BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Data Kebiadaban yang Meningkat

Data Kebiadaban yang Meningkat

Written By gusdurian on Jumat, 06 Februari 2009 | 10.35

Data Kebiadaban yang Meningkat
Jousairi Hasbullah, penulis, bekerja di Badan Pusat Statistik

Nyawa manusia di Indonesia semakin hari cenderung semakin tidak berharga. Kematian sia-sia berlangsung di mana-mana: di jalan raya, di laut, di udara, dan di berbagai tempat. Pada awal Februari ini bahkan seorang Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara meninggal di kantornya sendiri di tengah demonstrasi massa. Pembunuhan manusia secara tidak langsung juga terus terjadi. Di musim hujan, beribu kematian terjadi karena banjir, banjir bandang, tanah longsor, petir, dan bencana alam lainnya. Ini hanya beberapa contoh dari sekian banyak perilaku manusia yang berujung pada kematian orang lain. Sepertinya kita tengah hidup dalam lingkungan bencana dan kebiadaban. Kebiadaban yang didefinisikan sebagai uncivilized dan kejam sebetulnya telah menyusup sampai ke desa-desa di pelosok. Pertanyaannya, bagaimana spektrumnya?

Pembaca data statistik yang teliti akan dikagetkan oleh angka yang baru saja didiseminasikan akhir Desember lalu oleh BPS mengenai hasil Pendataan Potensi Desa 2008. Tindak biadab yang ditunjukkan oleh indikator menunjukkan bahwa kejadian pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan telah merambah ke desa-desa dengan spektrum begitu luas dan masif. Hasil pendataan tersebut mengungkapkan, dari 75.378 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, 33.683 desa mengalami tindak kejahatan pencurian, 2.617 desa mengalami perampokan, dan di 5.080 desa masyarakatnya mengalami penganiayaan. Hal yang agak sulit dipercaya bahwa terdapat 1.844 desa di Indonesia, dari Mei 2007 sampai Mei 2008, mengalami kejadian pembunuhan. Kejadiannya menyebar ke seluruh provinsi dengan empat provinsi yang menduduki rekor tertinggi: Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Gambaran yang tidak kalah mengerikan, terdapat 2.199 desa dengan sebaran 657 desa di Jawa dan 1.542 desa di luar Jawa yang mengalami kejadian pemerkosaan di desa mereka. Di luar Jawa, angka tertinggi terjadi di Provinsi Papua (536 desa). Di Jawa Timur 209 desa, dan Jawa Barat 177 desa.

Refleksi kegelapan

Menyitir kata-kata Julia Kristeva (1982, dalam The Power of Horror), kejadian pembunuhan yang masif itu merupakan sisi paling gelap kemanusiaan dari sebuah bangsa yang tengah mengalami kegelapan. Kita tidak banyak mengetahui seluas mana spektrum geografis kebiadaban serupa terjadi di negara lain. Tetapi, dari indikasi-indikasi yang digambarkan melalui data tindak kriminal selama ini, kedudukan kita ada kemungkinan hanya disamai oleh negara-negara yang paling terbelakang di Afrika. Kecenderungan kebiadaban tersebut merupakan produk dari tiga hal sekaligus.

Pertama, refleksi kegelisahan ekonomi rumah tangga di suatu komunitas. Kejadian pembunuhan umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah bawah, yaitu mereka yang pada posisi transient poverty (kehidupan ekonomi rumah tangga di sekitar garis kemiskinan), bukan oleh mereka yang berada di lapisan atas (sejahtera) atau mereka yang berada pada situasi chronic poverty. Pada kelompok yang dikategorikan sebagai transient, mereka cenderung lebih mudah mengalami tekanan kejiwaan, karena mereka telah memiliki pilihan-pilihan dan aspirasi yang luas (seperti yang digambarkan oleh Piere Bourdeu sebagai ortodoksi) tetapi belum dapat dicapai. Buahnya adalah frustrasi yang tinggi.

Kedua, seperti yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam (1995), adalah akibat melemahnya modal sosial, terutama pada dimensi trust (rasa saling percaya), sense of efficacy (perasaan berharga), reciprocity (keimbalbalikan pertolongan dan pemberian), dan humanity (semangat kemanusiaan) berupa toleransi dan semangat menghargai manusia yang lain. Melemahnya keempat komponen modal sosial ini mengakibatkan masyarakat kehilangan tujuan dan arah kehidupan yang berpengharapan. Mereka juga terjebak pada situasi ketakutan dan kecemasan.

Ketiga, kebiadaban yang disebabkan oleh kegelapan tuntunan agama. Agama apa pun senantiasa memberikan tempat tertinggi kepada kemanusiaan. Nihil spectre homini admirabilius (tidak ada yang paling berharga selain penghormatan terhadap manusia) adalah serangkaian kata yang membahana pada saat awal Renaisans Eropa, dan itu berasal dari dan diilhami oleh ajaran agama. Di Indonesia, pertanyaan besar itu jarang dijawab serius. Apakah kita sebagai umat beragama merasa telah cukup untuk disebut sebagai manusia beragama, sementara kita cenderung mengabaikan kebiadaban: penghancuran lingkungan, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya yang berlangsung di depan mata. Biaya yang sangat mahal kemudian akan kita tanggung berupa melemahnya energi integratif kebudayaan.

Penutup

Dengan situasi tekanan ekonomi yang tinggi, rendahnya modal sosial, dan disorientasi peran agama, masyarakat Indonesia dewasa ini sesungguhnya tengah berada pada situasi yang tercerai-berai. Masyarakat yang tercerai-berai dan jatuh dalam kebiadaban (uncivilized society), menurut Lewis Hendry Morgan, mirip pola kehidupan barbarian society. Suatu situasi yang akan senantiasa merintangi terselenggaranya pembangunan dan upaya perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kejadian-kejadian dan penyebab determinannya sebetulnya telah berlangsung cukup lama dari suatu pemerintahan ke pemerintahan yang lain.

Tulisan ini bukanlah untuk dijadikan konsumsi kepentingan politik sesaat oleh kelompok mana pun menjelang pemilu, melainkan untuk menggugah semua pihak bahwa ada suatu penyakit besar yang tengah melanda masyarakat dan bangsa kita karena ulah kita semua. Tentu saja ini tidak akan dapat diselesaikan dengan janji-janji kampanye--pertumbuhan ekonomi, mengatasi pengangguran, dan mengurangi kemiskinan semata--tapi semua pihak dituntut lebih sungguh-sungguh merevitalisasi kebudayaan. Kita membutuhkan implementasi nyata untuk membawa kebudayaan bangsa kepada penghormatan terhadap manusia setinggi-tingginya yang menjadi nilai "ultimate" dari misi hidup manusia Indonesia di semua segmen masyarakat. Langkah nyata dan besar perlu kita lakukan. Dan kita merindukan konsep nyata dari partai peserta pemilu, mengenai jalan keluar mendasar dan sistemik untuk mengatasinya. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Opini/krn.20090206.155961.id.html
Share this article :

0 komentar: