BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Anugraha Angkat: Foto "Waspada Online" tangan Tuhan

Written By gusdurian on Sabtu, 07 Februari 2009 | 11.34








Anugraha Angkat: Foto "Waspada Online" tangan Tuhan
MUHAMMAD MUHARRAM LUBIS
WASPADA ONLINE

MEDAN - Penuh haru namun menjadi saksi bisu, foto-foto yang ditampilkan Waspada Online dianggap menjawab teka-teki kematian Ketua DPRD SU Abdul Aziz Angkat. Kepolisian yang sebelumnya membantah kematian Azis karena kekerasan akhirnya menurut dengan fakta foto Waspada Online.

Hal ini disampaikan Anugraha Angkat anak dari almarhum Aziz Angkat pada Waspada Online saat berkunjung ke kantor Waspada Online, tadi malam. "Foto-foto Waspada Online yang dimuat di media massa nasional menjadi penjawab kebenaran kekerasan ke bapak, foto itu laksana tangan Tuhan," ujar Anugraha.

Dikatakannya juga selama ini keluarga juga percaya bahwa orang tua mereka meninggal secara tidak wajar.

Sebelumnya pihak kepolisian menyatakan Aziz meninggal karena serangan jantung. Lalu setelah tersebarnya foto-foto Waspada Online di media cetak dan elektronik nasional dan internasional, kepolisian menyatakan kembali kematian Ketua DPRD SU disebabkan indikasi kekerasan yang didapatkan hingga akhirnya gagal jantung.

Credit foto: Waspada Online/Handaya Wira Yuga
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=66139&Itemid=27

BARU keluarga Soekarno yang bisa mewujudkan tiga orang perempuan kakak-beradik menjadi ketua umum partai di tiga organisasi yang berbeda.

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 13.45

BARU keluarga Soekarno yang bisa mewujudkan tiga orang perempuan kakak-beradik menjadi ketua umum partai di tiga organisasi yang berbeda.
Yaitu Megawati Soekarnoputri yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rahmawati Soekarnoputri yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Pelopor, dan Sukmawati Soekarnoputri yang menjadi Ketua Umum Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme.

Karena itu, ketiganya mendapatkan anugerah dari Museum Rekor Indonesia (Muri) yang diserahkan Jaya Suprana tepat pada hari lahir Fatmawati Soekarnoputri di Jakarta, kemarin.

Menurut Jaya, pihaknya memberikan anugerah karena kejadian ini sangat langka di dunia. Bahkan keluarga Kennedy di Amerika Serikat belum pernah mengalami hal seperti ini. Karena itu, menurutnya, hal tersebut perlu diapresiasi. (Che/P-3)



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/06/ArticleHtmls/06_02_2009_002_008.shtml?Mode=1

Enam Bulan Menjadi Politisi

Enam Bulan Menjadi Politisi

Tanggal 9 April 2009 adalah hari penentuan, bagi setiap celah harapan yang ada dalam diri pelaku-pelaku politik. Mereka yang mengerti. Mereka yang paham. Atau barangkali tidak mengerti dan tidak paham, tetapi sebaiknya bukan dari generasi yang sudah memerdekakan diri dengan kebebasan informasi di dunia maya ini.

Kita tahu bangsa ini sudah lama memerdekakan diri dari belenggu kolonialisme. Pendudukan bersenjata yang menempatkan nyawa di ujung peluru kaum kolonialis, tinggal sebagai sejarah atau cerita para orang-orang tua. Tetapi kita masih seperti itik patah dalam memburu tujuan-tujuan kemerdekaan itu.

60 hari lebih sedikit lagi dari sekarang, setiap orang berhak menyatakan pendapatnya. Apakah anda akan turut serta sebagai unsur yang bisa merubah arah perjalanan bangsa, atau sekadar turut melihat saja setiap tahapan sejarah dipaku dan dititi oleh orang lain? Kalau anda bagian dari itu, maka berikanlah suara kepada siapapun yang dirasa pantas menerimanya.

Tentu anda memiliki penilaian, positif, negatif, atau abu-abu. Ketika memberikan penilaian, itulah hak dasar yang diberikan oleh konstitusi negara ini, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan untuk berkumpul. Pada akhirnya, anda harus berpihak, walau hanya sesaat saja, di kotak suara, dalam menentukan pilihan anda itu.

Saya adalah satu dari generasi yang skeptis atas perubahan, tetapi telanjur percaya kepada demokrasi. Generasi saya terlalu takut dengan baju loreng di jalanan. Ketakutan itu ditambah dengan penyensoran buku dan pikiran. Tidak jarang generasi saya yang suka membaca buku, harus bersembunyi dari siapapun ketika membaca buku-buku bersampul merah dan hijau. Untuk membebaskan diri dari ketakutan, malam-malam berhujan seperti sekarang adalah kesempatan untuk mengetikkan pikiran pada mesin tik yang buruk yang saya beli di pasar rumput Manggarai.

Ketika memulai hari-hari jelang reformasi, setiap langkah berarti ketakutan. Mustahil tidak ada rasa takut dalam diri para demonstran. Siapapun yang berurusan dengan gugatan atas rezim, selalu mencoba menghindarinya dengan cara apapun. Saya melihat dan mencatat siapa saja sosok-sosok berani yang mengatakan “Tidak!” kepada Soeharto, lalu menghilang dalam arus perubahan. Sebagian dari mereka berada di kampus-kampus, dalam dan luar negeri sekarang ini.

Api yang membakar jalanan Pangeran Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996 adalah satu fase yang saya saksikan langsung. Merah itu api. Sementara air juga menyapu bekas-bekas darah yang disemprotkan dari mobil pemadam kebakaran. Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan beragam gerakan, siasat, perselisihan, permusuhan, persahabatan, sampai upaya menjalankan niatan dan roda nasib masing-masing.

Dan sepuluh tahun kita berada dalam zaman baru. Tentu siapapun berhak menilai, apa yang terjadi. Dalam sepuluh tahun ini, saya banyak mencatat, menganalisa, tetapi mungkin hanya mengeluarkan gerutuan demi gerutuan. Ada 500-an catatan yang saya buat, dalam bentuk artikel, buku, jurnal, makalah dan lebih banyak lagi dalam bentuk laporan para jurnalis.

Karena tidak ingin letih mencatat perubahan, terutama dari pusat-pusat informasi di kalangan elite Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia, tanggal 6 Agustus 2008 lalu saya memutuskan untuk hijrah sebagai pelaku politik. Saya menjadi satu di antara puluhan ribu politisi yang mencoba melakukan sesuatu, sesedikit apapun.

Saya pulang kampung, ke Sumatera Barat, setelah 17 tahun merantau. Kali ini, barangkali bukan menyandang prediket intelektual, tetapi politisi yang baru belajar menjadi politisi.

***

Telah enam bulan saya berjalan. Berpidato di banyak tempat, berdiskusi dengan beragam lapisan masyarakat, mencoba melawan arus politik lama yang penuh dengan permintaan atas uang, sembari mencoba cara sendiri untuk menunjukkan apa itu politik. Tentu, saya tidak pernah takut gagal. Ketakutan utama saya adalah generasi muda di bawah saya nanti tetap terbelit dengan metoda peraihan kekuasaan politik dengan jalan-jalan pintas.

Saya juga tidak memikirkan keberhasilan. Setiap hari adalah bagaimana mengontrol hati, pikiran dan perasaan, dalam menghadapi beragam bentuk perseteruan politik. Saya meniti lagi arus deras politik dan mencoba untuk tidak tenggelam. Mungkin, ada banyak yang terkejut dengan kehadiran saya di dunia politik, baik di kampung atau di tempat lain. Saya berani mengatakan “Tidak!” kepada bentuk-bentuk permintaan yang tidak masuk akal.

Tentu saya bersyukur atas perhatian dan dukungan beberapa orang dari kalangan muda. Mereka menjadi sangat militan. Cara berpikir mereka berubah atas tujuan-tujuan hidup dan politik. Saya tidak menyangka bisa menyaksikan diskusi terjadi di kalangan adik-adik yang tidak tamat SMA, tamat SMA sampai baru mulai menyelesaikan kuliahnya. Saya tercengang dengan kemampuan mereka menghadapi dan menganalisa keadaan.

Pertarungan politik bagi saya adalah bagaimana ide-ide lama ditolak dan ide-ide baru diterima. Maka saya tidak melihat siapa yang bicara, tetapi apa yang dia bicarakan. Boleh saja usianya tua dan mengaku berpengalaman dalam politik, tetapi ketika orang itu tidak juga bersedia menerima ide-ide baru yang lebih genuine, bagi saya orang itu layak untuk hanya ditemui sesekali.

Tidak banyak yang saya pikirkan lagi, kecuali agar adik-adik ini menemukan ritme yang tepat dalam memikirkan masa depan buat mereka sendiri. Ketika dulu mereka sibuk dengan arus yang mencengkeram dari dunia lain, seperti konsumtivisme, sekarang mereka sudah pelan-pelan berhasil menolaknya dan mulai memikirkannya. Energi dalam diri mereka mulai mengalir, menghadang terpaan energi negatif dari luar.

Enam bulan yang singkat. Ya, mungkin anda berpikir saya tidak peduli dengan terpilih atau tidak. Tidak. Tentu saya ingin terpilih. Yang saya harapkan, perubahan yang sedikit demi sedikit itu berlanjut, sehingga bangunan generasi baru yang matang untuk menjalankan kehidupan di masyarakat, bangsa dan negara ini benar-benar siap. Makanya, saya tidak terlalu berpikir tentang siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden tahun 2009-2014 ini. Yang layak dipikirkan adalah munculnya pembaharuan dalam proses suksesi tahun 2014, tahun 2019, tahun 2024 dan seterusnya.

Kalau anda merasa bagian dari itu, dari generasi manapun anda, berapapun usia anda, maka dukunglah saya. Kita bersama-sama, bergandengan tangan, kolektif, mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Saya menulis ini ketika anak saya yang berusia 10 bulan dan 6 tahun sudah terlelap tidur. Entah dunia seperti apa yang mereka hadapi kelak, kalau kita tidak bergegas hari ini mempersiapkan dunia yang lebih baik.

Selamat berkarya dan menjalankan aktivitas harian anda. Sukses bersama buat kita. Bagi yang ingin menjadi bagian dari masyarakat baru yang bertanggungjawab kepada masa depan bersama, serta melihat jabatan anggota parlemen sebagai jabatan publik, silakan mulai dengan cara-cara sehat, yakni memberikan donasi kepada politisi yang anda sukai. Kalau itu adalah saya, silakan anda kirimkan pertanyaan via email saya: pi_liang@yahoo.com dan indrajayapiliang@yahoo.com.

Jakarta, 06 Februari 2009.

Hormat Saya,

Indra Jaya Piliang, SS, M.Si
Calon Anggota DPR RI Nomor Urut 2 dari Partai Golkar dengan daerah pemilihan Sumatera Barat 2 (Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat).

Deddy Corbuzier Tantang Utut Adianto

Deddy Corbuzier Tantang Utut Adianto
Ia sesumbar menang. Namun Utut bilang, itu sama saja seperti Indonesia mengalahkan Brazil.

Anindhita Maharrani, Windratie


VIVAnews - Mentalis serba hitam itu sesumbar soal Romy Rafael. Si jago hipnosis itu disebutnya lawan yang mudah disingkirkan. Bagi Deddy Corbuzier, ada yang lebih tangguh dari Romy. Dia adalah Grand Master Indonesia, Utut Adianto.

Deddy mengakui si jago catur itu sebagai lawan tangguh. Namun Ia tak mengurungkan niat menantang Utut.

"Sepuluh langkah ke depan Mas Utut sudah saya ketahui," kata Deddy usai jumpa pers 'The Master, Mencari Bintang Tanpa Mantra' di RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Senin 2 Februari 2009 malam.

Keduanya pernah dipertemukan pada 2007 silam. Memang bukan kapasitas Deddy, yang mentalis itu, tanding catur dengan GM Utut. Tapi toh, ayah satu anak itu memberikan perlawanan, membuat sang Grand Master keseleo.

Bidak Ratu Utut dimakan Deddy. Sang grand master mengibarkan bendera putih, menghentikan permainan. Alasannya, sorot mata Deddy yang terus menatap Utut dengan tajam mengganggu konsentrasi.

Kendati belum pasti menang. Deddy optimistis. Kali ini, Ia sudah mengatur strategi mengalahkan utut. Yaitu, dengan mengacaukan pikiran lawan.

Deddy mengaku sudah tahu sepuluh langkah ke depan bidak catur Utut. Namun sang grand master tak mau gegabah. "Itu kan ceritanya sama saja seperti sepakbola Indonesia mengalahkan Brazil. Ya sekadar tahu aja, kaya ngerti teknik main bola, dribling, umpan, tapi nggak ngejalanin karena bukan bidangnya," ujarnya santai.

Bagi Utut, sesumbar Deddy bak pepatah tong kosong nyaring bunyinya. Menanggapi omongan Deddy, bagi Utut sesuatu tidak bisa didapat secara instan. Mustahil masyarakat mendaulat mentalis itu sebagai master dalam seminggu. Sementara Ia sudah belajar selama 38 tahun.

Utut sudah mempersiapkan strategi mengantisipasi tatapan tajam Deddy. "Boleh melototin saya, tapi saya juga mau izin untuk pakai kacamata hitam," GM Indonesia nomor satu di dunia itu berujar.

• VIVAnews

http://showbiz.vivanews.com/news/read/26682-deddy_corbuzier_tantang_utut_adianto

Orang Nomor Satu Setengah

Orang Nomor Satu Setengah
Eep Saefulloh Fatah

Pemerhati politik
PENTINGKAH kandidat wakil presiden? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Megawati Soekarnoputri, saya sarankan Megawati menjawabnya dengan sigap, ”Oh, tentu. Wapres bukan hanya penting, melainkan juga sangat menentukan!”

Sejumlah pertimbangan melatari saran itu. Pertama-tama, marilah kita menengok hasil survei. Basis pendukung Megawati ternyata berkumpul di Pulau Jawa. Sebaliknya, ia menghadapi defisit dukungan dari para pemilih luar Jawa dan ”partai-partai Islam”.

Berdasarkan temuan beragam survei, kekalahan Megawati-Hasyim Muzadi dari Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden 2004 terutama disebabkan mengumpulnya pemilih luar Jawa dan partai Islam ke Yudhoyono-Kalla. Beragam survei belakangan ternyata masih mengkonfirmasikan situasi serupa.

Jika kubu Megawati menimbang temuan itu, kandidat wakil presiden terbaik baginya adalah yang potensial meraup pemilih dari luar Jawa dan/atau limpahan pemilih partai Islam. Jika tidak, pendulangan sokongan yang bisa diraih Megawati, saya duga, kurang lebih akan setara dengan perolehan suara Pemilihan Presiden 2004. Bahkan, jika Pemilihan Presiden 2009 hanya diikuti tiga pasang kandidat, bukan tak mungkin Megawati dan pasangannya (yang dipilih secara keliru itu) gagal maju ke putaran kedua.

Celakanya, sebagaimana galibnya dalam dunia politik, tak semua kebutuhan tersedia dengan mudah. Sulit menemukan kandidat yang sekaligus bisa memenuhi dua syarat: mendekatkan Megawati dengan pemilih luar Jawa sekaligus dengan pemilih muslim (dan muslimah). Terlebih-lebih jika satu syarat lain ikut dipertimbangkan: sang kandidat juga memiliki ”kendaraan”, sekalipun kapasitasnya tak sebesar PDIP, sehingga PDIP dan kendaraan sang kandidat itu bisa ”berkonvoi”, memperkuat penyerbuan ke sarang musuh.

Memang sulit memadukan tiga syarat itu. Ada kandidat yang relatif dekat dengan pemilih muslim sekaligus dengan pemilih luar Jawa, tapi kendaraannya terlampau kecil dan terancam tak bisa melampaui ambang batas legislatif (parliamentary threshold), serta cenderung ”dekat” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Umumnya kandidat hanya memenuhi satu syarat. Karena itu, pilihan terbaik bagi Megawati adalah mencari kandidat yang setidaknya memenuhi dua dari tiga syarat itu.

Dalam konteks itulah kening saya serta-merta berkerut menyaksikan betapa menggeloranya hasrat Taufiq Kiemas dan para eksponen penting PDIP menyandingkan Megawati dan Sultan Hamengku Buwono X. Bukankah dengan rumus di atas, datangnya Sultan tak terlalu menambahi dan perginya Sultan tak akan terlalu mengurangi? Bukankah yang justru lebih menjanjikan adalah mengusung Mega-Hidayat, bukan Mega-Buwono?

Pertimbangan lain yang melatari saran di awal kolom ini adalah medan pertarungan yang mesti dihadapi Megawati. Survei (lembaga mana pun) memperlihatkan, kandidat terpenting yang sudah siap menghadang Megawati adalah sang incumbent, pejabat yang sedang berkuasa, Presiden Yudhoyono. Dan bagaimanapun, pemilihan presiden adalah pertarungan yang pada sisi-sisi tertentu akan mengalami personalisasi: Yudhoyono versus Mega.

Pada titik itulah, dua persoalan mengemuka. Di satu sisi, berdasarkan beragam survei, dukungan terhadap Mega masih jauh tertinggal oleh Yudhoyono. Pada Juni 2008, seusai pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, memang posisi Mega sempat melampaui atau setidaknya mendekati Yudhoyono. Tapi belakangan, setelah harga minyak dunia turun dan harga BBM dalam negeri diturunkan pemerintah, jarak antara Yudhoyono dan Mega sudah melebar menjadi lebih dari 30 persen.

Di luar kesenjangan statistik itu, Mega juga mesti mengatasi kesenjangan konseptual. Pada sisi ini, harus diakui, kemampuan Yudhoyono di atas Mega. Manakala Pemilihan Presiden 2009 diisi dengan sejumlah debat yang tak terhindarkan, bukan tak mungkin Mega akan menghadapi kerepotan serius. Sebab, di atas panggung debat, pepatah ”diam adalah emas” sungguh tak lagi bertuah.

Karena tertinggal secara statistik dan konseptual itulah Mega membutuhkan kandidat wakil presiden yang secara statistik sanggup membuatnya terdongkrak serta secara konseptual bisa menjadi tandem sekaligus penyelamat di panggung debat. Jika tidak, sang kandidat wakil presiden lebih merupakan ”teman seiring menuju kekalahan”, bukan ”mitra penjemput kemenangan”. Jika tidak, keduanya adalah teman berduka, bukan sahabat berpesta.

Masih ada satu pertimbangan lain. Pemilihan Presiden 2009, sebagaimana umumnya pemilihan presiden di mana saja, akan ditandai pertarungan klasik di antara ”pejabat yang sedang berkuasa” (incumbent) dan penantang. Namun, dalam konteks Pemilu 2009, situasi pertandingannya tak bisa dibuat hitam-putih begitu. Ada incumbent (Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Kalla) dan penantang (Prabowo Subianto, Sultan Hamengku Buwono X, Wiranto, Hidayat Nur Wahid, Rizal Ramli, Sutiyoso). Sementara Megawati berada di wilayah abu-abu, ”mantan incumbent”, karena pernah menjabat presiden. Bahkan Sultan dan Sutiyoso pernah menjadi kepala daerah, sehingga berada di wilayah putih-abu-abu.

Situasi ini menambahi kesulitan dan tantangan bagi Megawati (serta Sultan dan Sutiyoso). Sebagai mantan incumbent, Megawati tak punya ruang terlampau leluasa untuk melancarkan kritik, apalagi tamparan keras terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Jika kurang hati-hati, kritik Megawati akan kehilangan otentisitasnya karena membuat publik seperti mendengar Megawati mengkritik sesuatu yang ia sendiri sebagai presiden melakukannya. Meminjam istilah PT Pos Indonesia, kritiknya ”kembali ke alamat si pengirim”.

Walhasil, lagi-lagi sang kandidat wakil presiden yang otentik diperlukan. Dibutuhkan sosok wakil presiden yang mampu menambahi bobot pernyataan dan kritik Megawati serta menambah simpati dan dukungan publik untuk mereka. Kandidat wakil presiden yang dibutuhkan Megawati bukanlah yang sekadar menutup lubang-lubang Megawati, melainkan melindungi Megawati dari kemungkinan bertambahnya lubang itu.

Maka, yang dibutuhkan Megawati adalah sosok kandidat wakil presiden dari kalangan penantang yang memiliki pesan atau rancangan kebijakan yang kuat dan mampu memberi alternatif lebih meyakinkan terhadap kebijakan pemerintahan saat ini. Jika sosok itu datang dari wilayah putih-abu-abu (incumbent atau mantan incumbent kepala daerah), ia harus punya jejak rekam yang meyakinkan. Pertanyaannya, apakah Sutiyoso atau Sultan memenuhi syarat itu? Adakah tokoh kalangan penantang yang memenuhi syarat ini?

Sekali lagi, jalan bagi Megawati memang tak mudah. Jalan itu panjang, terjal, dan berangin. Tapi Megawati tak sendirian. Situasi rumit dan sulit juga dihadapi oleh kandidat presiden lain, termasuk Yudhoyono.

Nasib Yudhoyono akan sangat ditentukan oleh perolehan suara Partai Demokrat. Manakala Demokrat, sesuai dengan temuan Lembaga Survei Indonesia, menjadi peraih suara terbanyak, situasi akan relatif mudah. Ia bisa cukup leluasa memilih kandidat wakil presiden. Tapi, manakala Demokrat terpuruk, apalagi berada di bawah Partai Golkar dan PDIP, kesulitan pencarian kandidat wakil presiden bagi Yudhoyono pun berlipat-lipat.

Dalam situasi itu, tak mudah bagi Yudhoyono dan Partai Demokrat mengajak Kalla bersanding dengan Yudhoyono tanpa negosiasi yang liat. Kalla dan Partai Golkar akan mengajukan tuntutan atau konsesi besar dari Yudhoyono. Kalla—atau lebih tepatnya Partai Golkar—tak akan bersedia menerima tawaran menjadi ”orang nomor dua”.

Kalla dan Golkar akan menuntut posisi ”orang nomor satu setengah”, yakni jabatan wakil presiden dengan dua catatan: akomodasi politik yang lebih besar bagi Golkar dan otoritas wakil presiden yang lebih luas. Dengan kata lain, manakala Partai Demokrat terpuruk, Yudhoyono akan sangat membutuhkan ”kandidat wakil presiden super”, lebih dari yang ia alami dalam Pemilihan Presiden 2004.

Sebentar. Bukankah Megawati pun, dalam makna yang berbeda, terdesak oleh kebutuhan itu? Jika demikian halnya, mari kita namai saja gejala ini sebagai musim semi ”orang nomor satu setengah”.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/02/KL/mbm.20090202.KL129415.id.html

Sulit Bermuka Tembok, Arbi Sanit Tolak Jadi Politisi


Tidak banyak orang yang mau menyia-nyiakan kesempatan bergelut di dunia politik meski tawaran itu mengalir. Orang-orang yang seharusnya tidak layak masuk ke dunia politik karena tidak punya kemampuan saja berebutan menyodorkan diri.

Dari sedikit orang yang tidak tergoda jadi politisi itu adalah pengamat politik dari UI Arbi Sanit. Padahal sebagai pengamat politik senior, Arbi tidak pernah sepi dari tawaran masuk parpol.

Namun semua iming-iming dari parpol itu ditolaknya karena dia merasa tidak memiliki muka tebal yang menghilangkan rasa malu, jantung ganda yang sewaktu-waktu copot satu masih ada gantinya.

"Permainan politik itu dasyat. Saya 40 tahun belajar ilmu politik, tapi saya tidak berani terjun ke dunia politik. Padahal tawaran itu sangat banyak," kata arbi sanit pada detikcom kamis (5/2/2009).

Menurut dosen UI ini, politik itu busuk. Karena itu kalau seseorang ingin terjun di dunia politik, ia harus siap bergelut dengan dunia kebusukan. Kalau dia berhasil, dia akan menjadi politisi yang disegani kawan maupun lawan.

"Politik itu busuk. Karena itu sebaiknya dipisahkan aja antara agama dan politik seperti di barat. Untuk menjadi politisi itu harus muka tembok, jantungnya dobel, hatinya seperti batu, kalau tidak bisa jangan harap berhasil jadi politisi," terang Arbi.

Sebagai bukti dari dasyatnya politik, Arbi mencontohkan maraknya praktek politik uang. Menurutnya politik uang itu benar-benar mengancam transisi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.


Karena itu, dia berharap Pemilu 2009 menjadi momentum perbaikan bagi kualitas berdemokrasi dan pembangunan bangsa. Caranya rakyat benar-benar memilih wakil rakyat dan pemimpin yang berkomitmen mensejahterakan rakyat.

"Ini momentum bagi politisi untuk menunjukkan leadership-nya. bukan mengajari masyarakat untuk menjadikan politik sebagai bahan transaksi pragmatis," kata Arbi

Arbi meminta para caleg dan capres tidak membiarkan masyarakat mempraktekkan pola berpolitik yang merusak. praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia menjadi lebih baik.

"Jangan sampai mau diperas, praktek seperti ini harus dilawan. Kalau tidak, jangan harap ada perbaikan nasib bangsa," terangnya

"Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar, pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya, bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya," terangnya.

Karena itulah, Arbi menghimbau agar rakyat tak memilih caleg yang menaburkan uang dalam menarik simpati pemilih. Demikian juga, dengan caleg yang ingin memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat dengan politik transaksional.

"Pemilu tahun ini menjadi momentum, apakah para politisi terjebak dalam permainan atau mau memperbaiki diri dan negara untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera,"pungkas Arbi.***

Hillary Melawat ke Jakarta Bulan Ini

Hillary Melawat ke Jakarta Bulan Ini
WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton akan melawat ke Jakarta pada 18 Februari mendatang. Hal ini diungkapkan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla setelah bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Serikat Joseph Biden di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, kemarin.

"Saat rapat kabinet, semula Menteri Hillary hanya akan bertandang ke tiga negara, yakni Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Tapi Presiden Barack Obama menambahkan agar Indonesia tidak lupa dikunjungi," kata Kalla.

"Dengan begitu, pemerintah Amerika menilai peran Indonesia tak kalah penting, sehingga harus disinggahi," Kalla menambahkan.

Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Sudjadnan Parnohadiningrat menjelaskan bahwa Hillary dijadwalkan untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta.

"Visanya barusan masuk dan sudah kami setujui," kata seorang petugas konsuler Kedutaan Indonesia di Washington.

Pertemuan Kalla dengan Biden adalah pertemuan bilateral pertama di Gedung Putih sejak Obama dilantik 16 hari lalu. "Kami sama sekali tak menduga kalau Anda berinisiatif datang kemari," kata Biden sebagaimana ditirukan Kalla.

Pertemuan itu berlangsung selama 45 menit dan membahas berbagai hal, dari masalah ekonomi hingga Palestina. Selama melawat ke Washington, Kalla juga melakukan pertemuan dengan Senator Christopher Bond, Senator Jim Web, Direktur Intelijen Nasional Dennis Blair, dan sejumlah pelaku bisnis.WAHYU MURYADI (WASHINGTON)



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Internasional/krn.20090206.155958.id.html

Kalla Ultimatum Sultan

Kalla Ultimatum Sultan
Dia harus memilih: Golkar atau PDI Perjuangan.
Washington, DC -- Dari jarak lebih dari 13 ribu kilometer, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla mengultimatum Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ia meminta Sultan memperjelas posisinya berkaitan dengan manuvernya bergandengan dengan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden.

"Kalau sudah pasti, dia harus memilih salah satu, pakai kendaraan Golkar atau PDI Perjuangan," kata Kalla kepada Tempo di Wisma Duta RI di Washington, DC, Amerika Serikat, Rabu siang waktu setempat. "Jangan pakai dua-duanya, itu namanya tidak etis dalam fatsoen politik."

Soal Sultan mau berpasangan dengan siapa pun, bagi Kalla tak jadi masalah. "Setiap orang punya hak untuk dipilih dan memilih, biarin saja." Tapi, Kalla memperingatkan, kalau memang mau maju dari partai lain, Sultan jangan memakai Golkar sebagai kendaraan politik. "Kalau sudah dicalonkan partai lain, ya, jangan ke Golkar," ujar Kalla.

Sejauh ini Golkar belum menetapkan calon presidennya. Sejak September tahun lalu, Golkar memutuskan tak akan memakai mekanisme konvensi (pemilihan dalam internal partai) untuk menjaring calon presiden.

Ditutupnya mekanisme konvensi membuat sejumlah kader Golkar mencari jalur alternatif. Salah seorang dari mereka adalah Sultan. Pada 28 Oktober lalu, Sultan mendeklarasikan diri akan maju sebagai calon presiden. Sultan pun bermanuver. Dia, misalnya, dua kali bertemu dengan Megawati. Akhir Januari lalu, paket Mega-Buwono pun muncul ke permukaan.

Sejak itu hubungan antara Sultan dan para petinggi Golkar memanas. Ketua DPP Golkar Bidang Hukum Muladi, misalnya, menuduh Sultan membelot dari partai. Usul pemecatan Sultan pun terlontar.

"Itu jealous (cemburu) saja," kata Sultan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, kemarin. Menurut Sultan, pencalonan dirinya oleh partai lain tak bisa dijadikan alasan pemberian sanksi. "Beliau (Jusuf Kalla) dulu juga maju bukan dari Golkar," kata Sultan. WAHYU MURYADI | DWI RYANTO AGUSTIAR | JAJANG

Kutipan

Jusuf Kalla (Ketua Umum Partai Golkar)
"Kalau mau maju dari partai lain, Sultan jangan memakai Golkar sebagai kendaraan politik."

Sri Sultan Hamengku Buwono X (anggota Dewan Penasihat Golkar)
"Itu jealous (cemburu) saja. Beliau (Jusuf Kalla) dulu juga maju bukan dari Golkar."

Saling Sindir

Jusuf Kalla

"Dia harus memilih, pakai kendaraan Golkar atau PDI Perjuangan. Jangan pakai dua-duanya, itu tidak etis dalam fatsoen politik."

Sri Sultan Hamengku Buwono X

"Itu jealous saja.... Pencalonan oleh partai lain tak bisa jadi alasan menjatuhkan sanksi. Beliau (Jusuf Kalla) dulu juga maju bukan dari Golkar."



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/headline/krn.20090206.156005.id.html

Data Kebiadaban yang Meningkat

Data Kebiadaban yang Meningkat
Jousairi Hasbullah, penulis, bekerja di Badan Pusat Statistik

Nyawa manusia di Indonesia semakin hari cenderung semakin tidak berharga. Kematian sia-sia berlangsung di mana-mana: di jalan raya, di laut, di udara, dan di berbagai tempat. Pada awal Februari ini bahkan seorang Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara meninggal di kantornya sendiri di tengah demonstrasi massa. Pembunuhan manusia secara tidak langsung juga terus terjadi. Di musim hujan, beribu kematian terjadi karena banjir, banjir bandang, tanah longsor, petir, dan bencana alam lainnya. Ini hanya beberapa contoh dari sekian banyak perilaku manusia yang berujung pada kematian orang lain. Sepertinya kita tengah hidup dalam lingkungan bencana dan kebiadaban. Kebiadaban yang didefinisikan sebagai uncivilized dan kejam sebetulnya telah menyusup sampai ke desa-desa di pelosok. Pertanyaannya, bagaimana spektrumnya?

Pembaca data statistik yang teliti akan dikagetkan oleh angka yang baru saja didiseminasikan akhir Desember lalu oleh BPS mengenai hasil Pendataan Potensi Desa 2008. Tindak biadab yang ditunjukkan oleh indikator menunjukkan bahwa kejadian pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan telah merambah ke desa-desa dengan spektrum begitu luas dan masif. Hasil pendataan tersebut mengungkapkan, dari 75.378 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, 33.683 desa mengalami tindak kejahatan pencurian, 2.617 desa mengalami perampokan, dan di 5.080 desa masyarakatnya mengalami penganiayaan. Hal yang agak sulit dipercaya bahwa terdapat 1.844 desa di Indonesia, dari Mei 2007 sampai Mei 2008, mengalami kejadian pembunuhan. Kejadiannya menyebar ke seluruh provinsi dengan empat provinsi yang menduduki rekor tertinggi: Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Gambaran yang tidak kalah mengerikan, terdapat 2.199 desa dengan sebaran 657 desa di Jawa dan 1.542 desa di luar Jawa yang mengalami kejadian pemerkosaan di desa mereka. Di luar Jawa, angka tertinggi terjadi di Provinsi Papua (536 desa). Di Jawa Timur 209 desa, dan Jawa Barat 177 desa.

Refleksi kegelapan

Menyitir kata-kata Julia Kristeva (1982, dalam The Power of Horror), kejadian pembunuhan yang masif itu merupakan sisi paling gelap kemanusiaan dari sebuah bangsa yang tengah mengalami kegelapan. Kita tidak banyak mengetahui seluas mana spektrum geografis kebiadaban serupa terjadi di negara lain. Tetapi, dari indikasi-indikasi yang digambarkan melalui data tindak kriminal selama ini, kedudukan kita ada kemungkinan hanya disamai oleh negara-negara yang paling terbelakang di Afrika. Kecenderungan kebiadaban tersebut merupakan produk dari tiga hal sekaligus.

Pertama, refleksi kegelisahan ekonomi rumah tangga di suatu komunitas. Kejadian pembunuhan umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah bawah, yaitu mereka yang pada posisi transient poverty (kehidupan ekonomi rumah tangga di sekitar garis kemiskinan), bukan oleh mereka yang berada di lapisan atas (sejahtera) atau mereka yang berada pada situasi chronic poverty. Pada kelompok yang dikategorikan sebagai transient, mereka cenderung lebih mudah mengalami tekanan kejiwaan, karena mereka telah memiliki pilihan-pilihan dan aspirasi yang luas (seperti yang digambarkan oleh Piere Bourdeu sebagai ortodoksi) tetapi belum dapat dicapai. Buahnya adalah frustrasi yang tinggi.

Kedua, seperti yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam (1995), adalah akibat melemahnya modal sosial, terutama pada dimensi trust (rasa saling percaya), sense of efficacy (perasaan berharga), reciprocity (keimbalbalikan pertolongan dan pemberian), dan humanity (semangat kemanusiaan) berupa toleransi dan semangat menghargai manusia yang lain. Melemahnya keempat komponen modal sosial ini mengakibatkan masyarakat kehilangan tujuan dan arah kehidupan yang berpengharapan. Mereka juga terjebak pada situasi ketakutan dan kecemasan.

Ketiga, kebiadaban yang disebabkan oleh kegelapan tuntunan agama. Agama apa pun senantiasa memberikan tempat tertinggi kepada kemanusiaan. Nihil spectre homini admirabilius (tidak ada yang paling berharga selain penghormatan terhadap manusia) adalah serangkaian kata yang membahana pada saat awal Renaisans Eropa, dan itu berasal dari dan diilhami oleh ajaran agama. Di Indonesia, pertanyaan besar itu jarang dijawab serius. Apakah kita sebagai umat beragama merasa telah cukup untuk disebut sebagai manusia beragama, sementara kita cenderung mengabaikan kebiadaban: penghancuran lingkungan, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya yang berlangsung di depan mata. Biaya yang sangat mahal kemudian akan kita tanggung berupa melemahnya energi integratif kebudayaan.

Penutup

Dengan situasi tekanan ekonomi yang tinggi, rendahnya modal sosial, dan disorientasi peran agama, masyarakat Indonesia dewasa ini sesungguhnya tengah berada pada situasi yang tercerai-berai. Masyarakat yang tercerai-berai dan jatuh dalam kebiadaban (uncivilized society), menurut Lewis Hendry Morgan, mirip pola kehidupan barbarian society. Suatu situasi yang akan senantiasa merintangi terselenggaranya pembangunan dan upaya perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kejadian-kejadian dan penyebab determinannya sebetulnya telah berlangsung cukup lama dari suatu pemerintahan ke pemerintahan yang lain.

Tulisan ini bukanlah untuk dijadikan konsumsi kepentingan politik sesaat oleh kelompok mana pun menjelang pemilu, melainkan untuk menggugah semua pihak bahwa ada suatu penyakit besar yang tengah melanda masyarakat dan bangsa kita karena ulah kita semua. Tentu saja ini tidak akan dapat diselesaikan dengan janji-janji kampanye--pertumbuhan ekonomi, mengatasi pengangguran, dan mengurangi kemiskinan semata--tapi semua pihak dituntut lebih sungguh-sungguh merevitalisasi kebudayaan. Kita membutuhkan implementasi nyata untuk membawa kebudayaan bangsa kepada penghormatan terhadap manusia setinggi-tingginya yang menjadi nilai "ultimate" dari misi hidup manusia Indonesia di semua segmen masyarakat. Langkah nyata dan besar perlu kita lakukan. Dan kita merindukan konsep nyata dari partai peserta pemilu, mengenai jalan keluar mendasar dan sistemik untuk mengatasinya. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Opini/krn.20090206.155961.id.html

Tinggalkan Hobi Kampanye Sesaat

Baru saja ini tadi rumah saya didatangi oleh seorang perempuan yang mengaku ikut nyaleg di pemilu 2009 ini. Ya, biasalah. Bahasanya "mohon doa restu dan dukungannya". Yang mbikin saya agak anyel, dalam waktu beberapa menit dengan suara yang agak tertatih-tatih --karena memang tidak terbiasa berbicara di depan umum--dia berusaha mengantongi suara kami sekeluarga. Caleg yang datang kemarin lusa malah omonge diembel-embeli kata, "lillahi ta'ala, estu saya itu niat tulus ikhlas berjuang di jalan Allah, saya tidak mengharapkan apapun". Ngegombalnya boleh juga tuh…

Wah, kok begini ya caranya. Kalau begitu bisa-bisa dalam waktu selapan setelah mereka dilantik, negeri ini ndak karuan darikane. Bagaimana tidak, lha wong dia itu tetangga saya sendiri yang selama ini semua orang tahu kalau dia tidak mau berurusan dengan pengabdian masyarakat kok. Eh, sekarang malah nyaleg, kampanyenya pengen mengemban amanah rakyat.

Membangun nama itu tidak mudah. Kesalahan yang terjadi sudah puluhan tahun saja masih diingat orang. Sementara amal baik sedikit juga susah diingat orang. Makanya kita harus perbanyak ramal baik dulu dan diminimalkan perbuatan jahatnya agar kita punya nama di mata orang-orang sekitar kita, selebihnya urusan Tuhan. Bagi orang yang nyaleg kalau punya riwayat seperti itu kan bisa ndudah tabungan di masa-masa seperti ini, tidak harus klabakan nunjang palang kayak tikus dikejar kucing.

Menurut pengamatan saya, demi memenuhi kuota perempuan, banyak partai yang asal-asalan mencomot caleg perempuan. Lha itu, contohnya tetangga saya, bicara pada kami sekeluarga saja malah kata-katanya ngalor-ngidul serta grothal-grathul tidak karuan darikane. Sudah bisa dipastikan kalau besuk dia beneran jadi caleg kejadiane negeri ini kayak apa. Paling-paling juga kayak lagunya Iwan Fals, "wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur kalau siding soal rakyat . . . ". rakyat lagi yang jadi tumbal, bayar orang nganggur.

Jangan suka bawa-bawa nama Allah kalau sedang kampanye, nanti ndak kuwalat. Lagi pula niat ikhlas kok disiarkan, jadine ya malah riya. Kalau memang tidak mengharapkan apa-apa mbok ya ndak usah nyaleg. Biasa sajalah, bilang apa adanya. Kalau dari awal sudah jujur malah kami agak respek, tapi sedikit.

Bagi siapa saja yang ingin jadi apa saja, mari sejak awal kita membangan nama dan kepercayaan dengan memberikan yang terbaik buat orang lain. Toh kalau sebelum cita-cita kita tercapai sementara Allah berkehendak lain, setidaknya kita masih punya nama baik yang akan dikenang orang, sebagai tabungan akhirat tentunya. Jangan suka kampanya sesaat. Kampanya macam demikian misalkan ada hasil paling-paling juga cuma sesaat.

Sebagai bagian dari masyarakat kita juga harus tahu diri. Kita harus sering-sering "ngaca" biar kita paham diri kita dan seberapa besar kemampuan kita. Kalau memang kita tidak pantas jadi apa-apa ya jangan suruh orang menjadikan kita apa-apa.

Yang terakhir, bagi kita yang memiliki hak pilih, jangan sia-siakan suara kita untuk memilih seseorang yang memang tidak pantas dipilih, meskipun itu saudara ataupun tetangga kita sendiri. Tolong kasihani sedikit negeri ini, jangan sampai di hari esok dia carut-marut gara-gara kesalahan kita. Wallahu a'lam.

Penulis adalah guru SDN Wonorejo 02 , Kec. Pringapus, Kab. Semarang. Mahasiswa program Magister, Pascasarjana IAIN Walisongo.



http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=645&Itemid=1

Mantan Petinggi Militer Tanggapi Gosip Soal ‘ABS’

Mantan Petinggi Militer Tanggapi Gosip Soal ‘ABS’
Barangkali itu hanyalah penegasan dari Presiden agar TNI netral.
JAKARTA — Bekas Panglima TNI Jenderal (Purnawirawan) Endriartono Sutarto kemarin mengomentari isu “ABS” (asal bukan calon presiden S) yang diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu.

“Barangkali itu hanyalah penegasan dari Presiden agar TNI netral. Jika memang keterlibatan anggota TNI itu saat ini ada, tak mungkin Presiden malah mengemukakannya secara terbuka,” katanya seusai pertemuan empat petinggi TNI pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri di Wisma Nusantara, Jakarta, kemarin.

Keempat pensiunan jenderal itu adalah Endriartono, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana (Purn.) Bernard Kent Sondakh, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu, dan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn.) Chappy Hakim.

“Agenda pertemuan hanyalah untuk reuni,” kata Endriartono. Adapun mengenai netralitas TNI, Endriartono meminta tak perlu dikhawatirkan.

“Itu sudah kewajiban,” ujarnya. Sebelumnya, sempat tersebar kabar pertemuan itu sengaja dilakukan untuk membahas isu ABS, yang dikatakan Presiden Yudhoyono dalam rapat pimpinan TNI-Polri pekan lalu. Isu itu berkaitan dengan netralitas tentara dalam pemilihan umum.

Namun, Endriartono membantah anggapan itu. “Nggaklah, tidak ada hubungannya dengan itu.” Saat ditanya apakah saat ini ada anggota TNI aktif yang terlibat politik, Kent Sondakh menjawab, “Seharusnya tidak ada.” Apakah itu artinya mungkin ada yang terlibat? “Netralitas TNI saat ini semakin bagus, kok.”

Chappy menolak berkomentar soal ABS. Dia hanya mengatakan sejak dulu TNI Angkatan Udara selalu profesional. “Pos-pos kami pun kebetulan jauh sehingga kecil kemungkinan berinteraksi dengan politik,” ujarnya sambil tertawa ketika dihubungi.TITIS SETIANINGTYAS



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/headline/krn.20090206.156008.id.html

Atas Nama Politis atau Profesionalisme?

BANYAK kalangan menilai pergantian jajaran direksi Pertamina bernuansa politis. Maklum, pergantian dilaksanakan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.


Selain itu, insiden terbakarnya Depo Plumpang atau sering terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) belum terlalu kuat dijadikan alasan pergantian. Asumsi aroma politis itu cukup beralasan. Sebab, selama ini PT Pertamina dianggap sebagai lumbung basah, sumber penghasilan yang amat potensial. Siapa sosok yang duduk di jajaran top manajemen seolah-olah terkesan memiliki kepentingan.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa pergantian jajaran direksi ini sengaja dilakukan guna menyelamatkan agenda politik pihak tertentu. Direktur Eksekutif Refor- Miner Institute Priagung Rakhmanto misalnya melihat formasi direksi Pertamina yang baru masih mencerminkan kompromi berbagai kepentingan. ”Saya ragu, kalau seperti ini, akan ada perbaikan yang signifikan di Pertamina,” kata dia di Jakarta,kemarin.

Koordinator Pertamina Watch Khoiruddin menyebut bahwa alasan-alasan pemerintah untuk mengganti Direktur Utama (Dirut) Pertamina tidak cukup kuat.Alasan kelangkaan BBM dan terbakarnya Depo Pertamina Plumpang disebutnya mengadaada. Kelangkaan BBM hanya terjadi 3,8% dari semua wilayah distribusi sehingga ini belum menjadi cukup alasan. Mengenai kebakaran Depo Plumpang, menurut dia, bukan murni kesalahan Pertamina.

Sebab depo tersebut merupakan aset negara yang seharusnya bersama-sama dijaga oleh semua pihak, bukan hanya Pertamina. Khoiruddin pun menilai pergantian direksi ini berbau politis. ”Karena tanpa didasari evaluasi kinerja Pertamina. Sejak 2006 hingga kini Pertamina justru menunjukkan beberapa perkembangan positif,”paparnya. Toh, bukan hanya mereka yang meragukan pernyataan pemerintah bahwa pergantian direksi ini murni alasan profesionalisme.

Kenyataannya, cukup sering terjadi bongkar pasang direksi dalam perjalanan Pertamina. Sejak 1998,terjadi enam kali pergantian direksi, yaitu Soegijanto (9 bulan), Martiono (1 tahun 2 bulan), Baihaki Hakim (3 tahun 6 bulan) Ariffi Nawawi (11 bulan), Widya Purnama (1 tahun 7 bulan), Ari Soemarno (sejak 2006), serta kini terakhir Karen Agustiawan yang dilantik kemarin. Seringnya bongkar pasang jajaran top manajemen Pertamina tak urung membentuk opini umum di masyarakat.

Mereka menilai unsur politis lebih kental dalam pergantian ketimbang kepentingan bisnis untuk mengembangkan perusahaan pelat merah itu. Mendapati fakta terpilihnya Karen Agustiawan sebagai Dirut Pertamina,Khoiruddin mengingatkan tentang gangguan-gangguan tangan politis yang mungkin bisa memengaruhinya.”Seberapa lama Karen bisa bertahan duduk di kursi pimpinan Pertamina?”ujar Khoiruddin.

Keraguan itu bukan untuk menyangsikan kemampuan profesional Karen, melainkan daya tahannya dalam melewati semua gangguan politis atas kinerjanya. Pemerintah membantah keras ada titipan politik dalam pergantian Dirut Pertamina ini.Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pertimbangan utama dalam memilih Dirut Pertamina lebih pada sisi teknis. Karen terpilih karena pertimbangan prestasinya semasa menjadi direktur hulu.

Sementara Omar S Anwar dipilih sebagai wakil dirut karena pertimbangan kemampuannya di bidang keuangan dan skill manajerial lain. Ini hampir mirip modelnya dengan pemilihan Dirut dan Wadirut PLN. Formasinya serupa. ”Kita departemen ini tidak melihatnya dari politis. Kita melihat dari itu keperluan kita sebagai departemen teknis,” kata Purnomo.

”Kita bukan departemen politik. Kita departemen teknis,”imbuhnya. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil pun ikut membantah ada bau politis dalam pemilihan Karen. ”Siapa bilang titipan? Tidak!” tegasnya. Dia menjelaskan, alasan pergantian itu karena perusahaan migas milik negara itu perlu perubahan. Dia menilai pergantian itu merupakan hal yang wajar. ”Kalau soal timing,kita tidak mengganti orang setiap saat. Misalnya kita menganggap perlu adanya peremajaan,” ujarnya.

Evaluasi pun akan dilakukan tahunan atau tengah tahunan untuk menilai kinerja mereka. Dia mengakui, yang ikut dalam fit and proper test calon Dirut Pertamina ada tujuh kandidat. Namun, setelah mengikuti serangkaian tes dan wawancara, tim yang terdiri atas Menteri Negara BUMN,Menteri ESDM,Menkeu, dan Komisaris Pertamina itu memutuskan mengirimkan dua nama––Karen Agustiawan dan Omar S Anwar––ke Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Fit and proper test yang dilakukan pada Sabtu (31/1) itu membutuhkan waktu sekitar enam jam yang dimulai pukul 17.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Dia mengungkapkan, dalam proses seleksi yang dilakukan tim, baik fit and proper testdan TPA bersih dari intervensi politik.”Tidak ada karena pertimbangannya yang terbaik untuk Pertamina,” tandasnya. Bantahan ada unsur politis dalam pergantian juga muncul dari Istana.

Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan, Presiden SBY selama ini tidak pernah memanggil Karen untuk pemantapannya sebagai pengganti Ari Sumarno. Hatta menjelaskan, proses penggantian direksi Pertamina kali ini sudah mengikuti prosedur, yakni fit and proper testdan pemilihan oleh tim penilai akhir yang dipimpin oleh Presiden SBY. ”Jadi tidak ada istilah drop-dropan, semua pakai proses,”ujarnya. Menanggapi pro-kontra aroma politis pemilihan dirinya, Karen Agustiawan dengan tegas menyatakan tidak ingin diintervensi dalam memimpin Pertamina.

”Kalau melaksanakan tugas untuk perbaikan Pertamina dan keutuhan negara, saya minta kewenangan penuh,” tandasnya. Dia menegaskan, jika ada intervensi politik terhadap kinerjanya hingga merugikan negara atau perseroan yang dipimpinnya, hal itu tidak akan dilayani. Senada dengan Karen, selaku Wadirut terpilih Omar S Anwar juga membantah ada nuansa politis dalam pemilihan dirinya.Menurut dia, secara organisasi Pertamina sudah memenuhi kriteria sebagai perusahaan yang mengedepankan asas good corporate governance.

Mulai jajaran pemegang saham, komisaris, pelaksana serta pengawasan yang dilakukan oleh banyak pihak. Karena itu,kecil kemungkinan intervensi politik dengan mudah dilakukan untuk memengaruhi kinerja Pertamina. ”Tidak ada titipan politik, itu profesional,”bantahnya. Anggota Komisi VII DPR Alvin Lie meminta berbagai pihak untuk tidak menghakimi mereka sebelum bekerja. Pasalnya, kinerja direksi baru bisa dinilai setelah enam bulan hingga satu tahun.

Terpenting, dia menegaskan, para direksi dan komisaris bisa menjaga diri agar tidak hanyut dalam kepentingan pejabat maupun partai mana pun. ”Mereka harus komit kepada kepentingan negara,”ucapnya. Wakil Ketua Komisi VII DPR Ahmad Farial pun berharap pergantian itu tidak dijadikan komoditas politik oleh pihak-pihak tertentu menjelang Pemilu 2009. Tidak perlu muncul kecurigaan Pertamina dijadikan sumber dana menjelang Pemilu 2009.

”Pertamina sudah memiliki sistem yang baku, yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan,”tandas dia. Farialberharap,Pertamina diberi kebebasan untuk bisa menjadi perusahaan besar kelas dunia dan tidak diintervensi oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun. (j erna/abdul malik/ islahuddin/rarasati syarief/ahmad baidowi)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211341/38/

Pergi dan Pulang

PERNAHKAH Anda sadari bahwa rute seluruh aktivitas kita sehari-hari adalah perjalanan ”pergi dan pulang”? Pagi-pagi ada yang meninggalkan rumah untuk ke sekolah, kantor, pabrik, pasar, dan sekian banyak tempat lain.


Lalu siang atau sore hari, semuanya ramai-ramai pulang ke rumah. Sekalisekali silakan berimajinasi, Anda terbang bagaikan Batman berputar-putar di atas Kota Jakarta dan sekitarnya di pagi hari. Anda akan melihat gerakan massal manusia yang keluar dari rumahnya bagaikan barisan semut yang panjangnya puluhan kilometer keluar dari lubang tanah, lalu bergerak serentak menuju tempat kerja dan sekolah. Begitu beragamnya alamat serta tujuan mereka.

Namun semuanya disatukan oleh sebuah aktivitas, yaitu bergerak ”pergi” dan kemudian bergerak ”pulang”. Prosesi masif pergerakan manusia penduduk Jakarta dan tentu kota besar lain itu telah berlangsung puluhan tahun. Jumlahnya kian tahun kian besar sehingga menambah kemacetan. Sarana untuk kegiatan ”pulang dan pergi” kini juga semakin berkembang. Dulu manusia pergi meninggalkan gua menuju ladang atau pergi berburu hanya berjalan kaki. Lalu muncul gagasan baru, mereka memanfaatkan jasa kuda, unta, kerbau, dan hewan lain untuk dinaiki.

Dengan kemajuan teknologi, manusia modern berhasil menciptakan mobil. Untuk mengenang jasa hewan yang pernah dinaiki oleh nenek moyang kita, mobil-mobil itu diberi nama seperti Kijang, Kuda, Jaguar, atau Panther. Ada lagi jenis alat transportasi lain, yaitu pesawat terbang dan kapal laut.Semuanya memiliki fungsi utama untuk mempermudah kegiatan ”pulang dan pergi” dengan beragam muatan yang dibawa.

Menikmati Perjalanan

Ketika Anda membaca kolom ini pun pasti dalam situasi entah perjalanan pergi atau pulang, atau bersiap hendak pergi, atau baru saja pulang.Ketika sore atau malam hari tiba di rumah, kita pasti memiliki pengalaman, penilaian,dan kesan,apakah perjalanan hari ini indah atau tidak, nikmat atau menyengsarakan, bermakna atau sia-sia, menguntungkan atau merugikan, dan sekian penilaian lain?

Namun mungkin sekali ada yang tidak sempat merenung membuat refleksi atas apa yang terjadi hari ini. Ada yang sudah jenuh dengan kesulitan hidup, lalu berdamai dengan kesulitan itu.Ada lagi yang merasa hidupnya datar-datar saja tanpa problem, lalu semuanya dipandang biasa saja, tidak perlu melakukan refleksi dan introspeksi.

Hidup itu dijalani bagaikan air mengalir, entah airnya butek ataukah jernih, yang penting ikut saja kontur tanah dan parit. Namun, betulkah hidup manusia bagaikan air? Pasti tidak sama karena manusia hidup dengan perasaan, keinginan, imajinasi, cita-cita, rencana, dan manusia mesti bereaksi terhadap situasi macam apa pun yang dijumpai dalam perjalanannya.Reaksi itu akan sangat disadari ketika yang dihadapi adalah problem dan kesulitan yang mengganggu kelancaran aktivitas ”pulang dan pergi”.

Contoh sederhana, ketika jalanan lancar, kita akan biasa saja.Namun begitu jalanan hujan, macet dan banjir,reaksi emosional pasti muncul seketika. Begitu pun ketika terjadi musibah yang menimpa diri, perjalanan menjadi tidak biasa karena muncul kelainan. Pertanyaan, kapan kita merasakan keindahan setiba di rumah? Kapan kita merasa capai, sedih, dan murung sesampai di rumah?

Pasti jawabannya akan beragam.Namun secara garis besar, jika kendaraannya bagus, perjalanan lancar,target yang dikehendaki tercapai, berjumpa teman seperjalanan yang cocok untuk berbincang, lalu pulang membawa oleh-oleh untuk keluarga di rumah, pasti kita merasa senang melewati hari-hari itu. Terlebih lagi sampai di rumah sudah ditunggu keluarga dan teman-teman tercinta, lalu kita pun membawa oleh-oleh, maka suasana akan tambah membahagiakan.

Pertanyaan lebih lanjut, bukankah hidup kita ini juga sebuah paket ”pergi dan pulang”? Semua kita dalam situasi transisi, bergerak maju dari detik ke detik, menit ke menit, hari ke hari, tahun ke tahun, yang berujung pada titik akhir yang merupakan batas absolut untuk mengakhiri jalan dan rute dunia, lalu kembali ke alam lain. Kembali ke kampung akhirat. Semua penghuni bumi ini tengah berjalan di atas lorong waktu yang tidak kenal mundur. Setiap saat waktu mendorong kita bergerak ke depan, langkah demi langkah, sampai take off dijemput pesawat malaikat maut.

Setiap menit ada jutaan anak manusia keluar dari gua rahim sang ibu, menambah panjang dan meriah konvoi yang berjalan menuju rumah Ilahi yang jauh dan mesti melewati gua alam kubur untuk meneruskan lagi perjalanan ”pergi dan pulang”. Secara nalar, kita tidak tahu, berangkat dari mana dan mau pulang kembali ke mana? Orang yang tidak jelas dan yakin asal-usul rumahnya pasti akan bingung dalam rute perjalanannya.

Secara lahiriah, hidup ini bukan pergi dan pulang, melainkan berawal dari peristiwa kelahiran, lalu diakhiri dengan peristiwa kematian. Kalau toh ada fase kehidupan sebelum kelahiran,nalar hanya mampu menelusuri ke belakang dan mentok sampai pada alam rahim ibu. Begitu pun kalau dikatakan di depan masih ada perjalanan lagi, nalar hanya sampai pada pengamatan dan pembuktian bahwa jasad manusia akhirnya hilang ditelan tanah.

Adalah ajaran dan keyakinan agama yang mengatakan, kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tuhan adalah sangkan lan paraning dumadi. Tuhan bagaikan Sang Ibu yang Maha Kasih, Maha Rahim, yang selalu rindu dan menunggu kepulangan ”anak-anak-Nya”, yang kasih-Nya jauh melebihi kasih ibu kita. Ibarat pulang ke rumah, kita akan bergairah kalau yakin bahwa kita memiliki kerinduan dan hubungan cinta kasih dengan Tuhan. Kita tidak takut berjumpa Tuhan karena kita justru ingin membawa pulang ”oleh-oleh” kebajikan dan cinta kepada-Nya.

Perjalanan pulang ini juga akan terasa indah jika kita menemukan teman seperjalanan yang baik, saling menolong untuk memperbanyak bekal, serta teman berbincang sepanjang jalan kehidupan. Kita pasti punya pengalaman otentik, kapan sebuah perjalanan menimbulkan kenangan yang indah dan kapan sangat sakit kalau dikenang. Bayangkan, saat ini kita tengah berjalan kembali ke rumah Ilahi di akhirat.

Maka mari ciptakan kenangan yang indah ketika nanti kita kenang dan baca kembali serangkaian episode hidup kita. Jangankan sampai di akhirat nanti, saat ini pun ketika kita menengok ke belakang, terbuka lembaranlembaran hidup yang indah dibaca, ada pula yang bikin malu untuk dikenang kembali. Maka muncul istilah tobat, yang artinya kembali pada orbit yang lurus dan benar.

Jadi, ketika kita bekerja membanting tulang untuk membeli rumah mewah dan kendaraan,misalnya,sesungguhnya rumah tak lebih sebagai tempat transit sementara. Pada pagi hari kita pergi, sore hari pulang, dan itu berlangsung puluhan tahun. Yang abadi dan akan kita bawa pulang untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yang Tercinta, yang selalu kita sebut asma-Nya setiap waktu, adalah bingkisan amal saleh yang terekam dalam disket spiritual.

Iman dan amal itulah yang menjadi milik kita, yang senantiasa melekat, yang nanti akan di-print-out, sedangkan yang lain akan terlepas dan dilepas. (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211342/38/

Atlas Nasional Indonesia Pertama Diluncurkan

KARTOGRAFI
Atlas Nasional Indonesia Pertama Diluncurkan

Jakarta, Kompas - Indonesia akhirnya memiliki atlas nasional resmi yang memuat berbagai informasi geografis. Itulah atlas resmi pertama sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda membuatnya pada tahun 1938.

”Mungkin masih belum sempurna, tetapi sebagai awal sudah baik,” kata Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Rudolf W Matindas pada peluncuran resmi di Jakarta, Kamis (5/2). Sejumlah lembaga pemerintah nondepartemen terlibat menyusun atlas tahun 2007-2008 itu.

Atlas nasional berisi kumpulan peta tematik deskriptif, gambar, foto, tabel, dan citra satelit yang menghasilkan informasi fenomena, potensi, dan sumber daya, khususnya di pulau-pulau besar. Sebagian besar peta menggunakan peta rupa bumi berskala 1:1.000.000.

Dari tiga volume yang dibuat, baru diluncurkan volume I tentang fisik dan lingkungan alam. Temanya meliputi iklim, geomorfologi, gunung api, kelautan, penutup lahan, rawan bencana banjir, longsor, tsunami, dan kawasan konservasi.

Atlas nasional volume II rencananya berisi potensi dan sumber daya alam yang baru akan selesai disusun tahun 2009. Disusul atlas volume III berisi sejarah, wilayah, penduduk, budaya, dan bahasa.

Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengakui penerbitan Atlas Nasional Indonesia memang terlambat.

”Tidak masalah. Yang penting segera terbit volume II dan III, dan jangan lupa revisi volume I,” katanya.

Kusmayanto juga meminta agar dibuat versi digital yang diunggah pada situs Bakosurtanal karena gaya hidup warga yang terus bergerak.

Fungsi strategis

Keberadaan atlas nasional berperan strategis. Ketersediaan peta negara, bangsa, dan aset menentukan jati diri bangsa, selain didukung data-data sejarah dan kependudukan.

”Tanpa peta-peta itu, tidak bisa dibuat peta geostrategi dan turunannya, seperti geopolitik dan geoekonomi,” kata mantan Manteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dorodjatun Kuntjoro- Jakti. Ia mengusulkan atlas sumber daya karya manusia, seperti waduk dan infrastruktur lainnya.

Rencananya, atlas nasional volume I akan dibagikan kepada berbagai departemen, kedutaan besar, lembaga pendidikan, dan seluruh kabupaten. Melalui atlas nasional tersebut, para kepala daerah akan mengetahui informasi geografis daerahnya, di antaranya tutupan lahan, sebaran penduduk, iklim, potensi banjir, longsor, dan tsunami.

Harapannya, pemerintah daerah mampu mengambil kebijakan berkelanjutan. ”Ini penting. Seberapa banyak pihak yang minta pemekaran wilayah itu tahu informasi geografis di wilayahnya,” kata Pemimpin Redaksi Majalah National Geographic Indonesia Tantyo Bangun.

Di tengah beberapa kekurangan, keberadaan Atlas Nasional Indonesia diharapkan menumbuhkan kesadaran spasial dan orientasi ruang bagi masyarakat yang selama ini masih rendah.

Kini, Bakosurtanal sedang membangun web khusus bagi atlas nasional yang ditargetkan selesai pada akhir Februari 2009.

Yang berminat memiliki Atlas Nasional Indonesia dapat menghubungi Pusat Jasa dan Informasi Bakosurtanal atau menghubungi 021-8764613. (GSA)



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/06/00444029/atlas.nasional.indonesia.pertama.diluncurkan

Ancaman Kebebasan Berinternet di Thailand

D IDORONG rasa frustrasi melihat bias politik dan pengaruh uang dalam media cetak Thailand, Chiranuch Premchaiporn lalu ikut merintis berdirinya sebuah situs berita pada 2004 untuk mencoba menyaring pengaruhpengaruh negatif tadi.
Untuk sesaat usahanya berhasil. Ribuan orang masuk ke situsnya yang beralamat prachatai.com setiap hari. Di situ mereka bisa membaca berita yang tak pernah dimuat di surat kabar. Pengunjung juga bisa menyampaikan pendapatnya melalui forum situs yang selalu ramai.

Namun, situasi berubah setelah terjadi kudeta pada 2006 yang menumbangkan pemerintahan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Kemudian menyusul era kekisruhan politik yang berlangsung dua tahun sesudahnya. "Sehabis kudeta, saya selama sebulan dihubungi terus oleh petugas departemen komunikasi dan teknologi. Mereka memperingatkan soal sejumlah komentar yang muncul di forum situs," ungkap Chiranuch kepada AFP.

Sejak saat itu, perempuan itu telah dipanggil polisi delapan kali untuk menjawab pertanyaan seputar isi situsnya. Sekitar 20 halaman di situsnya lalu ditutup oleh pemerintah dalam lima bulan terakhir.

Menurut para aktivis demokrasi, merebaknya blog dan forum diskusi internet tentang kisruh politik di Kerajaan Thailand telah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Ini mendorong lahirnya usaha penyensoran terhadap suara-suara yang dinilai membangkang.

Pemerintah bentukan kudeta itu telah menerbitkan sebuah aturan penggunaan internet pada 2007. Tampaknya rezim terbaru di bawah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva pun ikut melaksanakannya dengan penuh semangat. Lebih dari 4.800 halaman situs ditutup sejak Maret 2008 karena dianggap berisi penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Belum lama ini, penulis Harry Nicolaides asal Australia ikut dihukum penjara tiga tahun karena didakwa menghina Raja Bhumibol Adulyadej dan putra mahkota Maha Vajiralongkorn di dalam novelnya.

Peran kerajaan di kancah politik Thailand memang tetap menjadi isu paling sensitif. Hanya sedikit koran lokal yang berani membahasnya. "Media Thailand sekarang sudah sepenuhnya dijinakkan. Mereka tidak berani melaporkan kasus lese majeste (penghinaan terhadap raja) atau setiap suara antipemerintah. Jadi, orang berusaha mengekspresikan pendapat melalui internet. Inilah yang berusaha disetop pemerintah," ujar profesor ilmu politik Giles Ji Ungpakorn.

Saat ditanya soal sensor, Abhisit menyatakan Thailand bukan satu-satunya negara di dunia yang menutup situs berisi berita atau pendapat yang bernada ofensif. Sementara itu, departemen komunikasi Thailand telah merancang 'ruang khusus' untuk memonitor internet. (M Anwar S/I-3)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/06/ArticleHtmls/06_02_2009_010_009.shtml?Mode=1

Peneliti Namru-2 Minta Izin Tinggal Diperpanjang

Peneliti Namru-2 Minta Izin Tinggal Diperpanjang
JAKARTA -- Sejumlah pegawai laboratorium Naval Medical Research 2 (Namru-2) meminta pemerintah Indonesia memperpanjang izin tinggal bagi para peneliti Amerika. Para pegawai yang tergabung dalam Asosiasi Pegawai Indonesia di U.S. Namru-2 itu menyampaikan hal tersebut kepada Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.

Menurut Erlin Listiyaningsih, perwakilan pegawai, kegiatan penelitian laboratorium banyak yang terganggu. Sejumlah penelitian dan kerja sama tertunda karena menunggu pembahasan dan penandatanganan nota kesepahaman keberadaan Namru-2. "Banyak permintaan pelatihan dari daerah yang tidak bisa dipenuhi," ujar Erlin dalam pernyataan tertulisnya.

Persoalan Namru-2 masih menunggu negosiasi antara Indonesia dan Amerika. Dalam rapat dengar pendapat di DPR pada Juni tahun lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menginginkan laboratorium itu ditutup. Sebab, kerja sama itu tidak adil bagi pihak Indonesia.

Perwakilan pegawai menilai, selama proses renegosiasi masih berlangsung, izin tinggal dan bekerja sebagai peneliti tetap diberikan. Namru ingin pemerintah tetap mempertimbangkan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam kerja sama ini. Kejelasan status Namru-2 diperlukan agar tidak mengganggu kelangsungan program penelitian kesehatan.

Ketua Komisi Pertahanan DPR Theo L. Sambuaga mengatakan akan menyampaikan permintaan itu kepada pemerintah melalui Menteri Luar Negeri serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Theo mendukung kerja sama pemerintah dengan Amerika dilanjutkan, tapi ia meminta perjanjiannya diperbaiki agar saling menguntungkan. "MOU-nya diperbaiki untuk menutup celah-celah," katanya.

Hal yang harus diperhatikan, kata Theo, antara lain soal lokasi laboratorium agar jauh dari permukiman penduduk. Kerja sama juga perlu melibatkan TNI karena Namru-2 di bawah militer Amerika. Selain itu, para penelitinya harus dipastikan tidak menggunakan visa diplomatik yang memiliki imunitas. Aqida Swamurti



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Nasional/krn.20090206.155971.id.html

Malaise Peran Ulama

”Baru saja saya melihat Metro TV memfasilitasi tontonan anak-anak muda muslim ’mengolok-olok’ ulama….”


Demikian short message service (SMS) salah seorang sahabat setelah menyaksikan Todays Dialogue (3/2) tentang Obral Fatwa Haram MUI.Sebenarnya, dialog tentang kontroversi fatwa MUI telah digelar di banyak forum dan media massa. Sebagian masyarakat memberikan apresiasi, sebagian lain tidak setuju.

Di antara yang tidak setuju adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin.

KH Hasyim Muzadi tidak setuju terhadap fatwa MUI yang mengharamkan merokok. Menurutnya, merokok hukumnya hanya makruh, tidak haram. Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah tidak setuju dengan fatwa golput. Din Syamsuddin menilai fatwa tentang haramnya golput tidak diperlukan dan terlalu jauh memasuki wilayah politik.

Bukan Tradisi Baru

Di dalam sejarah intelektual muslim, dialog adalah tradisi positif yang berkontribusi besar dalam pengembangan pemikiran dan khazanah ilmu pengetahuan.Tradisi dialog memiliki tiga landasan normatif. Pertama, Alquran melarang muslim untuk taklid: mengikuti suatu paham, pendapat atau ajaran tanpa dasar-dasar pemahaman yang kuat.

”Janganlah mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya dengan baik....”(Qs Al-Isra,17: 36). Kedua, Nabi Muhammad mendorong kaum muslim untuk berijtihad. Lantaran begitu pentingnya makna ijtihad,Nabi pun menegaskan ”... jika seseorang berijtihad dan (ternyata) salah, dia mendapatkan satu pahala dan jika ijtihadnya benar, dia memperoleh pahala ganda.

” Karena ada kemungkinan salah,hasilhasil ijtihad baik berupa fatwa atau yang lainnya perlu dikaji dengan saksama. Munculnya berbagai mazhab di dalam Islam seperti Maliki, Hanafi, Syafii, Hambali disebabkan adanya perbedaan pendapat atau ijtihad di antara para ulama tersebut.

Ketiga,perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang terlarang. Sepanjang tidak dilandasi permusuhan dan kebencian,perbedaan pendapat (ikhtilaf) justru merupakan rahmat.Imam al-Ghazali (1.058–1.111 M) menulis buku Tahaful al-Falasifah yang mengkritik keras pendapat dan sikap para filosof.Menjawab kritik Al- Ghazali,Imam Ibn Rusyd (1.126–1.198 M) menulis buku Tahafut Tahafut al- Falasifah.

Sikap kritis para ulama diekspresikan dengan santun, tidak merasa dirinya paling benar dan tidak menghakimi. Karena kesalehan dan kualitas pribadinya, para ulama menyikapi kritik secara wajar. Bahkan, mereka mempersilakan umat untuk mengkaji ulang dan mengikuti pendapat ulama lain jika memang lebih tepat.Imam Syafii berkata:

”Jika ada hadis yang lebih kuat dari apa yang saya rujuk, itulah mazhabku. ”Walaupun banyak dikritik, wibawa dan karisma para ulama tidak pudar.Karya-karya mereka tak lapuk oleh waktu, tak lekang oleh zaman, terus-menerus dikaji dan diikuti.

Tantangan Modernitas

Bukan hal baru jika sekarang ini berbagai kalangan mulai bersikap kritis terhadap fatwa MUI secara berani dan terbuka.Sikap kritis tersebut bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, masyarakat tidak setuju dengan isi dan waktu dikeluarkannya fatwa. Dalam waktu tiga tahun terakhir, MUI sudah mengeluarkan sekitar 50 fatwa.

Sebagian besar fatwa seperti haramnya terorisme dan bom bunuh diri, bunga bank, pembajakan karya cipta tidak mendapatkan penolakan. Bahkan, fatwa tentang halalnya aborsi bagi wanita yang diperkosa juga mendapat d u k u n g a n luas.Hanya beberapa fatwa yang menjadi polemik dan perdebatan publik.

Fatwafatwa tersebut antara lain tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme; Ahmadiyah; merokok, golput, dan yoga. Karena itu,masyarakat lebih melihat materi fatwa, bu-kan lembaga yang mengeluarkannya. Kedua, kemungkinan karena masyarakat tidak membutuhkan fatwa.

Dengan kedalaman ilmunya mereka bisa melakukan ijtihad mandiri (munfarid).Atau, mereka mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh organisasinya. Misalnya, Majelis Tarjih bagi warga Muhammadiyah atau Syuriah bagi warga NU. Ketiga,mungkin karena masyarakat tidak percaya lagi kepada MUI.

Masyarakat mengabaikan fatwa MUI karena kredibilitas, citra, dan rekam jejak yang memudar.Laporan Transparency International yang mengindikasikan adanya korupsi di MUI,misalnya, bisa menjadi preseden buruk.Kelembagaan MUI yang tergantung pada bantuan pemerintah menimbulkan kesan lembaga keagamaan ini tidak independen.

Sangat kecil kemungkinan fatwa-fatwa MUI dipesan pemerintah atau kelompok tertentu. Tetapi, bagaimana pun MUI harus mengeliminasi dan menghapus penilaian negatif ini dengan langkah dan fatwa yang arif. Paraulama sebagai pribadi dan MUI sebagai lembaga hendaknya bisa menjadi teladan.

Keempat,mungkin karena masyarakatyangberubah. Dalammasyarakat modern, peran tokoh dan lembaga keagamaan cenderung melemah. Ulama tidak lagi dianggap sebagai great person, figur karismatik yang secara personal dan kultural sangat dihormati. Secara sosiologis, ulama tidak lagi menempati strata utama dalam masyarakat.

Di tengah kehidupan yang serbapragmatis, pemimpin formal seperti pejabat pemerintah,ketua partai politik atau direktur perusahaan akan lebih dihormati.Menurut Keith A Robert (1990), pemimpin karismatik akan dihormati dalam masyarakat yang steady.

Dalam masyarakat ini nilai-nilai budaya diterima dengan baik karena sangat sesuai dengan kebutuhan. Di tengah berbagai kesulitan, mereka akan tetap bertahan dan komit dengan nilai-nilai budaya. Masalahnya, masyarakat sekarang tidak lagi steady. Masyarakat berada pada tataran distortion di mana nilai-nilai budaya, tradisi, dan agama mengalami guncangan hebat (wobble).

Dalam situasi demikian, malaise peran ulama baik secara pribadi maupun kelembagaan tidak bisa dihindari. Perihal malaise ini, Nabi Muhammad memperingatkan, ”Akan datang suatu masa di mana orang yang bodoh dijadikan pemimpin. Mereka sendiri sesat dan menyesatkan orang lain.” Para ulama memang perlu segera berbenah dan memperbaiki diri. Jika tidak, peringatan Nabi Muhammad tersebut akan benar-benar terjadi.(*)

Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and
Cooperation Among Civilizations (CDCC),
Jakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211302/

Uskup Penolak Holocaust Diminta Ubah Pendapat

Uskup Penolak Holocaust Diminta Ubah Pendapat
ROMA -- Vatikan kemarin mendesak Uskup Richard Williamson, yang menolak peristiwa holocaust, mengubah pendapatnya agar bisa diterima di kantor Gereja Katolik Roma.

Dalam pernyataan tertulis, Vatikan menyatakan komentar Williamson tersebut tidak diketahui oleh Paus Benediktus XVI ketika ia mencabut dekrit pengucilan terhadap uskup asal Inggris itu dan tiga uskup lain pada bulan lalu.

Pernyataan kontroversial Williamson, 67 tahun, muncul dalam wawancara khusus yang dilansir stasiun televisi Swedia pada 22 Januari, sehari setelah dekrit pengucilan dirinya dicabut oleh Paus, namun dua hari sebelum keputusan itu diberitakan ke publik.

Ia membantah tudingan tentara Nazi Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler menggunakan gas beracun untuk menghabisi jutaan warga Yahudi selama Perang Dunia II. Ia bahkan menyebutkan korban Yahudi yang tewas di kamp penahanan hanya 200-300 ribu, bukan 6 juta seperti yang diketahui selama ini.

Kontroversi itu menimbulkan tekanan dan kecaman dari kalangan Yahudi dan Katolik. Bahkan Kanselir Jerman Angela Merkel mengecam Paus Benediktus karena dianggap bimbang dalam menangani kasus Williamson tersebut. Ahli teologi liberal Jerman, Hermann Haering, bahkan menuntut Benediktus segera mundur dari jabatannya.

Namun, juru bicara Vatikan, Federico Lombardi, membantah tuduhan itu. Ia mengingatkan pernyataan Paus pada 28 Januari soal solidaritasnya pada korban holocaust. “Shoah (holocaust) seharusnya menjadi peringatan bagi orang-orang yang lupa, membantah, dan menguranginya,” katanya, mengutip Paus. Jumat pekan lalu, Williamson, yang menetap di Argentina, mengungkapkan penyesalannya. AFP | GUARDIAN | FAISAL ASSEGAF



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Internasional/krn.20090206.155956.id.html

Juru Tafsir kebudayaan Jawa

Juru Tafsir kebudayaan Jawa
“Skenario Illahi memang tidak dapat diduga. Tampaknya Tuhan memang menghendaki saya akhirnya berbahagia di tanah Jawa,” aku Romo Zoetmulder pada R Fajri dari Tempo, 8 tahun sebelum kematiannya.

Pengakuan di atas, sesungguhnya lebih mencitrakan betapa rendah hati sosok pemerhati budaya Jawa ini. Padahal, kehadirannya di tanah Jawa lebih membahagiakan penduduk negeri ini. Dialah tokoh yang sepanjang hidupnya suntuk mempelajari bahasa Jawa, dan selama lebih dari 30 tahun berkonsenterasi penuh demi melahirkan kamus lengkap berbahasa Jawa Kuno.

Pengabdian yang luar biasa, yang hanya muncul dari rasa kecintaan semata.

Dan cinta itu, ternyata datang dari sebuah pertemuan yang biasa.

Saat sampai di Jawa tahun 1925, ia masuk novisiat Yogyakarta. Itulah kala pertama ia belajar bahasa Jawa dari teman seangkatannya seperti Martewordoyo dan Pusposuwarto. Selepas kuliah, menjelang sore, biasanya ia akan mengajar ke desa-desa, berkendara sepeda. Wilayah pengajaranya adalah desa Sleman.

“Saya mengajarkan agama sambil duduk di tikar, dikitari para penduduk. Dalam pertemuan semacam inilah saya manfaatkan untuk belajar bahasa Jawa, dan menikmati tembang-tembang Jawa,” kenangnya.

Dari kebiasaan itulah, pelan tapi pasti, rasa cintanya pada bahasa Jawa tumbuh.

Selalu berbahagia di Jawa

Petrus Josephus Zoetmulder lahir di Utrecht Belanda, 29 Januari 1906. Tapi, dalam beberapa kesempatan, ia juga acap memakai nama Artati, padanan kata zoet yang berarti manis, atau Resi Ciptoning, nama yang ia pakai saat menyelesaikan studi Teologi di Maastricht.

Ayahnya adalah insinyur di Delft, dan ibunya adalah pemain piano profesional, yang menurunkan bakat musik padanya. Tapi, berbeda dari ibunya, Zoet malah lebih menyukai memainkan biola. Sejak kecil, Zoet telah bercita-cita menjadi imam. Tak aneh. Keluarganya tercatat sebagai katolikus yang taat. Dua pamannya adalah pastor, sedang bude dan bibinya menjadi suster di Afrika dan Suriname. Kelak, anak sulung Zoet pun menjadi pastor.

Karena telah terbiasa membaca, saat masuk SD Lagere School 1912, dia tampil menonjol, terutama dalam ilmu bahasa, sejarah dan agama. Ketika melanjutkan ke Gymnasium Kanisius College, cita-citanya untuk menjadi imam kian menguat. Zoet kemudian masuk ke Novisiat Serikat Yesus, pendidikan awal untuk Imam Jesuit, di bawah bimbingan Pater P Willekens. Pembimbingnya itu jugalah yang kemudian menugasi ia bermisi ke Jawa, 1925.

1928, Willekens menyusul ke Jawa, dan meminta Zoet untuk belajar studi Kebudayaan jawa pada Dr CC Berg, yang saat itu menetap di Solo.

“Ternyata tugas ke Jawa, adalah skenario dia untuk membuat saya mempelajari budaya Jawa. Itu yang ikut mengubah takdir saya,” ingatnya.

1931, Zoet lulus dengan predikat cumlaude, dan bersamaan dengan itu ditahbiskan sebagai calon pastor di Girisanta, Ungaran, Semarang.

7 Desember 1933, ia pun lulus sarjana Sejarah Jawa dan Purbakala dari Universitas Leiden. Gelar yang amat menonjol karena diberikan oleh CC Berg dan Snouck Hourgronje, ahli Jawa dan Islam yang tak terbantahkan reputasinya.

Tak puas dengan gelar itu, Zoet melanjutkan studi doktor. Dan 30 Oktober 1935, ia meraih gelar doktor cumlaude dengan disertasi “Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur”, yang 50 tahun kemudian diterbitkan Gramedia dalam versi terjemahan, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa.

Tapi, selalu lulus cumlaude tak menjamin Zoet untuk lulus ujian mengambil SIM, sekitar tahun 1953. “Hal itu sampai ditulis wartawan Kedaulatan Rakyat, ada profesor yang tak lulus ujian rijbewijs, mengambil SIM, hahhaa....”

Saat Jepang masuk Indonesia 1942, Zoet termasuk warga Belanda yang ditahan. Tapi, dia beruntung, selama ditahan, buku dan pena masih boleh ia bawa. Saat dipindahkan ke penjara Cimahi, ia terpaksa menyeludupkan serat Adiparwa suntingan Dr HH Joynboll. Zoet berusaha menerjemahkn buku itu, dan tahun 1950, atas bantuan Poedjawiatna, buku setebal 267 halaman itu terbit dengan judul Bahasa Parwa, yang kelak menjadi acuan dasar mahasiswa studi Jawa Kuno.

1945, ia lolos dari tahanan interniran Baros, dan mulai mengajar di UGM. Dan 1950, berdasarkan SK Mendikbud, ia diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra Pedagogik, Filsafat UGM.

1955, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Sastra UGM, dan menanggalkan kewarganegaraan Belanda. Sehari-hari tugasnya menjadi lebih berat karena harus mewakili Dekan Fakultas Sastra Prof Dr RM Ng. Poerbatjaraka, yang lebih banyak berada di Jakarta. Ini masih ditambah tugas lain, menjadi guru bahasa Jawa Kuno untuk wilayah Yogya.

Pertama memberi kuliah, Zoet memakai bahasa Jawa. Tapi. kemudian dia menyadari, mahasiswanya banyak yang berada dari luar Jawa. Ia pun kemudian menulis buku panduan, Sekar Sumawur, bunga rampai prosa dalam Jawa Kuno.

“Saya keras pada mahasiswa. Jika mereka mempelajari Sekar Sumawur secara serius, saya jamin lulus. Tapi, itu bukan berarti karena mereka membeli buku saya,” katanya, dalam Basis, Maret 1980.

Semasa menjadi dosen itu, ada kenangan yang sampai menjelang ajalnya sulit ia lupakan, perdebatannya dengan mahasiswa yang berasal dari luar Jawa, yang merasa tak mampu dan menolak belajar bahasa Jawa Kuno.

“Saya bilang, saya sendiri dari Belanda, dan saya mampu. Yang terpenting kemauan dan niat. Apa pun bisa dipelajari, tak ada yang sulit.”

Ucapan Zoet ini kemudian menjadi terkenal, dan membuatnya menjadi dosen yang amat disegani.

lalu, untuk membantu kesulitan itu, Zoet bermaksud membuat kamus bahasa Jawa Kuno. Dan sejak tahun 1950 ia kerjakan. Semula ia yakin, 10 tahun adalah waktu yang ia butuhkan, tapi kenyataan bicara lain. Tugas itu berat sekali.

“Ternyata saya butuh 30 tahun untuk menyelesaikan kamus itu. Pekerjaan yang luar biasa berat,” akunya.

Kamus itu kemudian terbit, Kamus Bahasa Jawa Kuno, diikuti buku Kalangwan yang mengupas kehidupan empu dan sastra Jawa Kuno. Tentang kesulitannya, Zoet mengaku karena ia harus mengumpulkan naskah dari mikrofilm dan naskah handsbooks dari Universitas Leiden.

Di masa tuanya, ada satu hal yang acap ditanyakan orang pada Romo Zoet, yaitu apakah ia menyesal menanggalkan kewarganegawaannya? Sambil tersenyum, ia akan menjawab: “Bagi saya, sebenarnya menjadi warga negara Belanda atau Indonesia sama saja. Saya juga tak pernah merasa rindu dengan negeri Belanda… Bahkan kalau Tuhan mencabut nyawa saya, saya ingin itu terjadi di Jawa.”

Pengharapan yang kemudian memang diberikan Tuhan, yang mungkin sebagai rahmat bagi Zoet, yang selalu merasa bahagia di tanah Jawa. (Aulia A Muhammad)

http://suaramerdeka.com/

Ketika Pribumi Jawa Lesehan di Gereja

Ketika Pribumi Jawa Lesehan di Gereja
Megawati Soekarnoputri dan Fatmawati pernah berlindung di Gereja Santo Yusuf saat agresi Belanda di Yogyakarta.
Bagaimana cara umat Katolik Jawa pada masa lalu beribadah di gereja? Inilah reportase yang tertulis di majalah Gereja Katolik Santo Claverbond saat berlangsung peresmian Gereja Santo Yusuf di Bintaran, Yogyakarta, pada 8 April 1934: "Seluruh tempat di bagian depan penuh sesak. Di atas tikar yang digelar memenuhi ruangan, masyarakat Katolik Jawa duduk berimpit-impit. Di sebelah kiri, duduk para lelaki dan anak-anaknya, sedangkan di sebelah kanan duduk para ibu dan anak perempuan mereka. Di belakang, di atas bangku, duduk para romo, bruder, frater, warga masyarakat Eropa, dan orang-orang Jawa terkemuka".

Saat itu umat Katolik pribumi Jawa tidak duduk di kursi sebagaimana umat Katolik Belanda ketika berlangsung kebaktian di gereja. "Mungkin karena mereka (pribumi) merasa tak nyaman," kata Pastur Kepala Gereja Santo Yusuf Bintaran, Romo F.X. Agus Suryana Gunadi Pr, Rabu lalu. Menurut dia, penduduk pribumi Jawa merasa tak nyaman duduk di kursi karena sudah terbiasa duduk lesehan dan sehari-hari mengenakan kain panjang sebagai pakaian.

Selain itu, kata dia, mereka memiliki sikap ewuh pakewuh yang kental, apalagi berbaur dengan bangsa asing yang derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Romo Gunadi menambahkan, dulu bagian depan dekat altar dikosongkan dari bangku panjang. Di atas lantai itu digelar tikar dari bambu tutul. Di atas tikar itulah kaum pribumi Jawa duduk lesehan dengan khusyuk saat beribadah. Di belakang mereka, kaum kulit putih berjas lengkap duduk di bangku panjang.

Suasana beribadah yang sama juga berlangsung di Gereja Santo Yusuf. Gereja itu adalah gereja Katolik Jawa pertama di Yogyakarta. Sekitar 1.800 umat Katolik pribumi Jawa antusias datang saat peresmian gereja itu. Maklum, sebelum gereja itu selesai dibangun, pribumi Jawa terpaksa berdesakan mengikuti kebaktian di gudang Gereja Kidul Loji. Sebab, bagian utama gereja sudah dipenuhi warga Belanda.

Meski gereja Jawa, gereja itu berlokasi di kawasan Bintaran yang merupakan kawasan permukiman penduduk Eropa. Tapi saat itu penduduk pribumi Jawa di kawasan Bintaran mulai bermunculan. "Gereja ini hadiah dari Gereja Kidul Loji kepada pribumi Jawa," ujar Romo Gunadi. Bahkan, arsitektur bangunannya pun bukan arsitektur Jawa, melainkan gaya Eropa yang dirancang oleh arsitek Belanda, JH van Oijen, BNA.

Gereja itu juga dipimpin oleh pastor warga negara Belanda, Rm AACM de Kuyper SJ. Ia dibantu oleh rohaniwan pribumi Jawa, RM Soegijopranoto SJ, yang kemudian menjadi Uskup di Semarang dengan gelar Monsinyur (Mgr).

Sebagai hadiah, arsitektur gereja itu memang memiliki karakter istimewa yang berbeda dibanding gereja lainnya. Atap gereja itu menyerupai lokomotif kereta yang membujur dari utara ke selatan. "Itu bentuk barrel vault atau setengah silinder. Jadi, tidak disengaja membentuk lokomotif, hanya mirip saja," kata Agustinus Madyana Putra S.T., salah satu arsitek dalam tim pemugaran dan pelestarian Gereja Santo Yusuf.

Kekhasan lainnya ada pada penampilan ventilasi udaranya yang berupa lingkaran berdiameter satu meter dan menyerupai bentuk bunga mawar atau rose window. Istilah itu sebenarnya ada dalam dunia desain. Tapi, dalam tradisi gereja, bentuk bunga mawar merupakan simbol penghormatan kepada Bunda Maria. Keberadaan ventilasi bunga mawar itu di Santo Yusuf juga istimewa. "Di (gereja) Bintaran ada 72 rose window, kalau di gereja lain hanya satu atau dua," kata Agus.

Puluhan ventilasi itu mengitari dinding bagian atas ruang kebaktian, mulai dari bagian depan bangunan hingga samping kiri dan kanan. Jadi, ruangan yang luas itu terasa sejuk. "Desain gereja itu mengacu konsep Basilika, yaitu konsep gereja lama," ujar Agus. Pada konsep Basilika, ada badan bangunan di bagian tengah yang diapit oleh bangunan serambi di kiri dan kanan.

Sementara itu, di bagian dalam gereja, tepatnya pada sisi barat dan timur dinding, terpampang 14 lukisan Jalan Salib. Lukisan yang menceritakan kronologi penyaliban Yesus itu berukuran 2,4 meter x 2,4 meter yang dibuat pada 1930-an. Lukisan itu merupakan reproduksi dari lukisan serupa di Gereja Katedral Jakarta.

Perubahan yang mencolok terlihat pada bentuk altar, tempat meletakkan Tabernakel, yaitu tempat menyimpan roti yang disucikan yang dipercaya sebagai tubuh Kristus. Sejak diresmikan, posisi altar itu berimpitan dengan dinding di sisi selatan. Saat itu pastor maupun umatnya menghadap ke utara.

Tapi terjadi perubahan pada Konsili Vatikan II di Roma, 1965, yang melahirkan konsep gereja berbaur dengan masyarakat. Sebelumnya, gereja sekadar tempat ibadah. Salah satu konsep itu menganggap ibadah adalah perjamuan, bukan sekadar menyembah pada fokus tertentu. Maka posisi meja altar pun berubah: letak altar jadi agak ke tengah seperti posisi perjamuan di meja makan. Sedangkan pastor menghadap ke umat, lantas umat pun menghadap ke depan dan samping. "Tapi kami masih meletakkan altar lama pada posisinya, sekadar simbol sejarah saja," kata Romo Gunadi.

Tak hanya bentuk bangunannya yang menyiratkan sejarah masa lalu di era kolonial. Gereja yang ada di sudut jalan pertemuan antara Jalan Bintaran Kulon dan Bintaran Tengah yang berdiri di atas tanah seluas 5.500 meter persegi itu juga menyimpan banyak aktivitas sejarah. Menurut Romo Gunadi, di gereja itulah pertama kali diadakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pada 1948, yang kemudian melahirkan Partai Katolik. Di sana jugalah pertama kali muncul gagasan bahwa gereja harus berperan di tengah masyarakat, tak sekadar simbol ibadah tiap hari Ahad. Gagasan itu pun menjadi anutan bagi gereja se-Indonesia, bahkan se-Asia.

Cerita lainnya, kata Romo Gunadi, Megawati Soekarnoputri dan ibunya, Fatmawati, pernah disembunyikan di gereja itu oleh Bung Karno saat berlangsung agresi Belanda di Yogyakarta. Keduanya diamankan di ruang sisi selatan gereja yang kini menjadi kantor Yayasan Kanisius. Menurut Romo Gunadi, mereka dititipkan karena Soekarno diduga memiliki hubungan baik dengan Mgr Soegijopranoto SJ (almarhum). Sebab, sang pastor rajin menulis artikel di media asing yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Soekarno pun memberi hadiah lukisan Bunda Maria kepada Soegijopranoto. PITO AGUSTIN RUDIANA



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Berita_Utama-Jateng/krn.20090206.155913.id.html

Penari Jaipong Diminta Tutup Ketiak

Penari Jaipong Diminta Tutup Ketiak
"Katakanlah dari 100 persen, dikurangi 10 persen."
BANDUNG - Para seniman tari jaipongan di Jawa Barat kini harus mengubah kostum dan penampilannya jika tampil. Selain tak lagi berkostum terbuka, diharapkan bisa mengurangi lenggak-lenggok goyangan. "Bagian tubuh yang terbuka sebaiknya lebih tertutup," kata Herdiwan Iing Suranta, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, saat dihubungi Tempo di Bandung kemarin.

Menurut Herdiwan, permintaan ini sesuai dengan amanat Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang disampaikan melalui Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kebudayaan Jawa Barat Wawan Ridwan. "Sewaktu serah terima jabatan, Pak Wawan mengatakan amanat dari Gubernur itu," kata Herdiwan.

Penegasan itu disampaikan Herdiwan menyusul isu pelarangan tari jaipongan di wilayah Jawa Barat kemarin. Isu itu sempat meresahkan sejumlah seniman tari di Bandung.

Herdiwan mengaku tak mendengar langsung dari Gubernur, pun ia tak mendapat instruksi langsung dari Gubernur. Namun, menurut Herdiwan, pejabat sebelumnya telah menyampaikan amanat Gubernur itu kepadanya secara khusus.

Selain perubahan pakaian agar tidak "lekbong" alias menutup ketiaknya, para penari jaipongan akan diminta mengurangi lenggak-lenggoknya. Setidaknya, goyang, gitek, dan geol (3G) para penari itu diperhalus. "Katakanlah dari 100 persen, dikurangi 10 persen. Toh, tidak berpengaruh nyata terhadap keindahan tarian," kata Herdiwan.

Herdiwan mengaku malah sudah meminta pendapat dua penari senior: Indrawati Lukman dan eks penari istana, Tien Rostini atau Ma Ageung. "Menurut mereka, keindahan jaipongan tak masalah dengan pakaian tertutup," ujarnya.

Herdiwan mengaku sepakat dengan amanat itu. Menurut dia, amanat Gubernur bukan melarang jaipongan, hanya mengingatkan ada sebagian masyarakat risi terhadap bagian tubuh penari yang terbuka dan gerakan pinggul yang demonstratif. "Bukan dalam rangka memasung kreativitas seniman," ujarnya.

Meski sadar permintaannya bakal memicu polemik, Herdiwan mengaku tetap berencana mensosialisasi hal ini ke komunitas seniman di Jawa Barat. "Saya pun siap dimarahi," katanya.

Gubernur sendiri, hingga berita ini diturunkan, belum bisa dimintai konfirmasinya. Melalui dua nomor telepon selulernya, Gubernur tak bisa dihubungi.

Para penari jaipongan menanggapi beragam "amanat" ini. Irma Ria menilai keinginan Gubernur sah-sah saja meskipun sang penari sendiri yang menentukan seberapa besar goyangan itu. Ini pun bergantung pada jenis lagu dan siapa yang menonton. "Ada jenis lagu jaipongan yang tak harus disertai goyangan sensual, seperti Lagu Ageung (Besar). Di situ penari malah terlihat gagah," ujarnya.

Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia Endang Caturwati menilai penertiban kostum tak perlu dilakukan. Soalnya, di banyak daerah, kostum jaipongan kini sudah lebih tertutup. "Di daerah Pantura bahkan lebih banyak yang tertutup," kata dosen yang menulis disertasi tentang tari jaipongan itu.RANA AKBARI FITRIAWAN | AHMAD FIKRI



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Nusa/krn.20090206.155963.id.html

Tifatul Desak Film Perempuan Berkalung Sorban Dikoreksi

Tifatul Desak Film Perempuan Berkalung Sorban Dikoreksi
Novia Chandra Dewi - detikNews



Jakarta - Kontroversi film Perempuan Berkalung Sorban membuat Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring ikut bersuara. Ia mendukung seruan Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yakub agar film itu diboikot. Ia pun meminta film itu dikoreksi.

"Menyeru umatnya boleh-boleh saja kan. Apalagi kalau itu dianggap berbahaya atau kurang baik, lantas mereka serukan, ya silakan saja," kata Tifatul kepada detikcom

Tifatul sendiri mengaku belum menonton film tersebut. Tetapi kalau ada yang memojokkan kalangan pesantren, menurutnya sah-sah saja jika film tersebut dikoreksi.

"Seperti yang saya baca di media, seolah-olah ajaran Islam itu seperti itu, melarang begini dan begitu padahal ini tidak benar secara fikih umumnya. Menurut saya tidak ada salahnya dikoreksi filmnya, dari pada bikin heboh," tambah pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat ini

Presiden PKS itu lantas mengimbau agar para pekerja kreatif seperti film lebih berhati-hati dalam melahirkan karyanya bila bersentuhan dengan SARA. "Kalau menurut saya, hal-hal yang berkaitan dengan SARA itu harus hati-hati," pungkas Tifatul.

Perempuan Berkalung Sorban menceritakan perlawanan Anissa, seorang santriwati terhadap pengekangan perempuan di pesantren. Dalam film itu, Annisa berkata Islam tidak adil terhadap perempuan. Film menampilkan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan ulama dengan dalih agama, seperti perempuan tidak boleh jadi pemimpin, perempuan tidak boleh naik kuda, perempuan tidak perlu berpendapat dan perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa disertai muhrimnya.

http://www.detiknews.com/read/2009/02/06/120535/1080533/10/tifatul-desak-film-perempuan-berkalung-sorban-dikoreksi

Frans Seda, Tokoh Katolik dan Mantan Menteri Keuangan Orba: Saya Setuju Syari’at Islam Tanpa Paksaan

Frans Seda, Tokoh Katolik dan Mantan Menteri Keuangan Orba: Saya Setuju Syari’at Islam Tanpa Paksaan


Pada 4 November 2006, mantan Menteri Keuangan era Soeharto, Frans Seda datang berkunjung ke Markaz Majelis Mujahidin, Jogjakarta. Lelaki renta berumur 80 tahun itu, nampak lelah dan terhuyung ketika memasuki ruang pertemuan dengan dikawal dua orang bodyguard berkacamata hitam. “Saya ingin menyambung pertemanan historis antara tokoh Islam dan Non Islam. Saya kenal baik dengan Mohammad Natsir, Kasman Singodimejo, Safruddin Prawiranegara, dan sekarang saya ingin meneruskan hubungan baik itu dengan pimpinan Majelis Mujahidin, Pak Ba’asyir,” kata Frans Seda menerangkan maksud kehadirannya di Markaz Majelis Mujahidin. Ikut dalam rombongan Frans Seda –seperti dituturkan- adalah Chris Siner Key Timo (anggota petisi 50), Paulus Harry (Ketua Ikatan Sarjana Katolik), Joko Wiyono (Ketua Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta), Polikarpus da Lopes (Ketua Solidaritas Aksi Katolik Indonesia), Barnabas Hura (Forum Komunikasi PMKRI), dan
Hartono Jusuf (Budha).

Irfan S. Awwas, selaku Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, mengawali pertemuan dengan kata pembuka: “Pertama sekali saya ucapkan terima kasih kepada para tamu. Kami tidak menduga, pada saat MM difitnah sebagai gerakan Islam radikal dan Ustadz Ba’asyir dituduh teroris oleh Amerika, tokoh-tokoh Katolik dan Budha malah datang berkunjung, mudah-mudahan saja pertemuan ini bermanfaat bagi kita dan bangsa Indonesia. Kami, tentu saja akan senang jika para tamu memperkenalkan diri dan sekaligus menyampaikan secara terbuka dan terus terang, maksud dan harapan dari pertemuan ini.” Pertemuan Sabtu siang itu, Amir Majelis Mujahidin (MM), Ustadz Abu Bakar Ba’asyir didampingi pengurus Lajnah Tanfidziyah MM: Irfan S. Awwas, Dr. Harun Rasyid, Shabbarin Syakur, dan Fauzan Al-Anshari.

Usai perkenalan, Frans Seda langsung pada persoalan yang jadi tujuan utamanya berkunjung menemui pimpinan MM: “Kita boleh berbeda pendapat tapi tetap satu bangsa, maka selalu saya upayakan untuk melakukan ‘silaturrahmi’ karena kita tahu dalam kehidupan berbangsa kita perlu kebersamaan. Kita mau bertanya pada Pak Ba’asyir, sebagai wujud kebebasan beragama, bukan dalam rangka mau menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam, kalau orang Islam ingin melaksanakan Syari’at Islam, oke! Tapi mengapa Majelis Mujahidin ingin melaksanakan Syari’at Islam melalui UU negara? Kami juga berkeinginan melaksanakan ajaran Kristen, tapi tidak dalam format lembaga negara. Apakah keinginan untuk melaksanakan Syari’at Islam melalui UU bukan berarti pemaksaan?

Ustadz Ba’asyir : Mungkin Pak Frans belum paham makna kebebasan beragama menurut Islam, maka perlu saya terangkan dulu. Kebebasan beragama, artinya masing-masing umat beragama bebas untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya, termasuk cara mengamalkannya, tidak boleh dihalangi oleh umat agama lain.

Di dalam Al-Qur’an ada pernyataan resmi, bahwa dalam menyiarkan (mendakwahkan) Islam dilarang memaksa Non Muslim untuk masuk Islam, baik secara halus maupun kasar. “La ikraha fiddin qattabayyana rusydu minal ghayyi (Qs. 2:256)” (Tidak boleh ada paksaan untuk memasuki dienul Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat). Maka, bagi orang Islam, hanya diperintahkan untuk menasihati (mendakwahi) supaya orang Non Islam masuk Islam, bukan memaksa. Dalam hal ini, jika ada orang kafir minta tolong misalnya, kami tidak dilarang untuk memberi pertolongan menurut kemampuan, tetapi kami tidak boleh memanfaatkan kelemahan orang lain untuk memaksanya pindah agama. “Saya mau tolong anda dengan syarat masuk Islam,” cara demikian dilarang agama kami. Seseorang boleh menerima Islam setelah diberi pengertian bahwa Islam itu agama yang paling benar, bila belum mau diajak berdiskusi, tidak mau juga tidak boleh dipaksa. Jadi, sungguh
keliru pendapat orang yang menyatakan Islam disiarkan dengan pedang, atau kekerasan.

Tetapi benar, bahwa Islam harus dibela dengan lisan, dan juga kekuatan senjata. Bila dakwah Islam ditolak dengan argumentasi, maka harus dibela secara argumentatif. Bila ditolak atau diserang dengan menggunakan kekuatan senjata, maka kami diperintahkan juga menghadapai serangan itu dengan kekuatan senjata. Oleh karena itu Islam tidak boleh dipisah dengan senjata, bukan bermaksud untuk membunuh umat agama lain. Tapi, untuk membela diri sekaligus untuk menghentikan ancaman dan gangguan terhadap Islam dan umat Islam.

Di dalam Al-Qur’an ajaran yang bunyinya “laa yanha kumullahu ‘anilladzina lam yuqatilukum fiddin wa lam yukhrijukum mindiyarikum….. (Qs.60:8). (Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (Non Muslim) yang tidak memerangi agamamu dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Jadi, menurut Islam, selama orang kafir atau Non Muslim tidak memerangi, tidak menganggu dan menghalang-halangi usaha-usaha umat Islam untuk mengamalkan Syariat-Nya, kami dianjurkan untuk memperlakukan orang lain dengan baik dan adil. Ini aturan dari Allah langsung ditetapkan melalui kitab suci Al-Qur’an. Bahkan, jika terjadi peperangan antara orang-orang Islam dengan orang kafir, Rasulullah Saw menasihati jangan membunuh wanita, jangan membunuh anak-anak, jangan membunuh pendeta yang sedang beribadah (atau ketika itu tidak terlibat di dalam peperangan). Selama tidak mengganggu, ya kita bisa bergaul dengan baik, malah di dalam Al-Qur’an
disebutkan jangan mencaci tuhan-tuhan mereka. Kalau ada orang kafir menyembah batu, jangan dicaci agar dia tidak berbalik mencaci Allah Swt.

Perlu saya beritahukan, bahwa sebenarnya Islam itu bukan sekadar agama dalam pengertian ritual. Islam bukan hanya aturan cara menyembah Allah. Tetapi Islam adalah Addin. Din al-Islam di dalam bahasa Arab berarti undang-undang (nidhamul hayah), tatanan atau sistem untuk mengatur hidup manusia. Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan “Waradhitu lakumul Islamadina” (aku ridha Islam sebagai Din bagimu). Artinya, Islam sebagai undang-undang atau peraturan hidup. Di dalam Al-Qur’an terdapat kalimat Dinul Malik, maksudnya bukan Agama Raja, tetapi UU Raja untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Karena itu, Islam tidak hanya mengajarkan tata cara menyembah, tata cara shalat, zikir. Tetapi Islam juga mengatur tata cara perkawinan, mulai cara melamar calon istri/suami, setelah jadi suami istri bagaimana cara bergaulnya, apa hak suami terhadap istri dan sebaliknya hak istri terhadap suami, semua diatur termasuk bila terjadi perceraian. Bagaimana bertetangga dengan
sesama Muslim dan Non Muslim, dan bagaimana cara mengatur negara, menyelenggarakan pemerintahan, juga diatur di dalam Islam.

Mengamalkan Syari’at Islam melalui lembaga negara adalah keyakinan Islam, bukan politis. Maka, Nabi Muhammad memberi contoh cara mengamalkan Islam yang benar, yaitu harus dengan kekuasaan negara. Tidak sempurna pengamalan Islam jika hanya dilaksanakan secara individu, tapi harus melalui konstitusi negara. Maka kalau ada orang yang menyatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara, atau yang penting substansinya bukan formalisasinya, adalah suatu penyelewengan yang sangat jauh dari Islam. Nabi Muhammad diutus Allah, disamping untuk menerangkan tatanan hidup menurut konsepsi Allah Swt juga sebagai uswah hasanah (contoh baik yang harus ditauladani) dalam hal bagaimana mengamalkan Dinul Islam itu.

Jika Islam menjadi UU, tidak ada alasan bagi Non Muslim untuk khawatir dipaksa masuk Islam, atau dilarang melaksanakan keyakinannya. Bila menurut keyakinan agamanya, orang Kristen wajib melaksanakan kebaktian tiap hari minggu, atau menurut keyakinannya pemeluk Kristen boleh minum bir, anggur, makan daging babi, tidak akan dihalangi. Negara akan mengatur pelaksanaannya agar tidak mengganggu umat lain yang berbeda keyakinan. Misalnya, pada bulan suci Ramadhan, orang Islam wajib berpuasa, lalu negara membuat UU tentang larangan membuka warung makan di siang hari, khusus orang Islam. Non Muslim boleh saja membuka warung, sejauh tidak mengganggu Muslim yang sedang puasa, dan yang boleh membeli di warung makan itu hanya Non Muslim. Kalau ada orang Islam ikut makan yang berarti dia melanggar kewajiban puasa, terkena sanksi UU.

Jika sekarang Majelis Mujahidin, berusaha supaya Syari’at Islam menjadi hukum positif, itu bukan politik pak, melainkan keyakinan agama. Seperti keinginan Anda melaksanakan ajaran Kristen tidak melalui negara, itu hak Anda, kami tidak boleh ganggu gugat. Harapan kami, Anda juga jangan ganggu keyakinan kami untuk melaksanakan Syari’at Islam melalui lembaga negara. Maka, kalau Syari’at Islam tidak boleh menjadi UU negara, padahal mayoritas penduduk negeri ini orang Islam, jelas suatu kedhaliman. Bukan kedhaliman terhadap politik, tapi kedhaliman terhadap keyakinan agama.

Frans Seda : Saya kira begini Pak Ba’asyir, yang diingini orang Islam bagi kita tidak masalah. Masalahnya, ketika orang Islam bergaul dengan kita, praktiknya berbeda dengan yang diuraikan tadi. Saya pernah mengikuti diskusi antara pak Mohammad Natsir sama Kartosuwiryo. Pak Natsir katakan dia setuju dengan Bung Karno memperjuangkan Syari’at Islam melalui demokrasi, lalu ia menentang Kartosuwiryo, you salah kalau pake senjata. Lantas Kartosuwiryo bertanya pada Natsir, kalau kita diserang bagaimana? Kalau kau diserang, ya kau balas. Tapi sekarang kau menyerang, kau menyalahi agama Islam. Kita juga orang Islam, agama Islam harus tegak tapi cara kita berbeda. Kamu mau panggul senjata, saya tidak mau, kata Natsir. Kalau kita ketemu orang Islam yang sependapat dengan Pak Ba’asyir, melaksanakan Syari’at Islam tanpa paksaan, saya setuju sekali. Tapi, umat Islam beda-beda.

Saya mengalami sendiri pak. Saya bertemu seseorang yang mengatakan, Frans seharusnya kau hubungi polisi karena kamu berada di tengah musuh, cepat kamu pergi dari situ kalau tidak kamu dibunuh. Sering umat Islam yang mengaku Muslim memusuhi kita, itu yang jadi masalah.

Ustadz Ba’asyir : Islam tidak mengajarkan untuk memusuhi orang lain karena perbedaan suku, agama, ras. Prinsipnya, bukan asal memusuhi tapi harus ada alasan syar’i, seperti Non Muslim memerangi, mengusir, dan membantu orang lain mengusir umat Islam. Sudah diterangkan tadi tentang konsep dan cara mengamalkan Islam melalui lembaga negara. Kalau ada yang menghalangi, itu namanya memusuhi keyakinan agama kami. Bila mereka menghalangi dengan argumentasi, maka kami hadapi secara argumentatif. Bila menghalangi menggunakan kekuatan senjata, maka Islam memerintahkan pada kami untuk menghadapinya dengan cara yang sama, jihad dengan senjata.


Frans Seda : Kalau ada yang tidak setuju dengan keyakinan itu bagaimana?


Ustadz Ba’asyir : Boleh saja tidak setuju terhadap keyakinan kami, seperti juga kami tidak setuju dengan keyakinan bapak yang mengatakan tuhan punya anak, atau melaksanakan agama tanpa formalisasi dalam UU. Karena itu jangan mengganggu keyakinan kami, dan kami pun tidak akan mengganggu keyakinan Anda. Harus diakui, perbedaan di antara umat beragama pasti ada. Pak Frans menganggap ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu tidak betul. Atau tidak mau mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi, saya bisa mengerti. Tidak apa-apa. Begitupun, saya berkeyakinan perayaan Natal itu suatu perbuatan bathil, perbuatan salah. Menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan adalah kesesatan, mestinya Anda juga tidak marah ‘kan. Karena itu menyangkut keyakinan, tidak bisa dipaksa. Maka tidak perlu ada ajakan natal bersama, do’a bersama dan sebagainya.


Frans Seda : Bagaimana kalau ada orang Islam yang mengganggu kita?


Ustadz Ba’asyir : Kalau bapak tidak mengganggu orang Islam, lalu ada orang Islam yang mengganggu orang Kristen seperti bapak, jelas itu salah, dia orang Islam yang bodoh. Allah Swt tidak melarang kamu untuk berbuat adil dan baik kepada Non Muslim yang tidak memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negerimu dan tidak membantu orang lain untuk mengusir kamu.” Tetapi kalau Non Muslim mulai memerangi kamu, tegas Islam memerintahkan: Putus hubungan, dan perangi mereka.


Frans Seda : Pak Ba’asyir, Non Islam memerangi Islam, karena orang Islam sendiri memerangi mereka?


Ustadz Ba’asyir : Silahkan tunjukkan bukti. Kalau ada bukti, bukan rekayasa lho, saya menyalahkan orang Islam yang memerangi Non Islam tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syari’at Islam. Yang sering terjadi justru orang Yahudi dan Nasrani memerangi dan membantu golongan lain untuk memerangi umat Islam di mana-mana.


Syari’at Islam Tanpa Paksaan

Irfan S. Awwas : Pak Frans menanyakan, mengapa Majelis Mujahidin berjuang untuk formalisasi Syari’at Islam, sedang orang Kristen ingin melaksanakan ajaran Kristen tapi tidak perlu melalui lembaga negara. Alasan normatifnya sudah dijelaskan Ustadz Ba’asyir tadi. Faktanya, tidak mungkin Islam dapat melaksanakan perannya dalam memperbaiki masyarakat secara optimal tanpa melalui kekuasaan negara. Pertanyaan kami, apakah Kristen Katolik atau Protestan memiliki konsep tentang sistem kenegaraan? Jika ajaran Kristen tidak memiliki konsep hidup bernegara, sehingga dianggap cukup dilaksanakan secara individu, tentu tidak fair bila kaum Nasrani (Kristen) menggunakan alasan demikian untuk menghalangi umat Islam melaksanakan Syari’at Islam di lembaga negara. Karena Islam memiliki perangkat dan tatanan berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan negara.


Frans Seda : Tapi pelaksanaan Syari’at tanpa paksaan ‘kan?


Irfan S. Awwas : Benar, tanpa paksaan! Oleh karena itu, kami perlu penjelasan konkrit, bentuk paksaan yang dimaksud seperti apa? Apakah khawatir dipaksa masuk Islam? Penting bagi kami pernyataan jujur dan terus terang dari Anda, maksud paksaan sekaligus apa sih kerugian Non Muslim bila Syari’at Islam dijalankan melalui lembaga negara?

Frans Seda : Bukan merugikan, tapi adanya paksaan harus melaksanakan Syari’at Islam, itu yang kami tidak mau. Apabila dilaksanakan melalui lembaga negara, saya mempunyai keyakinan bahwa kami dipaksa melakukan Syari’at. Di Katolik misalnya, tidak menentang Syari’at Islam, tapi Syari’at Islam itu biar urusan masing-masing. Bagaimana kalau wanita Kristen dipaksa mengenakan jilbab?

Hartono Jusuf : Keberatan Pak Frans sudah disebutkan, takut dipaksa melaksanakan Syari’at mengenakan jilbab. Dari kaum Budha, juga ada kekhawatiran, bila Syari’at Islam diterapkan melalui lembaga negara, nanti kami dipaksa supaya sunat (khitan).

Joko Wiyono : Ajaran sunat (khitan) juga ada di dalam agama Katolik. Keluarga saya hampir semuanya Muslim dan sunat, tidak ada masalah.

Ustadz Ba’asyir : Syari’at Islam menjadi UU Negara, gambarannya begini. Misalnya UU wajib shalat 5 waktu, itu hanya berlaku bagi orang Islam, bukan untuk orang Non Islam. Tidak mungkin Non Muslim dipaksa melaksanakan ibadah yang tidak menjadi keyakinan agamanya. Demikian pula soal jilbab, bagi wanita Non Muslimah, bukan saja tidak ada paksaan, tapi mereka malah dilarang untuk meniru cara berpakaian wanita Muslimah agar mereka mudah dikenal. Identitasnya jelas. Silahkan wanita Non Islam berpakaian menurut ajaran agama mereka. Apakah agama Kristen dan Budha menyuruh wanitanya untuk berpakaian telanjang, setengah telanjang seperti budaya barat sekuler itu? Tidak ‘kan? Seperti juga kewajiban zakat, hanya untuk orang Islam saja. Non Muslim tidak bisa diwajibkan zakat. Bayarnya pajak, karena pajak negara. Bahkan, bila kalangan Katolik menuntut adanya UU yang mewajibkan umatnya ke Gereja, maka dibuatkan UU, karena itu keyakinan agamanya.

Irfan S. Awwas : Menurut Pak Fran, bagaimana cara berpakaian wanita yang benar dan sopan menurut ajaran Katolik? Jangan menurut sekuler. bagaimana cara berpakaian yang benar, menurut Budha?



Frans Seda : Ya, mengenakan rok, baju, dan penutup kepala


Chris Siner : Persoalannya, kita berhadapan dengan hak atas kebebasan beragama. Jadi, di kalangan Kristen sendiri memang ada kewajiban orang Kristen untuk berhukum pada agamanya. Tapi kita tidak menggunakan negara untuk melaksanakannya.

Ustadz Ba’asyir : Keyakinan demikian kita hargai. Tidak akan diganggu, tidak akan dipaksa untuk mengamalkan ajaran Kristen di lembaga negara, karena memang begitulah keyakinannya. Karena itu, Anda juga harus menghargai keyakinan kami tentang kewajiban menjalankan Syari’at Islam melalui kekuasaan negara, jangan paksa kami meninggalkannya, atau melakukannya secara individu saja. Di sinilah, diperlukan sikap saling menghargai dan saling memahami.

Ketika masih di penjara Cipinang saya dibesuk seorang Bhiksu, yang menyatakan persetujuannya terhadap Syari’at Islam. “Ustadz –dia panggil saya ustadz- saya mendukung perjuangan Anda untuk menegakan Syari’at Islam,” katanya. Saya terkejut. Saya bilang terimakasih sekali, hanya saya heran anda ini Non Muslim kok setuju penegakan Syariat, alasannya apa? Dia bilang, “Saya ini orang Budha tinggal di Malaysia, bagian negara Kelantan yang dikuasai partai Islam PAS, di situ diberlakukan Syari’at Islam tapi tidak keseluruhan karena ada UU yang melarang, tapi secara umum sudah diberlakukan. Mula-mula kami memang takut, khawatir dipaksa melaksanakan Syari’at Islam, tetapi ternyata semua itu tidak benar. Kami malah diberi kebebasan, dan situasi menjadi tentram dan kami rasakan lebih aman, itulah alasan saya mendukung Ustadz melaksanakan Syariat Islam, demikian Bhiksu itu.

Polikarpus da Lopes: Persoalannya, kalau itu menjadi UU negara, UU positif kita berpaham bahwa itu harus berlaku pada seluruh warga negara.

Irfan S. Awwas : Dalam sejarah konflik di Indonesia, belum pernah umat Islam memusuhi Non Muslim disebabkan perbedaan agama. Dan tidak pernah memaksa Non Muslim untuk pindah agama. Bahkan di zaman DI/TII tidak pernah menjadikan Non Islam sebagai obyek penyerangan hanya karena dia beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Sekarang, atas nama kebebasan beragama orang-orang sekuler selalu memojokkan agama sebagai sumber masalah, penyebab konflik antar umat beragama, lalu mereka menuntut supaya tidak fanatik agama, malah dianjurkan untuk tidak berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan negara dari jangkauan agama. Mereka ingin kita beragama tanpa Tuhan atau bertuhan tanpa Syari’at. Sebagai tokoh agama, apakah kita membiarkan paradigma sesat itu mengadu domba umat beragama, atau melawannya supaya agama berperan dominan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat sekarang ini?

Berkelakuan Menurut Ajaran Agama



Frans Seda : Begini, kalau saya dipukul atau dimusuhi orang Islam karena keyakinan kita berbeda, bagaimana?


Irfan S. Awwas : Bila itu terjadi, jelas suatu kesalahan, dan kami tidak akan membela orang yang bersalah sekalipun dia Muslim. Sebaliknya, jika ada orang Kristen membunuh atau menyerang orang Islam karena ke-Islaman-nya, Pak Frans akan membela siapa? Dalam kasus eksekusi mati Tibo misalnya, orang Kristen malah membela penjahat yang telah membunuh ratusan santri pesantren Walisongo di Poso.

Harun Rasyid : Kita justru mempertanyakan mengapa sejak dulu tidak ada konflik antar umat beragama. Betulkah yang terjadi di Poso atau tempat lain sekarang ini adalah konflik agama, atau ada provokator yang mengadu domba umat beragama? Pak Frans tadi mengkhawatirkan ada orang Islam yang memukul orang Kristen, apa itu betul-betul orang Islam yang melakukan pemukulan ataukah orang yang mengatasnamakan Islam guna memperkeruh keadaan?

Frans Seda : Saya setuju jika kita berkelakuan seperti ajaran agama kita masing-masing. Setuju sekali. Agama itu adalah pemberian Tuhan kepada umat manusia untuk bergaul satu dengan yang lainnya. Mengapa dulu tidak ada perselisihan? Karena dulu agama tidak pernah menjadi masalah antara kita.

Paulus Harry : Tadinya, dari jauh orang menganggap Mujahidin sebagai Islam radikal, ternyata Mujahidin terbuka, demokrasi, dan idealis. Idealis dan jujur, orang jujur di Indonesia dibenci pak. Jadi, intinya ini mungkin Mujahidin dan Katolik sekarang menghadapi provokator. Ini juga setuju pak.


Frans Seda : Kita bersama-sama menghadapi itu, saya mengharap kebersamaan di antara kita perlu dibangun.


Chris Siner : Saya kasih ilustrasi, tahun 67 saya ada satu wacana dengan saudara Adisasono di Bandung. Persoalan yang sama pula dia omong, hai saudara Chris jangan khawatir karena Piagam Jakarta hanya menyangkut kami orang-orang yang beragama Islam. Saya mengatakan begini, saya juga ingin memperjuangkan saudara-saudara sesama bangsa yang Islam yang tidak mau dipaksa dalam soal agama, jadi saya juga memperjuangkan hal semacam itu. Saya tidak khawatir soal Piagam Jakarta. Tapi kalau ada warga negara beragama Islam, tapi dia tidak mau dipaksa oleh negara melaksanakan Syari’at Islam, bagaimana?

Ustadz Ba’asyir : Negara hanya alat, antara lain untuk mengingatkan kewajiban agama menggunakan alatnya berupa UU. Bukan negara yang memaksa, tapi tugas negara mendorong rakyatnya untuk menjalankan kewajiban agamanya, dan bila ditinggalkan negara menjatuhkan sanksi. Jadi negara Islam adalah sebagai alat untuk menjalankan Syari’at Islam.

Irfan S. Awwas : Berkaitan dengan persoalan ini, ada pertanyaan untuk pak Chris. Ketika satu urusan diwajibkan oleh agama masing-masing, tetapi kemudian negara melarang itu dengan alasan bertentangan dengan UU. Sebagai warga negara yang mau taat beragama tetapi juga tidak mau melanggar UU negara, manakah yang harus diutamakan?


Frans Seda : Terserah keperluan masing-masing.


Irfan S. Awwas : Anda tadi menyatakan sepakat dengan pelaksanaan Syari’at Islam melalui kekuasaan negara dengan syarat tidak ada paksaan terhadap penganut agama lain. Dan sudah diterangkan tidak ada paksaan dalam hal keyakinan. Syari’at Islam untuk umat Islam, tidak boleh memaksa Non Muslim melaksanakan ajaran agama yang bertentangan dengan keyakinannya.


Frans Seda : Tapi ini kekuasaan, siapa menjamin nantinya tidak ada paksaan?



Irfan S. Awwas : Islam yang memberi jaminan. Juga, negara dan kekuasaan pemerintah yang berpegang teguh pada Syari’at Islam.



Frans Seda : Saya tidak yakin itu.


Irfan S. Awwas : Anda menolak secara apriori jaminan Islam dan pemerintah Islam terhadap kebebasan beragama, padahal Islam belum berkuasa dan Syari’at Islam belum dijadikan UU negara. Sementara Anda percaya adanya kebebasan beragama atas jaminan demokrasi dan pemerintahan demokratis? Bukankah pemerintah demokratis seperti Amerika, Inggris dan lainnya terus menerus memaksakan kehendaknya terhadap umat Islam?

Chris Siner : Sekiranya Islam itu satu, gampang sekali kita menjalankan ini. Tapi dalam realita yang kita lihat kan ada bermacam-macam Islam, dan sikap umat Islam juga beda-beda. Itu bagaiman?

Irfan S. Awwas : Seluruh orang Islam meyakini Islam itu hanya satu, bukan warna warni. Berbeda-bedanya sikap umat Islam terhadap kewajiban menerapkan Syari’at Islam melalui lembaga negara merupakan problem internal umat Islam. Perbedaan, bahkan perpecahan umat bukan hanya ada pada umat Islam, tapi juga pada penganut agama lain. Agama Nashrani pecah menjadi agama Katolik dan agama Protestan, mungkin juga masih banyak pecahan lainnya. Perbedaan sikap di kalangan umat Islam terjadi justru akibat Syari’at Islam dihambat berlakunya dalam lembaga negara. Sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, jika pemerintah menerima Syari’at Islam sebagai UU, semua orang Islam akan sami’na wa atha’na (mendengar dan mentaati) pemerintah Islam tersebut.


Frans Seda : Mayoritasnya di mana? Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau.


Ustadz Ba’asyir : Mayoritas di seluruh NKRI. Betul, Indonesia terdiri dari banyak pulau, tapi Anda ‘kan setuju jadi bagian NKRI. Nah, dalam konteks NKRI, umat Islam mayoritas mutlak. Saya minta dimengerti, melaksanakan Islam dalam bentuk UU itu suatu keyakinan, bukan politik. Dampaknya berpengaruh bagi nasib di akhirat nanti, masuk surga atau neraka.

Polikarpus da Lopes : Kalau pak kyai ngomong begitu, kita mengerti betul. Solusi dan alternatif pak kyai kita setuju. Adapun ada hal yang kita belum sepaham, perlu dilakukan dialog.

Barnabas Hura : Pertama, saya melanjutkan usulan pak Frans, jadi hal-hal yang masih berbeda kita dialogkan lagi. Kita sepakat untuk mengisi kemerdekaan yang sekarang bangsa kita begitu terpuruk. Kalau mengingat perkataan Syafi’i Ma’arif, bangsa ini dalam kebobrokan yang amat parah. Ini kewajiban kita bersama untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan itu harus jadi program bersama. Kedua, tadi yang disinggung oleh Pak Frans, perbedaan ini tidak akan saling mempersoalkan, kemungkinan ada pihak lain yang memanipulasi perbedaan ini.

Irfan S. Awwas : Sekarang, apa yang menjadi kepentingan bersama, tentu harus dilaksanakan bersama sebagai sesama warga negara. Tapi, dalam wilayah keyakinan, maka negara tidak boleh memaksa warganya untuk ingkar dari keyakinannya. Sementara ini di kalangan umat beragama, ada kesan bahwa sebaik apapun aturan bila datangnya dari Islam atau bernuansa Islam, mesti ditolak pihak Non Islam.

Polikarpus da Lopes : Bisa kasih contoh Pak?

Irfan S. Awwas : Misalnya, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Mengapa penolakan dari kalangan Kristen sedemikian gencarnya, termasuk Perda Antimaksiat yang berlaku di sejumlah daerah dalam rangka mewujudkan otonomi daerah?


Polikarpus da Lopes : Mungkin istilah Syari’ah yang menakutkan.

Irfan S. Awwas : Tidak juga. Kesan yang menonjol adalah sikap subyektif kalangan Non Muslim. Sebagus apapun suatu aturan bila datang dari Islam atau bernuansa Islam selalu ditolak. Dalam RUU APP maupun Perda Antimaksiat tidak terdapat kata-kata Syari’ah, toh ditolak juga. Sikap ini tidak kondusif bagi upaya bersama untuk memperbaiki moral bangsa yang dikatakan tadi, amat sangat bobrok.

Frans Seda : Saya sebagai orang Katolik setuju dengan syari’at Islam yang tidak dipaksakan. Saya kira masing-masing kita bisa ‘silaturrahmi’ dan pertemuan kali ini tidak yang terakhir, ya? Kita kembangkan dialognya.

Bersama harapan itu, Frans Seda meninggalkan ruangan sesaat sebelum pertemuan berakhir. “Saya sudah tua, sering sakit, tak bisa duduk berlama-lama,” katanya.


Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 3 Th I Dzulqa’dah 1427 H / Desember 2006, hal. 41-50.