BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Nilai Egaliter Masyarakat Mendut

Nilai Egaliter Masyarakat Mendut

Written By gusdurian on Sabtu, 23 Mei 2009 | 11.11

Nilai Egaliter Masyarakat Mendut
Gugun El-Guyanie Peneliti Kebangsaan


M UNGKIN tidak banyak orang M tahu bahwa Candi Mendut M yang menjadi
sentrum dan M simbol umat Buddha, warga M nya di Kelurahan Mendut tidak
satu pun yang beragama Buddha. Tapi siapa pula yang pernah tahu bahwa
setiap perayaan Waisak sebagian besar panitianya adalah warga Kelurahan
Mendut yang muslim? Atau mungkin banyak orang yang kurang percaya, bahwa
setiap tahun perayaan Waisak, acara pengobatan gratis yang
diselenggarakan umat Buddha justru merangkul warga muslim yang menjadi
pasien mayoritas.

Satpam dan para pelayan yang melayani kebutuhan para biksu di Wihara
Mendut juga orang muslim dan orang Katholik.

Di tengah-tengah terancamnya kerukunan antarumat beragama, radikalisme,
dan fanatisme agama yang mengancam cita-cita kebangsaan, perlu kiranya
becermin kepada masyarakat Mendut. Mendut adalah cermin jernih yang
tersembunyi, menyembunyikan kearifan penduduknya yang religius, tetapi
sekaligus arif dan berperadaban tinggi.

Begitu terdengar kata mendut, yang pertama kali muncul dalam imajinasi
kebanyakan orang adalah Candi Mendut, yang terletak di Desa Mendut,
Kecamatan Kota Mungkid, Magelang Jawa Tengah. Tiba-tiba menjadi sorotan
publik pada saat perayaan Hari Raya Waisak.

Padahal bukan hanya Candi Mendut dan wihara yang menjadi magnet eksotik
di Kelurahan Mendut tersebut. Kehidupan masyarakatnya yang plural,
toleran, dan berperadaban tinggi juga menarik untuk dipelajari.

Mayoritas penduduknya hampir 90% beragama Islam. Kira-kira 70% berada di
bawah ormas Nahdlatul Ulama, dan sisanya 30% menjadi orang Muhammadiyah.

Namun pemeluk agama Katholik dan Protestan juga mendapatkan ruang untuk
beribadah. Mereka semua hidup damai berdampingan, membangun masyarakat
yang gemah ripah loh jinawi, tata tenterem karta raharja, baldatun
thayyibatun warabbun ghaffur.

Di Kelurahan Mendut terdapat beberapa tempat ibadah, di antaranya adalah
Masjid Baitul Murtadho, Gereja Bunda Maria Sapta Duka, Wihara Mendut,
dan Candi Mendut.

Mereka semua menjunjung tinggi toleran si dan solidaritas untuk
membangun masyarakat tanpa membeda-bedakan baju ormas keagamaan.

Sudah puluhan tahun tempat-tempat ibadah beserta para pemeluknya yang
berbeda agama, berbeda mazhab, tidak satu pun persoalan yang mengangkat
sentimen perbedaan agama atau aliran. Umat Islam di Mendut semakin
khusyuk menjadi muslim.

Umat kristiani juga semakin meyakini agamanya, juga umat Buddha merasa
mantap dengan ajarannya.

Namun mereka semua tidak kemudian menjadi fanatik dan radikal,
menganggap yang lain salah. Bahkan kedalaman warga dengan agamanya
masing-masing membuahkan kehidupan masyarakat yang toleran dan etos
sosial yang tinggi.

Inilah yang disebut pluralisme versi Emha Ainun Nadjib. Yakni, biarkan
kambing menjadi kambing, dan biarkan anjing menjadi anjing, tetapi
sama-sama mencari makan di lapangan dengan rukun. Bukannya anjing
dikambing-kambingkan, atau kambing dianjing-anjingkan, atau
menyembunyikan identitas dan ideologinya yang asli.

Agama Buddha, Islam, dan Katholik, sama-sama memiliki sejarah dan akar
yang men dalam di Mendut. Prinsip-prinsip keadilan, persamaan derajat
dan toleransi benar-benar tegak berdiri di Mendut sebagaimana yang
diajarkan Rasulullah Muhammad SAW ketika membangun peradaban Madinah.
Hak-hak pendidikan, kemajuan di bidang pertanian dan kesehatan di Mendut
jauh lebih maju daripada di tempat lain.

Bahkan kaum tani mampu mengatur sen diri kebijakan pertanian tanpa harus
diin tervensi birokrasi pemerintah.

Jika selama ini Candi Mendut saja yang hanya menjadi objek wisata di
jalur strategis Internasional Yogyakarta-Borobudur, sekarang saatnya
‘masyarakat Madani Mendut’ tampil menjadi objek wisata dan tujuan studi
banding untuk model kerukunan umat beragama.

Tanpa masyarakat yang religius dan toleran, mungkin artefak-artefak
semacam candi, gereja tua, ataupun bangunan lain tidak akan bertahan
sampai hari ini. Masyarakat Mendut bukan hanya merawat simbol-simbol
agama, melainkan juga meruwat sikap dan substansi beragama yang
memberikan cinta damai untuk sesama.

Masyarakatnya yang religius, berbudaya, berakhlak, serta solidaritas dan
toleransinya yang tinggi, dilengkapi dengan hadiah Tuhan panorama alam
yang indah, terdapat Su ngai Elo, tanah pertanian yang subur, se
olah-olah Mendut sengaja didesain Tuhan men jadi surga bagi manusia abad
ke-21.(M-4)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/05/23/ArticleHtmls/23_05_2009_011_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: