BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » "Mati Baik-Baik, Kawan" Membuka Selubung Kegelapan

"Mati Baik-Baik, Kawan" Membuka Selubung Kegelapan

Written By gusdurian on Sabtu, 23 Mei 2009 | 10.34

"Mati Baik-Baik, Kawan" Membuka Selubung Kegelapan



*oleh Maria D. Andriana*

Jakarta (ANTARA News) - Bagaimanakah orang biasanya menginginkan
kematiannya? Tentu jawabannya adalah mati wajar, tanpa sakit
berkepanjangan, tidak merepotkan orang lain dan mendapat penghormatan
terakhir dari orang-orang yang menyayanginya.

"Mati Baik-baik Kawan", seperti judul Antologi Cerpen karya Martin
Aleida (65) yang diterbitkan oleh penerbit Akar, Yogyakarta, April 2009.

Nyaris tidak ada orang yang bermimpi untuk mati konyol di tangan
perampok, mengalami kecelakaan atau disiksa, dihina dan dibunuh, bahkan
jasadnya diperlakukan lebih buruk dari bangkai tikus. Tentu tidak.

Cerpen berjudul "Mati Baik-baik, Kawan" yang menjadi judul antologi
cerpen ini diangkat dari kisah Mangku, putera Bali yang rela
meninggalkan kampung halamannya, melakukan perjalanan terakhir untuk
mencari tempat kematian yang "agung" bagi dirinya.

Impian yang dirajutnya sejak menyaksikan kematian ayahnya yang amat
terhina. Ayahnya digambarkan sebagai petani tak punya lahan yang disiksa
dan dibunuh karena menerima pembagian tanah dalam "landreform" tanah
pertanian yang terjadi pada awal 1960-an.

Mangku seperti orang Bali umumnya, penganut Hindu, bahkan sudah
mengabaikan impian upacara Ngaben untuk kematiannya. Ia hanya ingin
dikuburkan dengan terhormat, seperti ketika ia menguburkan sahabatnya,
seekor kera Bali yang menemani pengembaraannya: "Persis sebagaimana kau
dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan, Mati baik-baik ,
Kawan. Diringi doa" (halaman 17).

Dalam cerpen yang aslinya berjudul Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh,
penulis mengungkapkan "kematian sia-sia" kaum petani miskin yang menjadi
korban pergolakan politik seputar peristiwa 1965. Satu sisi gelap dalam
sejarah bangsa Indonesia.

Bagi banyak orang, peristiwa 1965 (begitu biasa disebut) adalah
kegelapan yang membingungkan. Sejarah yang tercatat dan diajarkan di
sekolah menyebut peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah Orde Lama pimpinan Presiden
Soekarno, ditandai dengan penculikan dan pembunuhan petinggi militer.

Bagaimana kebenaran peristiwa tersebut dan bagaimana membuktikannya,
sejauh ini tak banyak terungkap. Peristiwa itu tetap menjadi perdebatan
karena kegelapan dan informasi yang membingungkan. Siapa yang
memberontak, siapa bersalah, siapa kalah dan siapa pemenangnya? Terus
diperdebatkan.

Buku antologi cerita pendek "Mati Baik-Baik Kawan", karya Martin Aleida
banyak menampilkan tragedi manusia, yaitu kisah nestapa mereka yang
terimbas oleh peristiwa tersebut, yang terjadi pada tanggal 30 September
1965. Cerita-cerita yang ditulis Martin sama sekali tidak menyentuh
salah satu peristiwa pemberontakan yang terjadi di republik ini.

Martin, kelahiran Tanjung Balai, Sumatra Utara, 31 Desember 1943, sempat
menjadi tahanan politik pada tahun 1966 karena profesinya sebagai
penulis pada media massa berhaluan kiri.



Membela yang Terpinggirkan



Cerpen-cerpennya yang terbit sesudah era Orda Baru tumbang, bukanlah
menceritakan peristiwa pemberontakan tersebut. Melalui cerita-cerita
yang ditulisnya, Martin mengungkapkan kritik kepada penguasa Orba yang
dinilainya telah semena-mena dan tanpa belas kasih membuat atau
setidaknya membiarkan orang-orang tak bersalah harus terkungkung dalam
kesengsaraan jiwa dan raganya.

Waktu itu, sebagai pemuda yang sedang bergairah meniti karir di bidang
jurnalistik, Martin mempunyai referensi cukup banyak untuk ditulisnya.

Lahirnya reformasi dan tumbangnya masa Orba, seakan menjadi muara bagi
Martin, yang dengan deras mengalirkan kisah-kisah nyata di sekitarnya
yang diangkatnya dalam karya fiksi. Semua bercerita tentang kepahitan
hidup istri, anak dan orang-orang yang dengan serampangan dituding oleh
pemerintah Orba --yang menyelamatkan Negara dari peristiwa
pemberontakan-- terlibat dalam pemberontakan itu dan harus
mempertanggungjawabkannya.

Kekejian yang tersisa dari peristiwa 1965 misalnya, digambarkan Martin
dengan sedu-sedan seorang kekasih yang kehilangan tunangannya, hanya
karena ayahnya lenyap dan pamannya adalah anggota PKI.

Peristiwa sedih yang tak tertanggungkan itu membuat Kamaluddin Armada,
tokoh dalam cerita bertajuk "Malam Kelabu" nekat mengakhiri hidupnya
dengan ritual yang bisa mengingatkan pembaca pada kisah tragis penulis
Jepang, Mishima, yang mengakhiri hidupnya dengan ritual bunuh diri,
hara-kiri atau menusuk perut sendiri.

"Dia rejamkan pisau berdarah itu ke tengkuk, menarik pisau itu ke bawah,
memotong urat nada lehernya, dan melukai tulang iganya. Leher itu koyak.
Darah menyembur dari lehernya, menyembur dari lengannya." (halaman 46)

Membaca beberapa cerita dalam antologi itu mula-mula bisa membuat
pembaca tergiring pada pendapat bahwa cerita-ceritanya berwarna
pelampiasan dendam orang-orang yang tersingkir dan terhinakan oleh sikap
stereotipe masyarakat dan aparat pemerintah terhadap keluarga atau
kerabat orang-orang yang dianggap atau diketahui sebagai anggota PKI.

Tanpa Pelayat dan Mawar Duka, adalah salah satu cerpen yang sebaliknya,
menyiratkan duka seorang istri tentara yang suaminya semestinya
bertanggung- jawab atas kematian orang-orang tak bersalah, yang
ditudingnya dengan bengis telah menjadi anggota PKI atau terlibat dalam
kegiatan partai tersebut.

Ia juga memenjarakan keluarga-keluarga mereka atau membuat mereka hidup
sengsara.

Tentara bengis itu mati tanpa pelayat dan tak seorang pun berkenan
menguburkan jasadnya. Dosa yang kini harus ditanggung oleh istrinya yang
harus menggali sendiri kubur suaminya.

Gambaran sebuah dendam, seperti juga dalam kisah "Dendang Perempuan
Pendendam" yang berlatar relegius, Islami, yaitu jika seseorang
mengambil tanah orang lain, dosanya akan membuat jasadnya kelak tidak
akan diterima bumi. Seberapa pun liang kubur digali, tidak akan
menampung jasadnya.

Di sini Martin mengungkapkan fakta, bahwa korban bisa saja terjadi di
dua sisi, bukan hanya pada mereka yang dicap "tercemar" komunisme,
tetapi juga pada penguasa atau orang-orang yang menjadi lupa diri dan
memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan. Mereka dan keluarganya,
tak luput dari kesengsaraan yang bagaikan siklus, datang menerpa, ketika
gilirannya tiba.



Bukan Dendam Semata



Tetapi buku berisi sembilan cerpen itu - beberapa sudah dimuat dalam
Koran-koran dan bahkan mendapat penghargaan, bukan semata-mata mengumbar
dendam.

Pada cerita tentang seorang haji pedagang kopiah yang jenaka, pendakwah
menggambarkan suasana yang lebih riang, tentang sosok yang religius
sekaligus memiliki sifat iseng, suka mengerjai teman-temannya.

Haji Johansyah Kuala yang baik hati itu justru karena kebaikannya
mendermakan kupiah-kupiah dagangannya untuk para seniman komunis
mementaskan seni drama. Untuk itu ia pun sempat mengalami pemenjaraan.

Sisi muram yang digambarkan dengan riang pada cerita ini, tetap memberi
makna untuk direnungkan dan memberi pelajaran hidup, tentang tindakan
gegabah, kesabaran dan penerimaan. Pelajarannya adalah bahwa sikap baik
seseorang akan selalu dikenangkan oleh orang-orang yang pernah menikmati
kebaikkannya.

Kisah-kisah yang ditulis Martin hanyalah bagian kecil dari cerita di
balik peristiwa 1965 yang kini nyaris tak perlu lagi disembunyikan, dan
mulai bermunculan.

Pada tahun 2004, Yayasan Lontar menerbitkan cerita pengalaman hidup
bahkan juga cerita fiksi yang ditulis oleh kaum pelarian -orang-orang
Indonesia yang hidup dalam pengasingan terutama di Eropa- karena mereka
tidak bisa pulang ke Tanahair, bahkan kewarganegaraan mereka pun telah
dihapuskan.

Nama Martin sebagai penulis yang akhir-akhir ini menekuni kisah-kisah
seputar peristiwa 1965 semakin menggema. Ia pun makin laris diwawancarai
media asing, peneliti sejarah dan ini mungkin bisa menggugah minat
tumbuhnya semakin banyak karya sastra yang mengungkap kebenaran
masa-masa gelap itu, seperti harapan Katrin Bandel. Dosen S2 untuk Ilmu
Religi dan Budaya pada Universitas Sanata Darma yang menulis penutup
pada buku Martin.

Pengenalan tentang penulisnya sendiri, dapat disimak dari penuturan
pribadi Martin melalui memoar sepenggal masa hidup dan karirnya ketika
13 tahun menjadi wartawan majalah Tempo.

Leontin Dewangga, salah satu cerpen yang termuat dalam Antologi ini
adalah karya Martin tahun 2003 yang mendapat penghargaan dari Pusat
Bahasa untuk Penulisan Karya Sastra dengan penilaian keajekan menulis
dan pencapaian artistik.

Buku setebal 144 halaman dengan desain sampul dari cerita utama tentang
Mangku dan rombongan komedi monyetnya, garapan Ipong Purnamasidhi itu
dijual dengan harga semurah sebungkus rokok, Rp10.000,- hadir mengungkap
tabir, membuka sedikit selubung yang menutup sepenggal sejarah Indonesia.(*)

COPYRIGHT © 2009

http://antara.co.id/arc/2009/5/23/mati-baik-baik-kawan-membuka-selubung-kegelapan/
Share this article :

0 komentar: