BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Frans Seda, Tokoh Katolik dan Mantan Menteri Keuangan Orba: Saya Setuju Syari’at Islam Tanpa Paksaan

Frans Seda, Tokoh Katolik dan Mantan Menteri Keuangan Orba: Saya Setuju Syari’at Islam Tanpa Paksaan

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 09.41

Frans Seda, Tokoh Katolik dan Mantan Menteri Keuangan Orba: Saya Setuju Syari’at Islam Tanpa Paksaan


Pada 4 November 2006, mantan Menteri Keuangan era Soeharto, Frans Seda datang berkunjung ke Markaz Majelis Mujahidin, Jogjakarta. Lelaki renta berumur 80 tahun itu, nampak lelah dan terhuyung ketika memasuki ruang pertemuan dengan dikawal dua orang bodyguard berkacamata hitam. “Saya ingin menyambung pertemanan historis antara tokoh Islam dan Non Islam. Saya kenal baik dengan Mohammad Natsir, Kasman Singodimejo, Safruddin Prawiranegara, dan sekarang saya ingin meneruskan hubungan baik itu dengan pimpinan Majelis Mujahidin, Pak Ba’asyir,” kata Frans Seda menerangkan maksud kehadirannya di Markaz Majelis Mujahidin. Ikut dalam rombongan Frans Seda –seperti dituturkan- adalah Chris Siner Key Timo (anggota petisi 50), Paulus Harry (Ketua Ikatan Sarjana Katolik), Joko Wiyono (Ketua Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta), Polikarpus da Lopes (Ketua Solidaritas Aksi Katolik Indonesia), Barnabas Hura (Forum Komunikasi PMKRI), dan
Hartono Jusuf (Budha).

Irfan S. Awwas, selaku Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, mengawali pertemuan dengan kata pembuka: “Pertama sekali saya ucapkan terima kasih kepada para tamu. Kami tidak menduga, pada saat MM difitnah sebagai gerakan Islam radikal dan Ustadz Ba’asyir dituduh teroris oleh Amerika, tokoh-tokoh Katolik dan Budha malah datang berkunjung, mudah-mudahan saja pertemuan ini bermanfaat bagi kita dan bangsa Indonesia. Kami, tentu saja akan senang jika para tamu memperkenalkan diri dan sekaligus menyampaikan secara terbuka dan terus terang, maksud dan harapan dari pertemuan ini.” Pertemuan Sabtu siang itu, Amir Majelis Mujahidin (MM), Ustadz Abu Bakar Ba’asyir didampingi pengurus Lajnah Tanfidziyah MM: Irfan S. Awwas, Dr. Harun Rasyid, Shabbarin Syakur, dan Fauzan Al-Anshari.

Usai perkenalan, Frans Seda langsung pada persoalan yang jadi tujuan utamanya berkunjung menemui pimpinan MM: “Kita boleh berbeda pendapat tapi tetap satu bangsa, maka selalu saya upayakan untuk melakukan ‘silaturrahmi’ karena kita tahu dalam kehidupan berbangsa kita perlu kebersamaan. Kita mau bertanya pada Pak Ba’asyir, sebagai wujud kebebasan beragama, bukan dalam rangka mau menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam, kalau orang Islam ingin melaksanakan Syari’at Islam, oke! Tapi mengapa Majelis Mujahidin ingin melaksanakan Syari’at Islam melalui UU negara? Kami juga berkeinginan melaksanakan ajaran Kristen, tapi tidak dalam format lembaga negara. Apakah keinginan untuk melaksanakan Syari’at Islam melalui UU bukan berarti pemaksaan?

Ustadz Ba’asyir : Mungkin Pak Frans belum paham makna kebebasan beragama menurut Islam, maka perlu saya terangkan dulu. Kebebasan beragama, artinya masing-masing umat beragama bebas untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya, termasuk cara mengamalkannya, tidak boleh dihalangi oleh umat agama lain.

Di dalam Al-Qur’an ada pernyataan resmi, bahwa dalam menyiarkan (mendakwahkan) Islam dilarang memaksa Non Muslim untuk masuk Islam, baik secara halus maupun kasar. “La ikraha fiddin qattabayyana rusydu minal ghayyi (Qs. 2:256)” (Tidak boleh ada paksaan untuk memasuki dienul Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat). Maka, bagi orang Islam, hanya diperintahkan untuk menasihati (mendakwahi) supaya orang Non Islam masuk Islam, bukan memaksa. Dalam hal ini, jika ada orang kafir minta tolong misalnya, kami tidak dilarang untuk memberi pertolongan menurut kemampuan, tetapi kami tidak boleh memanfaatkan kelemahan orang lain untuk memaksanya pindah agama. “Saya mau tolong anda dengan syarat masuk Islam,” cara demikian dilarang agama kami. Seseorang boleh menerima Islam setelah diberi pengertian bahwa Islam itu agama yang paling benar, bila belum mau diajak berdiskusi, tidak mau juga tidak boleh dipaksa. Jadi, sungguh
keliru pendapat orang yang menyatakan Islam disiarkan dengan pedang, atau kekerasan.

Tetapi benar, bahwa Islam harus dibela dengan lisan, dan juga kekuatan senjata. Bila dakwah Islam ditolak dengan argumentasi, maka harus dibela secara argumentatif. Bila ditolak atau diserang dengan menggunakan kekuatan senjata, maka kami diperintahkan juga menghadapai serangan itu dengan kekuatan senjata. Oleh karena itu Islam tidak boleh dipisah dengan senjata, bukan bermaksud untuk membunuh umat agama lain. Tapi, untuk membela diri sekaligus untuk menghentikan ancaman dan gangguan terhadap Islam dan umat Islam.

Di dalam Al-Qur’an ajaran yang bunyinya “laa yanha kumullahu ‘anilladzina lam yuqatilukum fiddin wa lam yukhrijukum mindiyarikum….. (Qs.60:8). (Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (Non Muslim) yang tidak memerangi agamamu dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Jadi, menurut Islam, selama orang kafir atau Non Muslim tidak memerangi, tidak menganggu dan menghalang-halangi usaha-usaha umat Islam untuk mengamalkan Syariat-Nya, kami dianjurkan untuk memperlakukan orang lain dengan baik dan adil. Ini aturan dari Allah langsung ditetapkan melalui kitab suci Al-Qur’an. Bahkan, jika terjadi peperangan antara orang-orang Islam dengan orang kafir, Rasulullah Saw menasihati jangan membunuh wanita, jangan membunuh anak-anak, jangan membunuh pendeta yang sedang beribadah (atau ketika itu tidak terlibat di dalam peperangan). Selama tidak mengganggu, ya kita bisa bergaul dengan baik, malah di dalam Al-Qur’an
disebutkan jangan mencaci tuhan-tuhan mereka. Kalau ada orang kafir menyembah batu, jangan dicaci agar dia tidak berbalik mencaci Allah Swt.

Perlu saya beritahukan, bahwa sebenarnya Islam itu bukan sekadar agama dalam pengertian ritual. Islam bukan hanya aturan cara menyembah Allah. Tetapi Islam adalah Addin. Din al-Islam di dalam bahasa Arab berarti undang-undang (nidhamul hayah), tatanan atau sistem untuk mengatur hidup manusia. Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan “Waradhitu lakumul Islamadina” (aku ridha Islam sebagai Din bagimu). Artinya, Islam sebagai undang-undang atau peraturan hidup. Di dalam Al-Qur’an terdapat kalimat Dinul Malik, maksudnya bukan Agama Raja, tetapi UU Raja untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Karena itu, Islam tidak hanya mengajarkan tata cara menyembah, tata cara shalat, zikir. Tetapi Islam juga mengatur tata cara perkawinan, mulai cara melamar calon istri/suami, setelah jadi suami istri bagaimana cara bergaulnya, apa hak suami terhadap istri dan sebaliknya hak istri terhadap suami, semua diatur termasuk bila terjadi perceraian. Bagaimana bertetangga dengan
sesama Muslim dan Non Muslim, dan bagaimana cara mengatur negara, menyelenggarakan pemerintahan, juga diatur di dalam Islam.

Mengamalkan Syari’at Islam melalui lembaga negara adalah keyakinan Islam, bukan politis. Maka, Nabi Muhammad memberi contoh cara mengamalkan Islam yang benar, yaitu harus dengan kekuasaan negara. Tidak sempurna pengamalan Islam jika hanya dilaksanakan secara individu, tapi harus melalui konstitusi negara. Maka kalau ada orang yang menyatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara, atau yang penting substansinya bukan formalisasinya, adalah suatu penyelewengan yang sangat jauh dari Islam. Nabi Muhammad diutus Allah, disamping untuk menerangkan tatanan hidup menurut konsepsi Allah Swt juga sebagai uswah hasanah (contoh baik yang harus ditauladani) dalam hal bagaimana mengamalkan Dinul Islam itu.

Jika Islam menjadi UU, tidak ada alasan bagi Non Muslim untuk khawatir dipaksa masuk Islam, atau dilarang melaksanakan keyakinannya. Bila menurut keyakinan agamanya, orang Kristen wajib melaksanakan kebaktian tiap hari minggu, atau menurut keyakinannya pemeluk Kristen boleh minum bir, anggur, makan daging babi, tidak akan dihalangi. Negara akan mengatur pelaksanaannya agar tidak mengganggu umat lain yang berbeda keyakinan. Misalnya, pada bulan suci Ramadhan, orang Islam wajib berpuasa, lalu negara membuat UU tentang larangan membuka warung makan di siang hari, khusus orang Islam. Non Muslim boleh saja membuka warung, sejauh tidak mengganggu Muslim yang sedang puasa, dan yang boleh membeli di warung makan itu hanya Non Muslim. Kalau ada orang Islam ikut makan yang berarti dia melanggar kewajiban puasa, terkena sanksi UU.

Jika sekarang Majelis Mujahidin, berusaha supaya Syari’at Islam menjadi hukum positif, itu bukan politik pak, melainkan keyakinan agama. Seperti keinginan Anda melaksanakan ajaran Kristen tidak melalui negara, itu hak Anda, kami tidak boleh ganggu gugat. Harapan kami, Anda juga jangan ganggu keyakinan kami untuk melaksanakan Syari’at Islam melalui lembaga negara. Maka, kalau Syari’at Islam tidak boleh menjadi UU negara, padahal mayoritas penduduk negeri ini orang Islam, jelas suatu kedhaliman. Bukan kedhaliman terhadap politik, tapi kedhaliman terhadap keyakinan agama.

Frans Seda : Saya kira begini Pak Ba’asyir, yang diingini orang Islam bagi kita tidak masalah. Masalahnya, ketika orang Islam bergaul dengan kita, praktiknya berbeda dengan yang diuraikan tadi. Saya pernah mengikuti diskusi antara pak Mohammad Natsir sama Kartosuwiryo. Pak Natsir katakan dia setuju dengan Bung Karno memperjuangkan Syari’at Islam melalui demokrasi, lalu ia menentang Kartosuwiryo, you salah kalau pake senjata. Lantas Kartosuwiryo bertanya pada Natsir, kalau kita diserang bagaimana? Kalau kau diserang, ya kau balas. Tapi sekarang kau menyerang, kau menyalahi agama Islam. Kita juga orang Islam, agama Islam harus tegak tapi cara kita berbeda. Kamu mau panggul senjata, saya tidak mau, kata Natsir. Kalau kita ketemu orang Islam yang sependapat dengan Pak Ba’asyir, melaksanakan Syari’at Islam tanpa paksaan, saya setuju sekali. Tapi, umat Islam beda-beda.

Saya mengalami sendiri pak. Saya bertemu seseorang yang mengatakan, Frans seharusnya kau hubungi polisi karena kamu berada di tengah musuh, cepat kamu pergi dari situ kalau tidak kamu dibunuh. Sering umat Islam yang mengaku Muslim memusuhi kita, itu yang jadi masalah.

Ustadz Ba’asyir : Islam tidak mengajarkan untuk memusuhi orang lain karena perbedaan suku, agama, ras. Prinsipnya, bukan asal memusuhi tapi harus ada alasan syar’i, seperti Non Muslim memerangi, mengusir, dan membantu orang lain mengusir umat Islam. Sudah diterangkan tadi tentang konsep dan cara mengamalkan Islam melalui lembaga negara. Kalau ada yang menghalangi, itu namanya memusuhi keyakinan agama kami. Bila mereka menghalangi dengan argumentasi, maka kami hadapi secara argumentatif. Bila menghalangi menggunakan kekuatan senjata, maka Islam memerintahkan pada kami untuk menghadapinya dengan cara yang sama, jihad dengan senjata.


Frans Seda : Kalau ada yang tidak setuju dengan keyakinan itu bagaimana?


Ustadz Ba’asyir : Boleh saja tidak setuju terhadap keyakinan kami, seperti juga kami tidak setuju dengan keyakinan bapak yang mengatakan tuhan punya anak, atau melaksanakan agama tanpa formalisasi dalam UU. Karena itu jangan mengganggu keyakinan kami, dan kami pun tidak akan mengganggu keyakinan Anda. Harus diakui, perbedaan di antara umat beragama pasti ada. Pak Frans menganggap ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu tidak betul. Atau tidak mau mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi, saya bisa mengerti. Tidak apa-apa. Begitupun, saya berkeyakinan perayaan Natal itu suatu perbuatan bathil, perbuatan salah. Menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan adalah kesesatan, mestinya Anda juga tidak marah ‘kan. Karena itu menyangkut keyakinan, tidak bisa dipaksa. Maka tidak perlu ada ajakan natal bersama, do’a bersama dan sebagainya.


Frans Seda : Bagaimana kalau ada orang Islam yang mengganggu kita?


Ustadz Ba’asyir : Kalau bapak tidak mengganggu orang Islam, lalu ada orang Islam yang mengganggu orang Kristen seperti bapak, jelas itu salah, dia orang Islam yang bodoh. Allah Swt tidak melarang kamu untuk berbuat adil dan baik kepada Non Muslim yang tidak memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negerimu dan tidak membantu orang lain untuk mengusir kamu.” Tetapi kalau Non Muslim mulai memerangi kamu, tegas Islam memerintahkan: Putus hubungan, dan perangi mereka.


Frans Seda : Pak Ba’asyir, Non Islam memerangi Islam, karena orang Islam sendiri memerangi mereka?


Ustadz Ba’asyir : Silahkan tunjukkan bukti. Kalau ada bukti, bukan rekayasa lho, saya menyalahkan orang Islam yang memerangi Non Islam tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syari’at Islam. Yang sering terjadi justru orang Yahudi dan Nasrani memerangi dan membantu golongan lain untuk memerangi umat Islam di mana-mana.


Syari’at Islam Tanpa Paksaan

Irfan S. Awwas : Pak Frans menanyakan, mengapa Majelis Mujahidin berjuang untuk formalisasi Syari’at Islam, sedang orang Kristen ingin melaksanakan ajaran Kristen tapi tidak perlu melalui lembaga negara. Alasan normatifnya sudah dijelaskan Ustadz Ba’asyir tadi. Faktanya, tidak mungkin Islam dapat melaksanakan perannya dalam memperbaiki masyarakat secara optimal tanpa melalui kekuasaan negara. Pertanyaan kami, apakah Kristen Katolik atau Protestan memiliki konsep tentang sistem kenegaraan? Jika ajaran Kristen tidak memiliki konsep hidup bernegara, sehingga dianggap cukup dilaksanakan secara individu, tentu tidak fair bila kaum Nasrani (Kristen) menggunakan alasan demikian untuk menghalangi umat Islam melaksanakan Syari’at Islam di lembaga negara. Karena Islam memiliki perangkat dan tatanan berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan negara.


Frans Seda : Tapi pelaksanaan Syari’at tanpa paksaan ‘kan?


Irfan S. Awwas : Benar, tanpa paksaan! Oleh karena itu, kami perlu penjelasan konkrit, bentuk paksaan yang dimaksud seperti apa? Apakah khawatir dipaksa masuk Islam? Penting bagi kami pernyataan jujur dan terus terang dari Anda, maksud paksaan sekaligus apa sih kerugian Non Muslim bila Syari’at Islam dijalankan melalui lembaga negara?

Frans Seda : Bukan merugikan, tapi adanya paksaan harus melaksanakan Syari’at Islam, itu yang kami tidak mau. Apabila dilaksanakan melalui lembaga negara, saya mempunyai keyakinan bahwa kami dipaksa melakukan Syari’at. Di Katolik misalnya, tidak menentang Syari’at Islam, tapi Syari’at Islam itu biar urusan masing-masing. Bagaimana kalau wanita Kristen dipaksa mengenakan jilbab?

Hartono Jusuf : Keberatan Pak Frans sudah disebutkan, takut dipaksa melaksanakan Syari’at mengenakan jilbab. Dari kaum Budha, juga ada kekhawatiran, bila Syari’at Islam diterapkan melalui lembaga negara, nanti kami dipaksa supaya sunat (khitan).

Joko Wiyono : Ajaran sunat (khitan) juga ada di dalam agama Katolik. Keluarga saya hampir semuanya Muslim dan sunat, tidak ada masalah.

Ustadz Ba’asyir : Syari’at Islam menjadi UU Negara, gambarannya begini. Misalnya UU wajib shalat 5 waktu, itu hanya berlaku bagi orang Islam, bukan untuk orang Non Islam. Tidak mungkin Non Muslim dipaksa melaksanakan ibadah yang tidak menjadi keyakinan agamanya. Demikian pula soal jilbab, bagi wanita Non Muslimah, bukan saja tidak ada paksaan, tapi mereka malah dilarang untuk meniru cara berpakaian wanita Muslimah agar mereka mudah dikenal. Identitasnya jelas. Silahkan wanita Non Islam berpakaian menurut ajaran agama mereka. Apakah agama Kristen dan Budha menyuruh wanitanya untuk berpakaian telanjang, setengah telanjang seperti budaya barat sekuler itu? Tidak ‘kan? Seperti juga kewajiban zakat, hanya untuk orang Islam saja. Non Muslim tidak bisa diwajibkan zakat. Bayarnya pajak, karena pajak negara. Bahkan, bila kalangan Katolik menuntut adanya UU yang mewajibkan umatnya ke Gereja, maka dibuatkan UU, karena itu keyakinan agamanya.

Irfan S. Awwas : Menurut Pak Fran, bagaimana cara berpakaian wanita yang benar dan sopan menurut ajaran Katolik? Jangan menurut sekuler. bagaimana cara berpakaian yang benar, menurut Budha?



Frans Seda : Ya, mengenakan rok, baju, dan penutup kepala


Chris Siner : Persoalannya, kita berhadapan dengan hak atas kebebasan beragama. Jadi, di kalangan Kristen sendiri memang ada kewajiban orang Kristen untuk berhukum pada agamanya. Tapi kita tidak menggunakan negara untuk melaksanakannya.

Ustadz Ba’asyir : Keyakinan demikian kita hargai. Tidak akan diganggu, tidak akan dipaksa untuk mengamalkan ajaran Kristen di lembaga negara, karena memang begitulah keyakinannya. Karena itu, Anda juga harus menghargai keyakinan kami tentang kewajiban menjalankan Syari’at Islam melalui kekuasaan negara, jangan paksa kami meninggalkannya, atau melakukannya secara individu saja. Di sinilah, diperlukan sikap saling menghargai dan saling memahami.

Ketika masih di penjara Cipinang saya dibesuk seorang Bhiksu, yang menyatakan persetujuannya terhadap Syari’at Islam. “Ustadz –dia panggil saya ustadz- saya mendukung perjuangan Anda untuk menegakan Syari’at Islam,” katanya. Saya terkejut. Saya bilang terimakasih sekali, hanya saya heran anda ini Non Muslim kok setuju penegakan Syariat, alasannya apa? Dia bilang, “Saya ini orang Budha tinggal di Malaysia, bagian negara Kelantan yang dikuasai partai Islam PAS, di situ diberlakukan Syari’at Islam tapi tidak keseluruhan karena ada UU yang melarang, tapi secara umum sudah diberlakukan. Mula-mula kami memang takut, khawatir dipaksa melaksanakan Syari’at Islam, tetapi ternyata semua itu tidak benar. Kami malah diberi kebebasan, dan situasi menjadi tentram dan kami rasakan lebih aman, itulah alasan saya mendukung Ustadz melaksanakan Syariat Islam, demikian Bhiksu itu.

Polikarpus da Lopes: Persoalannya, kalau itu menjadi UU negara, UU positif kita berpaham bahwa itu harus berlaku pada seluruh warga negara.

Irfan S. Awwas : Dalam sejarah konflik di Indonesia, belum pernah umat Islam memusuhi Non Muslim disebabkan perbedaan agama. Dan tidak pernah memaksa Non Muslim untuk pindah agama. Bahkan di zaman DI/TII tidak pernah menjadikan Non Islam sebagai obyek penyerangan hanya karena dia beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Sekarang, atas nama kebebasan beragama orang-orang sekuler selalu memojokkan agama sebagai sumber masalah, penyebab konflik antar umat beragama, lalu mereka menuntut supaya tidak fanatik agama, malah dianjurkan untuk tidak berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan negara dari jangkauan agama. Mereka ingin kita beragama tanpa Tuhan atau bertuhan tanpa Syari’at. Sebagai tokoh agama, apakah kita membiarkan paradigma sesat itu mengadu domba umat beragama, atau melawannya supaya agama berperan dominan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat sekarang ini?

Berkelakuan Menurut Ajaran Agama



Frans Seda : Begini, kalau saya dipukul atau dimusuhi orang Islam karena keyakinan kita berbeda, bagaimana?


Irfan S. Awwas : Bila itu terjadi, jelas suatu kesalahan, dan kami tidak akan membela orang yang bersalah sekalipun dia Muslim. Sebaliknya, jika ada orang Kristen membunuh atau menyerang orang Islam karena ke-Islaman-nya, Pak Frans akan membela siapa? Dalam kasus eksekusi mati Tibo misalnya, orang Kristen malah membela penjahat yang telah membunuh ratusan santri pesantren Walisongo di Poso.

Harun Rasyid : Kita justru mempertanyakan mengapa sejak dulu tidak ada konflik antar umat beragama. Betulkah yang terjadi di Poso atau tempat lain sekarang ini adalah konflik agama, atau ada provokator yang mengadu domba umat beragama? Pak Frans tadi mengkhawatirkan ada orang Islam yang memukul orang Kristen, apa itu betul-betul orang Islam yang melakukan pemukulan ataukah orang yang mengatasnamakan Islam guna memperkeruh keadaan?

Frans Seda : Saya setuju jika kita berkelakuan seperti ajaran agama kita masing-masing. Setuju sekali. Agama itu adalah pemberian Tuhan kepada umat manusia untuk bergaul satu dengan yang lainnya. Mengapa dulu tidak ada perselisihan? Karena dulu agama tidak pernah menjadi masalah antara kita.

Paulus Harry : Tadinya, dari jauh orang menganggap Mujahidin sebagai Islam radikal, ternyata Mujahidin terbuka, demokrasi, dan idealis. Idealis dan jujur, orang jujur di Indonesia dibenci pak. Jadi, intinya ini mungkin Mujahidin dan Katolik sekarang menghadapi provokator. Ini juga setuju pak.


Frans Seda : Kita bersama-sama menghadapi itu, saya mengharap kebersamaan di antara kita perlu dibangun.


Chris Siner : Saya kasih ilustrasi, tahun 67 saya ada satu wacana dengan saudara Adisasono di Bandung. Persoalan yang sama pula dia omong, hai saudara Chris jangan khawatir karena Piagam Jakarta hanya menyangkut kami orang-orang yang beragama Islam. Saya mengatakan begini, saya juga ingin memperjuangkan saudara-saudara sesama bangsa yang Islam yang tidak mau dipaksa dalam soal agama, jadi saya juga memperjuangkan hal semacam itu. Saya tidak khawatir soal Piagam Jakarta. Tapi kalau ada warga negara beragama Islam, tapi dia tidak mau dipaksa oleh negara melaksanakan Syari’at Islam, bagaimana?

Ustadz Ba’asyir : Negara hanya alat, antara lain untuk mengingatkan kewajiban agama menggunakan alatnya berupa UU. Bukan negara yang memaksa, tapi tugas negara mendorong rakyatnya untuk menjalankan kewajiban agamanya, dan bila ditinggalkan negara menjatuhkan sanksi. Jadi negara Islam adalah sebagai alat untuk menjalankan Syari’at Islam.

Irfan S. Awwas : Berkaitan dengan persoalan ini, ada pertanyaan untuk pak Chris. Ketika satu urusan diwajibkan oleh agama masing-masing, tetapi kemudian negara melarang itu dengan alasan bertentangan dengan UU. Sebagai warga negara yang mau taat beragama tetapi juga tidak mau melanggar UU negara, manakah yang harus diutamakan?


Frans Seda : Terserah keperluan masing-masing.


Irfan S. Awwas : Anda tadi menyatakan sepakat dengan pelaksanaan Syari’at Islam melalui kekuasaan negara dengan syarat tidak ada paksaan terhadap penganut agama lain. Dan sudah diterangkan tidak ada paksaan dalam hal keyakinan. Syari’at Islam untuk umat Islam, tidak boleh memaksa Non Muslim melaksanakan ajaran agama yang bertentangan dengan keyakinannya.


Frans Seda : Tapi ini kekuasaan, siapa menjamin nantinya tidak ada paksaan?



Irfan S. Awwas : Islam yang memberi jaminan. Juga, negara dan kekuasaan pemerintah yang berpegang teguh pada Syari’at Islam.



Frans Seda : Saya tidak yakin itu.


Irfan S. Awwas : Anda menolak secara apriori jaminan Islam dan pemerintah Islam terhadap kebebasan beragama, padahal Islam belum berkuasa dan Syari’at Islam belum dijadikan UU negara. Sementara Anda percaya adanya kebebasan beragama atas jaminan demokrasi dan pemerintahan demokratis? Bukankah pemerintah demokratis seperti Amerika, Inggris dan lainnya terus menerus memaksakan kehendaknya terhadap umat Islam?

Chris Siner : Sekiranya Islam itu satu, gampang sekali kita menjalankan ini. Tapi dalam realita yang kita lihat kan ada bermacam-macam Islam, dan sikap umat Islam juga beda-beda. Itu bagaiman?

Irfan S. Awwas : Seluruh orang Islam meyakini Islam itu hanya satu, bukan warna warni. Berbeda-bedanya sikap umat Islam terhadap kewajiban menerapkan Syari’at Islam melalui lembaga negara merupakan problem internal umat Islam. Perbedaan, bahkan perpecahan umat bukan hanya ada pada umat Islam, tapi juga pada penganut agama lain. Agama Nashrani pecah menjadi agama Katolik dan agama Protestan, mungkin juga masih banyak pecahan lainnya. Perbedaan sikap di kalangan umat Islam terjadi justru akibat Syari’at Islam dihambat berlakunya dalam lembaga negara. Sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, jika pemerintah menerima Syari’at Islam sebagai UU, semua orang Islam akan sami’na wa atha’na (mendengar dan mentaati) pemerintah Islam tersebut.


Frans Seda : Mayoritasnya di mana? Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau.


Ustadz Ba’asyir : Mayoritas di seluruh NKRI. Betul, Indonesia terdiri dari banyak pulau, tapi Anda ‘kan setuju jadi bagian NKRI. Nah, dalam konteks NKRI, umat Islam mayoritas mutlak. Saya minta dimengerti, melaksanakan Islam dalam bentuk UU itu suatu keyakinan, bukan politik. Dampaknya berpengaruh bagi nasib di akhirat nanti, masuk surga atau neraka.

Polikarpus da Lopes : Kalau pak kyai ngomong begitu, kita mengerti betul. Solusi dan alternatif pak kyai kita setuju. Adapun ada hal yang kita belum sepaham, perlu dilakukan dialog.

Barnabas Hura : Pertama, saya melanjutkan usulan pak Frans, jadi hal-hal yang masih berbeda kita dialogkan lagi. Kita sepakat untuk mengisi kemerdekaan yang sekarang bangsa kita begitu terpuruk. Kalau mengingat perkataan Syafi’i Ma’arif, bangsa ini dalam kebobrokan yang amat parah. Ini kewajiban kita bersama untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan itu harus jadi program bersama. Kedua, tadi yang disinggung oleh Pak Frans, perbedaan ini tidak akan saling mempersoalkan, kemungkinan ada pihak lain yang memanipulasi perbedaan ini.

Irfan S. Awwas : Sekarang, apa yang menjadi kepentingan bersama, tentu harus dilaksanakan bersama sebagai sesama warga negara. Tapi, dalam wilayah keyakinan, maka negara tidak boleh memaksa warganya untuk ingkar dari keyakinannya. Sementara ini di kalangan umat beragama, ada kesan bahwa sebaik apapun aturan bila datangnya dari Islam atau bernuansa Islam, mesti ditolak pihak Non Islam.

Polikarpus da Lopes : Bisa kasih contoh Pak?

Irfan S. Awwas : Misalnya, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Mengapa penolakan dari kalangan Kristen sedemikian gencarnya, termasuk Perda Antimaksiat yang berlaku di sejumlah daerah dalam rangka mewujudkan otonomi daerah?


Polikarpus da Lopes : Mungkin istilah Syari’ah yang menakutkan.

Irfan S. Awwas : Tidak juga. Kesan yang menonjol adalah sikap subyektif kalangan Non Muslim. Sebagus apapun suatu aturan bila datang dari Islam atau bernuansa Islam selalu ditolak. Dalam RUU APP maupun Perda Antimaksiat tidak terdapat kata-kata Syari’ah, toh ditolak juga. Sikap ini tidak kondusif bagi upaya bersama untuk memperbaiki moral bangsa yang dikatakan tadi, amat sangat bobrok.

Frans Seda : Saya sebagai orang Katolik setuju dengan syari’at Islam yang tidak dipaksakan. Saya kira masing-masing kita bisa ‘silaturrahmi’ dan pertemuan kali ini tidak yang terakhir, ya? Kita kembangkan dialognya.

Bersama harapan itu, Frans Seda meninggalkan ruangan sesaat sebelum pertemuan berakhir. “Saya sudah tua, sering sakit, tak bisa duduk berlama-lama,” katanya.


Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 3 Th I Dzulqa’dah 1427 H / Desember 2006, hal. 41-50.
Share this article :

0 komentar: