Enam Bulan Menjadi Politisi
Tanggal 9 April 2009 adalah hari penentuan, bagi setiap celah harapan yang ada dalam diri pelaku-pelaku politik. Mereka yang mengerti. Mereka yang paham. Atau barangkali tidak mengerti dan tidak paham, tetapi sebaiknya bukan dari generasi yang sudah memerdekakan diri dengan kebebasan informasi di dunia maya ini.
Kita tahu bangsa ini sudah lama memerdekakan diri dari belenggu kolonialisme. Pendudukan bersenjata yang menempatkan nyawa di ujung peluru kaum kolonialis, tinggal sebagai sejarah atau cerita para orang-orang tua. Tetapi kita masih seperti itik patah dalam memburu tujuan-tujuan kemerdekaan itu.
60 hari lebih sedikit lagi dari sekarang, setiap orang berhak menyatakan pendapatnya. Apakah anda akan turut serta sebagai unsur yang bisa merubah arah perjalanan bangsa, atau sekadar turut melihat saja setiap tahapan sejarah dipaku dan dititi oleh orang lain? Kalau anda bagian dari itu, maka berikanlah suara kepada siapapun yang dirasa pantas menerimanya.
Tentu anda memiliki penilaian, positif, negatif, atau abu-abu. Ketika memberikan penilaian, itulah hak dasar yang diberikan oleh konstitusi negara ini, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan untuk berkumpul. Pada akhirnya, anda harus berpihak, walau hanya sesaat saja, di kotak suara, dalam menentukan pilihan anda itu.
Saya adalah satu dari generasi yang skeptis atas perubahan, tetapi telanjur percaya kepada demokrasi. Generasi saya terlalu takut dengan baju loreng di jalanan. Ketakutan itu ditambah dengan penyensoran buku dan pikiran. Tidak jarang generasi saya yang suka membaca buku, harus bersembunyi dari siapapun ketika membaca buku-buku bersampul merah dan hijau. Untuk membebaskan diri dari ketakutan, malam-malam berhujan seperti sekarang adalah kesempatan untuk mengetikkan pikiran pada mesin tik yang buruk yang saya beli di pasar rumput Manggarai.
Ketika memulai hari-hari jelang reformasi, setiap langkah berarti ketakutan. Mustahil tidak ada rasa takut dalam diri para demonstran. Siapapun yang berurusan dengan gugatan atas rezim, selalu mencoba menghindarinya dengan cara apapun. Saya melihat dan mencatat siapa saja sosok-sosok berani yang mengatakan “Tidak!” kepada Soeharto, lalu menghilang dalam arus perubahan. Sebagian dari mereka berada di kampus-kampus, dalam dan luar negeri sekarang ini.
Api yang membakar jalanan Pangeran Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996 adalah satu fase yang saya saksikan langsung. Merah itu api. Sementara air juga menyapu bekas-bekas darah yang disemprotkan dari mobil pemadam kebakaran. Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan beragam gerakan, siasat, perselisihan, permusuhan, persahabatan, sampai upaya menjalankan niatan dan roda nasib masing-masing.
Dan sepuluh tahun kita berada dalam zaman baru. Tentu siapapun berhak menilai, apa yang terjadi. Dalam sepuluh tahun ini, saya banyak mencatat, menganalisa, tetapi mungkin hanya mengeluarkan gerutuan demi gerutuan. Ada 500-an catatan yang saya buat, dalam bentuk artikel, buku, jurnal, makalah dan lebih banyak lagi dalam bentuk laporan para jurnalis.
Karena tidak ingin letih mencatat perubahan, terutama dari pusat-pusat informasi di kalangan elite Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia, tanggal 6 Agustus 2008 lalu saya memutuskan untuk hijrah sebagai pelaku politik. Saya menjadi satu di antara puluhan ribu politisi yang mencoba melakukan sesuatu, sesedikit apapun.
Saya pulang kampung, ke Sumatera Barat, setelah 17 tahun merantau. Kali ini, barangkali bukan menyandang prediket intelektual, tetapi politisi yang baru belajar menjadi politisi.
***
Telah enam bulan saya berjalan. Berpidato di banyak tempat, berdiskusi dengan beragam lapisan masyarakat, mencoba melawan arus politik lama yang penuh dengan permintaan atas uang, sembari mencoba cara sendiri untuk menunjukkan apa itu politik. Tentu, saya tidak pernah takut gagal. Ketakutan utama saya adalah generasi muda di bawah saya nanti tetap terbelit dengan metoda peraihan kekuasaan politik dengan jalan-jalan pintas.
Saya juga tidak memikirkan keberhasilan. Setiap hari adalah bagaimana mengontrol hati, pikiran dan perasaan, dalam menghadapi beragam bentuk perseteruan politik. Saya meniti lagi arus deras politik dan mencoba untuk tidak tenggelam. Mungkin, ada banyak yang terkejut dengan kehadiran saya di dunia politik, baik di kampung atau di tempat lain. Saya berani mengatakan “Tidak!” kepada bentuk-bentuk permintaan yang tidak masuk akal.
Tentu saya bersyukur atas perhatian dan dukungan beberapa orang dari kalangan muda. Mereka menjadi sangat militan. Cara berpikir mereka berubah atas tujuan-tujuan hidup dan politik. Saya tidak menyangka bisa menyaksikan diskusi terjadi di kalangan adik-adik yang tidak tamat SMA, tamat SMA sampai baru mulai menyelesaikan kuliahnya. Saya tercengang dengan kemampuan mereka menghadapi dan menganalisa keadaan.
Pertarungan politik bagi saya adalah bagaimana ide-ide lama ditolak dan ide-ide baru diterima. Maka saya tidak melihat siapa yang bicara, tetapi apa yang dia bicarakan. Boleh saja usianya tua dan mengaku berpengalaman dalam politik, tetapi ketika orang itu tidak juga bersedia menerima ide-ide baru yang lebih genuine, bagi saya orang itu layak untuk hanya ditemui sesekali.
Tidak banyak yang saya pikirkan lagi, kecuali agar adik-adik ini menemukan ritme yang tepat dalam memikirkan masa depan buat mereka sendiri. Ketika dulu mereka sibuk dengan arus yang mencengkeram dari dunia lain, seperti konsumtivisme, sekarang mereka sudah pelan-pelan berhasil menolaknya dan mulai memikirkannya. Energi dalam diri mereka mulai mengalir, menghadang terpaan energi negatif dari luar.
Enam bulan yang singkat. Ya, mungkin anda berpikir saya tidak peduli dengan terpilih atau tidak. Tidak. Tentu saya ingin terpilih. Yang saya harapkan, perubahan yang sedikit demi sedikit itu berlanjut, sehingga bangunan generasi baru yang matang untuk menjalankan kehidupan di masyarakat, bangsa dan negara ini benar-benar siap. Makanya, saya tidak terlalu berpikir tentang siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden tahun 2009-2014 ini. Yang layak dipikirkan adalah munculnya pembaharuan dalam proses suksesi tahun 2014, tahun 2019, tahun 2024 dan seterusnya.
Kalau anda merasa bagian dari itu, dari generasi manapun anda, berapapun usia anda, maka dukunglah saya. Kita bersama-sama, bergandengan tangan, kolektif, mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Saya menulis ini ketika anak saya yang berusia 10 bulan dan 6 tahun sudah terlelap tidur. Entah dunia seperti apa yang mereka hadapi kelak, kalau kita tidak bergegas hari ini mempersiapkan dunia yang lebih baik.
Selamat berkarya dan menjalankan aktivitas harian anda. Sukses bersama buat kita. Bagi yang ingin menjadi bagian dari masyarakat baru yang bertanggungjawab kepada masa depan bersama, serta melihat jabatan anggota parlemen sebagai jabatan publik, silakan mulai dengan cara-cara sehat, yakni memberikan donasi kepada politisi yang anda sukai. Kalau itu adalah saya, silakan anda kirimkan pertanyaan via email saya: pi_liang@yahoo.com dan indrajayapiliang@yahoo.com.
Jakarta, 06 Februari 2009.
Hormat Saya,
Indra Jaya Piliang, SS, M.Si
Calon Anggota DPR RI Nomor Urut 2 dari Partai Golkar dengan daerah pemilihan Sumatera Barat 2 (Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat).
Enam Bulan Menjadi Politisi
Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 13.43
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar