BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tergerusnya Raso dan Pareso Urang Awak

Tergerusnya Raso dan Pareso Urang Awak

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.08

Tergerusnya Raso dan Pareso Urang Awak
Nelson Alwi Budayawan, tinggal di Padang



Nilai yang terkandung dalam peradaban Minang semakin longgar.

Modernisasi nyaris menutup nilai-nilai lokal di ranah Minang.

Situasi dan kondisi justru wujud atau idealisasi pencapaian raso dan pareso yang sejatinya bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia."

SEBUAH pertanyaan cukup mengusik ketika fakta tentang orang Mi nang ditampilkan dalam sekian banyak berita yang dilansir berbagai media massa akhir-akhir ini. Benarkah logika kebanyakan orang Minang semakin sering bertabrakan dengan hati nurani?
Bersangkut paut dengan masalah-masalah krusial memang sepertinya menampilkan orang Minang menjauh dari identitas dan tradisi yang sebelumnya dipegang teguh.

Pertanyaannya, mengapa logika dan hati nurani tak bisa sejalan? Dari sisi keminangkabauan, jawabnya adalah karena orang sudah terjauh dari adagium atau falsafah adat raso jo pareso alias raso dibaok naiak, pareso dibaok turun.

Bagaimana sesuatu yang dihadapi atau diterima ditilik dengan mata hati dan dicerna dengan nalar. Sebaliknya yang diperbuat perlu dipikir, direnungkan, dan disaring dengan hati nurani.

Dalam tradisi Minang, universalitas hidup dan kehidupan umat manusia harus selaras pada prinsipnya yang bersumber dari sinkronisasi antara raso dan pareso--dan atau sebaliknya.
Pareso (logika) terbentuk berdasarkan ilmu dan pengalaman serta keintensifan orang dalam upaya merenungkan makna rasa yang disodorkan oleh raso (hati nurani), yang sesungguhnya tak pernah mendustai tuannya.

Dengan demikian, pengambilan keputusan pada diri seseorang seyogianya selalu disikapi dan diasah dengan kejujuran pada diri, pada hati nurani itu sendiri.
Menipis Dalam adab Minang, orang yang tidak mengena kesimpulan ataupun tindakannya bagi orang (ke)-banyak-(an) sangat mungkin karena ia tak (mau) jujur menimbang bisikan hati nuraninya, dan dengan beragam motivasi urang awak telah mengobral gelar pusaka adat ‘datuak’ ke seantero jagat.

Dengan semangat epigonisme, urang awak proaktif mengembangbiakkan istilah dan atau tradisi dari negeri antah-berantah. Dengan tujuan tertentu banyak di antara urang awak yang latah membeli titel akademik.

Lebih dari itu, saat berbagai bangsa bermandi ke ringat memformulasikan wujud demokrasi yang ideal, urang awak mencampakkannya dan menyelusup masuk ke lingkaran sistem feodalistik dengan cara mengagung-agungkan kebesaran masa lalu dan atau mengelu-elukan orang kaya lagi terkenal.

Unsur tungku tigo sajarangan (ninik-mamak, alim-ulama, dan cerdik-pandai), yang secara substansial berperan mutlak lagi sangat menentukan dalam rangka membangun nagari (baca: bangsa dan negara) serta memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan setempat, terkesan acak-acakan.

Celakanya, tidak sedikit ninik mamak serta alim ulama teperdaya (atau diperdayai?) untuk berpihak sehingga terkadang tak segan-segan mendukung `sesuatu' yang belum jelas juntrungannya.

Contoh yang mudah ditemui pada pemerintahan Minang, pembuat kebijakan membuat peraturan daerah maksiat, yang sejatinya sudah sejak lama diterapkan masyarakat adat beragama (di) ranah Minang. Di samping itu, dirancang sekali gus didengungkan pula proyek mercusuar ‘kembali ke nagari’ dan ‘kembali ke surau’.

Selintas orang jadi teringat spontanitas akar rumput dalam melaksanakan dan menyambut, sebutlah alek nagari atau pesta rakyat. Tidak ada mobilisasi dan politisasi, tidak dimanipulasi dan dananya jelas tidak dikorupsi penguasa.

Selintas orang juga membayangkan sebuah surau yang lengkap dengan fasilitas modern se perti perpustakaan, sarana dan prasarana olahraga, peralatan musik, televisi, komputer, serta PS yang gimgimnya bernuansa Islam (i), sehingga anak-anak maupun remaja betah.

P a d a h a l s u r a u p a d a masyarakat Minang umumnya adalah milik suatu kaum atau suku di perdesaan, yang ratarata perekonomian warganya pas-pasan.

Dari ilustrasi realitas terurai tersebut, terjelaskanlah bahwa kebanyakan orang Minang dewasa ini memang telah semakin (men)jauh dari falsafah adat raso dan pareso.

Dengan kata lain, adagium raso dan pareso--yang dipengaruhi keadaan dan zaman--menjadi suatu keniscayaan yang dilematis, yang seyogianya disiasati secara cermat.

Cara dan sudut pandang masyarakat boleh jadi beragam.

Namun yang pasti, kurang pas kiranya andaikata anak gadis ke kampus (bertingkat) dan berebutan naik turun bus kota pakai baju kurung atau gaun.

Esensinya mungkin cuma dapat ditarik dari benang merah, yakni pakaian ditempatkan sebagai penutup aurat.

Demikianlah, ketidakjujuran membuat logika tercederai.

Ketidakjujuran mengakibatkan hati nurani degresi dan atau terdegradasi.

Orang yang hati nuraninya tergerus dan atau apalagi telah hilang sama sekali pada hakikatnya sudah selesai atau tamat riwayatnya sebagai manusia.

Situasi dan kondisi Situasi dan kondisi yang dihadapi sangat boleh jadi berpotensi merusak hati nurani sekaligus menggelincirkan orang ke kontra logika alias perbuatan-perbuatan tercela, memaksakan kehendak dan atau mengharubirukan ketenteraman masyarakat.

Tapi itu terjadi bila situasi dan kondisi hanya dilihat sebagai sebuah peristiwa yang kemudian dijadikan sarana/peluang meraih tujuan dan, bukan bukti autentisitas kadar kemanusiaan yang mengejewantah tersebab adanya raso (hati nurani) dan pareso (logika)--sesuatu yang tak mungkin lahir dari bukan manusia. Dalam bahasa yang lain situasi dan kondisi tak bermaksud mengacaubalaukan harmoni hubungan timbal balik antara logika (pareso) dan hati nurani (raso) dan atau membuat orang terasing dari manusia lain.

Situasi dan kondisi justru wujud atau idealisasi pencapaian raso dan pareso yang sejatinya bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia supaya lebih dan lebih tinggi lagi.

Di dalam yang namanya situasi dan kondisi juga terkandung penolakan terhadap keterasingan manusia dari hidup dan kehidupan yang berbudi pekerti.

Sedangkan yang ingin disentakkan adalah penyadaran

bahwa manusia makhluk mulia karena memiliki kedahsyatan dari dalam dirinya.

Justru itu perlu pula kearifan dan atau keseimbangan dalam memesrai produk situasi dan kondisi dengan (ke)jujur(an), raso dan pareso agar dapat menikmati hidup serta kehidupan tanpa kehilangan kesadaran, dan itulah bukti ketinggian harkat martabat manusia.

Tak dapat dibayangkan bila esok masih banyak urang awak alias orang Minang tidak bisa berjujur-jujur menyejalankan logika dan hati nurani--dan atau sebaliknya.

Apalagi terdapat para pemimpin serta tokoh-tokoh lintas sektoral. Isu dan rumor bukan mustahil kian meruyak, keresahan menyenak, sementara muka dan mata saudara sebangsa yang ditimpa bermacam musibah masih sabak. (M-1)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/08/ArticleHtmls/08_01_2011_011_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: