BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Audit Setengah Hati Kekayaan Capres

Audit Setengah Hati Kekayaan Capres

Written By gusdurian on Sabtu, 23 Mei 2009 | 10.23

Audit Setengah Hati Kekayaan Capres
Oleh: Febri Diansyah

Saat ini, perhatian publik tertuju kepada fantastisnya kekayaan calon
presiden dan wakil presiden. Prabowo Subianto yang berpasangan dengan
Megawati tercatat punya kekayaan tertinggi jika dibandingkan dengan
pasangan lainnya, lebih dari Rp 1,5 triliun. Kekayaan calon incumbent
Susilo Bambang Yudhoyono pun meningkat jika dibandingkan dengan sebelum
menjadi presiden pada 2004.

Apakah itu berarti kekayaan dan kesejahteraan rakyat Indonesia juga
meningkat? Tunggu dulu. Mengacu kepada data Bappenas, per Maret 2008
jumlah penduduk miskin masih sekitar 34,52 juta. Angka ini akan
meningkat drastis jika standar penghasilan yang digunakan mengacu kepada
indikator Bank Dunia, yakni USD 2 per hari. Bagaimana menjelaskan
ketimpangan itu?

Dari sudut pandang pemerataan ekonomi dan kesejahteraan, ketimpangan
penguasaan kekayaan antara mayoritas rakyat Indonesia dan calon pemimpin
terlihat jelas. Potret tingginya tingkat kemiskinan menjadi fakta yang
sulit dibantah. Ini tentu menjadi pesan buruk jika dibandingkan dengan
janji kampanye setiap calon presiden.

Padahal, isu pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan bersama, bahkan apa yang
disebut ekonomi kerakyatan selalu kita dengar. Pada kenyataannya, sistem
ekonomi, politik, dan kebijakan hingga saat ini cenderung menguntungkan
sekelompok kecil elite.

Atas dasar itulah, apa yang pernah disebut seorang filsuf Yunani seperti
Plato ada benarnya. Dalam sistem oligarki, struktur ekonomi dan politik
dikuasai dan didesain untuk kepentingan segelintir orang kaya. Tetapi,
alih-alih berdebat panjang tentang konsep kekuasaan dan pemerintahan
tersebut, pada tahapan pemilu presiden ini, yang paling mungkin
dilakukan adalah memastikan kekayaan para kandidat berasal dari
penghasilan yang sah. Dalam norma hukum internasional, hal itu disebut
Illicit Enrichment (UNCAC, 2003).

United Nation Against Corruption (UNCAC) tersebut bahkan meyakini
perolehan kekayaan pribadi yang tidak sah akan merusak lembaga
demokrasi, sistem ekonomi nasional, dan penegakan hukum. Karena itulah,
konvensi tersebut merekomendasikan agar peningkatan signifikan terhadap
kekayaan secara tidak sah dijerat dengan aturan pidana.

Agaknya, semangat ini juga yang melatarbelakangi adanya aturan di
Undang-Undang Pemilu dan Pilpres kita, semua calon harus mengungkap
harta kekayaan pribadinya. Dengan demikian, institusi seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjalankan kewenangannya untuk
memeriksa, menguji, dan melakukan audit mendalam terhadap semua kekayaan
pribadi tersebut.

*Setengah Hati*

Tetapi, sayang, beberapa pernyataan KPK terdengar mengkhawatirkan.
Mereka hanya akan lakukan pemeriksaan parsial, item-item yang penting
saja, dan tidak menyeluruh. Sikap tersebut tentu sangat mengecewakan.
Jika benar, KPK dapat disebut bertindak ''setengah hati" dalam
menjalankan semangat keterbukaan, pertanggungjawaban, dan perintah
undang-undang.

Secara eksplisit, kewajiban KPK melakukan klarifikasi daftar kekayaan
tersebut memang tidak diatur. Tetapi, merujuk pada prinsip pemilihan
presiden yang harus dilaksanakan secara demokratis melalui partisipasi
rakyat seluas-luasnya, maka klausul pelaporan, pemeriksaan, dan
pengumuman harta kekayaan menjadi wajib dilaksanakan.

Lebih menukik pada persoalan, hal itu berarti mekanisme hukum kita harus
memastikan rakyat berpartisipasi di semua tahapan pilpres ini. Mulai
proses penyusunan daftar pemilih hingga pengucapan sumpah pasangan
terpilih. Khusus untuk laporan harta kekayaan, Pasal 5 UU Pilpres
menegaskan hal itu sebagai syarat menjadi calon presiden atau wakil
presiden.

Artinya, undang-undang ingin semua calon terbuka dan transparan perihal
harta kekayaannya kepada rakyat Indonesia. Kaitannya dengan partisipasi
rakyat terletak pada pemberian ruang bagi masyarakat untuk mengetahui,
mengoreksi, dan memperbaiki data kekayaan capres/cawapres, atau bahkan
hak untuk mendapatkan informasi yang tidak bohong.

Atas dasar itulah, kewenangan KPK yang diberikan oleh UU 2002:30 untuk
melakukan pemeriksaan laporan harta kekayaan menjadi relevan dan wajib
digunakan. Dengan demikian, salah kaprah jika KPK mengatakan hanya akan
melakukan pemeriksaan secara parsial item-item yang signifikan dan tidak
menyeluruh terhadap kekayaan calon (Jawa Pos, 20/5).

Hal itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab, berdasar UU KPK, bahkan
komisi ini harus memastikan semua kekayaan tersebut diperoleh dari
penghasilan yang sah. Bukan dari korupsi dan bukan dari abuse of power
yang dilakukan selama berkuasa. Bahkan, jika terdapat sejumlah temuan
mencurigakan, mungkin saja KPK meneruskan hasil pemeriksaan tersebut
pada jalur pertanggungjawaban pidana korupsi.

*Pencegahan Korupsi*

Pada UU KPK, kewenangan komisi ini untuk menyelenggarakan pelaporan dan
pemeriksaan harta kekayaan merupakan salah satu bagian dari strategi
pencegahan. Diatur pada pasal yang sama dengan kewajiban lapor
gratifikasi untuk penyelenggara negara. Artinya, UU menempatkan kekayaan
pejabat/calon sebagai salah satu alur potensi korupsi yang perlu
diwaspadai. Sebagai pihak yang akan menjadi orang nomor satu di
Indonesia, mengelola lebih dari Rp 1.000 triliun APBN, dan mengambil
keputusan tentang hidup/matinya rakyat, maka dia harus dipastikan bersih
dari potensi korupsi sekecil apa pun.

Dan, sebagai calon pemilih, rakyat berhak tahu orang seperti apa yang
akan dipilih dan bagaimana para kandidat mendapatkan harta kekayaannya.
Bahkan, di tataran ideal, seharusnya bukan hanya kekayaan pribadi calon
yang dibuka, tetapi juga seluruh aset yang dikuasasi keluarga di
lingkaran pertama. Sebab, potensi penggunaan kekuasaan untuk memperkaya
keluarga dan konco selalu menjadi celah terbuka untuk korupsi. Di satu
titik tertentu, bukan tidak mungkin sang calon presiden atau wakil
presiden tercatat sangat sederhana, tetapi suami, anak, dan keluarga
dekat mereka punya perusahaan, saham, dan kekayaan yang sulit dijelaskan
berdasar penghasilan yang sah. *(*)*

/*). Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW/

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: