BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ketika Cabai Kian Pedas

Ketika Cabai Kian Pedas

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.09

Khudori, PEMINAT MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN DAN GLOBALISASI

Selama ini pemerintah terbuai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat.

epanjang beberapa hari ini kita tersentak oleh berita melonjaknya harga cabai merah. Tidak tanggungtanggung, harga “si pedas”ini bisa mencapai Rp 100 ribu per kilogram. Ibu-ibu rumah tangga pusing tujuh keliling. Pedagang dan pengusaha makanan kelabakan.

Pemerintah panik karena kenaikan harga cabai merah terjadi bersamaan dengan naiknya harga sejumlah bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, terigu, minyak goreng, daging, dan telur. Anggaran dapur bisa jebol, usaha makanan bisa gulung tikar, dan pemerintah jadi sasaran hujatan jika hargaharga bahan kebutuhan pokok jutaan warga ini terus tidak terkendali.

Sebetulnya, lonjakan harga cabai merah dan bahan kebutuhan pokok semacam ini bukan hal baru. Gejolak harga bahan pokok telah menjadi masalah rutin tahunan.

Namun, lonjakan harga cabai merah saat ini terasa dampaknya karena terjadi bersamaan kenaikan harga bahan pokok. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini superioritas cabai merah cukup terasa.

Menurut BPS, inflasi Desember 2010 sebesar 0,92 persen didorong harga bahan pokok. Beras menjadi penyumbang inflasi terbesar (0,23 persen), disusul cabai merah (0,22 persen), cabai rawit (0,12 persen), dan minyak goreng (0,05 persen). Sepanjang 2010, cabai merah menjadi penyumbang inflasi terbesar ketiga setelah beras dan tarif listrik.

Rutinitas fluktuasi harga bahan pokok telah menggerus sumber daya cukup besar.

Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mestinya tak perlu. Bagi rakyat, terutama yang miskin, instabilitas harga bahan pokok ini akan mengekspos mereka pada posisi rentan. Pendapatan rakyat yang tidak seberapa akan tergerus. Warga miskin, yang 60-75 persen pendapatannya digunakan untuk pangan, harus merealokasikan belanja dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut.

Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior (murah dengan kandungan energiprotein rendah) jadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita, akan berdampak buruk pada perkembangan ke

cerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok, dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat.

Pemerintah beralasan, kenaikan harga cabai merah dan bahan pokok terjadi karena ada masalah di sisi suplai (produksi).

Pemerintah menunjuk perilaku iklim yang kacau sebagai biang keladinya. Sesuai dengan hukum supply-demand, saat pasokan terbatas sementara permintaan tetap, harga akan terkerek naik. Argumen ini tidak sepenuhnya valid. Teori supply-demand tidak cukup memadai untuk menjelaskan kenaikan harga beras dan minyak goreng.

Meskipun musim paceklik, berkaca pada angka ramalan BPS, produksi beras sebenarnya amat berlimpah. Mestinya harga beras anjlok. Tapi itu tak terjadi. Indonesia juga produsen dan eksportir CPO, bahan baku minyak goreng, nomor wahid di dunia. Ini semua menunjukkan sumber daya tidak terorganisasikan dan teralokasikan ke konsumen secara efisien. Ini pertanda gagalnya kelembagaan pasar (market institutions) bekerja.

Dalam kondisi demikian, pihak yang

kuat (menguasai sumber daya, informasi, pasar, dan jaringan) berpeluang mengeksploitasi keadaan guna mengeruk keuntungan. Kasus kenaikan harga cabai merah dan harga bahan pokok amat baik sebagai contoh. Siapa penikmat kenaikan harga cabai? Petani tentu untung. Tetapi keuntungan terbesar sebetulnya bukan dinikmati petani, melainkan oleh pedagang.
Hasil kajian Bank Indonesia (2011) menemukan, harga cabai melonjak tinggi karena margin yang diambil pedagang terlalu besar: margin pedagang besar 30 persen dan margin pedagang eceran 25 persen.
Hal yang sama terjadi pada daging ayam ras, beras, bawang merah, dan bumbubumbuan.

Dalam komoditas beras, meskipun pasar beras sudah terintegrasi, masih ada masalah dalam transmisi harga dari produsen ke konsumen. Pasar beras juga bersifat oligopoli karena hanya dikuasai segelintir pihak. Pada komoditas gula, beleid tata niaga saat ini cenderung menguntungkan produsen, dan pasar (baik gula domestik maupun impor) berada di tangan tak lebih dari delapan pedagang, yang biasa disebut "delapan samurai". Pada minyak goreng, masalah ada pada produksi yang terpusat di Sumatera dan Jawa, sehingga struktur pasarnya bersifat oligopoli. Enam perusahaan menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar minyak goreng. Pada terigu, perusahaan pengolah gandum hanya empat buah, bahkan satu perusahaan (Bogasari) memiliki pangsa pasar cukup dominan (70 persen). Berbagai kebijakan perdagangan pemerintah belum ampuh mengoreksi konsentrasi pasar.

Selama ini pemerintah terbuai meliberalisasi pasar, tetapi abai membangun unsur-unsur lain dari kelembagaan pasar yang menjamin mekanisme pasar berlangsung adil dan mengabdi bagi kesejahteraan rakyat. Dengan mengadopsi kebijakan neoliberal, segala sesuatu diserahkan pada "tangan ajaib"-nya (invisible hand) Adam Smith. Dalam stabilisasi bahan pokok, contoh terbaik adalah Bulog. Bulog, yang dulu perkasa dan powerful, kini tak ubahnya pasukan tempur tanpa senjata. Ini terjadi setelah satu per satu bisnis, privilege, dan sumber keuntungan Bulog dipreteli.
Monopoli sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dihapuskan, dana murah dari KLBI dipangkas, dan captive market (PNS+TNI) ditiadakan. Tanpa amunisi memadai, Bulog masih diwajibkan mengemban misi sosial: stabilisasi harga pangan dan menjaga ketahanan pangan nasional.
Padahal, sebagai perum, Bulog juga dituntut untuk untung.

Ambiguitas ini harus diakhiri. Pertama, merevitalisasi Bulog lengkap dengan jaringan distribusi dan dukungan finansial.
Menghidupkan kembali program pengelolaan stok komoditas strategis tertentu, bukan hanya beras. Kedua, untuk rakyat miskin, petani, dan industri berbasis pangan, perlu dibuat kebijakan spesifik. Untuk orang miskin, tujuan kebijakan adalah memberikan akses pangan murah kepada mereka, seperti raskin. Untuk petani dan industri, tujuan kebijakan adalah memberi dukungan agar petani jadi kompetitif (lewat kebijakan harga dan nonharga) dan menciptakan medan persaingan yang adil.
Ini perlu dana besar. Tapi hasilnya setimpal: pemerintah tidak lagi reaktif, harga bahan pokok stabil, dan guncangan politik bisa dihindari. Jika tidak, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok selalu berulang.
Saat itu terjadi kita seperti tersengat rasa pedas cabai merah. *

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_009_011.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: