BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Atas Nama Politis atau Profesionalisme?

Atas Nama Politis atau Profesionalisme?

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 10.31

BANYAK kalangan menilai pergantian jajaran direksi Pertamina bernuansa politis. Maklum, pergantian dilaksanakan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.


Selain itu, insiden terbakarnya Depo Plumpang atau sering terjadinya kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) belum terlalu kuat dijadikan alasan pergantian. Asumsi aroma politis itu cukup beralasan. Sebab, selama ini PT Pertamina dianggap sebagai lumbung basah, sumber penghasilan yang amat potensial. Siapa sosok yang duduk di jajaran top manajemen seolah-olah terkesan memiliki kepentingan.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa pergantian jajaran direksi ini sengaja dilakukan guna menyelamatkan agenda politik pihak tertentu. Direktur Eksekutif Refor- Miner Institute Priagung Rakhmanto misalnya melihat formasi direksi Pertamina yang baru masih mencerminkan kompromi berbagai kepentingan. ”Saya ragu, kalau seperti ini, akan ada perbaikan yang signifikan di Pertamina,” kata dia di Jakarta,kemarin.

Koordinator Pertamina Watch Khoiruddin menyebut bahwa alasan-alasan pemerintah untuk mengganti Direktur Utama (Dirut) Pertamina tidak cukup kuat.Alasan kelangkaan BBM dan terbakarnya Depo Pertamina Plumpang disebutnya mengadaada. Kelangkaan BBM hanya terjadi 3,8% dari semua wilayah distribusi sehingga ini belum menjadi cukup alasan. Mengenai kebakaran Depo Plumpang, menurut dia, bukan murni kesalahan Pertamina.

Sebab depo tersebut merupakan aset negara yang seharusnya bersama-sama dijaga oleh semua pihak, bukan hanya Pertamina. Khoiruddin pun menilai pergantian direksi ini berbau politis. ”Karena tanpa didasari evaluasi kinerja Pertamina. Sejak 2006 hingga kini Pertamina justru menunjukkan beberapa perkembangan positif,”paparnya. Toh, bukan hanya mereka yang meragukan pernyataan pemerintah bahwa pergantian direksi ini murni alasan profesionalisme.

Kenyataannya, cukup sering terjadi bongkar pasang direksi dalam perjalanan Pertamina. Sejak 1998,terjadi enam kali pergantian direksi, yaitu Soegijanto (9 bulan), Martiono (1 tahun 2 bulan), Baihaki Hakim (3 tahun 6 bulan) Ariffi Nawawi (11 bulan), Widya Purnama (1 tahun 7 bulan), Ari Soemarno (sejak 2006), serta kini terakhir Karen Agustiawan yang dilantik kemarin. Seringnya bongkar pasang jajaran top manajemen Pertamina tak urung membentuk opini umum di masyarakat.

Mereka menilai unsur politis lebih kental dalam pergantian ketimbang kepentingan bisnis untuk mengembangkan perusahaan pelat merah itu. Mendapati fakta terpilihnya Karen Agustiawan sebagai Dirut Pertamina,Khoiruddin mengingatkan tentang gangguan-gangguan tangan politis yang mungkin bisa memengaruhinya.”Seberapa lama Karen bisa bertahan duduk di kursi pimpinan Pertamina?”ujar Khoiruddin.

Keraguan itu bukan untuk menyangsikan kemampuan profesional Karen, melainkan daya tahannya dalam melewati semua gangguan politis atas kinerjanya. Pemerintah membantah keras ada titipan politik dalam pergantian Dirut Pertamina ini.Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pertimbangan utama dalam memilih Dirut Pertamina lebih pada sisi teknis. Karen terpilih karena pertimbangan prestasinya semasa menjadi direktur hulu.

Sementara Omar S Anwar dipilih sebagai wakil dirut karena pertimbangan kemampuannya di bidang keuangan dan skill manajerial lain. Ini hampir mirip modelnya dengan pemilihan Dirut dan Wadirut PLN. Formasinya serupa. ”Kita departemen ini tidak melihatnya dari politis. Kita melihat dari itu keperluan kita sebagai departemen teknis,” kata Purnomo.

”Kita bukan departemen politik. Kita departemen teknis,”imbuhnya. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil pun ikut membantah ada bau politis dalam pemilihan Karen. ”Siapa bilang titipan? Tidak!” tegasnya. Dia menjelaskan, alasan pergantian itu karena perusahaan migas milik negara itu perlu perubahan. Dia menilai pergantian itu merupakan hal yang wajar. ”Kalau soal timing,kita tidak mengganti orang setiap saat. Misalnya kita menganggap perlu adanya peremajaan,” ujarnya.

Evaluasi pun akan dilakukan tahunan atau tengah tahunan untuk menilai kinerja mereka. Dia mengakui, yang ikut dalam fit and proper test calon Dirut Pertamina ada tujuh kandidat. Namun, setelah mengikuti serangkaian tes dan wawancara, tim yang terdiri atas Menteri Negara BUMN,Menteri ESDM,Menkeu, dan Komisaris Pertamina itu memutuskan mengirimkan dua nama––Karen Agustiawan dan Omar S Anwar––ke Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Fit and proper test yang dilakukan pada Sabtu (31/1) itu membutuhkan waktu sekitar enam jam yang dimulai pukul 17.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Dia mengungkapkan, dalam proses seleksi yang dilakukan tim, baik fit and proper testdan TPA bersih dari intervensi politik.”Tidak ada karena pertimbangannya yang terbaik untuk Pertamina,” tandasnya. Bantahan ada unsur politis dalam pergantian juga muncul dari Istana.

Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa mengatakan, Presiden SBY selama ini tidak pernah memanggil Karen untuk pemantapannya sebagai pengganti Ari Sumarno. Hatta menjelaskan, proses penggantian direksi Pertamina kali ini sudah mengikuti prosedur, yakni fit and proper testdan pemilihan oleh tim penilai akhir yang dipimpin oleh Presiden SBY. ”Jadi tidak ada istilah drop-dropan, semua pakai proses,”ujarnya. Menanggapi pro-kontra aroma politis pemilihan dirinya, Karen Agustiawan dengan tegas menyatakan tidak ingin diintervensi dalam memimpin Pertamina.

”Kalau melaksanakan tugas untuk perbaikan Pertamina dan keutuhan negara, saya minta kewenangan penuh,” tandasnya. Dia menegaskan, jika ada intervensi politik terhadap kinerjanya hingga merugikan negara atau perseroan yang dipimpinnya, hal itu tidak akan dilayani. Senada dengan Karen, selaku Wadirut terpilih Omar S Anwar juga membantah ada nuansa politis dalam pemilihan dirinya.Menurut dia, secara organisasi Pertamina sudah memenuhi kriteria sebagai perusahaan yang mengedepankan asas good corporate governance.

Mulai jajaran pemegang saham, komisaris, pelaksana serta pengawasan yang dilakukan oleh banyak pihak. Karena itu,kecil kemungkinan intervensi politik dengan mudah dilakukan untuk memengaruhi kinerja Pertamina. ”Tidak ada titipan politik, itu profesional,”bantahnya. Anggota Komisi VII DPR Alvin Lie meminta berbagai pihak untuk tidak menghakimi mereka sebelum bekerja. Pasalnya, kinerja direksi baru bisa dinilai setelah enam bulan hingga satu tahun.

Terpenting, dia menegaskan, para direksi dan komisaris bisa menjaga diri agar tidak hanyut dalam kepentingan pejabat maupun partai mana pun. ”Mereka harus komit kepada kepentingan negara,”ucapnya. Wakil Ketua Komisi VII DPR Ahmad Farial pun berharap pergantian itu tidak dijadikan komoditas politik oleh pihak-pihak tertentu menjelang Pemilu 2009. Tidak perlu muncul kecurigaan Pertamina dijadikan sumber dana menjelang Pemilu 2009.

”Pertamina sudah memiliki sistem yang baku, yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan,”tandas dia. Farialberharap,Pertamina diberi kebebasan untuk bisa menjadi perusahaan besar kelas dunia dan tidak diintervensi oleh siapa pun dan untuk kepentingan apa pun. (j erna/abdul malik/ islahuddin/rarasati syarief/ahmad baidowi)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211341/38/
Share this article :

0 komentar: