BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Mengajarkan Kebohongan

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.54

DARI Suriah, minggu lalu saya memutuskan pergi ke Yerusalem. Setelah
menembus Sungai Yordan yang subur,dari Kota Amman (Yordania), saya
memasuki Yerusalem melalui King Husein Bridge. Luar biasa kami
membutuhkan waktu empat jam untuk mendapatkan layanan imigrasi.

Sewaktu keluar dari antrean panjang, saya hanya berdoa semoga hal
serupa tidak pernah terjadi dengan turis asing yang masuk ke
Indonesia. Bukannya apa-apa, Anda bisa saja membeli tiket business
class atau first class yang harganya dua atau tiga kali lipat dari
harga tiket kelas ekonomi, tapi tak seorang pun bisa membeli waktu. Ia
menguap begitu saja di tangan petugas-petugas imigrasi yang bodoh,
lamban, tidak peduli, dan hanya fokus pada kertas-kertas di meja
mereka.

Petugas yang tidak peduli mengakibatkan antrean tidak beraturan,
menimbulkan ketidakadilan dari praktik-praktik kebohongan warga
negaranya sendiri. Saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin para
birokrat itu bekerja sangat serius untuk menyeleksi nama-nama yang
boleh masuk ke negaranya demi keamanan, tetapi membiarkan benihbenih
kecurangan tumbuh. Dan benih-benih kecurangan menimbulkan efek
berantai yang berbahaya bagi masa depan negeri itu sendiri.

Pemimpin Tak Peduli

”Kalau petugas yang memimpin sudah tak peduli, apa lagi yang
dipimpin?” Begitu pikir saya. Satu persatu orang menyerobot orang lain
yang sudah antre lebih dulu. Satu orang menyerobot dibiarkan, orang-
orang yang lain melakukan hal yang sama.Lama-lama orang-orang yang
menyerobot pun diserobot orang lainnya. Orang Yahudi,Arab, Palestina,
India,dan bangsa-bangsa setempat melakukan itu tanpa rasa bersalah.
Sedangkan kami hanya menjadi penonton yang belum mengerti apa yang
tengah terjadi. Anehnya, orang-orang yang menyerobot itu pun tidak
menerima saat gilirannya diserobot orang lain.

Sampai salah seorang yang berada di antrean berteriak keras agar
petugas menertibkan antrean. Ketika orang itu protes saya menyaksikan
satu persatu orang berbohong. Seorang bapak yang wajahnya tak
bersahabat berdebat dengan orang lain yang telah diserobotnya. Ia
menjelaskan mengapa ia harus memotong antrean. ”Jam berapa pesawat
kalian?”tanyanya.Kalimat itu ia tujukan pada rombongan turis asal Hong
Kong yang sudah antre sejak pagi hari.

Sebetulnya jawaban itu tak begitu penting karena bapak itu dengan
cepat dapat memberikan jawaban bahwa jadwal terbangnya sudah sangat
mendesak. Saat ia menjawab, anak-anaknya memberi dukungan
serupa.Tetapi, begitu tiba di tujuan, saya melihat mereka terlihat
tengah bersantai menikmati kopi di sebuah kedai sambil tertawa-tawa.
Seorang ibu yang lain berada di belakang saya bersama dua anak
gadisnya yang cantik-cantik.

Perlahan- lahan mereka bergerak ke samping dan tiba-tiba sudah berada
di depan kami. Anak saya sedikit protes, tetapi saya menahannya agar
tidak terjadi keributan.Tetapi, keributan tak dapat dihindari saat
mereka terus maju ke depan menyerobot seorang turis asal Jepang yang
ada di depan kami. Ia tidak bisa menerimanya.Tetapi,ibu itu memberi
alasan bahwa dia adalah warga negara yang berhak berada di barisan
paling depan. Di antrean yang tak beraturan dengan petugas yang tak
peduli, setiap orang membuat aturan sendiri-sendiri dengan alasan yang
dapat dibuat seketika.

Seorang ibu lain yang baru datang langsung menerobos ke antrean paling
depan dan mengatakan, ia punya bayi yang sudah lebih dulu berada di
depan. Orang yang diserobotnya tidak terima dan membalas, ”Maam, saya
juga punya masalah yang sama. Ayah saya sudah tua dan dia sedang
menunggu saya di ruang depan.” Mereka semua berbohong hanya demi lebih
cepat beberapa menit saja dari yang lain di depan anakanaknya.

Anak-anak itu belajar dari orang tuanya dan ikut berbohong untuk
mendukung argumentasi orang tua mereka. Ibu-ibu yang mengaku anaknya
sudah menunggu atau yang mengaku bapaknya sudah menunggu lebih dahulu
ternyata melenggang pergi menembus perbatasan tanpa membawa orangorang
yang mereka cintai. Mereka semua berbohong. Di Tanah Air kita
sendiri,orangorang yang menyerobot antrean sudah mulai menjadi
pemandangan yang biasa.

Semua itu terjadi karena tidak ada sistem yang mengaturnya, sementara
petugas yang menjaga tidak mempunyai kepedulian. Kepedulian adalah
wujud dari kepemimpinan seseorang dan kepemimpinan merupakan unsur
pembentuk kebiasaan dan budaya. Kita juga semakin sering melihat orang
berbohong di bawah sumpah. Di pengadilan terdakwa dan pengacara sama-
sama berbohong, saksi berbohong,jaksa dan hakim juga berbohong.

Artis-artis terkenal berbohong ketika skandal menimpa mereka.Pengusaha
dan petugas pajak yang korup berbohong kepada publik.Pejabat-pejabat
publik dengan mudah menghindari tanggung jawab dan memberikan alasan
yang sama sekali tak masuk akal. Politisi setiap hari berbohong.Mereka
semua dengan enteng mengatakan,”Sudah terlalu banyak kebohongan di
sini.”

Keluarga Ikut Berbohong

Tak dapat di sangkal,Indonesia adalah bangsa yang dibentuk dari
untaian keluarga-keluarga besar. Seperti suku-suku bangsa di Timur
Tengah yang saya kunjungi di akhir tahun lalu, Indonesia berbeda
dengan bangsa-bangsa di Barat yang nilai-nilai keluarganya telah
memudar. Seperti kata penerima hadiah Nobel Ekonomi, Garry Becker,
”Keluarga-keluarga berevolusi mengikuti kemajuan ekonomi.”

Bila di Asia keluarga besar masih mendominasi, di Eropa dan di Amerika
(bahkan juga di kotakota besar Asia seperti Shanghai dan Tokyo) telah
berubah menjadi keluarga nuklir dengan sedikit anak atau single parent
family (keluarga yang bercerai). Dalam single parentatau nuclear
family societyikatan keluarga menjadi sangat renggang dan tidak begitu
penting dalam membentuk watak dan karakter masyarakat.

Sebaliknya di Indonesia, sumber pembentukan watak masyarakat justru
ada di dalam keluarga.Maka bagi para pemimpin Asia,keluarga adalah
sasaran pembangunan yang sangat penting.Anda mungkin pernah mendengar
mantan PM Lee Kuan Yew menentang jaminan sosial bagi orang tua di
Singapura bukan karena negerinya tidak mampu,melainkan demi menjaga
hubungan keluarga.

Bagi Lee, orang tua harus menjadi tanggung jawab bagi anak-anaknya.
Ada tugas besar para pemimpin negeri ini untuk membawa Indonesia
menjadi bangsa tepercaya dan dapat saling mempercayai.Kepercayaan
adalah bonding bagi setiap society. Ia juga menjadi sumber penegakan
hukum dan pembangunan ekonomi. Tanpa kepercayaan,tak ada keadilan dan
tidak ada investasi baru.Kita harus mulai mengubah keterlibatan
keluarga dalam membela anggotaanggotanya dalam kasus-kasus kriminal,
korupsi, atau pelanggaran hukum lainnya.

Adalah keluarga yang telah ikut membawa Gayus Tambunan keluar dari
tahanannya dengan berbohong kepada berbagai petugas (keamanan,
airlines,hotel,dan sebagainya). Adalah keluarga yang telah menyimpan
uang hasil korupsi penjahat lainnya. Adalah keluarga yang telah
membuat sejumlah tahanan bebas menikmati kegiatankegiatan keluarga
saat yang bersangkutan tengah menjalankan hukumannya. Kaya atau
berjabatan tinggi jelas merupakan kebanggaan setiap anggota keluarga
besar.

Tetapi, keluarga besar juga harus menahan diri dan mengingatkan mereka
untuk memikul tanggung jawab. Tanpa nilai-nilai itu,keluargakeluarga
besar Indonesia hanya akan mewariskan kesulitan bagi anak-anaknya.
Seperti yang saya lihat di Timur Tengah, tradisi berbohong telah
menimbulkan kehidupan yang tidak damai.Anda, saya, dan keluarga-
keluarga kita adalah pembentuk masa depan bangsa ini.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374087/

Sukarno di Linggarjati

BUKU
Sukarno di Linggarjati


Meski bukan anggota delegasi, Sukarno menunjukkan peranan penting
dalam Perundingan Linggarjati.

PADA 11 November 1946, sebuah pesawat terbang Catalina, yang membawa
anggota Badan Komisi Jenderal Belanda (delegasi Belanda), meninggalkan
Jakarta. Di hari yang sama, dengan menggunakan mobil, delegasi
Indonesia juga bergerak menuju tujuan yang sama. Kedua delegasi hendak
menggelar perundingan lanjutan di Kuningan, Cirebon mengenai proses
dekolonisasi Belanda di Indonesia.

Perundingan itu sebenarnya sudah berlangsung sejak 22 Oktober 1946 di
Jakarta tapi belum mencapai titik temu, bahkan terancam gagal. Dalam
kebuntuan, muncul gagasan dari delegasi Belanda untuk menghadirkan
Sukarno-Hatta dalam proses perundingan selanjutnya. “(Willem)
Schermerhorn berpendapat, sebuah pembicaraan dengan Sukarno di
Yogyakarta atau di mana saja adalah hal yang amat penting agar semua
menjadi final,” tulis Roesdhy Hoesein, penulis buku ini. Schermerhorn
adalah ketua delegasi Belanda.

Namun karena Sukarno-Hatta tak memungkinkan datang ke Jakarta dan
pemerintah Belanda melarang delegasinya untuk pergi ke Yogya,
dicarilah tempat netral. Atas saran Maria Ulfah, perundingan akhirnya
diadakan di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Perundingan dimulai pada hari kedua setelah kedatangan kedua delegasi
di Kuningan. Meski pembahasan pasal demi pasal kembali berlangsung
alot, secara umum, untuk pasal-pasal tertentu, kedua pihak menemukan
kata sepakat. Tapi ada sejumlah pasal yang masih mengganjal.

Di sesela perundingan, delegasi Belanda menemui Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Hatta di kediaman Bupati Kuningan. A.K. Gani dan Amir
Sjarifuddin, dua delegasi Indonesia, ikut serta. Sementara Sjahrir,
ketua delegasi, tak ikut karena sakit kepala dan lelah. Selain itu,
dia mengira kunjungan itu hanya pertemuan kehormatan yang tak ada
sangkutpaut dengan urusan perundingan.

Dugaan Sjahrir meleset. Delegasi Belanda memanfaatkan pertemuan itu
untuk mendiskusikan kebuntuan yang terjadi dalam perundingan dengan
Sukarno dan Hatta. Van Mook, yang bersilang pendapat dengan A.K. Gani
mengenai pasal 2 tentang penggunaan kata “merdeka” atau “berdaulat”,
menanyakan kepada Sukarno apakah dirinya keberatan dengan perubahan
redaksi dalam pasal 2 dari “Negara Indonesia Serikat yang merdeka”
menjadi “Negara Indonesia Serikat yang berdaulat?” Rupa-rupanya
Sukarno setuju saja dengan perubahan itu.

Van Mook juga menanyakan persetujuan Sukarno terhadap seluruh konsep
Perjanjian Linggarjati: “Apakah dengan diterimanya perubahan ‘merdeka’
menjadi ‘berdaulat’ pada pasal 2, Presiden dapat menyetujui konsep
Perjanjian Linggarjati seluruhnya?”

Sekali lagi, Sukarno menjawab setuju. Dia bahkan bersedia mendukung
pasal lainnya yang masih mengganjal dan berjanji akan menggunakan
pengaruhnya agar rakyat mau menerima hasil perundingan itu. Delegasi
Belanda merasa puas. Selanjutnya mereka undur diri, menyudahi
pertemuan.

Amir Sjafruddin dan A.K. Gani melaporkan kepada Sjahrir atas
perkembangan yang terjadi di kediaman Bupati Kuningan. Sontak Sjahrir
kecewa. Dia menyesalkan sikap Sukarno yang menyetujui naskah
perundingan begitu cepat. M. Roem tak ketinggalan. Dia bahkan menuding
Belanda melakukan tipudaya melalui Sukarno dan Hatta. Kepada
Schermerhorn, Roem menyatakan bahwa Sukarno tak punya hak untuk
menyatakan persetujuannya pada usulan-usulan Belanda itu dan harus
meminta persetujuan Sjahrir terlebih dahulu selaku ketua delegasi.

Posisi Sukarno dalam perundingan itu jelas: bukan anggota delegasi.
Mereka hanya “mengawal” proses perundingan dari kediaman Bupati
Kuningan. Dan kedatangan mereka merupakan keinginan delegasi Belanda.
Tapi apa mau dinyana. Kendati berat, delegasi Indonesia mau menerima
keputusan tersebut. Namun tak berarti mereka menerima begitu saja
persetujuan sepihak dari Sukarno. Sjahrir dan anggota delegasi lainnya
lantas mengadakan rapat tertutup dengan Sukarno. Mereka minta Sukarno
menjelaskan dasar keputusan yang diambilnya. Dengan tenang, Sukarno
memberikan penjelasan. Mereka, termasuk Sjahrir, akhirnya tunduk pada
keputusan Sukarno.

“Tampaknya, dibandingkan dengan delegasi Indonesia, delegasi Belanda
sangat memperhatikan pengaruh Sukarno sebagai presiden. Bagi
Schermerhorn dan (Lord Louis) Mountbatten, Sukarno-lah tokoh penentu
dalam penetapan kebijakan pihak Indonesia soal perundingan Indonesia-
Belanda. Walupun Sjahrir adalah pelaksananya,” tulis Roesdhy Hoesein.
Mountbatten adalah Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara.

Keesokan harinya, pada 13 November 1946, perundingan lanjutan atau
perundingan kedelapan di Linggarjati dilanjutkan. Dalam kesempatan
ini, Schermerhorn menjelaskan hal-hal yang terjadi saat bertemu
Sukarno-Hatta di Kuningan semalam. Dibahas pula pasal-pasal yang masih
menggantung di antara kedua delegasi. Setelah diskusi alot, kedua
pihak akhirnya bisa menerima semua pasal yang terdapat dalam konsep
perundingan. Secara resmi perundingan di Linggarjati pun selesai.

Dan seperti janjinya pada Schermerhorn, sejak pertengahan hingga akhir
November 1946, Sukarno menyosialisasikan hasil perjanjian itu ke
masyarakat dalam perjalanan dinas ke sejumlah wilayah di Jawa Barat.
Di Garut, misalnya, seperti dikutip Kantor Berita Antara, Sukarno
berpidato dalam rapat raksasa, menenangkan kegelisahan rakyat terkait
posisi Ratu Belanda sebagai kepala UNI (Uni Nederland-Indonesia) –
seperti terdapat dalam pasal 8.

Berkali-kali dia menerangkan, “Ratu Belanda sama sekali tak
menyinggung kedaulatan RI. Sebermula sebelum persetujuan tercapai,
memang bunyi pasal 8 itu menghendaki supaya Ratu Belanda yang
berkuasa. Berkat kegiatan delegasi Indonesia, hal yang mengecewakan
itu diubah dengan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.”

Hasil perundingan ditandatangani di Istana Merdeka, Jakarta, pada 15
November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.
Perjanjian itu menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri. Yang kontra
menganggap perjanjian itu memperlemah posisi Indonesia. Pelaksanaan
perjanjian itu sendiri kemudian tak berjalan mulus, akibat perbedaan
penafsiran antara Indonesia dan Belanda. Gubernur Jenderal H.J. Van
Mook menyatakan Belanda tak terikat lagi dengan perjanjian itu, bahkan
menggerakkan agresi militer Belanda I.

Melalui buku ini, yang merupakan disertasi doktoralnya, Roesdy Hoesein
mencoba melihat sisi lain dari perundingan Linggarjati. Baginya,
perundingan itu tak hanya menghindarkan konflik bersenjata pasukan
republik dengan tentara Belanda. Ia juga menguatkan citra Indonesia di
mata dunia internasional. Lebih dari itu karena proses kesepakatan
dalam perundingan ini memiliki keunikan sendiri, yakni apa yang dia
disebut sebagai “terobosan Sukarno”. Karena terobosan Sukarno,
kebuntuan dalam perundingan itu terpecahkan. Dan Indonesia mendapat
pengakuan secara de facto –modal untuk diplomasi berikutnya. [JAY
AKBAR]


http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-390-sukarno-di-linggarjati.html

Jurang Pendapatan makin Menganga

Kontribusi penduduk berpenghasilan rendah terhadap pembentukan PDB
melemah. KESENJANGAN pendapatan di antara kelompok masyarakat di
Indonesia terus melebar. Hal itu terjadi lantaran belum ada keseriusan
pemerintah untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan.

Melebarnya jurang pendapatan tersebut tecermin dalam data pertumbuhan
rekening yang dihimpun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Meski rekening
di atas Rp5 miliar hanya 0,04% dari total rekening masyarakat di bank
umum di Indonesia, nilainya mencapai Rp886,02 triliun. Jumlah itu
setara 39,52% total dana masyarakat di perbankan yang mencapai
Rp2.241,79 triliun.

Sebaliknya, jumlah rekening bernominal di bawah Rp100 juta mencapai
97,7% dari total rekening. Namun, pangsanya secara nominal hanya
17,38%.

Data LPS juga menunjukkan kenaikan nominal lebih besar pada segmen di
atas Rp5 miliar yaitu Rp21,07 triliun atau 1.087 rekening. Adapun
segmen nominal Rp100 juta-200 juta naik Rp1,39 triliun (23.220
rekening).

Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo menjelaskan, dengan membagi
pertambahan nilai simpanan dengan pertambahan jumlah rekening, rasio
pertambahan untuk kelompok dengan nominal rekening di atas Rp5 miliar
adalah Rp19,4 miliar per rekening. Sementara itu, untuk kelompok
dengan nominal di bawah Rp200 juta, rasio laju pertambahannya hanya
Rp6,16 juta per rekening.

"Jadi kelompok terkaya mengakumulasikan simpanan mereka di bank 3.150
kali lebih cepat. Sangat timpang," ujarnya saat dihubungi, kemarin.

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2E LIPI) Latief Adam mengatakan data LPS dapat jadi cerminan
melebarnya disparitas pendapatan masyarakat. "Kelihatan sekali terjadi
pembusukan dalam perbedaan pendapatan. Disparitasnya makin tinggi."

Menurutnya, bukan hanya disparitas pendapatan yang melebar. Penelitian
P2E LIPI yang menggunakan pendekatan pendapatan penduduk menemukan,
sepanjang 19992009 kontribusi penduduk berpenghasilan rendah terhadap
pembentukan produk domestik bruto (PDB) melemah. Kontribusi mereka
turun dari 21,50% ke 18,96%. Kontribusi penduduk berpendapatan
menengah juga turun dari 37,35% ke 36,14%. Sebaliknya, kontribusi
penduduk berpendapatan besar (20%) justru naik dari 41,15% menjadi
44,90%.
Belum terjawab "Perekonomian tumbuh sampai 6% itu yang tumbuh siapa?
Kalau yang nikmati cuma pemilik rekening Rp5 miliar ke atas, buat apa?
Rakyat banyak tak tumbuh," cetus ekonom UGM Revrisond Baswir.

Hingga kini, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi cuma dinikmati kalangan
tertentu sehingga belum mampu menjawab masalah ketimpangan pendapatan
masyarakat.

Dari data Badan Pusat Statistik, rasio Gini yang mengindikasikan
ketimpangan kesejahteraan masyarakat hanya turun tipis lima tahun
terakhir.
Perbaikan kesenjangan pendapatan bahkan hanya terjadi di perkotaan,
dengan rasio Gini turun dari 0,362 ke 0,352. Di sisi lain, kesenjangan
di perdesaan justru meningkat, dengan rasio Gini naik dari 0,288 ke
0,297.

Hal senada dikemukakan ekonom Indef Hendri Saparini.
Ia mencontohkan, di Jepang, jutawan dengan kekayaan di atas US$1 juta
alias high net worth individual (HNWI) menguasai 22% kekayaan di
negara itu, dan Inggris 23%. Namun di Indonesia, 56% kekayaan di sini
dikuasai 0,2% dari total penduduk, atau sekitar 43 ribu orang saja.
(AW/*/E-3)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/07/ArticleHtmls/07_01_2011_017_007.shtml?Mode=0

Menghadapi Problem Sosial

Tampaknya sistem komunikasi yang lemah membuat kita tidak sepenuhnya
tahu.
Selain itu, gesekan antarsubkultur dalam masyarakat pluralistik ini
mempersulit tumbuhnya para pemimpin yang mumpuni."
A PAKAH reformasi budaya alamiah?
Kalau tidak, apa yang mendorongnya? Kehidupan masyarakat terbentuk
dari perpaduan antara lingkungan teritorialnya dan bagaimana
masyarakat itu mengorganisasi diri. Dalam masyarakat terbelakang,
kesederhanaan lembaga-lembaga yang dibentuknya hanya memungkinkannya
beradaptasi dengan lingkungan, bukan mengubahnya. Masyarakat dianggap
berbudaya primitif apabila dia tidak mampu mengadakan perubahan yang
berarti.

Tentu kita tidak menggolongkan diri pada masyarakat berbudaya
primitif. Dengan gelombang modernisasi yang menerpa negeri ini sejak
beberapa abad terakhir dengan datangnya para penjajah, dan dengan
rangsangan-rangsangan modern yang beredar sampai sekarang, tentu
konsep dan perasaan kita tentang kehidupan terus berubah. Yang
mengusik pikiran, dengan segala perubahan menuju kemajuan, kita
tentunya akan terusmenerus dirundung berbagai problem sosial.
Empat teori problem sosial Menurut teori pertama, problem sosial
timbul karena disorganisasi dalam masyarakat. Demikian kata buku
Society Today yang diterbitkan Richard L Roe. Disorganisasi itu akibat
perubahan sosial, kultural, atau konflik kultural. Ada
tuntutantuntutan baru, tujuan-tujuan baru, dan bahkan nilai-nilai
baru. Lembaga-lembaga sosial kehilangan wibawa, normanorma tidak
diindahkan, dan kekacauan meluas. Lacurnya, teori ini kedengarannya
antiperubahan karena menganggap yang ada sudah memadai.

Teori kedua melakukan pendekatan berbeda. Problem sosial timbul karena
ada individu-individu yang ukuran moral maupun sosialnya `kurang'.
Mereka tidak mau dan tidak mampu mengikuti pola-pola normatif
masyarakat.
Bukan naluri atau situasi kejiwaan mereka yang salah. Mereka bersikap
demikian karena subkultur mereka memberontak terhadap lembaga-lembaga
yang ada; mungkin sekali akibat rangsangan-rangsangan yang datang.

Te o r i k e t i g a m e n y e b u t tentang konflik nilai-nilai.
Masyarakat memakai nilainilai yang saling berbeda atau bahkan
bertentangan dalam menghadapi suatu masalah bersama. Apa yang dianggap
problem oleh suatu kelompok dianggap sebagai kesempatan oleh kelompok
lain. Ini terutama terkait dengan sistem dis tribusi kekayaan,
kekuasaan, dan prestise yang ada. Mafia hukum, korupsi dan konflik
antarpartai politik masuk teori ketiga ini.

Orientasi keempat dan terakhir menganggap problem sosial sebagai
konsekuensi konflik pola-pola tingkah laku karena mekanisme pemersatu
kacau atau tidak mampu sehingga tingkat konflik melebihi kemampuan
sistem yang ada.
Asumsi yang mendasari teori keempat ini: perubahan sosial yang tidak
terintegrasi menimbulkan problem sosial. Diperlukan para pemimpin dan
manajer yang terampil dan bijaksana untuk mengurus perubahan dan
akibatnya terhadap negara dan masyarakatnya.
Pemimpin perlu umpan balik The Way of the Leader (1997) karya Donald G
Krause, memuat rumusan bagus tentang beda antara `pemimpin' dan
`manajer'. Sekalipun hasil karyanya itu memfokus pada kepemimpinan di
bidang bisnis, tetapi rumusan Kraus relevan untuk kepemimpinan pada
umumnya. Dia mengatakan, baik kepemimpinan maupun manajemen
menghendaki sukses yang menyeluruh.
Namun ada beda antara keduanya. Kepemimpinan mensyaratkan ada kontrak
sosial antara pemimpin dan yang dipimpin. Sang pemimpin dituntut
memiliki kemauan dan kemampuan untuk menjalankan kekuasaan. Tetapi
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin bersifat koperatif. Selain
itu, kekuasaan harus diberikan secara sukarela oleh yang dipimpin.
Kepemimpinan dilandasi oleh kesetujuan, ekspektasi, dan komitmen kedua
pihak.

Lain halnya dengan manajemen. Kekuasaan yang dimiliki sang manajer
terutama diperoleh dari posisi atau kepemilikan. Maka untuk berhasil,
manajemen tidak memerlukan faktor-faktor yang tersebut tadi.
Tergantung pada situasinya, manajemen bisa efektif tanpa ada kontrak
sosial antara manajer dan orang-orang di bawahnya, atau tanpa
kesetujuan dari pihak yang dipimpin.

Namun, tentu saja, hasil praktik-praktik manajemen yang baik menjadi
lebih sempurna bila kekuasaan sebagai manajer dan kekuasaan
kepemimpinan digabungkan. Idealnya, para pemimpin sebaiknya juga
manajer yang baik. Sebaliknya, manajer sebaiknya memiliki sifat-sifat
kepemimpinan.

Salah satu yang juga menjadi persyaratan untuk menjadi pemimpin yang
baik adalah keterbukaannya menerima umpan balik; atau sebaliknya
memberikan umpan balik. Umpan balik membantu membangkitkan motivasi
kerja.
Tanpa umpan balik, kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi upaya
dan kerja yang telah kita lakukan. Ini mematahkan semangat untuk
bekerja lebih baik karena berupaya atau tidak berupaya toh sama
hasilnya.

Apresiasi yang sepadan atau celaan maupun hukuman yang sepadan bisa
menjadi sarana perbaikan, namun harus konsisten. Dengan cara ini
tanggung jawab individu sebagai pemimpin akan semakin tumbuh.
Apresiasi bisa berbentuk pengakuan atau kebebasan lebih besar untuk
menjalankan maupun mengambil keputusan. Yang sebaliknya juga bisa
terjadi. Penafsirannya bisa dibaca sendiri oleh pemimpin maupun yang
dipimpin.

Tantangan berat yang dihadapi para pemimpin adalah mendorong yang
dipimpin agar bersedia berbuat lebih dari sekadarnya. Sering ada
asumsi bahwa faktor biologis dan genetika memotivasi manusia.
Mungkin itu menyebabkan pihak-pihak tertentu sering mengatakan, "Orang-
orang Melayu malas bekerja." Kalau asumsi itu benar, apakah berarti
motivasi tiap orang untuk bekerja tidak bisa diubah?
Jurnal dwibulanan Business Horizons, terbitan Sekolah Bis nis
Universitas Indiana, AS, pernah memuat hasil penelitian Burt K Scanlan
yang menunjukkan, ada faktor-faktor lain yang sama penting dengan
faktor biologis, yakni faktor-faktor budaya, latar belakang keluarga
dan sosial-ekonomi; serta kekuatan-kekuatan lain yang ada di
lingkungannya. Yang disebut terakhir--termasuk keterampilan manajemen
dan kebijakan pemimpin--dapat membangkitkan suasana kerja yang baik.

Selain itu, tujuannya pun harus jelas. Tanpa tujuan yang jelas, sulit
bagi individu maupun kelompok untuk membayangkan, apa manfaat mereka
bekerja lebih keras kalau hasilnya tidak memadai; nasib mereka tidak
berbeda dari yang sebelumnya. Itu akan mematikan semangat kerja. Untuk
itu mereka memerlukan umpan balik dari para pemimpin.

Apakah benar kita mengalami krisis kepemimpinan?
Tampaknya sistem komunikasi yang lemah membuat kita tidak sepenuhnya
tahu. Selain itu, gesekan antarsubkultur dalam masyarakat pluralistik
ini mempersulit tumbuhnya para pemimpin yang mumpuni. Lagi pula
mengubah sistem feodalistis menjadi demokratis bukan hanya membutuhkan
perubahan cara pandang atau mindset, tetapi juga perlu waktu lama.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/07/ArticleHtmls/07_01_2011_021_026.shtml?Mode=0

Tamparan Awal Tahun

Oleh Saldi Isra

Berita perjalanan misterius Gayus HP Tambunan ke sejumlah negara,
sekitar September 2010, menjadi tamparan hebat pada awal tahun 2011.
Dalam konteks apa pun, tamparan ini jauh lebih hebat jika dibandingkan
dengan berita pelesiran Gayus ke Bali pada awal November tahun lalu.

Ketika foto Gayus menonton kejuaraan tenis di Bali beredar luas, bisa
jadi, sejumlah pihak melihat kejadian tersebut sebagai bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam lingkup yang terbatas, terutama yang
terkait dengan rumah tahanan saja. Namun, dengan terkuaknya perjalanan
Gayus ke beberapa negara ini, penyalahgunaan kekuasaan pasti jauh
lebih sistemis dan terorganisasi.

Dalam batas-batas tertentu, kejadian ini menjadi indikasi kuat bahwa
penyelenggara negara sekaligus memainkan peran sebagai mafioso. Oleh
karena itu, hampir dapat dipastikan, perjalanan misterius Gayus tidak
akan pernah terungkap jika seorang pembaca bernama Devina tidak
menulis melalui forum surat pembaca di harian ini (Kompas, 2/1).

Skandal pelarian

Melihat begitu besarnya perhatian publik dalam skandal Gayus, terasa
aneh apabila perjalanan misterius ke beberapa negara ini tidak terkuak
dalam proses hukum. Padahal, saat kehadirannya di Bali, Kepala Polri
Jenderal (Pol) Timur Pradopo berjanji untuk menuntaskan skandal
pelarian Gayus dari rumah tahanan. Karena terungkap dari surat
pembaca, kejadian ini seperti membenarkan dan menguatkan kesaktian
Gayus di hadapan hukum dan para penegak hukum.

Sejak skandal Gayus muncul ke permukaan, sebagian pihak menilai,
pegawai golongan IIIA Direktorat Jenderal Pajak ini bukan orang biasa.
Selama proses hukum berlangsung, Gayus nyaris tidak pernah
memperlihatkan raut wajah cemas dan takut. Bahkan, hampir pada setiap
penampilan, dia berlagak begitu innocent. Wajar jika ada penilaian,
Gayus sebagai manusia super dengan tingkat kesaktian luar biasa. Boleh
jadi, kemampuan Gayus melewati makna super-Anggodo yang pernah
diberikan kepada Anggodo Widjojo.

Dari segi kemampuan ”bergaul” dengan para penegak hukum, Gayus mungkin
mempunyai kemampuan yang relatif berimbang dengan Anggodo. Namun,
untuk ”pendistribusian” dana kepada banyak kalangan, hampir dapat
dipastikan, Gayus jauh lebih royal dibandingkan Anggodo. Selain itu,
kesaktian Gayus bisa saja karena pengetahuannya tentang banyak hal
penting di internal Direktorat Jenderal Pajak.

Dengan latar belakang seperti itu, hampir dapat dipastikan banyak
pihak merasa terancam dengan proses hukum Gayus. Karena itu, menjadi
masuk akal jika banyak pihak berkepentingan agar skandal Gayus tidak
terungkap secara tuntas. Boleh jadi, pihak yang berkepentingan dengan
sengaja membiarkan skandal Gayus berada dalam selubung misterius.

Lorong misterius itu dapat dilacak dengan berhentinya proses hukum
sampai hanya sebatas penjaga rumah tahanan. Langkah tersebut
memberikan indikasi kuat bahwa pelesiran Gayus tidak akan pernah
selesai dalam makna yang sesungguhnya.

Saling melindungi

Indikasi untuk tidak menuntaskan skandal pelesiran Gayus begitu mudah
dapat dibaca dari tidak adanya keberanian mengungkap keterlibatan
sejumlah pejabat pada level yang lebih tinggi. Sadar atau tidak,
ketidakberanian membongkar level yang lebih tinggi dapat juga dimaknai
sebagai skenario untuk memberikan perlindungan bagi Gayus. Melihat
spektrum di pusaran skandal Gayus, membongkar salah satunya sama saja
dengan membongkar pihak lain.

Karena cara berpikir yang saling melindungi tersebut, pelesiran Gayus
ke Bali hanya dibatasi pada kejadian itu saja. Padahal, Gayus
meninggalkan rumah tahanan hampir 70 kali. Seharusnya, jika memang
hendak menyelesaikan secara keseluruhan, pelesiran ke Bali dijadikan
pintu masuk untuk menelusuri ke mana saja Gayus selama berada di luar
tahanan. Dalam konteks itu, menjadi tidak masuk akal jika penelusuran
tersebut berhenti sampai pada pelesiran Gayus di Bali.

Saat pelesiran Gayus ke Bali terkuak, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memerintahkan Kepala Polri untuk mengungkap latar belakang
kepergian tersebut. Tidak hanya itu, Presiden juga prihatin karena
rasa keadilan masyarakat terusik (Kompas.com, 18/11-10). Yang
dirasakan publik, perintah Presiden itu seperti hanya sekadar basa-
basi.

Yang paling memprihatinkan, publik tidak mendengar sikap Presiden
ketika terjadi saling lempar tanggung di antara para pembantunya.
Misalnya, Menteri Hukum dan HAM pernah mengatakan bahwa masalah Gayus
tidak berada di bawah tanggung jawab institusinya. Aksi lempar
tanggung jawab itu menunjukkan, betapa tidak seriusnya pemerintah.

Karena itu, beredar spekulasi bahwa sulit membongkar segala
penyelewengan di rumah tahanan karena yang dilakukan Gayus hanya
pengulangan dari aksi sejumlah tokoh penting yang pernah ditahan.
Masih ingat dengan terungkapnya sel tahanan Artalyta Suryani (Ayin) di
Rumah Tahanan Pondok Bambu yang supermewah? Lagi-lagi waktu itu
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berkilah-kilah dan yang
dikorbankan hanyalah Kepala Rutan Pondok Bambu.

Kini, ketika perjalanan misterius itu terungkap, Presiden menyampaikan
reaksi yang tidak jauh berbeda: ungkap tuntas perjalanan Gayus ke luar
negeri. Pernyataan normatif ini menunjukkan, betapa lembeknya reaksi
Presiden untuk sebuah peristiwa yang memberikan tamparan hebat dalam
jagat penegakan hukum.

Respons itu menjadi indikasi bahwa Presiden tidak serius
menindaklanjuti segala bentuk penyelewengan dalam perjalanan misterius
Gayus. Tidak hanya itu, pernyataan standar Presiden itu juga sama
sekali tidak menunjukkan keprihatinan yang mendalam.

Mengganti Kapolri serta Menhuk dan HAM

Sekiranya menganggap perjalanan misterius Gayus ini sebagai tamparan
penegakan hukum, Presiden seharusnya melakukan langkah lebih jauh dari
hanya sekadar perintah mengungkap secara tuntas. Langkah konkret yang
harus dilakukan Presiden adalah memberi batas waktu bagi Kepala Polri
membongkar semua jejaring yang meloloskan Gayus ke luar negeri. Tidak
hanya itu, Kepala Polri juga harus mampu mengungkap misteri dan misi
di balik perjalanan Gayus. Jika gagal, Presiden harus berani meminta
pertanggungjawaban Kepala Polri dan menggantinya dengan pejabat baru.

Langkah konkret itu harus dilakukan karena terlihat indikasi bahwa
keluarnya Gayus dari tahanan seperti dilokalisir menjadi sebatas
pelesiran ke Bali. Padahal, perintah untuk mengungkap kepergian ke
Bali seharusnya dimaknai sebagai perintah mengungkap semua perjalanan
Gayus di luar tahanan. Ketika langkah kepolisian berhenti hanya
sebatas pelesiran ke Bali, berarti ada desain untuk menutup sesuatu
yang lebih besar.

Sama halnya dengan Kepala Polri, Presiden juga harus memberikan batas
waktu kepada Menteri Hukum dan HAM mengungkap keterlibatan sejumlah
pihak di kantor imigrasi. Apabila dalam pelesiran Gayus masih mungkin
lempar tanggung jawab, perjalanan misterius Gayus tidak mungkin tidak
melibatkan orang di imigrasi. Dokumen negara bernama paspor bisa
dengan begitu telanjang ”dikadali” Gayus dengan nama Sony Laksono
(yang juga tercatat sebagai tamu di hotel tempat turnamen tenis yang
disaksikan Gayus). Apabila gagal, Presiden berani mengganti dengan
pejabat baru.

Melihat kejadian ini, secara jujur harus diakui bahwa sesungguhnya
tidak ada kerisauan tercabik-cabiknya rasa keadilan dalam penegakan
hukum di kepolisian dan imigrasi. Penegakan hukum pada kedua
lingkungan itu masih terbukti bobrok dan korup. Jika tamparan awal
tahun ini gagal menghadirkan langkah besar dalam penegakan hukum,
kalimat sakti ”saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan
korupsi” hanya merupakan pepesan kosong belaka. Atau, jangan-jangan,
Presiden masih menunggu tamparan lain yang lebih hebat.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/07/04233936/tamparan.awal.tahun

Tanpa Korupsi Tak Ada Politik

“Le secret des grandes fortunes sans cause apparente est un crime
oublié, parce qu’ il a été proprement fait.” Honoré de Balzac (1799—
1850) Sebagai bangsa, kita menutup tahun 2010 dengan selimut tebal
yang membungkus kasus-kasus korupsi berskala masif, sehingga tetap
menyisakan tanda tanya besar karena banyak mengandung misteri yang tak
mudah terungkap.

Kasus-kasus korupsi berskala besar ini selalu berada di wilayah kelam
yang nyaris mustahil dapat dibongkar. Saksikan, aneka skandal korupsi
raksasa selalu terkait dengan politik, berhubungan dengan pemegang
otoritas negara, dan bersarang di pusat-pusat kekuasaan yang
melibatkan aktor-aktor politik berpengaruh. Mengingat praktik korupsi
beroperasi di lembaga-lembaga publik dan terjadi di wilayah
administrasi pemerintahan negara, korupsi niscaya merepresentasikan
relasi kuasa di antara kekuatankekuatan politik dan aktor-aktor
negara.

Mereka menggunakan jabatan publik dan kekuasaan politik untuk
mengakumulasi kekayaan dan kapital demi keuntungan personal dan
politik. Karena itu, dalam wacana politik- ekonomi modern, korupsi
disebut the misuse of public powers for private benefits, terutama
ketika kontrol publik absen dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
warga negara kehilangan akses dan tak punya ruang untuk menjalankan
fungsi kritik publik dalam proses politik kenegaraan.

Mengikuti pandangan ini,seorang ahli politikekonomi Universitas
Michigan,Arvind Jain,menulis dengan terang: “Corruption seems to
result from an imbalance between the processes of acquisition of
positions of political power in a society, the rights associated with
those positions of power, and the rights of citizens to control the
use of that power” (Arvind K. Jain, The Political Economy of
Corruption, Routledge 2007).

Sungguh,pola relasi kuasa yang amat kompleks di antara
kekuatankekuatan politik di dalam struktur pemerintahan negara
menyebabkan praktik korupsi menjadi pelik dan rumit yang sangat sulit
diurai. Kesulitan untuk mengurai kasus korupsi itu lebih karena ada
konflik kepentingan di antara para pemangku kekuasaan dan aktor
politik, yang baik langsung maupun tak langsung terlibat dalam suatu
kasus korupsi.

Dua Sisi Koin

Dalam perspektif demikian,tak heran bila muncul penyataan satirikal:
tanpa korupsi tak ada politik. Keduanya seperti dua sisi koin. Meski
bernada sinikal, ungkapan klasik ini amat populer yang lazim dijumpai
di buku-buku teks ilmu politik, muncul dalam debat akademik di ruang-
ruang kuliah, dan mengemuka sebagai wacana umum di aneka ruang publik.
Sedemikian kuat pertautan antara politik dan korupsi sehingga ungkapan
without corruption there is no politicsseolah sudah menjadi kebenaran
aksiomatik.

Seperti sukma yang menjiwai raga, korupsi menjadi nafas bagi
keberlangsungan dinamika politik. Laksana aliran darah yang menentukan
daya hidup bagi manusia, korupsi menjadi daya yang menggerakkan
percaturan politik. Ibarat asupan makanan untuk menjaga ketahanan
tubuh manusia, korupsi merupakan energi— meminjam istilah almarhum
Nurcholish Madjid: gizi—yang membuat praktik politik terus berlangsung
riuh dan gegap gempita.

Saksikan, praktik politik pun penuh dengan kontroversi.Kekuasaan
politik yang besar makin membuka peluang praktik korupsi berskala
masif dan gigantik. Semakin tinggi jabatan politik dalam struktur
kekuasaan, ongkos yang diperlukan untuk meraihnya pun kian mahal.
Dalam banyak kasus, ongkos politik itu bersumber dari atau berujung ke
korupsi.Tak pelak, bangunan kekuasaan politik pun ditopang oleh
korupsi yang mengakar di dalam tubuh lembaga- lembaga negara.

Sungguh menyedihkan,korupsi sudah menjadi patologi sosial akut yang
membuat politik kian menjauh dari citacita republik dan idealisme
publik untuk memperkokoh sendi-sendi civic polity. Dalam konteks
percaturan politik di Indonesia, ungkapan tanpa korupsi tak ada
politik jelas menggambarkan realitas sosial yang dapat dilihat secara
kasatmata. Kita bisa merujuk segudang fakta keras dan bukti empiris
karena sudah banyak politisi dan pejabat negara yang diadili dan
dihukum akibat perbuatan korupsi.

Puluhan bupati, wali kota, dan gubernur menjadi tersangka dan
dimejahijaukan atas dakwaan korupsi. Banyak pula anggota parlemen
bahkan (mantan) menteri sudah mendekam di balik jeruji besi karena
melakukan pidana korupsi. Ini semua mengonfirmasi kebenaran aksiomatik
ungkapan bernada sinikal tersebut. Dalam konteks ini pula, kita dapat
memahami mengapa kasus penggelapan uang pajak oleh Gayus Tambunan
punya resonansi politik sangat kuat.

Hal ini karena kasus Gayus berimpitan dengan perusahaan-perusahaan
besar yang, antara lain,berhubungan dengan seorang tokoh politik
berpengaruh yang memimpin parpol besar.Padahal, nominal uang yang
digelapkan oleh Gayus “hanya” Rp104 miliar. Jumlah ini terbilang lebih
“kecil”dibandingkan dengan uang Rp932 miliar—sembilan kali lipat lebih
besar—milik Bahasyim Assifie yang diduga hasil kejahatan pencucian
uang dan penggelapan pajak, yang mengemuka dalam sidang di pengadilan
(antaranews. com, 30/9/2010).

Tidak seperti kasus Gayus yang selalu memenuhi halaman koran/majalah
dan menghiasi layar televisi, liputan media massa untuk kasus Bahasyim
tak begitu meriah dan jauh dari hiruk-pikuk. Ia juga tak menjadi objek
silang pendapat di antara politisi dan tokoh publik karena tak punya
dimensi politik. Setahun yang lalu, ketika Partai Demokrat memenangi
Pemilu 2009 secara amat fantastik dengan peningkatan perolehan suara
sampai 300% dan Presiden Yudhoyono berhasil terpilih kembali untuk
masa jabatan kedua, skandal dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7
triliun meledak.

Banyak pihak, terutama para politisi, mengaitkan skandal Century ini
dengan dua kemenangan dalam pemilu yang amat mencengangkan itu. Ramai
diperbincangkan, Partai Demokrat diduga menerima aliran dana talangan
itu untuk biaya kampanye pemilu baik melalui mobilisasi massa maupun
aneka ragam iklan di media cetak dan elektronik yang amat masif. Tak
pelak, spekulasi keterlibatan elite-elite Demokrat dan orangorang
terdekat Presiden dalam skandal Century pun merebak.

Dapat dimaklumi bila kemenangan spektakuler Demokrat—SBY tetap
menyisakankemasygulandibanyak kalangan sampai hari ini. Maka, ungkapan
lama ‘behind every great victory lies a big crime’ selalu relevan
untuk dikaitkan dengan aneka peristiwa politik yang tak sepenuhnya
bisa dicerna oleh nalar publik. Sastrawan terkemuka Prancis, Honoré de
Balzac, dua abad silam bahkan sudah menuturkan: “Le secret des grandes
fortunes sans cause apparente est un crime oublié, parce qu’ il a été
proprement fait.”

Jika diterjemahkan secara bebas, kutipan ini berarti: rahasia suatu
sukses besar yang Anda sendiri tak mampu memberi penjelasan selalu
tersembunyi suatu tindak kejahatan yang tak akan pernah bisa diungkap
karena dilakukan dengan amat rapi. Kutipan ini mungkin dapat membantu
untuk memahami aneka skandal korupsi berskala besar yang terkait
praktik politik di Indonesia.

Skandal korupsi dalam politik itu sulit diungkap karena beroperasi di
dalam organ-organ kekuasaan, berkelindan dalam jaringan politik yang
berlapis-lapis, dan melibatkan tokoh-tokoh politik penting yang
memangku kekuasaan dalam struktur pemerintahan negara. Dalam konteks
inilah kita dapat membaca mengapa skandal Bank Century, yang oleh DPR—
setelah melalui investigasi lama—dinilai melanggar hukum, tak kunjung
dapat dituntaskan oleh aparat penegak hukum.Inilah diktum universal:
tanpa korupsi tak ada politik!(*)

Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology
University of Sussex, UK

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374297/

Ramah dan Lemah Sesama Elite

ADA salah satu prinsip demokrasi yang hilang di tengah euforia
demokrasi ini, yaitu prinsip check and balances. Mekanisme kritik yang
mestinya dilakukan oleh rakyat dan lembaga legislatif terhadap
eksekutif tidak berjalan.

Mereka yang tengah berkuasa sebagai eksekutif adalah juga mereka yang
menguasai lembaga legislatif. Ini terjadi baik di tingkat pusat maupun
daerah. Yang terjadi kemudian saling menyandera,saling gertak,namun
hanya basa-basi karena masingmasing memegang ”kartu as”kelemahan
lawannya. Mereka berkawan dalam persaingan, mereka bersaing dalam
perkoncoan. Para politisi sibuk bernegosiasi berbagi posisi dan
proyek,namun manfaat yang menetes ke bawah sangat sedikit.

Layanan masyarakat sangat mengecewakan. Betapa murahnya tenaga buruh
dan nyawa,baik karena kecelakaan kerja, bencana alam,kemiskinan,maupun
korban kriminalitas, namun bantuan negara sangat minim. Lalu lintas
semakin macet. Banjir terjadi di mana-mana.Para petani tak kunjung
membaik nasibnya. Barang impor kian menguasai pasar. Kenaikan ekonomi
tak mampu menciptakan kebutuhan lapangan kerja baru.Dari mana harapan
dan perubahan akan datang?

Masih sulit menjawab karena para elite parpol yang kita harapkan
bekerja untuk rakyat ke-lihatannya lebih sibuk bekerja untuk agenda
partainya.Tak ada kesatuan visi, program besar, dan satu komando untuk
melakukan perubahan dan perbaikan besar untuk mengakhiri status quo
yang mahal biayanya ini. Orang bilang secara sinis, yang terjadi
adalah sustainable transition. Sekarang bahkan sudah mulai testing the
water dengan melemparkan nama-nama calon presiden dan calon wakil
presiden untuk Pemilu 2014.

Kalau tahun ke depan ini pemerintah tidak melakukan tindakan yang
drastis dan tidak membuat prestasi kinerja yang langsung dirasakan
rakyat,kekecewaan dan apatisme akan semakin menguat dan rakyat, ibarat
rumput kering,akan mudah terbakar oleh percikan api provokasi. Ada
indikasi bahwa antarsesama elite kelihatannya ramah dalam konotasi
lemah atau saling menutupi kekurangan masing- masing.Sekian banyak
skandal korupsi tidak terungkap sampai tuntas.

Mungkin hal itu akan termaafkan oleh rakyat jika ditutupi dan
dikompensasi dengan layanan sosial yang memuaskan terutama pendidikan
dan kesehatan yang bagus dan terjangkau.Lebih dari itu adalah
tersedianya infrastruktur dan lapangan kerja sehingga masyarakat bisa
mengembangkan usahanya tanpa mesti menggantungkan pada belas kasih
pemerintah. Saya sendiri sesungguhnya tidak senang menulis dengan
semangat mengkritik, terlebih lagi menghujat.

Saya sadar sekali, andaikan saya dalam posisi sebagai presiden atau
menteri,tidak ada jaminan lebih baik dari mereka. Namun, panggilan
moral-intelektual mendorong saya untuk mengkritik justru karena
kecintaan saya pada bangsa,negara,dan rakyat. Dulu semasa Orde Baru
masih ada tokoh-tokoh sipil yang tampil sebagai ikon kritikus meskipun
dengan cara yang ekstrahati-hati di hadapan kekuasaan Pak Harto.
Posisi Gus Dur,Cak Nur,Megawati, Amien Rais, dan beberapa yang lain
dipandang sebagai ”suara sumbang” terhadap rezim Pak Harto.

Mereka kalau mengkritik mesti pandai-pandai memilih ungkapan agar
tidak membuat Pak Harto marah dan Kopkamtib bertindak. Karena itu,
ketika Amien Rais melontarkan gagasan ”suksesi”, waktu itu bagaikan
petir di siang bolong.Aneh, hebat, dan berani sekali Amien Rais.
Tetapi, sekarang ruang kritik semakin terbuka.Televisi dengan leluasa
menampilkan tokoh-tokoh yang dengan jenaka atau sarkastik menyampaikan
kritik pada pemerintah.

Pertanyaannya, mengapa kata-kata itu hampir kehilangan wibawa dan
maknanya? Suara kritis dan galak sekarang ini bisa muncul dari
LSM,kampus,DPR,rakyat biasa,dan entah siapa lagi,yang kesemuanya tak
ada hambatan untuk disuarakan melalui media massa. Tapi, lagi-lagi,
kritik itu hampirhampir tidak membawa pengaruh pada sasaran yang
dikritik.Apakah kritik mesti disampaikan melalui demo di jalanan agar
memperoleh perhatian? Tetapi, demo pun sekarang tidak lagi memperoleh
dukungan masyarakat, bahkan sering dianggap mengganggu ketertiban
sosial.

Panggung kritik di televisi kadangkala lalu berubah seperti adegan
sinetron.Pihak-pihak yang bertikai telah diatur sebelumnya.Dan pemirsa
pun merasakan adegan demi menaikkan rating ini. Akibatnya? Kata dan
sabda kehilangan makna dan wibawa. Sesama elite tetap saja saling main
mata meski sekali-sekali diselingi gertak dan intimidasi. Seakan
mereka berseberangan, oposisi, tetapi yang terjadi adalah kompromi dan
negosiasi. Biaya panggung politik jadi amat mahal.Ujungnya rakyat yang
membayar dan jadi korban. (*)

KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374316/

Bekas Presiden Korsel Serahkan Harta ke Rakyat

RMOL. Bekas Presiden Korea Selatan (Korsel) Kim Young-sam tidak
berniat mengumpulkan kekayaan atau mewariskan hartanya kepada anak-
anaknya. Kim lebih me­mi­lih menyumbangkan seluruh hartanya kepada
rakyat.

Menurut Kim, dia tidak akan hidup lebih lama lagi dan keka­yaannya
tidak akan dia bawa ma­ti. Itulah sebabnya dia ingin mem­berikan semua
asetnya kepa­da masyarakat.

“Semuanya selesai ketika kau mati. Kau tidak akan dapat hidup se­
lamanya,” ujar Kim, Rabu (5/1).

Kim tidak memberikan rincian mengenai sumbangan yang akan dia berikan.
Namun, salah satu pegawai Kim mengatakan, dia akan memberikan
kediamannya di Seoul dan di Pulau Geoje ke­pada organisasi non pe­me­
rintah yang dia dirikan.

Pegawai yang tidak ingin dise­butkan namanya ini juga me­nga­takan,
rumah kelahiran Kim yang juga terletak di pulau Geoje akan di­berikan
kepada pemerintahan lokal pulau tersebut. Diper­ki­ra­kan semua aset
yang disum­bang­kan Kim senilai lima miliar won atau sekitar Rp 39,5
miliar.

Kim ingin semua harta ini diberikan semua untuk kepen­tingan
masyarakat, dia bahkan ti­dak memberikannya kepada anak-anaknya.
“Tidak perlu mem­berikan harta kepada anak-anak saya, saya pikir yang
terbaik adalah memberikannya kembali kepada masyarakat,” ujar Kim.

Bekas itu pernah memimpin Korsel sebagai presiden selama 1993 hingga
1998. Kim mencatat sejarah sebagai warga sipil per­tama yang menjadi
presiden se­telah Korsel diperintah junta militer selama puluhan
tahun.

Selain Kim Young-sam, pada 2009 Presiden Korsel saat ini, Lee Myung-
bak menyatakan akan menyumbangkan seluruh kekayaannya setelah dia meng­
akhiri jabatannya.

Harta kekayaan Lee yang di­per­kirakan sebesar 33,1 miliar won atau
sekitar Rp 260 miliar akan digunakan untuk program beasiswa pemuda.
“Semua keun­tungan saya, yang saya kum­pul­kan melalui kerja keras
seumur hidup, sangat berharga bagi saya. Saya telah lama
memikirkannya, bahwa sangat bagus jika keka­yaan saya digunakan dengan
cara yang baik untuk masyarakat,” ujar Lee. [RM]

http://internasional.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=14242

Petani Gurem, Konversi Lahan, dan Ketahanan Pangan

Andi Irawan, LEKTOR KEPALA BIDANG ILMU EKONOMI UNIVERSITAS
BENGKULU

Sehingga perilaku rent seeking dalam izin penggunaan lahan adalah
suatu keniscayaan di kekinian kita. Dan perilaku ini bersimbiosis
mesra dengan perilaku para pelaku pasar yang haus lahan untuk kegiatan
ekonomi nontanaman pangan, yang, menurut mereka, paling profitable.
ika dilihat dari sisi ketersediaan J lahan pertanian, ada dua tantang
an berat yang kita hadapi untuk menghadirkan ketahanan pangan yang
kokoh. Tantangan pertama adalah produksi pangan kita berbasis pada
petani gurem. Sebagaimana diketahui, tren jumlah petani gurem
meningkat selama dua periode sensus pertanian (1993 dan 2003). Jumlah
rumah tangga petani gurem (kurang dari 0,5 hektare) rata-rata naik
2,17 persen per tahun, yakni dari 10,7 juta rumah tangga pada 1993
menjadi 13,3 juta rumah tangga pada 2003. Persentase rumah tangga
petani gurem juga meningkat dari 52,13 persen menjadi 55,11 persen.

Mengapa pertanian berbasis petani gurem akan menjadi kendala dalam
menjaga ketahanan pangan secara berkelanjutan? Kita tahu aspek
ketersediaan pangan sangat bergantung pada produktivitas usaha tani
pangan. Dan untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek,
butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi biokimia dan
mekanisasi pertanian. Padahal, ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah
menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit
seperti yang dimiliki umumnya petani gurem.

Ada dua implikasi dari produksi pangan kita yang berbasis petani gurem
ini. Pertama, peningkatan produktivitas pangan menjadi sangat mahal
karena perlunya subsidi yang massif untuk intensifikasi pertanian. Hal
ini karena petani tidak mampu jika mereka harus membiayai sendiri
intensifikasi usaha taninya.

Kedua, perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi) menjadi tumpuan
utama peningkatan produksi pangan. Padahal, ketika berbicara tentang
ekstensifikasi lahan pertanian, kita dihadapkan pada tantangan kedua
ketahanan pangan, yakni konversi lahan pertanian.

Konversi lahan pertanian adalah salah satu sumber shock penting
penyebab krisis pangan dalam satu dekade ke depan kalau tidak mendapat
solusi tepat.
Data menunjukkan konversi lahan pertanian di negara kita seluas
2.917.737,5 hektare sepanjang 1979-1999. Tingkat konversi per tahun
ini meningkat sepanjang 1999-2002 mencapai 330 ribu hektare atau
setara dengan 110 ribu hektare per tahunnya. Pada periode 1999-2002,
konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Jawa mencapai 73.710
hektare atau 71,24 persen dari total konversi lahan pertanian di Jawa.
Padahal lahan pertanian produktif Pulau Jawa adalah lahan relatif
lebih subur, yang tentu saja berkontribusi signifikan terhadap
produksi pangan nasional. Laju konversi lahan pertanian sepanjang 2002
sampai sekarang diperkirakan berkisar 100-110 ribu hektare per tahun.

Dalam konteks kekinian kita, konversi lahan merupakan suatu
keniscayaan pasar. Sebab, penggunaan lahan untuk investasi di sektor
nonpertanian pangan memberi keuntungan berkali lipat ganda dibanding
ketika lahan itu digunakan untuk usaha pertanian pangan. Memang kita
mencoba melawan kekuatan konversi lahan yang dipacu oleh kekuatan
pasar ini untuk direm oleh kekuatan negara melalui Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Tapi hampir dapat dipastikan kekuatan pasar pemacu
konversi lahan lebih kuat daripada kekuatan negara yang berperan untuk
mengeremnya.
Mengapa? Sederhana, para penyelenggara negara di daerah banyak sekali
yang melakukan perannya dengan motif privat. Sehingga perilaku rent se
eking dalam izin penggunaan lahan adalah suatu keniscayaan di kekinian
kita. Dan perilaku ini bersimbiosis mesra dengan perilaku para pelaku
pasar yang haus lahan untuk kegiatan ekonomi nontanaman pangan, yang,
menurut mereka, paling profitable.

Karena itu, menurut saya, pendekatan pasar pulalah yang harus kita
gunakan untuk mencegah konversi lahan. Ca ranya? Jadikan kegiatan
ekonomi pertanian rakyat memiliki profita bilitas yang tinggi melalui,
perta ma, penciptaan nilai tam bah produk-produk perta nian.
Sebagaimana yang diketahui petani, kita umumnya menjual produknya
dalam ben produknya dalam ben tuk output primer dengan nilai tambah
yang rendah.

Program pemberdayaan masyarakat petani, yang diluncur kan pemerintah
melalui Kemente rian Pertanian, seperti Pengembangan Usaha Agrobisnis
Pedesaan, Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat, dan Usaha Penjualan
Jasa Alsintan, seharusnya mengemban misi besar menciptakan nilai
tambah tersebut.

Kedua, melalui diversifikasi usaha bagi petani lahan gurem. Dengan
lahan sempit yang dimiliki umumnya petani kita, untuk meningkatkan
pendapatan, para petani lahan sempit tersebut harus memiliki usaha
selain usaha tani mereka. Sebagai contoh, petani dengan lahan kurang
dari 0,5 hektare akan terbantu ekonomi rumah tangganya jika mereka
bisa memiliki ternak sapi 2-3 ekor.

Pendekatan pasar lain yang penting adalah bagaimana kita harus
menciptakan usaha ekonomi tanaman pangan yang mencapai skala ekonomi
efisien.
Dalam konteks itu, hadirnya bentuk usaha skala besar di bidang
agrobisnis pangan yang terintegrasi bisa horizontal (antara pangan,
ternak, dan perkebunan ) atau vertikal (integrasi dari on-farm sampai
off-farm) mendapat justifikasi konseptual.

Food estate akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan petani
jika; 1) Ia diperankan sebagai implementasi dari land reform policy
ketika semua food estate berkomitmen melibatkan petani kecil sebagai
petani plasma yang bermitra dengan mereka. Jika sekitar 20 persen
lahan food estate untuk petani kecil sebagai plasma dari perusahaan
food estate, kontribusi kehadiran food estate untuk menghadirkan
kesejahteraan petani akan nyata.

2) Meningkatkan produktivitas petani.
Ilustrasi sederhananya, umumnya 1 hektare sawah dikelola oleh lima
petani dengan produksi 6 ton gabah per hektare atau produktivitas
petani per orang sebesar 1,2 ton. Dengan terserapnya tenaga kerja di
food estate, katakanlah dua orang saja, produktivitas petani per orang
meningkat menjadi 2 ton per orang. Dan peningkatan produktivitas ini
juga menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan petani kecil kita.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/06/ArticleHtmls/06_01_2011_012_004.shtml?Mode=1

Mungkin Saja Kami Kerja Sama Dengan Golkar & Demokrat

RMOL. Pada pemilu lalu, Partai Gerindra pernah bermitra dengan PDIP
melalui duet Mega-Prabowo. Setelah kalah di per­tarungan, kabarnya,
banteng menjanjikan dukungan untuk Prabowo jadi capres, pada pemilu
nanti.

Tapi belakangan ini, manuver kandang banteng sepertinya tak fokus ke
pencapresan Prabowo. Petingginya, Taufik Kiemas malah bermesraan
dengan Demokrat. Dan terakhir, dia menyatakan bahwa PDIP akan
memunculkan capres dari kalangan muda, usia 40-50.

Apakah Gerindra merasa dikhianati? Berikut ini wawan­cara Rakyat
Merdeka dengan Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, kemarin.

Taufik Kiemas makin mesra dengan Demokrat. Dan PDIP sepertinya akan
memunculkan capres dari kalangan muda. Apa­kah Gerindra khawatir
“dikhianati” PDIP dengan wacana itu?
Wacana itu bisa menjadi dis­kusi publik atau bisa menjadi pemikiran
kita bersama. Gagasan politik adalah hal yang wajar untuk diungkapkan.
Tapi keputu­san politik pasti ditentukan oleh partai. Dan (partai
PDIP) dalam hal ini Bu Mega yang akan me­nen­tukan.

Taufik Kiemas saat ini ber­mesraan dengan pemerintah. Apakah tak
khawatir Gerindra ditinggal dan PDIP berkoalisi dengan Demokrat?
Ya, itu bukan usaha yang baru. Saya kira dalam politik, sikap seperti
itu biasa-biasa saja. Se­bab, ujungnya adalah pendapat resmi dari
partai.

Seandainya PDIP bergabung dengan Demokrat di 2014, ba­gaimana?
Saya tidak khawatir. Saya me­lihat bahwa tokoh-tokoh PDIP sendiri,
terutama Bu Mega adalah orang-orang yang memegang kata-kata dan punya
sikap. Kalau tidak punya sikap tentu dia sangat mudah tergiur oleh
tawaran-ta­waran jangka pendek.

Kabarnya ada tokoh Gerin­dra yang marah dengan manu­ver itu?
Saya kira itu bukan marah. Tapi kurang lentur menyikapinya.

Dalam politik, melihat manu­ver tidak bisa dengan kacamata kuda. Harus
dari berbagai per­spek­tif. Mungkin itu kesalahpa­haman saja. Kita
tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang prinsipil. Itu wacana
politik Pak Taufik Kiemas yang sah-sah saja.

Ada pengamat yang menilai Gerindra saat ini gelisah de­ngan manuver
Taufik Kiemas.
Saya kita tidak begitu. Kami sama sekali tidak gelisah dan ma­rah.
Kami optimis dan yakin bahwa rakyat saat pemilu 2014 akan memilih
dengan lebih jernih demi perbaikan-perbaikan.

Seandainya, pada akhirnya, PDIP tidak memenuhi komit­men­nya, dan
tidak men­du­kung pencapresan Pra­bowo, bagai­mana?
Saya tidak per­caya. Dinamika politik kita ma­­­sih pan­jang. Masih
banyak yang mung­kin bisa terjadi. Kita tidak tahu, jangan-jangan
nanti lebih banyak yang mendukung Pak Prabowo. Bisa saja begitu kan?
Mungkin saja Gerindra bekerja sama de­ngan Demokrat atau dengan
Golkar. Kita kan hidup dengan dinamika yang tidak statis.

Taufik Kiemas mengatakan PDIP baiknya mencalonkan pre­siden dari usia
muda 40-50 ta­hun. Ba­gai­mana tang­ga­pan anda?
Itu kan usu­­lan be­liau. Saya kata­kan, sah-sah saja. Yang lain
mungkin mengu­sulkan usianya 50-60 tahun, atau 25-30 tahun. (Bagi
saya), jangan me­mandang usia. Ha ha ha. Boleh-boleh saja. Berbeda pen­
dapat boleh. Sebab, berbeda pen­dapat baik-baik saja adanya.

Anda sepertinya tak yakin sikap Taufik akan jadi sikap PDIP.
Yang menentukan itu adalah keputusan politik yang resmi. Itu semuanya
sedang berproses. Terlalu dini untuk mengungkap­kan formasi politik di
2014. Di dalam politik, sering kali yang menentukan adalah
kepentingan.

Usia Prabowo pada tahun 2014 adalah 62 tahun. Apakah ti­dak terlalu
tua untuk capres?
Kita tidak melihat usia. Menu­rut saya, yang kita perlukan seo­rang
pemimpin yang tegas, yang punya visi jauh ke depan, kapa­bel, punya
integritas dan karakter kuat. Jadi, tua dan muda adalah relatif. Ada
yang pemimpin tua yang berhasil. (Tapi) ada pemim­pin muda yang kurang
berhasil. Begitu juga sebaliknya. Kalau muda tapi tidak berhasil,
tidak ada gunanya bagi masyarakat.

Oh ya, adakah strategi khu­sus Gerindra untuk meme­nang­kan pemilu di
2014 nanti?
Ya, tentu ada. Terpenting ada­lah konsolidasi internal, organi­sasi
dan konsolidasi ke dalam. Gerindra punya kelebihan soal itu dibanding
(partai) yang lain.

Kami sudah punya calon untuk running sebagai Presiden. Jadi, kalau
memilih Gerindra, kira-kira tahulah siapa yang akan dicalon­kan untuk
jadi presiden. (Partai) lain masih belum tahu, siapa (calon­nya). Ini
adalah hal yang menguntungkan posisi kami.

Bagaimana dengan cawapres Gerindra, siapa yang akan di­ajukan. Apakah
sudah mengi­ra-ngira calon pendamping Pra­bowo?
Oh, kalau itu belum. Nanti ada saatnya. Ini masih terlalu pagi dan
terlalu dini. [RM]

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=14231

Revolusi Digital dan Target MDGs

Revolusi Digital dan Target MDGs

Oleh : Firdaus Cahyadi

Seorang siswi sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedang asyik dengan blackbarry (BB) di tangannya saat duduk di bangku metromini jurusan Mampang-Kampung Melayu, Jakarta. Tak berapa lama kemudian siswi itu mengambil handphone CDMA dari sakunya untuk membalas SMS dari temannya.

Bagi anak seusia SMP di kota besar seperti Jakarta, handphone bukan lagi menjadi barang mewah. Bahkan tidak jarang mereka memiliki handphone lebih dari satu. Perkembangan pesat ICT (Information and Communication Technology) memang menarik minat kaum muda untuk menjadi konsumen.

Bagaimana tidak, kini dengan handphone di tangan sesorang bisa mendengarkan musik melalui MP3, menonton televisi, berselancar di dunia maya dan tentu saja mengirim pesan singkat serta berkomunikasi. Perkembangan pesat ICT itu adalah bagian dari sebuah gelombang revolusi digital. Dan revolusi digital itu, kini telah melanda negeri ini.

Gelombang revolusi digital itu pula yang membuat lembaga-lembaga internasional ikut mempromosikan pemanfaatan ICT di negara-negara berkembang untuk memberantas kemiskinan. Bahkan pemanfaatan ICT dikaitkan dengan pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs) yang akan dicapai pada tahun 2015.

PBB telah menetapkan sasaran sebesar 50 persen dari penduduk dunia telah memiliki akses kepada jaringan telepon seluler pada tahun 2015. Bukan hanya PBB, lembaga bisnis bantuan internasional Bank Dunia juga tidak ketinggalan. Seperti ditulis oleh jurnalnet.com, Bank Dunia bersedia menggelontorkan proyek utangnya untuk membiayai program pembelajaran ICT di sekolah-sekolah Indonesia.

Dikaitkannya pemanfaatan ICT dengan upaya pengentasan kemiskinan bersandar pada sebuah logika yang sederhana. Gelombang revolusi digital ICT ini memungkinkan informasi dan pengetahuan tersebar secara luas dan cepat. Dengan informasi itu maka sesorang dapat mengambil keputusan yang tepat, cepat dan effisien. Sementara dengan pengetahuan maka sesorang dapat melakukan replikasi, modifikasi, imporvisasi dan inovasi terkait kegiatan ekonomi. Dan tentu saja dengan memanfaatkan ICT maka seseorang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan politik, sehingga keputusan politik lebih berpihak terhadap kepentingan masyarakat banyak.

Namun yang kemudian menjadi agak aneh adalah, disaat lembaga-lembaga internasional mempromosikan pemanfaatan ICT untuk pengentasan kemiskinan, secara hampir bersamaan muncul desakan di forum-forum internasional untuk meliberalisasi sektor telekomunikasi dan informatika (telematika). Adanya desakan internasional tersebut secara jelas dituangkan dalam penjelasan Rancangan Undang Undang (RUU) Telematika.

Dalam konteks Indonesia, sektor telematika sudah sepenuhnya liberal. Kebijakan-kebijakan di sektor ini lebih banyak didorong oleh dinamika pasar dan kepentingan industri. Keterlibatan masyarakat sipil dapat dikatakan minim.

Akibatnya, pengembangan infrastruktur ICT pun lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa, perkotaan dan kawasan Indonesia barat. Hal itu disebabkan karena penduduk di kawasan tersebut relatif padat dan memiliki pendapatan lebih tinggi. Dan itu artinya mereka berpotensi menjadi konsumen produk-produk ICT.

Ketimpangan pengembangan infrsturktur ICT ini melahirkan ketimpangan digital antara Jakarta dan luar Jakarta, kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, kawasan Indonesia barat dan timur. Lantas, dalam konteks Indonesia, mungkinkah ICT akan mampu menjadi alat untuk mencapai target MDGs, jika ketimpangan digital, yang dipicu kebijakan liberalisasi telematika, itu masih mengangga lebar?

Pengeluaran Masyarakat Miskin

Selain persoalan ketimpangan digital, yang perlu dikritisi lagi adalah kemana uang mengalir dari bisnis ICT yang telah sepenuhnya liberal ini? Liberalisasi telematika memudahkan korporasi-korporasi bidang ICT untuk melakukan penetrasi pasar di Indonesia. Sebagian besar korporasi itu adalah perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju. Hal itu wajar karena mereka pula yang lebih menguasai teknologinya.

Namun, kondisi itu berarti terbuka pula peluang adanya aliran uang dari negara berkembang (konsumen) ke negara maju (produsen produk-produk ICT). Dalam bisnis ICT di Indonesia memang ada aktivitas ekonomi lokal yang dibangkitkan, namun tentu besarnya nilai rupiah dari ekonomi lokal yang dibangkitkan itu tak sebanding dengan nilai rupiah yang berpontensi mengalir ke negara maju. Apakah dengan kondisi ketimpangan penguasaan teknologi antara negara berkembang dan maju seperti itu, ICT dapat diharapkan mampu menjadi alat pencapaian target MDGs?

Dijadikannya negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi target pasar produk ICT juga menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan belanja untuk produk-produk ICT dari warga miskin justru sama atau lebih besar dari belanja kebutuhan dasar mereka?

Sebuah survei yang dilakukan oleh aktivis FAKTA (Forum Warga Kota) Jakarta, sebuah LSM yang mendampingi warga miskin kota Jakarta menarik disimak. Menurut FAKTA, masyarkaat miskin dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp 30.000/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet dan sebesar Rp 160.000/bulan/KK untuk membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp. 190 ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk ICT.

Pengeluaran warga miskin kota untuk produk ICT itu ternyata hampir sama dengan pengeluaran per KK warga miskin untuk kebutuhan minimum makanan per kapita per hari atau menurut Badan Pusat Statistics (BPS) dikenal dengan Garis Kemiskinan Makanan (GKM). Pada tahun 2010 GKM di Jakarta mencapai Rp 213.487. Bahkan pengeluaran untuk belanja produk ICT warga miskin itu telah melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Pada tahun 2010 GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682.

Dari uraian di atas terlihat bahwa diserahkannya kebijakan ICT dalam kendali pasar justru akan menjauhkan tujuan mulia yang hendak menjadikan ICT sebagai alat pencapaian target MDGs. Kebijakan ICT harus dalam kendali negara bukan swasta, bila revolusi digital benar-benar akan diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan sesuai pencapaian target MDGs.


sumber: http://www.satuportal.net/content/revolusi-digital-dan-target-mdgs

Gayus Keluyuran, Mahfud MD Sebut Negara Sial

Kepolisian gagal mengungkap bos mafia di balik kasus pajak yang
melibatkan Gayus.
ORANG kuat secara politik dan ekonomi meloloskan terdak wa Gayus
Tambunan ke luar negeri. Presiden Su silo Bambang Yudhoyono pun
diminta memimpin sendiri upaya membongkar jaringan mafia yang sudah
menggurita.

Permintaan itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, sebab
ia geram dengan ulah Gayus yang sering mengelabui aparat penegak
hukum. "Sebagai pejabat negara, saya merasa malu dan terhina," kata
Mahfud, kemarin.

Pada saat mendekam dalam tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua,
Depok, Gayus tidak hanya bebas keluyuran ke Bali. Ia juga berleha-leha
ke luar negeri seperti China, Singapura, dan Malaysia. Saat ini
kepolisian bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM sedang
mengusut paspor asli tapi palsu yang dipakai Gayus.

Mahfud menandaskan bahwa sesungguhnya negara yang ditipu Gayus. "Ini
negara yang betul-betul sial dalam penegakan hukum. Masak kita ditipu
Gayus berkali-kali. Yang ditipu ini negara, kita seperti tidak berdaya
kepada Gayus. Kasihan negara ini," ujarnya.

Ia menuding jaringan mafia berada di balik kasus Gayus. Karena itu,
Mahfud meminta Presiden sendiri yang memimpin upaya pembenahan sistem
yang sudah bobrok. Presiden diharapkan mengambil inisiatif lebih tegas
untuk merumuskan langkahlangkah yang kemudian dikawal secara bersama-
sama oleh institusi penegakan hukum.

Akan tetapi, Presiden Yudhoyono enggan turun tangan dengan alasan
tidak mau intervensi proses hukum. "Presiden tentu tidak memiliki
kewenangan di dalam intervensi soal hukum," kata Julian Aldrin Pasha,
juru bicara kepresidenan, kemarin.

Sejauh ini kasus Gayus cuma diusut kepolisian. Pengusutannya kasus per
kasus. "Yang dibawa ke pengadilan hanya diambil ekornya," kata Mahfud.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif menambahkan, aktor lebih
besar di balik perkara mafia pajak dan mafia peradilan Gayus yang
ditangani polisi saat ini belum terungkap.
Kasus pajak Kepolisian belum mengungkap asal-usul uang Gayus sebesar
Rp25 miliar, termasuk Rp75 miliar yang tersimpan dalam kotak penyimpan
di bank. Padahal, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Gayus mengaku menerima uang dari tiga perusahaan Grup Bakrie, tapi
pihak Bakrie membantahnya. Fakta lain menyebutkan 149 perusahaan
pernah berurusan dengan Gayus.

Itulah sebabnya, Menko Polhukam Djoko Suyanto mengingatkan agar kasus
pajak yang melibatkan Gayus tidak dilupakan.

Mampukah kepolisian menuntaskannya? Syafii Maarif pesimistis. Ia
mengatakan informasi dari Gayus mengenai perusahaan-perusahaan yang
diduga pengemplang pajak tidak juga ditindaklanjuti atau ditelusuri
lebih jauh. "Kita tidak jujur soal bangsa ini," ujar Syafii.

Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto
menawarkan langkah terobosan. Ia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) harus turun tangan.
"Sistem kita ada yang tidak beres," tegas Kuntoro.

Gayung bersambut. Ketua KPK Busyro Muqoddas kemarin mendatangi Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). KPK meminta data
aliran dana yang masuk dan keluar dari rekening Gayus.

Donal Fariz, peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW),
mendukung KPK turun tangan. Menurut dia, semakin lamban kepolisian
bekerja me nuntaskan kasus Gayus, se makin banyak kejanggalan baru.
"Secara faktual kepolisian gagal." (Mad/*/X-3)
nurulia@mediaindonesia.com KASUS jalan-jalan orang yang diduga Gayus
Tambunan ke luar negeri membuat kepolisian dan Kementerian Hukum dan
HAM seolah dikejar waktu.

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan agar kasus
jalan-jalan itu diusut tuntas, kedua institusi tersebut pun berjanji
menyelesaikan penyelidikan dalam rentang waktu tertentu.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar meminta waktu seminggu
mengungkap pelesir pria mirip Gayus Tambunan ke Singapura, Malaysia,
dan Makau.

Polri meminta waktu lebih, yakni 14 hari, sejak Patrialias membuka
soal paspor palsu pria mirip Gayus itu pada Selasa (4/1).

Itu berarti pada Selasa 11 Januari 2011, Kemenkum dan HAM sudah tuntas
mengusut kasus tersebut. Polri baru menuntaskan penyelidikannya pada
18 Januari nanti, dengan catatan Sabtu dan Minggu tetap dihitung.

Namun, jika hari libur tidak dihitung, Polri harus sudah menuntaskan
penyelidikan pada 24 Januari mendatang.

“Polri menargetkan 14 hari sejak diumumkan Pak Patrialis,” kata Kepala
Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Boy Rafl i Amar,
kemarin.

Itu bukan kali pertama Polri berjanji menuntaskan penyelidikan kasus
jalan-jalan Gayus.

Sebelumnya, saat ditemukan kasus jalan-jalan Gayus ke Bali, Polri
menjanjikan penyelidikan tuntas dalam 10 hari.

Namun, hingga lebih dari satu bulan, kasus jalan-jalan Gayus ke Bali
belum sepenuhnya terurai. Polri hanya
memberikan sanksi mencopot Kepala Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa
Barat, dan sanksi kepada sejumlah penjaga di rutan tempat Gayus
ditahan.

Soal siapa yang menjamin dan melindungi Gayus, serta siapa yang
membuat mantan pegawai Ditjen Pajak itu bisa leluasa keluar tahanan
sebanyak 68 kali, hingga kini masih gelap.
Pembuktian paspor Langkah berikutnya yang akan diambil Polri, menurut
Boy, ialah membuktikan bahwa Sony Laksono adalah Gayus Tambunan.

Caranya dengan mencer
mati dokumen-dokumen yang berhasil didapat, misalnya sistem database
border control management di Ditjen Imigrasi dan formulir yang diisi
pelancong ketika memasuki imigrasi.

Selain itu, penyidik juga akan memeriksa Gayus dan saksi-saksi,
termasuk di antaranya Devina, pengirim surat pembaca yang pertama
mengaku bertemu pria mirip Gayus.

"Untuk waktu yang belum ditentukan, bisa saja Ibu Devina menjadi salah
satu saksi yang dapat dimintai keterangannya karena sama-sama duduk di
bangku 11. Ibu Devina di 11B," terang Boy.

Pemeriksaan terhadap Gayus sendiri kembali terbentur izin dari hakim
pengadilan yang sedang menangani kasus Gayus.

Boy mengaku, penyidik memang belum mengirim surat izin penyidikan ke
pengadilan.

Polri juga masih mencari di mana paspor Sony Laksono yang sebenarnya
berada.

"Paspor palsu itu perlu kita cari. Sebenarnya buku paspornya asli,
konten datanya yang palsu," kata Boy.

Sementara itu, kriminolog Adrianus Meliala menilai sebenarnya mudah
mengungkap kasus jalan-jalan orang yang diduga Gayus ke luar negeri.

"Namun, persoalannya ada dua mafia dengan dua kepentingan berbeda
dalam kasus Gayus. Mafia yang satu ingin agar Gayus jadi tumbal,
satunya lagi menghendaki Gayus terus muncul sebagai pengalih
perhatian," paparnya dalam dialog di Metro TV, Rabu (5/1).
(*/X-7)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/07/ArticleHtmls/07_01_2011_001_033.shtml?Mode=0

I Know It's Not As Easy As We Imagine

Fake Indonesian inmate exposes prison corruption
SBY: I Know It's Not As Easy As We Imagine

JAKARTA, KOMPAS.com - When Kasiem, a 55-year-old Indonesian woman, was condemned to seven months in prison she decided she would prefer not to serve the sentence.

So she hired someone else to go to jail on her behalf. Kasiem was convicted of selling government-subsidised fertiliser, a crime in Indonesia, but during her transfer to prison swapped places with Karni, a 50-year-old widow to whom she allegedly paid 10 million rupiah (1,100 dollars).

It is the latest in a series of prison corruption scandals that have activists calling for deep reforms. The case was uncovered last week when one of Kasiem’s neighbours went to visit her in jail only to be presented with the impostor.

Kasiem was arrested and taken to prison to start her sentence for real the following day, while Karni — both women use only one name — has yet to be charged. Erna Ratnaningsih, director of the Indonesian Legal Aid Foundation, said it was unlikely the incident at Bojonegoro Penitentiary in East Java province was a first for Indonesia.

“The prison system here is very weak, both for its administration and monitoring. How could somebody who was not a convict be able to break into a prison?” she asked.

“The prisons are like an independent country of their own. It’s hard for any outside bodies to do any inspections there,” she told AFP.

Comprehensive prison reform including better monitoring and coordination was essential, she said, but added that a “legal mafia” — corrupt officials ranging from members of the police and prosecutors to judges — could peddle influence and turn justice upside down for the highest bidder.

“It’s just hard to boil down the problem into just one side as there is the existence of the legal mafia,” she said. “We suspect that the officials were involved there.”

A spokesman for the government’s Directorate General of Prisons, Chandra Lestiono, admitted that there were loopholes in the administration.

“We realise the system is not perfect,” he said, adding that high-tech improvements would help.

“Our database system is still manual. We need to build an integrated online database system from the police all the way to the prisons.” But whether such technical changes would address the underlying issue is far from clear.

Corruption is rampant in Indonesia, which scored only 2.8 out of 10 in Transparency International’s annual Corruption Perceptions Index for 2010.

Indonesia’s President Susilo Bambang Yudhoyono said in November 2009 that “it will be our priority... to eradicate the ’legal mafia’. I know it’s not as easy as we imagine, we can’t clean it up easily, but I’m sure if we’re serious we’ll get results.

“Let’s eradicate this mafia so that we uphold the law,” he said. But positive changes have been few and far between.

The prisoner swap incident was only the latest example of influential or well-off inmates being able to buy their way out or furnish their cells as lavishly as they wish. Former tax official Gayus Tambunan, who was supposedly being held in custody while standing trial for corruption, was able to leave and return to prison at will.

In November he was spotted at a tennis tournament on the holiday island of Bali, and police said nine officers were suspected of taking bribes ranging from 700 to 7,000 dollars to let him slip in and out of jail.

Businesswoman Artalyta Suryani, convicted in 2009 of bribing prosecutors, was undergoing a laser beauty treatment in prison when she was interrupted by officials from Yudhoyono’s Task Force for Legal Mafia Eradication on a snap inspection.

They found her incarcerated in an apartment-style 690-square-foot (64-square-metre) cell complete with air conditioning, a double bed, flat-screen television, refrigerator, private kitchen and bathroom, and a playpen for children.

http://english.kompas.com/read/2011/01/07/12501474/SBY.I.Know.Its.Not.As.Easy.As.We.Imagine-5

PPATK Mencium Orang Kuat di Balik Gayus

KPK sudah mengantongi data PPATK soal aliran dana yang masuk dan
keluar dari rekening Gayus. Kelihatannya hebat sekali, kok, bisa macam-
macam.
Kemungkinan tidak sendirilah."

Yunus Husein Kepala PPATK
GAYUS Tambunan akhirnya mengaku pergi ke tiga tempat di luar negeri
selama dirinya meringkuk dalam tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Terdakwa kasus pajak itu pergi dengan istrinya, Milana Anggraeni, ke
Singapura, Kuala Lumpur, dan Makau.

Itu artinya Gayus tidak hanya berleha-leha di dalam negeri selama
berstatus tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia juga sempat
melancong ke Bali.
Bahkan, 68 kali ia berada di luar tahanan.

Gayus menggunakan paspor dengan nama Sony Laksono.
Paspor itu, menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Bachrul
Alam, didapat Gayus dari calo di luar pihak Imigrasi.

Padahal, Gayus hanyalah pegawai golongan III Direktorat Jenderal
Pajak. Namun, ia memiliki kekayaan lebih dari Rp100 miliar. Ia telah
menyuap hampir semua otoritas penegak keadilan di negeri ini. Karena
itulah, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Yunus Husein di Jakarta, kemarin, mengakui ada orang kuat di balik
Gayus.

"Kelihatannya hebat sekali, kok, bisa macam-macam. Kemungkinan tidak
sendirilah," tandas Yunus.

Siapa orang kuat itu? Yunus belum mengungkapkan identitasnya. Begitu
juga Anton, ia belum mau membeberkan untuk keperluan apa saja Gayus
pergi ke luar negeri.
Aliran dana Orang kuat itu diduga terkait perusahaan pajak yang di
tangani Gayus. Bukan mustahil Gayus ke luar negeri untuk menemui bos
mafia pajak selain mengamankan asetnya seperti yang diungkapkan
Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana.

Sejauh ini Gayus diketahui memiliki dana Rp28 miliar disimpan di
berbagai rekening bank dan Rp75 miliar termasuk emas batangan dan
perhiasan yang ditaruh di kotak penyimpan di bank. Dana itu diduga
berasal dari 149 perusahaan yang ia urus keberatan pajaknya.

Bisa saja Gayus menyembunyikan harta di luar negeri.
Karena itulah, PPATK mencoba melacaknya. Yunus mengaku PPATK telah
berkoordinasi dengan mitranya di luar negeri seperti Singapura, Makau,
Ma laysia, dan Thailand. "Ini baru proses, belum (ada) hasilnya."

Hingga kini kepolisian belum mengusut tuntas aliran dana dari
perusahaan pengemplang pajak kepada Gayus.
Itulah yang mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan.
KPK mencoba mengusut asal-usul kekayaan Gayus. Komisi yang dipimpin
Busyro Muqoddas itu sudah mengantongi data PPATK soal aliran dana yang
masuk dan keluar dari rekening Gayus.
Sebaliknya, publik mendesak agar KPK mengambil alih kasus Gayus dari
tangan polisi, sebab polisi sudah gagal. (CC/X-3)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_001_032.shtml?Mode=0

Ongkos Politik Sumber Segala Bencana

Pemerintah optimistis pada tahun ini tidak terjadi kiamat politik dan ada perbaikan penegakan hukum.
BIAYA politik saat ini yang begitu mahal tidak hanya menjadi sumber bencana politik, tetapi juga berdampak buruk bagi hukum dan pemerintahan. Hal itu disampaikan pengamat politik Yudi Latief saat menjadi pembicara dalam Evaluasi Kinerja Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan di Jakarta, kemarin.

“Pembiayaan politik yang mahal itu menjadi sumber segala macam bencana. Kita tahu, di balik ongkos politik yang mahal, menjadi penyebab kurang dari 5% kepala daerah yang dinyatakan berprestasi. Di samping itu, sekitar 250 kepala daerah terancam korupsi,” keluhnya.

Mahalnya ongkos politik ini, sambung dia, juga menjadikan partai-partai yang berhasil duduk di parlemen bersikap serakah. Mereka berupaya melakukan segala cara untuk menutup jalan partai-partai baru menuju parlemen. “Salah satu contohnya dengan meng

hambat arus peserta baru dalam politik," ujarnya.

Upaya menghambat antara lain terlihat melalui undangundang kepartaian. Langkah ini, menurut dia, berisiko besar.
Ketidakpuasan nantinya tidak hanya datang dari kalangan partai baru, tetapi masyarakat secara luas.

"Kalau syaratnya setiap partai baru harus punya kantor di seluruh provinsi, 75% di kabupaten dan 50% di seluruh kecamatan, artinya partai baru harus mengeluarkan triliunan uang. Arus ini akan menimbulkan frustrasi luar biasa dari kalangan-kalangan yang punya aspirasi masuk ke politik tetapi diakali," urainya.

Kiamat politik Pada kesempatan yang sama, J Kristiadi, pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengaku khawatir, jika politik uang tidak bisa ditekan, tahun 2011 menjadi kiamat politik.
Apalagi, selama ini masyarakat tidak mengawasi keuangan partai politik.

"Masyarakat berhak curiga bahwa setiap proses politik terdapat permainan politik uang.
Karena masyarakat tidak bisa mengontrol berapa uang partai, berapa dana kampanye, berapa uang-uang yang terjebak untuk politik ini. Semua tidak bisa diaudit, tidak transparan. Saya kira ini kiamat," cetusnya.

Proses politik yang mengan dung politik uang ini, menurut Kristiadi, ikut menghancurkan birokrasi. "Penetrasi politik sangat kuat sekali dan susah dibuktikan. Tapi kita semua melihat bagaimana birokrasi diacak-acak untuk kepentingan politik," ujarnya.

Di sinilah, sambung dia, dibutuhkan peran penting Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). "Ini tugas paling berat Menko Polhukam. Di Indonesia koordinasi menjadi hal yang sangat susah dilakukan.
Diperlukan penataan struktur kekuasaan dan bagaimana meminimalisasi politik uang," ujarnya.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengaku tetap optimistis tahun 2011 terus terjadi perbaikan di bidang penegakan hukum. "Saya tetap punya optimisme, pejabat baru di kepolisian dan kejaksaan bisa menjawab keinginan publik dalam penegakan hukum," tuturnya.

Apalagi, lanjut dia, kontrol publik yang sangat luas membuat pejabat publik tidak akan berani sembarangan membuat kebijakan atau berbuat yang tidak-tidak.

"Kecuali kalau dia berani mengambil risiko masuk (Lembaga Pemasyarakatan) Cipinang dan sebagainya," imbuh dia. (P-3)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_003_002.shtml?Mode=0
--

Ketika Cabai Kian Pedas

Khudori, PEMINAT MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN DAN GLOBALISASI

Selama ini pemerintah terbuai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat.

epanjang beberapa hari ini kita tersentak oleh berita melonjaknya harga cabai merah. Tidak tanggungtanggung, harga “si pedas”ini bisa mencapai Rp 100 ribu per kilogram. Ibu-ibu rumah tangga pusing tujuh keliling. Pedagang dan pengusaha makanan kelabakan.

Pemerintah panik karena kenaikan harga cabai merah terjadi bersamaan dengan naiknya harga sejumlah bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, terigu, minyak goreng, daging, dan telur. Anggaran dapur bisa jebol, usaha makanan bisa gulung tikar, dan pemerintah jadi sasaran hujatan jika hargaharga bahan kebutuhan pokok jutaan warga ini terus tidak terkendali.

Sebetulnya, lonjakan harga cabai merah dan bahan kebutuhan pokok semacam ini bukan hal baru. Gejolak harga bahan pokok telah menjadi masalah rutin tahunan.

Namun, lonjakan harga cabai merah saat ini terasa dampaknya karena terjadi bersamaan kenaikan harga bahan pokok. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini superioritas cabai merah cukup terasa.

Menurut BPS, inflasi Desember 2010 sebesar 0,92 persen didorong harga bahan pokok. Beras menjadi penyumbang inflasi terbesar (0,23 persen), disusul cabai merah (0,22 persen), cabai rawit (0,12 persen), dan minyak goreng (0,05 persen). Sepanjang 2010, cabai merah menjadi penyumbang inflasi terbesar ketiga setelah beras dan tarif listrik.

Rutinitas fluktuasi harga bahan pokok telah menggerus sumber daya cukup besar.

Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mestinya tak perlu. Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga bahan pokok ini akan mengekspos mereka pada posisi rentan. Pendapatan rakyat yang tidak seberapa akan tergerus. Warga miskin, yang 60-75 persen pendapatannya digunakan untuk pangan, harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut.

Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energiprotein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita, akan berdampak buruk pada perkembangan ke

cerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok, dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat.

Pemerintah beralasan, kenaikan harga cabai merah dan bahan pokok terjadi karena ada masalah di sisi suplai (produksi).

Pemerintah menunjuk perilaku iklim yang kacau sebagai biang keladinya. Sesuai dengan hukum supply-demand, saat pasokan terbatas sementara permintaan tetap, harga akan terkerek naik. Argumen ini tidak sepenuhnya valid. Teori supply-demand tidak cukup memadai untuk menjelaskan kenaikan harga beras dan minyak goreng.

Meskipun musim paceklik, berkaca pada angka ramalan BPS, produksi beras sebenarnya amat berlimpah. Mestinya harga beras anjlok. Tapi itu tak terjadi. Indonesia juga produsen dan eksportir CPO, bahan baku minyak goreng, nomor wahid di dunia. Ini semua menunjukkan sumber daya tidak terorganisasikan dan teralokasikan ke konsumen secara efisien. Ini pertanda gagalnya kelembagaan pasar (market institutions) bekerja.

Dalam kondisi demikian, pihak yang

kuat (menguasai sumber daya, informasi, pasar, dan jaringan) berpeluang mengeksploitasi keadaan guna mengeruk keuntungan. Kasus kenaikan harga cabai merah dan harga bahan pokok amat baik sebagai contoh. Siapa penikmat kenaikan harga cabai? Petani tentu untung. Tetapi keuntungan terbesar sebetulnya bukan dinikmati petani, melainkan oleh pedagang.
Hasil kajian Bank Indonesia (2011) menemukan, harga cabai melonjak tinggi karena margin yang diambil pedagang terlalu besar: margin pedagang besar 30 persen dan margin pedagang eceran 25 persen.
Hal yang sama terjadi pada daging ayam ras, beras, bawang merah, dan bumbubumbuan.

Dalam komoditas beras, meskipun pasar beras sudah terintegrasi, masih ada masalah dalam transmisi harga dari produsen ke konsumen. Pasar beras juga bersifat oligopoli karena hanya dikuasai segelintir pihak. Pada komoditas gula, beleid tata niaga saat ini cenderung menguntungkan produsen, dan pasar (baik gula domestik maupun impor) berada di tangan tak lebih dari delapan pedagang, yang biasa disebut "delapan samurai". Pada minyak goreng, masalah ada pada produksi yang terpusat di Sumatera dan Jawa, sehingga struktur pasarnya bersifat oligopoli. Enam perusahaan menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar minyak goreng. Pada terigu, perusahaan pengolah gandum hanya empat buah, bahkan satu perusahaan (Bogasari) memiliki pangsa pasar cukup dominan (70 persen). Berbagai kebijakan perdagangan pemerintah belum ampuh mengoreksi konsentrasi pasar.

Selama ini pemerintah terbuai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat. Dengan mengadopsi kebijakan neoliberal, segala sesuatu diserahkan pada "tangan ajaib"-nya (invisible hand) Adam Smith. Dalam stabilisasi bahan pokok, contoh terbaik adalah Bulog. Bulog, yang dulu perkasa dan powerful, kini tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Ini terjadi setelah satu per satu bisnis, privilege, dan sumber keuntungan Bulog dipreteli.
Monopoli sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dihapuskan, dana murah dari KLBI dipangkas, dan captive market (PNS+TNI) ditiadakan. Tanpa amunisi memadai, Bulog masih diwajibkan mengemban misi sosial: stabilisasi harga pangan dan menjaga ketahanan pangan nasional.
Padahal, sebagai perum, Bulog juga dituntut untuk untung.

Ambiguitas ini harus diakhiri. Pertama, merevitalisasi Bulog lengkap dengan jaringan distribusi dan dukungan finansial.
Menghidupkan kembali program pengelolaan stok komoditas strategis tertentu, bukan hanya beras. Kedua, untuk rakyat miskin, petani, dan industri berbasis pangan, perlu dibuat kebijakan spesifik. Untuk orang miskin, tujuan kebijakan adalah memberikan akses pangan murah kepada mereka, seperti raskin. Untuk petani dan industri, tujuan kebijakan adalah memberi dukungan agar petani jadi kompetitif (lewat kebijakan harga dan nonharga) dan menciptakan medan persaingan yang adil.
Ini perlu dana besar. Tapi hasilnya setimpal: pemerintah tidak lagi reaktif, harga bahan pokok stabil, dan guncangan politik bisa dihindari. Jika tidak, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok selalu berulang.
Saat itu terjadi kita seperti tersengat rasa pedas cabai merah. *

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_009_011.shtml?Mode=1

Tergerusnya Raso dan Pareso Urang Awak

Tergerusnya Raso dan Pareso Urang Awak
Nelson Alwi Budayawan, tinggal di Padang



Nilai yang terkandung dalam peradaban Minang semakin longgar.

Modernisasi nyaris menutup nilai-nilai lokal di ranah Minang.

Situasi dan kondisi justru wujud atau idealisasi pencapaian raso dan pareso yang sejatinya bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia."

SEBUAH pertanyaan cukup mengusik ketika fakta tentang orang Mi nang ditampilkan dalam sekian banyak berita yang dilansir berbagai media massa akhir-akhir ini. Benarkah logika kebanyakan orang Minang semakin sering bertabrakan dengan hati nurani?
Bersangkut paut dengan masalah-masalah krusial memang sepertinya menampilkan orang Minang menjauh dari identitas dan tradisi yang sebelumnya dipegang teguh.

Pertanyaannya, mengapa logika dan hati nurani tak bisa sejalan? Dari sisi keminangkabauan, jawabnya adalah karena orang sudah terjauh dari adagium atau falsafah adat raso jo pareso alias raso dibaok naiak, pareso dibaok turun.

Bagaimana sesuatu yang dihadapi atau diterima ditilik dengan mata hati dan dicerna dengan nalar. Sebaliknya yang diperbuat perlu dipikir, direnungkan, dan disaring dengan hati nurani.

Dalam tradisi Minang, universalitas hidup dan kehidupan umat manusia harus selaras pada prinsipnya yang bersumber dari sinkronisasi antara raso dan pareso--dan atau sebaliknya.
Pareso (logika) terbentuk berdasarkan ilmu dan pengalaman serta keintensifan orang dalam upaya merenungkan makna rasa yang disodorkan oleh raso (hati nurani), yang sesungguhnya tak pernah mendustai tuannya.

Dengan demikian, pengambilan keputusan pada diri seseorang seyogianya selalu disikapi dan diasah dengan kejujuran pada diri, pada hati nurani itu sendiri.
Menipis Dalam adab Minang, orang yang tidak mengena kesimpulan ataupun tindakannya bagi orang (ke)-banyak-(an) sangat mungkin karena ia tak (mau) jujur menimbang bisikan hati nuraninya, dan dengan beragam motivasi urang awak telah mengobral gelar pusaka adat ‘datuak’ ke seantero jagat.

Dengan semangat epigonisme, urang awak proaktif mengembangbiakkan istilah dan atau tradisi dari negeri antah-berantah. Dengan tujuan tertentu banyak di antara urang awak yang latah membeli titel akademik.

Lebih dari itu, saat berbagai bangsa bermandi ke ringat memformulasikan wujud demokrasi yang ideal, urang awak mencampakkannya dan menyelusup masuk ke lingkaran sistem feodalistik dengan cara mengagung-agungkan kebesaran masa lalu dan atau mengelu-elukan orang kaya lagi terkenal.

Unsur tungku tigo sajarangan (ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdik-pandai), yang secara substansial berperan mutlak lagi sangat menentukan dalam rangka membangun nagari (baca: bangsa dan negara) serta memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan setempat, terkesan acak-acakan.

Celakanya, tidak sedikit ninik mamak serta alim ulama teperdaya (atau diperdayai?) untuk berpihak sehingga terkadang tak segan-segan mendukung `sesuatu' yang belum jelas juntrungannya.

Contoh yang mudah ditemui pada pemerintahan Minang, pembuat kebijakan membuat peraturan daerah maksiat, yang sejatinya sudah sejak lama diterapkan masyarakat adat beragama (di) ranah Minang. Di samping itu, dirancang sekali gus didengungkan pula proyek mercusuar ‘kembali ke nagari’ dan ‘kembali ke surau’.

Selintas orang jadi teringat spontanitas akar rumput dalam melaksanakan dan menyambut, sebutlah alek nagari atau pesta rakyat. Tidak ada mobilisasi dan politisasi, tidak dimanipulasi dan dananya jelas tidak dikorupsi penguasa.

Selintas orang juga membayangkan sebuah surau yang lengkap dengan fasilitas modern se perti perpustakaan, sarana dan prasarana olahraga, peralatan musik, televisi, komputer, serta PS yang gimgimnya bernuansa Islam (i), sehingga anak-anak maupun remaja betah.

P a d a h a l s u r a u p a d a masyarakat Minang umumnya adalah milik suatu kaum atau suku di perdesaan, yang ratarata perekonomian warganya pas-pasan.

Dari ilustrasi realitas terurai tersebut, terjelaskanlah bahwa kebanyakan orang Minang dewasa ini memang telah semakin (men)jauh dari falsafah adat raso dan pareso.

Dengan kata lain, adagium raso dan pareso--yang dipengaruhi keadaan dan zaman--menjadi suatu keniscayaan yang dilematis, yang seyogianya disiasati secara cermat.

Cara dan sudut pandang masyarakat boleh jadi beragam.

Namun yang pasti, kurang pas kiranya andaikata anak gadis ke kampus (bertingkat) dan berebutan naik turun bus kota pakai baju kurung atau gaun.

Esensinya mungkin cuma dapat ditarik dari benang merah, yakni pakaian ditempatkan sebagai penutup aurat.

Demikianlah, ketidakjujuran membuat logika tercederai.

Ketidakjujuran mengakibatkan hati nurani degresi dan atau terdegradasi.

Orang yang hati nuraninya tergerus dan atau apalagi telah hilang sama sekali pada hakikatnya sudah selesai atau tamat riwayatnya sebagai manusia.

Situasi dan kondisi Situasi dan kondisi yang dihadapi sangat boleh jadi berpotensi merusak hati nurani sekaligus menggelincirkan orang ke kontra logika alias perbuatan-perbuatan tercela, memaksakan kehendak dan atau mengharubirukan ketenteraman masyarakat.

Tapi itu terjadi bila situasi dan kondisi hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa yang kemudian dijadikan sarana/peluang meraih tujuan dan, bukan bukti autentisitas kadar kemanusiaan yang mengejewantah tersebab adanya raso (hati nurani) dan pareso (logika)--sesuatu yang tak mungkin lahir dari bukan manusia. Dalam bahasa yang lain situasi dan kondisi tak bermaksud mengacaubalaukan harmoni hubungan timbal balik antara logika (pareso) dan hati nurani (raso) dan atau membuat orang terasing dari manusia lain.

Situasi dan kondisi justru wujud atau idealisasi pencapaian raso dan pareso yang sejatinya bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia supaya lebih dan lebih tinggi lagi.

Di dalam yang namanya situasi dan kondisi juga terkandung penolakan terhadap keterasingan manusia dari hidup dan kehidupan yang berbudi pekerti.

Sedangkan yang ingin disentakkan adalah penyadaran

bahwa manusia makhluk mulia karena memiliki kedahsyatan dari dalam dirinya.

Justru itu perlu pula kearifan dan atau keseimbangan dalam memesrai produk situasi dan kondisi dengan (ke)jujur(an), raso dan pareso agar dapat menikmati hidup serta kehidupan tanpa kehilangan kesadaran, dan itulah bukti ketinggian harkat martabat manusia.

Tak dapat dibayangkan bila esok masih banyak urang awak alias orang Minang tidak bisa berjujur-jujur menyejalankan logika dan hati nurani--dan atau sebaliknya.

Apalagi terdapat para pemimpin serta tokoh-tokoh lintas sektoral. Isu dan rumor bukan mustahil kian meruyak, keresahan menyenak, sementara muka dan mata saudara sebangsa yang ditimpa bermacam musibah masih sabak. (M-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_011_002.shtml?Mode=0