BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Orang Nomor Satu Setengah

Orang Nomor Satu Setengah

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 11.05

Orang Nomor Satu Setengah
Eep Saefulloh Fatah

Pemerhati politik
PENTINGKAH kandidat wakil presiden? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Megawati Soekarnoputri, saya sarankan Megawati menjawabnya dengan sigap, ”Oh, tentu. Wapres bukan hanya penting, melainkan juga sangat menentukan!”

Sejumlah pertimbangan melatari saran itu. Pertama-tama, marilah kita menengok hasil survei. Basis pendukung Megawati ternyata berkumpul di Pulau Jawa. Sebaliknya, ia menghadapi defisit dukungan dari para pemilih luar Jawa dan ”partai-partai Islam”.

Berdasarkan temuan beragam survei, kekalahan Megawati-Hasyim Muzadi dari Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden 2004 terutama disebabkan mengumpulnya pemilih luar Jawa dan partai Islam ke Yudhoyono-Kalla. Beragam survei belakangan ternyata masih mengkonfirmasikan situasi serupa.

Jika kubu Megawati menimbang temuan itu, kandidat wakil presiden terbaik baginya adalah yang potensial meraup pemilih dari luar Jawa dan/atau limpahan pemilih partai Islam. Jika tidak, pendulangan sokongan yang bisa diraih Megawati, saya duga, kurang lebih akan setara dengan perolehan suara Pemilihan Presiden 2004. Bahkan, jika Pemilihan Presiden 2009 hanya diikuti tiga pasang kandidat, bukan tak mungkin Megawati dan pasangannya (yang dipilih secara keliru itu) gagal maju ke putaran kedua.

Celakanya, sebagaimana galibnya dalam dunia politik, tak semua kebutuhan tersedia dengan mudah. Sulit menemukan kandidat yang sekaligus bisa memenuhi dua syarat: mendekatkan Megawati dengan pemilih luar Jawa sekaligus dengan pemilih muslim (dan muslimah). Terlebih-lebih jika satu syarat lain ikut dipertimbangkan: sang kandidat juga memiliki ”kendaraan”, sekalipun kapasitasnya tak sebesar PDIP, sehingga PDIP dan kendaraan sang kandidat itu bisa ”berkonvoi”, memperkuat penyerbuan ke sarang musuh.

Memang sulit memadukan tiga syarat itu. Ada kandidat yang relatif dekat dengan pemilih muslim sekaligus dengan pemilih luar Jawa, tapi kendaraannya terlampau kecil dan terancam tak bisa melampaui ambang batas legislatif (parliamentary threshold), serta cenderung ”dekat” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Umumnya kandidat hanya memenuhi satu syarat. Karena itu, pilihan terbaik bagi Megawati adalah mencari kandidat yang setidaknya memenuhi dua dari tiga syarat itu.

Dalam konteks itulah kening saya serta-merta berkerut menyaksikan betapa menggeloranya hasrat Taufiq Kiemas dan para eksponen penting PDIP menyandingkan Megawati dan Sultan Hamengku Buwono X. Bukankah dengan rumus di atas, datangnya Sultan tak terlalu menambahi dan perginya Sultan tak akan terlalu mengurangi? Bukankah yang justru lebih menjanjikan adalah mengusung Mega-Hidayat, bukan Mega-Buwono?

Pertimbangan lain yang melatari saran di awal kolom ini adalah medan pertarungan yang mesti dihadapi Megawati. Survei (lembaga mana pun) memperlihatkan, kandidat terpenting yang sudah siap menghadang Megawati adalah sang incumbent, pejabat yang sedang berkuasa, Presiden Yudhoyono. Dan bagaimanapun, pemilihan presiden adalah pertarungan yang pada sisi-sisi tertentu akan mengalami personalisasi: Yudhoyono versus Mega.

Pada titik itulah, dua persoalan mengemuka. Di satu sisi, berdasarkan beragam survei, dukungan terhadap Mega masih jauh tertinggal oleh Yudhoyono. Pada Juni 2008, seusai pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, memang posisi Mega sempat melampaui atau setidaknya mendekati Yudhoyono. Tapi belakangan, setelah harga minyak dunia turun dan harga BBM dalam negeri diturunkan pemerintah, jarak antara Yudhoyono dan Mega sudah melebar menjadi lebih dari 30 persen.

Di luar kesenjangan statistik itu, Mega juga mesti mengatasi kesenjangan konseptual. Pada sisi ini, harus diakui, kemampuan Yudhoyono di atas Mega. Manakala Pemilihan Presiden 2009 diisi dengan sejumlah debat yang tak terhindarkan, bukan tak mungkin Mega akan menghadapi kerepotan serius. Sebab, di atas panggung debat, pepatah ”diam adalah emas” sungguh tak lagi bertuah.

Karena tertinggal secara statistik dan konseptual itulah Mega membutuhkan kandidat wakil presiden yang secara statistik sanggup membuatnya terdongkrak serta secara konseptual bisa menjadi tandem sekaligus penyelamat di panggung debat. Jika tidak, sang kandidat wakil presiden lebih merupakan ”teman seiring menuju kekalahan”, bukan ”mitra penjemput kemenangan”. Jika tidak, keduanya adalah teman berduka, bukan sahabat berpesta.

Masih ada satu pertimbangan lain. Pemilihan Presiden 2009, sebagaimana umumnya pemilihan presiden di mana saja, akan ditandai pertarungan klasik di antara ”pejabat yang sedang berkuasa” (incumbent) dan penantang. Namun, dalam konteks Pemilu 2009, situasi pertandingannya tak bisa dibuat hitam-putih begitu. Ada incumbent (Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Kalla) dan penantang (Prabowo Subianto, Sultan Hamengku Buwono X, Wiranto, Hidayat Nur Wahid, Rizal Ramli, Sutiyoso). Sementara Megawati berada di wilayah abu-abu, ”mantan incumbent”, karena pernah menjabat presiden. Bahkan Sultan dan Sutiyoso pernah menjadi kepala daerah, sehingga berada di wilayah putih-abu-abu.

Situasi ini menambahi kesulitan dan tantangan bagi Megawati (serta Sultan dan Sutiyoso). Sebagai mantan incumbent, Megawati tak punya ruang terlampau leluasa untuk melancarkan kritik, apalagi tamparan keras terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Jika kurang hati-hati, kritik Megawati akan kehilangan otentisitasnya karena membuat publik seperti mendengar Megawati mengkritik sesuatu yang ia sendiri sebagai presiden melakukannya. Meminjam istilah PT Pos Indonesia, kritiknya ”kembali ke alamat si pengirim”.

Walhasil, lagi-lagi sang kandidat wakil presiden yang otentik diperlukan. Dibutuhkan sosok wakil presiden yang mampu menambahi bobot pernyataan dan kritik Megawati serta menambah simpati dan dukungan publik untuk mereka. Kandidat wakil presiden yang dibutuhkan Megawati bukanlah yang sekadar menutup lubang-lubang Megawati, melainkan melindungi Megawati dari kemungkinan bertambahnya lubang itu.

Maka, yang dibutuhkan Megawati adalah sosok kandidat wakil presiden dari kalangan penantang yang memiliki pesan atau rancangan kebijakan yang kuat dan mampu memberi alternatif lebih meyakinkan terhadap kebijakan pemerintahan saat ini. Jika sosok itu datang dari wilayah putih-abu-abu (incumbent atau mantan incumbent kepala daerah), ia harus punya jejak rekam yang meyakinkan. Pertanyaannya, apakah Sutiyoso atau Sultan memenuhi syarat itu? Adakah tokoh kalangan penantang yang memenuhi syarat ini?

Sekali lagi, jalan bagi Megawati memang tak mudah. Jalan itu panjang, terjal, dan berangin. Tapi Megawati tak sendirian. Situasi rumit dan sulit juga dihadapi oleh kandidat presiden lain, termasuk Yudhoyono.

Nasib Yudhoyono akan sangat ditentukan oleh perolehan suara Partai Demokrat. Manakala Demokrat, sesuai dengan temuan Lembaga Survei Indonesia, menjadi peraih suara terbanyak, situasi akan relatif mudah. Ia bisa cukup leluasa memilih kandidat wakil presiden. Tapi, manakala Demokrat terpuruk, apalagi berada di bawah Partai Golkar dan PDIP, kesulitan pencarian kandidat wakil presiden bagi Yudhoyono pun berlipat-lipat.

Dalam situasi itu, tak mudah bagi Yudhoyono dan Partai Demokrat mengajak Kalla bersanding dengan Yudhoyono tanpa negosiasi yang liat. Kalla dan Partai Golkar akan mengajukan tuntutan atau konsesi besar dari Yudhoyono. Kalla—atau lebih tepatnya Partai Golkar—tak akan bersedia menerima tawaran menjadi ”orang nomor dua”.

Kalla dan Golkar akan menuntut posisi ”orang nomor satu setengah”, yakni jabatan wakil presiden dengan dua catatan: akomodasi politik yang lebih besar bagi Golkar dan otoritas wakil presiden yang lebih luas. Dengan kata lain, manakala Partai Demokrat terpuruk, Yudhoyono akan sangat membutuhkan ”kandidat wakil presiden super”, lebih dari yang ia alami dalam Pemilihan Presiden 2004.

Sebentar. Bukankah Megawati pun, dalam makna yang berbeda, terdesak oleh kebutuhan itu? Jika demikian halnya, mari kita namai saja gejala ini sebagai musim semi ”orang nomor satu setengah”.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/02/KL/mbm.20090202.KL129415.id.html
Share this article :

0 komentar: