BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sukarno di Linggarjati

Sukarno di Linggarjati

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.51

BUKU
Sukarno di Linggarjati


Meski bukan anggota delegasi, Sukarno menunjukkan peranan penting
dalam Perundingan Linggarjati.

PADA 11 November 1946, sebuah pesawat terbang Catalina, yang membawa
anggota Badan Komisi Jenderal Belanda (delegasi Belanda), meninggalkan
Jakarta. Di hari yang sama, dengan menggunakan mobil, delegasi
Indonesia juga bergerak menuju tujuan yang sama. Kedua delegasi hendak
menggelar perundingan lanjutan di Kuningan, Cirebon mengenai proses
dekolonisasi Belanda di Indonesia.

Perundingan itu sebenarnya sudah berlangsung sejak 22 Oktober 1946 di
Jakarta tapi belum mencapai titik temu, bahkan terancam gagal. Dalam
kebuntuan, muncul gagasan dari delegasi Belanda untuk menghadirkan
Sukarno-Hatta dalam proses perundingan selanjutnya. “(Willem)
Schermerhorn berpendapat, sebuah pembicaraan dengan Sukarno di
Yogyakarta atau di mana saja adalah hal yang amat penting agar semua
menjadi final,” tulis Roesdhy Hoesein, penulis buku ini. Schermerhorn
adalah ketua delegasi Belanda.

Namun karena Sukarno-Hatta tak memungkinkan datang ke Jakarta dan
pemerintah Belanda melarang delegasinya untuk pergi ke Yogya,
dicarilah tempat netral. Atas saran Maria Ulfah, perundingan akhirnya
diadakan di Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Perundingan dimulai pada hari kedua setelah kedatangan kedua delegasi
di Kuningan. Meski pembahasan pasal demi pasal kembali berlangsung
alot, secara umum, untuk pasal-pasal tertentu, kedua pihak menemukan
kata sepakat. Tapi ada sejumlah pasal yang masih mengganjal.

Di sesela perundingan, delegasi Belanda menemui Presiden Sukarno dan
Wakil Presiden Hatta di kediaman Bupati Kuningan. A.K. Gani dan Amir
Sjarifuddin, dua delegasi Indonesia, ikut serta. Sementara Sjahrir,
ketua delegasi, tak ikut karena sakit kepala dan lelah. Selain itu,
dia mengira kunjungan itu hanya pertemuan kehormatan yang tak ada
sangkutpaut dengan urusan perundingan.

Dugaan Sjahrir meleset. Delegasi Belanda memanfaatkan pertemuan itu
untuk mendiskusikan kebuntuan yang terjadi dalam perundingan dengan
Sukarno dan Hatta. Van Mook, yang bersilang pendapat dengan A.K. Gani
mengenai pasal 2 tentang penggunaan kata “merdeka” atau “berdaulat”,
menanyakan kepada Sukarno apakah dirinya keberatan dengan perubahan
redaksi dalam pasal 2 dari “Negara Indonesia Serikat yang merdeka”
menjadi “Negara Indonesia Serikat yang berdaulat?” Rupa-rupanya
Sukarno setuju saja dengan perubahan itu.

Van Mook juga menanyakan persetujuan Sukarno terhadap seluruh konsep
Perjanjian Linggarjati: “Apakah dengan diterimanya perubahan ‘merdeka’
menjadi ‘berdaulat’ pada pasal 2, Presiden dapat menyetujui konsep
Perjanjian Linggarjati seluruhnya?”

Sekali lagi, Sukarno menjawab setuju. Dia bahkan bersedia mendukung
pasal lainnya yang masih mengganjal dan berjanji akan menggunakan
pengaruhnya agar rakyat mau menerima hasil perundingan itu. Delegasi
Belanda merasa puas. Selanjutnya mereka undur diri, menyudahi
pertemuan.

Amir Sjafruddin dan A.K. Gani melaporkan kepada Sjahrir atas
perkembangan yang terjadi di kediaman Bupati Kuningan. Sontak Sjahrir
kecewa. Dia menyesalkan sikap Sukarno yang menyetujui naskah
perundingan begitu cepat. M. Roem tak ketinggalan. Dia bahkan menuding
Belanda melakukan tipudaya melalui Sukarno dan Hatta. Kepada
Schermerhorn, Roem menyatakan bahwa Sukarno tak punya hak untuk
menyatakan persetujuannya pada usulan-usulan Belanda itu dan harus
meminta persetujuan Sjahrir terlebih dahulu selaku ketua delegasi.

Posisi Sukarno dalam perundingan itu jelas: bukan anggota delegasi.
Mereka hanya “mengawal” proses perundingan dari kediaman Bupati
Kuningan. Dan kedatangan mereka merupakan keinginan delegasi Belanda.
Tapi apa mau dinyana. Kendati berat, delegasi Indonesia mau menerima
keputusan tersebut. Namun tak berarti mereka menerima begitu saja
persetujuan sepihak dari Sukarno. Sjahrir dan anggota delegasi lainnya
lantas mengadakan rapat tertutup dengan Sukarno. Mereka minta Sukarno
menjelaskan dasar keputusan yang diambilnya. Dengan tenang, Sukarno
memberikan penjelasan. Mereka, termasuk Sjahrir, akhirnya tunduk pada
keputusan Sukarno.

“Tampaknya, dibandingkan dengan delegasi Indonesia, delegasi Belanda
sangat memperhatikan pengaruh Sukarno sebagai presiden. Bagi
Schermerhorn dan (Lord Louis) Mountbatten, Sukarno-lah tokoh penentu
dalam penetapan kebijakan pihak Indonesia soal perundingan Indonesia-
Belanda. Walupun Sjahrir adalah pelaksananya,” tulis Roesdhy Hoesein.
Mountbatten adalah Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara.

Keesokan harinya, pada 13 November 1946, perundingan lanjutan atau
perundingan kedelapan di Linggarjati dilanjutkan. Dalam kesempatan
ini, Schermerhorn menjelaskan hal-hal yang terjadi saat bertemu
Sukarno-Hatta di Kuningan semalam. Dibahas pula pasal-pasal yang masih
menggantung di antara kedua delegasi. Setelah diskusi alot, kedua
pihak akhirnya bisa menerima semua pasal yang terdapat dalam konsep
perundingan. Secara resmi perundingan di Linggarjati pun selesai.

Dan seperti janjinya pada Schermerhorn, sejak pertengahan hingga akhir
November 1946, Sukarno menyosialisasikan hasil perjanjian itu ke
masyarakat dalam perjalanan dinas ke sejumlah wilayah di Jawa Barat.
Di Garut, misalnya, seperti dikutip Kantor Berita Antara, Sukarno
berpidato dalam rapat raksasa, menenangkan kegelisahan rakyat terkait
posisi Ratu Belanda sebagai kepala UNI (Uni Nederland-Indonesia) –
seperti terdapat dalam pasal 8.

Berkali-kali dia menerangkan, “Ratu Belanda sama sekali tak
menyinggung kedaulatan RI. Sebermula sebelum persetujuan tercapai,
memang bunyi pasal 8 itu menghendaki supaya Ratu Belanda yang
berkuasa. Berkat kegiatan delegasi Indonesia, hal yang mengecewakan
itu diubah dengan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.”

Hasil perundingan ditandatangani di Istana Merdeka, Jakarta, pada 15
November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.
Perjanjian itu menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri. Yang kontra
menganggap perjanjian itu memperlemah posisi Indonesia. Pelaksanaan
perjanjian itu sendiri kemudian tak berjalan mulus, akibat perbedaan
penafsiran antara Indonesia dan Belanda. Gubernur Jenderal H.J. Van
Mook menyatakan Belanda tak terikat lagi dengan perjanjian itu, bahkan
menggerakkan agresi militer Belanda I.

Melalui buku ini, yang merupakan disertasi doktoralnya, Roesdy Hoesein
mencoba melihat sisi lain dari perundingan Linggarjati. Baginya,
perundingan itu tak hanya menghindarkan konflik bersenjata pasukan
republik dengan tentara Belanda. Ia juga menguatkan citra Indonesia di
mata dunia internasional. Lebih dari itu karena proses kesepakatan
dalam perundingan ini memiliki keunikan sendiri, yakni apa yang dia
disebut sebagai “terobosan Sukarno”. Karena terobosan Sukarno,
kebuntuan dalam perundingan itu terpecahkan. Dan Indonesia mendapat
pengakuan secara de facto –modal untuk diplomasi berikutnya. [JAY
AKBAR]


http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-390-sukarno-di-linggarjati.html
Share this article :

0 komentar: