Berita perjalanan misterius Gayus HP Tambunan ke sejumlah negara,
sekitar September 2010, menjadi tamparan hebat pada awal tahun 2011.
Dalam konteks apa pun, tamparan ini jauh lebih hebat jika dibandingkan
dengan berita pelesiran Gayus ke Bali pada awal November tahun lalu.
Ketika foto Gayus menonton kejuaraan tenis di Bali beredar luas, bisa
jadi, sejumlah pihak melihat kejadian tersebut sebagai bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam lingkup yang terbatas, terutama yang
terkait dengan rumah tahanan saja. Namun, dengan terkuaknya perjalanan
Gayus ke beberapa negara ini, penyalahgunaan kekuasaan pasti jauh
lebih sistemis dan terorganisasi.
Dalam batas-batas tertentu, kejadian ini menjadi indikasi kuat bahwa
penyelenggara negara sekaligus memainkan peran sebagai mafioso. Oleh
karena itu, hampir dapat dipastikan, perjalanan misterius Gayus tidak
akan pernah terungkap jika seorang pembaca bernama Devina tidak
menulis melalui forum surat pembaca di harian ini (Kompas, 2/1).
Skandal pelarian
Melihat begitu besarnya perhatian publik dalam skandal Gayus, terasa
aneh apabila perjalanan misterius ke beberapa negara ini tidak terkuak
dalam proses hukum. Padahal, saat kehadirannya di Bali, Kepala Polri
Jenderal (Pol) Timur Pradopo berjanji untuk menuntaskan skandal
pelarian Gayus dari rumah tahanan. Karena terungkap dari surat
pembaca, kejadian ini seperti membenarkan dan menguatkan kesaktian
Gayus di hadapan hukum dan para penegak hukum.
Sejak skandal Gayus muncul ke permukaan, sebagian pihak menilai,
pegawai golongan IIIA Direktorat Jenderal Pajak ini bukan orang biasa.
Selama proses hukum berlangsung, Gayus nyaris tidak pernah
memperlihatkan raut wajah cemas dan takut. Bahkan, hampir pada setiap
penampilan, dia berlagak begitu innocent. Wajar jika ada penilaian,
Gayus sebagai manusia super dengan tingkat kesaktian luar biasa. Boleh
jadi, kemampuan Gayus melewati makna super-Anggodo yang pernah
diberikan kepada Anggodo Widjojo.
Dari segi kemampuan ”bergaul” dengan para penegak hukum, Gayus mungkin
mempunyai kemampuan yang relatif berimbang dengan Anggodo. Namun,
untuk ”pendistribusian” dana kepada banyak kalangan, hampir dapat
dipastikan, Gayus jauh lebih royal dibandingkan Anggodo. Selain itu,
kesaktian Gayus bisa saja karena pengetahuannya tentang banyak hal
penting di internal Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan latar belakang seperti itu, hampir dapat dipastikan banyak
pihak merasa terancam dengan proses hukum Gayus. Karena itu, menjadi
masuk akal jika banyak pihak berkepentingan agar skandal Gayus tidak
terungkap secara tuntas. Boleh jadi, pihak yang berkepentingan dengan
sengaja membiarkan skandal Gayus berada dalam selubung misterius.
Lorong misterius itu dapat dilacak dengan berhentinya proses hukum
sampai hanya sebatas penjaga rumah tahanan. Langkah tersebut
memberikan indikasi kuat bahwa pelesiran Gayus tidak akan pernah
selesai dalam makna yang sesungguhnya.
Saling melindungi
Indikasi untuk tidak menuntaskan skandal pelesiran Gayus begitu mudah
dapat dibaca dari tidak adanya keberanian mengungkap keterlibatan
sejumlah pejabat pada level yang lebih tinggi. Sadar atau tidak,
ketidakberanian membongkar level yang lebih tinggi dapat juga dimaknai
sebagai skenario untuk memberikan perlindungan bagi Gayus. Melihat
spektrum di pusaran skandal Gayus, membongkar salah satunya sama saja
dengan membongkar pihak lain.
Karena cara berpikir yang saling melindungi tersebut, pelesiran Gayus
ke Bali hanya dibatasi pada kejadian itu saja. Padahal, Gayus
meninggalkan rumah tahanan hampir 70 kali. Seharusnya, jika memang
hendak menyelesaikan secara keseluruhan, pelesiran ke Bali dijadikan
pintu masuk untuk menelusuri ke mana saja Gayus selama berada di luar
tahanan. Dalam konteks itu, menjadi tidak masuk akal jika penelusuran
tersebut berhenti sampai pada pelesiran Gayus di Bali.
Saat pelesiran Gayus ke Bali terkuak, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memerintahkan Kepala Polri untuk mengungkap latar belakang
kepergian tersebut. Tidak hanya itu, Presiden juga prihatin karena
rasa keadilan masyarakat terusik (Kompas.com, 18/11-10). Yang
dirasakan publik, perintah Presiden itu seperti hanya sekadar basa-
basi.
Yang paling memprihatinkan, publik tidak mendengar sikap Presiden
ketika terjadi saling lempar tanggung di antara para pembantunya.
Misalnya, Menteri Hukum dan HAM pernah mengatakan bahwa masalah Gayus
tidak berada di bawah tanggung jawab institusinya. Aksi lempar
tanggung jawab itu menunjukkan, betapa tidak seriusnya pemerintah.
Karena itu, beredar spekulasi bahwa sulit membongkar segala
penyelewengan di rumah tahanan karena yang dilakukan Gayus hanya
pengulangan dari aksi sejumlah tokoh penting yang pernah ditahan.
Masih ingat dengan terungkapnya sel tahanan Artalyta Suryani (Ayin) di
Rumah Tahanan Pondok Bambu yang supermewah? Lagi-lagi waktu itu
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berkilah-kilah dan yang
dikorbankan hanyalah Kepala Rutan Pondok Bambu.
Kini, ketika perjalanan misterius itu terungkap, Presiden menyampaikan
reaksi yang tidak jauh berbeda: ungkap tuntas perjalanan Gayus ke luar
negeri. Pernyataan normatif ini menunjukkan, betapa lembeknya reaksi
Presiden untuk sebuah peristiwa yang memberikan tamparan hebat dalam
jagat penegakan hukum.
Respons itu menjadi indikasi bahwa Presiden tidak serius
menindaklanjuti segala bentuk penyelewengan dalam perjalanan misterius
Gayus. Tidak hanya itu, pernyataan standar Presiden itu juga sama
sekali tidak menunjukkan keprihatinan yang mendalam.
Mengganti Kapolri serta Menhuk dan HAM
Sekiranya menganggap perjalanan misterius Gayus ini sebagai tamparan
penegakan hukum, Presiden seharusnya melakukan langkah lebih jauh dari
hanya sekadar perintah mengungkap secara tuntas. Langkah konkret yang
harus dilakukan Presiden adalah memberi batas waktu bagi Kepala Polri
membongkar semua jejaring yang meloloskan Gayus ke luar negeri. Tidak
hanya itu, Kepala Polri juga harus mampu mengungkap misteri dan misi
di balik perjalanan Gayus. Jika gagal, Presiden harus berani meminta
pertanggungjawaban Kepala Polri dan menggantinya dengan pejabat baru.
Langkah konkret itu harus dilakukan karena terlihat indikasi bahwa
keluarnya Gayus dari tahanan seperti dilokalisir menjadi sebatas
pelesiran ke Bali. Padahal, perintah untuk mengungkap kepergian ke
Bali seharusnya dimaknai sebagai perintah mengungkap semua perjalanan
Gayus di luar tahanan. Ketika langkah kepolisian berhenti hanya
sebatas pelesiran ke Bali, berarti ada desain untuk menutup sesuatu
yang lebih besar.
Sama halnya dengan Kepala Polri, Presiden juga harus memberikan batas
waktu kepada Menteri Hukum dan HAM mengungkap keterlibatan sejumlah
pihak di kantor imigrasi. Apabila dalam pelesiran Gayus masih mungkin
lempar tanggung jawab, perjalanan misterius Gayus tidak mungkin tidak
melibatkan orang di imigrasi. Dokumen negara bernama paspor bisa
dengan begitu telanjang ”dikadali” Gayus dengan nama Sony Laksono
(yang juga tercatat sebagai tamu di hotel tempat turnamen tenis yang
disaksikan Gayus). Apabila gagal, Presiden berani mengganti dengan
pejabat baru.
Melihat kejadian ini, secara jujur harus diakui bahwa sesungguhnya
tidak ada kerisauan tercabik-cabiknya rasa keadilan dalam penegakan
hukum di kepolisian dan imigrasi. Penegakan hukum pada kedua
lingkungan itu masih terbukti bobrok dan korup. Jika tamparan awal
tahun ini gagal menghadirkan langkah besar dalam penegakan hukum,
kalimat sakti ”saya akan memimpin langsung agenda pemberantasan
korupsi” hanya merupakan pepesan kosong belaka. Atau, jangan-jangan,
Presiden masih menunggu tamparan lain yang lebih hebat.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar