoery. Nama PSJB sempat
/moncer/ di era l982-l986. Puncaknya terutama ketika PSJB
menyelenggarakan sarasehan sastra daerah dengan tema "Jati Diri Sastra
Daerah". Selain mengundang penggiat sastra dari Aceh, Minang, Sunda,
Jawa, Bali, Banjar, dan Bugis, PSJB mengundang George Quinn, peneliti
dari Australia.
Sebagai organisasi nirlaba, pasang surut PSJB sangat bergantung pada
figur dan kepedulian pengurusnya. PSJB mulai vakum pada l987 setelah
Yusuf Susilo Hartono--Ketua PSJB saat itu--merantau ke Jakarta.
Komunitas ini baru aktif lagi pada 2000 setelah PSJB dipimpin oleh
Hoery. Selain sudah menerbitkan tiga buku, pada masa kepemimpinan Hoery,
PSJB menyelenggarakan sejumlah seminar dan pelatihan bagi guru-guru di
Bojonegoro.
Yang terbaru, PSJB juga ikut memelopori penelitian situs di Bojonegoro
dengan bekerja sama dengan jurusan Arkeologi Universitas Udayanai. Pada
Juni depan, PSJB juga akan menggelar lomba tulis bahasa Jawa
se-Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. "Ini upaya untuk
melestarikan sastra Jawa," kata Hoery.
Untuk mempertahankan bahasa daerah di Tanah Air, Hoery sependapat dengan
Ajib Rosidi, sastrawan Sunda yang juga pendiri Yayasan Rancage, yaitu
agar para penggiat sastra daerah secara berkala menyelenggarakan kongres
bahasa daerah. "Dan ini sudah kita lakukan," kata Hoery.
Kini, di usianya yang mulai senja, Hoery masih bersemangat untuk
melestarikan sastra Jawa. Ini dibuktikannya dengan mengajak anak-anak
muda dalam menjalankan PSJB. "Ini untuk kaderisasi," ucapnya. *Sujatmiko
*
*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/05/23/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090523.165961.id.html
J.F.X. Hoery
Written By gusdurian on Sabtu, 23 Mei 2009 | 10.57
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar