BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Malaise Peran Ulama

Malaise Peran Ulama

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 10.07

”Baru saja saya melihat Metro TV memfasilitasi tontonan anak-anak muda muslim ’mengolok-olok’ ulama….”


Demikian short message service (SMS) salah seorang sahabat setelah menyaksikan Todays Dialogue (3/2) tentang Obral Fatwa Haram MUI.Sebenarnya, dialog tentang kontroversi fatwa MUI telah digelar di banyak forum dan media massa. Sebagian masyarakat memberikan apresiasi, sebagian lain tidak setuju.

Di antara yang tidak setuju adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin.

KH Hasyim Muzadi tidak setuju terhadap fatwa MUI yang mengharamkan merokok. Menurutnya, merokok hukumnya hanya makruh, tidak haram. Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah tidak setuju dengan fatwa golput. Din Syamsuddin menilai fatwa tentang haramnya golput tidak diperlukan dan terlalu jauh memasuki wilayah politik.

Bukan Tradisi Baru

Di dalam sejarah intelektual muslim, dialog adalah tradisi positif yang berkontribusi besar dalam pengembangan pemikiran dan khazanah ilmu pengetahuan.Tradisi dialog memiliki tiga landasan normatif. Pertama, Alquran melarang muslim untuk taklid: mengikuti suatu paham, pendapat atau ajaran tanpa dasar-dasar pemahaman yang kuat.

”Janganlah mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya dengan baik....”(Qs Al-Isra,17: 36). Kedua, Nabi Muhammad mendorong kaum muslim untuk berijtihad. Lantaran begitu pentingnya makna ijtihad,Nabi pun menegaskan ”... jika seseorang berijtihad dan (ternyata) salah, dia mendapatkan satu pahala dan jika ijtihadnya benar, dia memperoleh pahala ganda.

” Karena ada kemungkinan salah,hasilhasil ijtihad baik berupa fatwa atau yang lainnya perlu dikaji dengan saksama. Munculnya berbagai mazhab di dalam Islam seperti Maliki, Hanafi, Syafii, Hambali disebabkan adanya perbedaan pendapat atau ijtihad di antara para ulama tersebut.

Ketiga,perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang terlarang. Sepanjang tidak dilandasi permusuhan dan kebencian,perbedaan pendapat (ikhtilaf) justru merupakan rahmat.Imam al-Ghazali (1.058–1.111 M) menulis buku Tahaful al-Falasifah yang mengkritik keras pendapat dan sikap para filosof.Menjawab kritik Al- Ghazali,Imam Ibn Rusyd (1.126–1.198 M) menulis buku Tahafut Tahafut al- Falasifah.

Sikap kritis para ulama diekspresikan dengan santun, tidak merasa dirinya paling benar dan tidak menghakimi. Karena kesalehan dan kualitas pribadinya, para ulama menyikapi kritik secara wajar. Bahkan, mereka mempersilakan umat untuk mengkaji ulang dan mengikuti pendapat ulama lain jika memang lebih tepat.Imam Syafii berkata:

”Jika ada hadis yang lebih kuat dari apa yang saya rujuk, itulah mazhabku. ”Walaupun banyak dikritik, wibawa dan karisma para ulama tidak pudar.Karya-karya mereka tak lapuk oleh waktu, tak lekang oleh zaman, terus-menerus dikaji dan diikuti.

Tantangan Modernitas

Bukan hal baru jika sekarang ini berbagai kalangan mulai bersikap kritis terhadap fatwa MUI secara berani dan terbuka.Sikap kritis tersebut bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, masyarakat tidak setuju dengan isi dan waktu dikeluarkannya fatwa. Dalam waktu tiga tahun terakhir, MUI sudah mengeluarkan sekitar 50 fatwa.

Sebagian besar fatwa seperti haramnya terorisme dan bom bunuh diri, bunga bank, pembajakan karya cipta tidak mendapatkan penolakan. Bahkan, fatwa tentang halalnya aborsi bagi wanita yang diperkosa juga mendapat d u k u n g a n luas.Hanya beberapa fatwa yang menjadi polemik dan perdebatan publik.

Fatwafatwa tersebut antara lain tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme; Ahmadiyah; merokok, golput, dan yoga. Karena itu,masyarakat lebih melihat materi fatwa, bu-kan lembaga yang mengeluarkannya. Kedua, kemungkinan karena masyarakat tidak membutuhkan fatwa.

Dengan kedalaman ilmunya mereka bisa melakukan ijtihad mandiri (munfarid).Atau, mereka mengikuti fatwa yang dikeluarkan oleh organisasinya. Misalnya, Majelis Tarjih bagi warga Muhammadiyah atau Syuriah bagi warga NU. Ketiga,mungkin karena masyarakat tidak percaya lagi kepada MUI.

Masyarakat mengabaikan fatwa MUI karena kredibilitas, citra, dan rekam jejak yang memudar.Laporan Transparency International yang mengindikasikan adanya korupsi di MUI,misalnya, bisa menjadi preseden buruk.Kelembagaan MUI yang tergantung pada bantuan pemerintah menimbulkan kesan lembaga keagamaan ini tidak independen.

Sangat kecil kemungkinan fatwa-fatwa MUI dipesan pemerintah atau kelompok tertentu. Tetapi, bagaimana pun MUI harus mengeliminasi dan menghapus penilaian negatif ini dengan langkah dan fatwa yang arif. Paraulama sebagai pribadi dan MUI sebagai lembaga hendaknya bisa menjadi teladan.

Keempat,mungkin karena masyarakatyangberubah. Dalammasyarakat modern, peran tokoh dan lembaga keagamaan cenderung melemah. Ulama tidak lagi dianggap sebagai great person, figur karismatik yang secara personal dan kultural sangat dihormati. Secara sosiologis, ulama tidak lagi menempati strata utama dalam masyarakat.

Di tengah kehidupan yang serbapragmatis, pemimpin formal seperti pejabat pemerintah,ketua partai politik atau direktur perusahaan akan lebih dihormati.Menurut Keith A Robert (1990), pemimpin karismatik akan dihormati dalam masyarakat yang steady.

Dalam masyarakat ini nilai-nilai budaya diterima dengan baik karena sangat sesuai dengan kebutuhan. Di tengah berbagai kesulitan, mereka akan tetap bertahan dan komit dengan nilai-nilai budaya. Masalahnya, masyarakat sekarang tidak lagi steady. Masyarakat berada pada tataran distortion di mana nilai-nilai budaya, tradisi, dan agama mengalami guncangan hebat (wobble).

Dalam situasi demikian, malaise peran ulama baik secara pribadi maupun kelembagaan tidak bisa dihindari. Perihal malaise ini, Nabi Muhammad memperingatkan, ”Akan datang suatu masa di mana orang yang bodoh dijadikan pemimpin. Mereka sendiri sesat dan menyesatkan orang lain.” Para ulama memang perlu segera berbenah dan memperbaiki diri. Jika tidak, peringatan Nabi Muhammad tersebut akan benar-benar terjadi.(*)

Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and
Cooperation Among Civilizations (CDCC),
Jakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211302/
Share this article :

0 komentar: