BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ancaman Kebebasan Berinternet di Thailand

Ancaman Kebebasan Berinternet di Thailand

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 10.13

D IDORONG rasa frustrasi melihat bias politik dan pengaruh uang dalam media cetak Thailand, Chiranuch Premchaiporn lalu ikut merintis berdirinya sebuah situs berita pada 2004 untuk mencoba menyaring pengaruhpengaruh negatif tadi.
Untuk sesaat usahanya berhasil. Ribuan orang masuk ke situsnya yang beralamat prachatai.com setiap hari. Di situ mereka bisa membaca berita yang tak pernah dimuat di surat kabar. Pengunjung juga bisa menyampaikan pendapatnya melalui forum situs yang selalu ramai.

Namun, situasi berubah setelah terjadi kudeta pada 2006 yang menumbangkan pemerintahan perdana menteri Thaksin Shinawatra. Kemudian menyusul era kekisruhan politik yang berlangsung dua tahun sesudahnya. "Sehabis kudeta, saya selama sebulan dihubungi terus oleh petugas departemen komunikasi dan teknologi. Mereka memperingatkan soal sejumlah komentar yang muncul di forum situs," ungkap Chiranuch kepada AFP.

Sejak saat itu, perempuan itu telah dipanggil polisi delapan kali untuk menjawab pertanyaan seputar isi situsnya. Sekitar 20 halaman di situsnya lalu ditutup oleh pemerintah dalam lima bulan terakhir.

Menurut para aktivis demokrasi, merebaknya blog dan forum diskusi internet tentang kisruh politik di Kerajaan Thailand telah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Ini mendorong lahirnya usaha penyensoran terhadap suara-suara yang dinilai membangkang.

Pemerintah bentukan kudeta itu telah menerbitkan sebuah aturan penggunaan internet pada 2007. Tampaknya rezim terbaru di bawah Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva pun ikut melaksanakannya dengan penuh semangat. Lebih dari 4.800 halaman situs ditutup sejak Maret 2008 karena dianggap berisi penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Belum lama ini, penulis Harry Nicolaides asal Australia ikut dihukum penjara tiga tahun karena didakwa menghina Raja Bhumibol Adulyadej dan putra mahkota Maha Vajiralongkorn di dalam novelnya.

Peran kerajaan di kancah politik Thailand memang tetap menjadi isu paling sensitif. Hanya sedikit koran lokal yang berani membahasnya. "Media Thailand sekarang sudah sepenuhnya dijinakkan. Mereka tidak berani melaporkan kasus lese majeste (penghinaan terhadap raja) atau setiap suara antipemerintah. Jadi, orang berusaha mengekspresikan pendapat melalui internet. Inilah yang berusaha disetop pemerintah," ujar profesor ilmu politik Giles Ji Ungpakorn.

Saat ditanya soal sensor, Abhisit menyatakan Thailand bukan satu-satunya negara di dunia yang menutup situs berisi berita atau pendapat yang bernada ofensif. Sementara itu, departemen komunikasi Thailand telah merancang 'ruang khusus' untuk memonitor internet. (M Anwar S/I-3)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/06/ArticleHtmls/06_02_2009_010_009.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: