BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mencari The Living Leader

Mencari The Living Leader

Written By gusdurian on Selasa, 19 Mei 2009 | 11.59

Mencari The Living Leader
*Harry "Uncommon" Purnama* - suaraPembaca
*Jakarta* - Leadership should be fun as mathematics is fun. Einstein
berteori dan benar. 'Di tengah kerumitan selalu muncul kesederhanaan'.

Banyak yang berteori tinggi bahwa jika akan menjadi pemimpin seorang
kandidat harus lulus S1 (sarjana). Harus kompeten ('capable'). Harus
cerdas. Harus berpengalaman. Harus berpengetahuan luas. Apalagi harus
berperawakan meyakinkan (tidak cacat). Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dalam pandangan saya teori 'harus' ini 'harus' itu yang sifatnya
personality (dari sisi luar ke dalam) itu sudah runtuh. Sedang
digantikan oleh prinsip-prinsip baru. Prinsip dari dalam keluar ('inside
out').

Belajar dari sejarah semua keharusan itu nyatanya tidak atau kurang
relevan lagi. Jika dibandingkan dengan keharusan yang lebih fundamental
yaitu hati yang bersih (jujur), jiwa yang besar (murah hati), dan budi
pekerti yang mulia (martabat). Mengapa?

Kepemimpinan sekali lagi adalah logika tentang memberi manfaat kepada
manusia (konstituen, rakyat, tim). "Tak banyak gunanya jika banyak
pemimpin punya ilmu top 'bibit bebet bobot'. Namun, rakyat tetap
melarat". Kalimat ini dilontarkan oleh pengirim SMS dari Bekasi, di
acara 'Aspirasi', Selasa sore, 17 Maret 2009 di radio Smart FM.

Tidak banyak manfaatnya. Pemimpin itu cerdas, pandai, kaya, proaktif,
kreatif, jika ia tak mampu memberi manfaat bagi rakyatnya bukan? Tak
kurang apa kebanyakan para pemimpin kita terdahulu mereka pemimpin top.
Berpendidikan tinggi-tinggi. Taat beragama, pintar-pintar. Namun, rakyat
tetap saja miskin dan terbelakang tetapi mereka sendiri kaya dan makmur
(lupa keadilan).

Lalu muncul pemimpin monster yang kehilangan daya hidup dari dalam
(value, karakter, sikap). Saya sebut ini sebagai "leadership dryness"
(kekeringan kepemimpinan). Tak ada kehidupan di sisi dalam. Contohnya:
tidak bisa adil, suka egois, suka menang sendiri, maunya benar sendiri,
enak sendiri, dan seterusnya.

*Definisi Baru*
Kini persoalannya bukannya pemimpin kurang pandai melainkan kurang punya
moral. Pemimpin masa kini dan masa depan yang dibutuhkan Indonesia
adalah pemimpin yang hatinya untuk rakyat (inside out). Pemimpin yang
"hidup" di dalam. Karena ia "hidup" (tidak mati) di dalam. Maka yang
keluar darinya adalah segala yang hidup. Kebaikan dan kemuliaan ("man
for others", "selfless").

Jika ia ingin kaya rakyatnya dulu yang dibuat kaya. Jika ia ingin
sejahtera rakyatnya dulu yang dibuat sejahtera. Jika ia ingin meraih
sukses rakyatnya dulu yang dibuat sukses. Jika ia ingin meraih target
rakyatnya dulu yang dibantu meraih target. Dan seterusnya. Rakyat yang
dimuliakan. Bukan pemimpin.

Paradigma dan definisi kepemimpinan "baru" ini saya senang menyebutnya
dengan
"the living leadership". Ia sudah meninggalkan pakem 'klasikal' yang
dibuat di masa lampau yang berbau sangat manajemen. Manajemen hanya
diperlukan sebagai alat ('tools') dan bukan segala-galanya.

Pemimpin yang hanya mengandalkan keahlian manajemen belaka akan gagal.
Ia hanya akan ahli putar sana putar sini fungsi manajemen. Memoles
proses bisnis. Membongkar struktur organisasi. Membuat prosedur
(standard operational procedure, SOP). "Working instruction". Dan
seterusnya. Lalu, berakhir sebagai ahli manajemen.

Kita sudah lama sepakat pekerjaan macam itu cukup dikerjakan manajer.
Bukan oleh leader. Sebaliknya kepemimpinan yang mengandalkan hati akan
berhasil di mata rakyat (baca: dicintai rakyat karena mementingkan
rakyat, membawa perubahan demi rakyatnya, memberi hasil bagi rakyatnya).
Itulah leader yang sedang kita cari bagi bangsa ini.

"Saya memang berwajah pelayan karena tugas saya adalah melayani rakyat
Iran'. Itulah kalimat pembuka penuh karisma dan jiwa penuh melayani
dalam wawancara Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan TV FOX beberapa
bulan yang lalu. Pemimpin besar yang mencintai rakyat dan dicintai
rakyat seperti Ahmadinejad ini ternyata terlahir dalam krisis
kepemimpinan di Iran.

Menariknya, ia bukan mullah. Bukan pula politisi dan bukan bangsawan. Ia
hanya rakyat jelata. Seorang dosen biasa yang tidak dikenal. Namun, jiwa
dan kebesaran cintanya pada rakyatnya itulah (the serving heart) yang
telah membuktikan premisis kepemimpinan modern (inside out).

Hatinya yang melebihi intelegensianya telah membawanya ke permukaan elit
politik pemilihan presiden Iran tahun 2005 lalu dan jadilah ia seorang
presiden "baru" pilihan rakyat. Menggeser kepemimpinan Rafshanjani dan
Katami. Bukan dengan uang. Bukan dengan materi. Ia menang pemilihan
presiden namun dengan kekuatan cintanya (the inside, the value, the heart).

The living leadership-nya kental ketika ia membiasakan diri menyapu
jalan Teheran di pagi hari bersama tukang sapu jalanan ketika masih
menjadi walikota Teheran. Ia melayani rakyatnya dengan tulus ikhlas.

Kualitas inilah yang membuatnya menang pemilu. Dikabarkan ia tak
mempunyai cukup uang untuk memasarkan dirinya sendiri via poster dan
spanduk. Ia berjuang dan menang lewat kekuatan cinta (the living inside).

*Pemimpin Baru*
Rakyat sedang merindukan pemimpin dengan kualitas besar yang mampu
dengan tulus ikhlas untuk menghidupkan dan membela rakyatnya. Seperti
Ahmadinejad di Iran. Seperti Gandhi di India. Seperti Obama di Amerika.

Mengatasi krisis ekonomi penting. Namun, yang terpenting adalah mencari
the living leader yang tepat. KH Ma'ruf Amin dalam Rakernas Majelis
Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang Sumatera Barat, 24-26 Januari
2009 lalu mengatakan pemimpin Islami sulit dicari. Banyak orang, banyak
partai, banyak keinginan mencari pemimpin besar. Lalu di manakah mereka?

Yang pasti mereka tidak kita temukan di atas pohon dan di tiang listrik
- yang tiba-tiba nama dan fotonya serta janji-janjinya memenuhi kota
kita. Dari mana mereka? Kita tidak mengenalnya dan tidak merasa dekat
dengannya? Kontribusinya tidak kita ketahui.

Ada sebuah baliho besar di depan pohon dari partai X di Bogor yang
berjanji: "Siap dihukum mati, jika korupsi". Hmm ... Itu baru janji.

Ada lagi di atas pohon: "Saya pemimpin amanah dan bersih siap membawa
perubahan, pilihlah aku ... !" Hmmm ... Yang ini bukan hanya janji.
Tapi, menganggap dirinya sendiri yang paling hebat dan nomor satu.

Kepada jenis pemimpin seperti itu kita tak akan menyerahkan hidup rakyat
banyak kepadanya bukan?

*"Humble Heart"*
The living leader memiliki 3 kriteria H ('humble heart', 'high hope',
'huge resul'). Kebanyakan pemimpin yang tepat bagi rakyatnya terlahir
sebagai rakyat kecil melalui hidupnya dari paling bawah yang didukung
rakyatnya dan mati membawa cinta rakyatnya serta dikenang sepanjang masa.

Dari Porbandar di India Barat terlahir Mahatma Gandhi dari ayah Kaba
Gandhi dan Ibu Putlibai. Yang sama-sama orang tua yang saleh, jujur,
tidak mudah disuap. Gandhi besar sebagai rakyat biasa dari kasta Vaisya
(di bawah Brahmana dan Ksatria di atas Sudra).

Jiwa pemimpinnya yang 'humble' muncul karena didera diskriminasi dan
ketidakadilan oleh lingkungannya. Hati dan jiwanya tertantang. Dari
titik itulah Gandhi mulai melayani rakyatnya. Mempersembahkan hidupnya
bagi orang lain. Meyakininya dengan teguh. Memperjuangkannya dengan
gigih, ulet, dan tekun. Ahimsanya adalah wujud dari cintanya dan
pengorbanannya yang besar bagi rakyatnya. Anehnya, ia tak merasa
mengalahkan siapa-siapa dan tak pernah mau ditawari kursi PM India
hingga ia meninggal 30 Januari 1948.

Ken Blanchard mengatakan "true leader starts on the inside with servant
heart, then moves outward to serve others". Ciri pemimpin yang
menghidupkan rakyat. Yang pertama-tama adalah dekat dengan rakyatnya.
Rakyat adalah amanahnya.

Semakin hari mereka (pemimpin) semakin mendapat cinta dari pengikutnya
dan pendukungnya. Mereka tidak suka perang dan kekerasan. Bercitarasa
damai dengan siapa saja. Mereka senantiasa memupuk dan menajamkan rasa
cintanya setiap hari dengan pengikutnya. Pemimpin yang mengenal
rakyatnya dan rakyat yang mengenali pemimpinnya.

Mereka dibesarkan melalui sebuah proses. Inilah pegangan kita untuk
memilih pemimpin yang besar (the living leader). Jika ada calon pemimpin
yang tidak memiliki jiwa dan hati yang melayani mereka bukan pilihan
dalam "supermarket" pemimpin saat ini.

Jika ada sosok bagai seorang gembala yang mencintai pengikutnya maka
merekalah sosok pemimpin yang tepat. Otomatis calon yang tidak kita
kenal, tidak jelas asal-usulnya, lewati saja mereka. Kita sebaiknya
tidak memilih pemimpin yang tiba-tiba muncul di umbul-umbul dan baleho.
Entah dari mana. Mereka yang tidak melalui proses untuk mendekati,
merangkul, dan menyatu dengan konstituen yang dilayaninya.

Pemimpin yang kita pilih sebaiknya yang kita ketahui telah melalui
proses pematangan sebelumnya di masyarakat. Ia dekat dengan kita. Bukan
yang tiba tiba ingin mendekati rakyat hanya ketika menjelang pemilu. Ini
tipe pemimpin "laron" (bukan living) dari paradigma memimpin di masa
lalu yang tak akan laku. Hari ini ada esok hilang.

*"High Hope"*
Pemimpin besar lainnya, Barry Obama, yang lahir di Hawai 1961 dan pernah
besar di Jakarta. Juga berasal dari keluarga biasa. Ayahnya Barack
Husein Obama orang Kenya dan Ann Dunham, Ibunya orang Kansas Amerika.
Mereka membesarkan Obama dengan cara-cara biasa dengan tekanan minoritas
khas Amerika.

Namun, hati dan jiwanya berhasil membuka tekanan ketidakadilan dan
diskriminasi itu perlahan dengan perjuangannya semenjak ia kuliah di
Harvard Law School, memperjuangkan undang-undang, melakukan advokasi
hukum dan politik bagi rakyat Amerika. "Kekuatan cintanya yang membara
bagai api di horison". Itu kata pujian dari presiden Venezuela Hugo Chavez.

Ia tidak mendadak terjun dari langit. Ia dekat dengan rakyatnya. Menyatu
bersama warganya di Illinois sebagai senator yunior dan menawarkan
harapan besar bagi rakyatnya. Yaitu perubahan kehidupan. The New America.

Gandhi dan Obama sama-sama dekat dengan rakyatnya. Membawa misi
perubahan dan menunjukkan kinerja mereka dalam takaran yang berbeda.
Ketika mereka berjuang agenda rakyat yang diperjuangkan dan ketika
mereka berbicara rakyat yang pertama kali disebutkan dalam kata-kata mereka.

Ketika mereka bernegosiasi rakyat yang diuntungkan dan dimenangkan.
Bukan dirinya sendiri. Hati dan jiwanya tumbuh bersama hati dan jiwa
rakyatnya. Mereka menjadi satu. Sangat dekat dan saling mendukung
("synergy in unity").

The living leader membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Minimum
perubahan dalam hal human development indexnya (HDI). Mereka tidak
pernah memakai cara kontrak-kontrakkan politik yang rumit itu. Namanya
juga kontrak. Ia akan pindah jika kontrakannya sudah habis bukan?

Bagi kita menjadi lebih mudah mengenali pemimpin yang layak dipilih.
Pertama, yang tidak sekedar menyurakan perubahan dan pemihakan kepada
rakyat kecil (wong cilik). Tetapi, yang disertai program kerja yang
realistis. Seperti yang dicontohkan Obama.

Kedua, bukan yang paling kencang teriakannya tentang perubahan (iklannya
paling banyak). Tetapi, yang impiannya lebih masuk akal, wajar, dan
dapat diterima oleh akal sehat rakyat biasa. Ketika rakyat
mendengarkannya rakyat tersentuh dan hati kita pun tergerak untuk
mendukungnya mati-matian. Yang tidak dapat menyentuh ("disconnected")
dengan hati kita. Dialah yang paling dahulu harus kita pisahkan dari
daftar pilihan. Lalu lupakan saja! "Leadership should be a living and
fun, too".

*"Huge Result"*
Jim Collins dalam bukunya Good to Great membantu kita membuat pilihan
kita lebih mudah. Pilihlah pemimpin yang hanya kita ketahui telah
menunjukkan kinerja bagus di level yang paling kecil. Paling rendah. Tak
perlu di level paling senior.

Dari level rendah inilah kita lebih mudah mengujinya. Catatan kinerjanya
dapat kita dapatkan. Dapat kita analisa. Dan, dari situlah kita membuat
keputusan. Pemimpin yang telah terbukti bekerja baik di level akar
rumput di bidangnya.

Logikanya merekalah pilihan terdekat kita dibandingkan yang tidak pernah
kita ketahui kinerjanya ("gelap kinerja"). Karena jika mereka sukses dan
dapat dipercaya untuk tanggung jawab yang kecil maka mereka akan lebih
mungkin sukses dan lebih mampu menangani tanggung jawab yang besar.

David Bohm, ahli fisika kenamaan, mengutarakan adanya koneksitas
(connectedness) antara hal yang kecil dan hal yang besar ("everything is
connected"). Sosok yang besar. Dukan dari janjinya yang besar. Tetapi,
dari nilai-nilainya ("value"). Yang besar dan itu dicerminkan oleh
perbuatannya. Kinerjanya yang nyata ("action", "execution").

Hati yang besar "menggerakkan" pengorbanan dan begitu ada pengorbanan
maka hasilnya akan besar. Satu-satunya cara termudah untuk menilai
kinerjanya adalah melihat dampaknya terhadap indikator kesejahteraan
rakyat. Semakin banyak rakyat tidak lapar. Semakin banyak rakyat sehat.
Semakin banyak rakyat berpendidikan. Dan seterusnya.

Jika indikator yang kasat mata itu tidak nampak. Lupakanlah dia. Entah
itu siapa.

*Harry "Uncommon" Purnama,

/Penulis adalah Pembicara Motivation Leadership dari Mature Leadership
Center
www.mature-leadership.com

http://suarapembaca.detik.com/read/2009/05/18/183816/1133564/471/mencari-the-living-leader
/*
Share this article :

0 komentar: