Ketika Pribumi Jawa Lesehan di Gereja
Megawati Soekarnoputri dan Fatmawati pernah berlindung di Gereja Santo Yusuf saat agresi Belanda di Yogyakarta.
Bagaimana cara umat Katolik Jawa pada masa lalu beribadah di gereja? Inilah reportase yang tertulis di majalah Gereja Katolik Santo Claverbond saat berlangsung peresmian Gereja Santo Yusuf di Bintaran, Yogyakarta, pada 8 April 1934: "Seluruh tempat di bagian depan penuh sesak. Di atas tikar yang digelar memenuhi ruangan, masyarakat Katolik Jawa duduk berimpit-impit. Di sebelah kiri, duduk para lelaki dan anak-anaknya, sedangkan di sebelah kanan duduk para ibu dan anak perempuan mereka. Di belakang, di atas bangku, duduk para romo, bruder, frater, warga masyarakat Eropa, dan orang-orang Jawa terkemuka".
Saat itu umat Katolik pribumi Jawa tidak duduk di kursi sebagaimana umat Katolik Belanda ketika berlangsung kebaktian di gereja. "Mungkin karena mereka (pribumi) merasa tak nyaman," kata Pastur Kepala Gereja Santo Yusuf Bintaran, Romo F.X. Agus Suryana Gunadi Pr, Rabu lalu. Menurut dia, penduduk pribumi Jawa merasa tak nyaman duduk di kursi karena sudah terbiasa duduk lesehan dan sehari-hari mengenakan kain panjang sebagai pakaian.
Selain itu, kata dia, mereka memiliki sikap ewuh pakewuh yang kental, apalagi berbaur dengan bangsa asing yang derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Romo Gunadi menambahkan, dulu bagian depan dekat altar dikosongkan dari bangku panjang. Di atas lantai itu digelar tikar dari bambu tutul. Di atas tikar itulah kaum pribumi Jawa duduk lesehan dengan khusyuk saat beribadah. Di belakang mereka, kaum kulit putih berjas lengkap duduk di bangku panjang.
Suasana beribadah yang sama juga berlangsung di Gereja Santo Yusuf. Gereja itu adalah gereja Katolik Jawa pertama di Yogyakarta. Sekitar 1.800 umat Katolik pribumi Jawa antusias datang saat peresmian gereja itu. Maklum, sebelum gereja itu selesai dibangun, pribumi Jawa terpaksa berdesakan mengikuti kebaktian di gudang Gereja Kidul Loji. Sebab, bagian utama gereja sudah dipenuhi warga Belanda.
Meski gereja Jawa, gereja itu berlokasi di kawasan Bintaran yang merupakan kawasan permukiman penduduk Eropa. Tapi saat itu penduduk pribumi Jawa di kawasan Bintaran mulai bermunculan. "Gereja ini hadiah dari Gereja Kidul Loji kepada pribumi Jawa," ujar Romo Gunadi. Bahkan, arsitektur bangunannya pun bukan arsitektur Jawa, melainkan gaya Eropa yang dirancang oleh arsitek Belanda, JH van Oijen, BNA.
Gereja itu juga dipimpin oleh pastor warga negara Belanda, Rm AACM de Kuyper SJ. Ia dibantu oleh rohaniwan pribumi Jawa, RM Soegijopranoto SJ, yang kemudian menjadi Uskup di Semarang dengan gelar Monsinyur (Mgr).
Sebagai hadiah, arsitektur gereja itu memang memiliki karakter istimewa yang berbeda dibanding gereja lainnya. Atap gereja itu menyerupai lokomotif kereta yang membujur dari utara ke selatan. "Itu bentuk barrel vault atau setengah silinder. Jadi, tidak disengaja membentuk lokomotif, hanya mirip saja," kata Agustinus Madyana Putra S.T., salah satu arsitek dalam tim pemugaran dan pelestarian Gereja Santo Yusuf.
Kekhasan lainnya ada pada penampilan ventilasi udaranya yang berupa lingkaran berdiameter satu meter dan menyerupai bentuk bunga mawar atau rose window. Istilah itu sebenarnya ada dalam dunia desain. Tapi, dalam tradisi gereja, bentuk bunga mawar merupakan simbol penghormatan kepada Bunda Maria. Keberadaan ventilasi bunga mawar itu di Santo Yusuf juga istimewa. "Di (gereja) Bintaran ada 72 rose window, kalau di gereja lain hanya satu atau dua," kata Agus.
Puluhan ventilasi itu mengitari dinding bagian atas ruang kebaktian, mulai dari bagian depan bangunan hingga samping kiri dan kanan. Jadi, ruangan yang luas itu terasa sejuk. "Desain gereja itu mengacu konsep Basilika, yaitu konsep gereja lama," ujar Agus. Pada konsep Basilika, ada badan bangunan di bagian tengah yang diapit oleh bangunan serambi di kiri dan kanan.
Sementara itu, di bagian dalam gereja, tepatnya pada sisi barat dan timur dinding, terpampang 14 lukisan Jalan Salib. Lukisan yang menceritakan kronologi penyaliban Yesus itu berukuran 2,4 meter x 2,4 meter yang dibuat pada 1930-an. Lukisan itu merupakan reproduksi dari lukisan serupa di Gereja Katedral Jakarta.
Perubahan yang mencolok terlihat pada bentuk altar, tempat meletakkan Tabernakel, yaitu tempat menyimpan roti yang disucikan yang dipercaya sebagai tubuh Kristus. Sejak diresmikan, posisi altar itu berimpitan dengan dinding di sisi selatan. Saat itu pastor maupun umatnya menghadap ke utara.
Tapi terjadi perubahan pada Konsili Vatikan II di Roma, 1965, yang melahirkan konsep gereja berbaur dengan masyarakat. Sebelumnya, gereja sekadar tempat ibadah. Salah satu konsep itu menganggap ibadah adalah perjamuan, bukan sekadar menyembah pada fokus tertentu. Maka posisi meja altar pun berubah: letak altar jadi agak ke tengah seperti posisi perjamuan di meja makan. Sedangkan pastor menghadap ke umat, lantas umat pun menghadap ke depan dan samping. "Tapi kami masih meletakkan altar lama pada posisinya, sekadar simbol sejarah saja," kata Romo Gunadi.
Tak hanya bentuk bangunannya yang menyiratkan sejarah masa lalu di era kolonial. Gereja yang ada di sudut jalan pertemuan antara Jalan Bintaran Kulon dan Bintaran Tengah yang berdiri di atas tanah seluas 5.500 meter persegi itu juga menyimpan banyak aktivitas sejarah. Menurut Romo Gunadi, di gereja itulah pertama kali diadakan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) pada 1948, yang kemudian melahirkan Partai Katolik. Di sana jugalah pertama kali muncul gagasan bahwa gereja harus berperan di tengah masyarakat, tak sekadar simbol ibadah tiap hari Ahad. Gagasan itu pun menjadi anutan bagi gereja se-Indonesia, bahkan se-Asia.
Cerita lainnya, kata Romo Gunadi, Megawati Soekarnoputri dan ibunya, Fatmawati, pernah disembunyikan di gereja itu oleh Bung Karno saat berlangsung agresi Belanda di Yogyakarta. Keduanya diamankan di ruang sisi selatan gereja yang kini menjadi kantor Yayasan Kanisius. Menurut Romo Gunadi, mereka dititipkan karena Soekarno diduga memiliki hubungan baik dengan Mgr Soegijopranoto SJ (almarhum). Sebab, sang pastor rajin menulis artikel di media asing yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Soekarno pun memberi hadiah lukisan Bunda Maria kepada Soegijopranoto. PITO AGUSTIN RUDIANA
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Berita_Utama-Jateng/krn.20090206.155913.id.html
Ketika Pribumi Jawa Lesehan di Gereja
Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 09.56
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar