BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengajarkan Kebohongan

Mengajarkan Kebohongan

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.54

DARI Suriah, minggu lalu saya memutuskan pergi ke Yerusalem. Setelah
menembus Sungai Yordan yang subur,dari Kota Amman (Yordania), saya
memasuki Yerusalem melalui King Husein Bridge. Luar biasa kami
membutuhkan waktu empat jam untuk mendapatkan layanan imigrasi.

Sewaktu keluar dari antrean panjang, saya hanya berdoa semoga hal
serupa tidak pernah terjadi dengan turis asing yang masuk ke
Indonesia. Bukannya apa-apa, Anda bisa saja membeli tiket business
class atau first class yang harganya dua atau tiga kali lipat dari
harga tiket kelas ekonomi, tapi tak seorang pun bisa membeli waktu. Ia
menguap begitu saja di tangan petugas-petugas imigrasi yang bodoh,
lamban, tidak peduli, dan hanya fokus pada kertas-kertas di meja
mereka.

Petugas yang tidak peduli mengakibatkan antrean tidak beraturan,
menimbulkan ketidakadilan dari praktik-praktik kebohongan warga
negaranya sendiri. Saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin para
birokrat itu bekerja sangat serius untuk menyeleksi nama-nama yang
boleh masuk ke negaranya demi keamanan, tetapi membiarkan benihbenih
kecurangan tumbuh. Dan benih-benih kecurangan menimbulkan efek
berantai yang berbahaya bagi masa depan negeri itu sendiri.

Pemimpin Tak Peduli

”Kalau petugas yang memimpin sudah tak peduli, apa lagi yang
dipimpin?” Begitu pikir saya. Satu persatu orang menyerobot orang lain
yang sudah antre lebih dulu. Satu orang menyerobot dibiarkan, orang-
orang yang lain melakukan hal yang sama.Lama-lama orang-orang yang
menyerobot pun diserobot orang lainnya. Orang Yahudi,Arab, Palestina,
India,dan bangsa-bangsa setempat melakukan itu tanpa rasa bersalah.
Sedangkan kami hanya menjadi penonton yang belum mengerti apa yang
tengah terjadi. Anehnya, orang-orang yang menyerobot itu pun tidak
menerima saat gilirannya diserobot orang lain.

Sampai salah seorang yang berada di antrean berteriak keras agar
petugas menertibkan antrean. Ketika orang itu protes saya menyaksikan
satu persatu orang berbohong. Seorang bapak yang wajahnya tak
bersahabat berdebat dengan orang lain yang telah diserobotnya. Ia
menjelaskan mengapa ia harus memotong antrean. ”Jam berapa pesawat
kalian?”tanyanya.Kalimat itu ia tujukan pada rombongan turis asal Hong
Kong yang sudah antre sejak pagi hari.

Sebetulnya jawaban itu tak begitu penting karena bapak itu dengan
cepat dapat memberikan jawaban bahwa jadwal terbangnya sudah sangat
mendesak. Saat ia menjawab, anak-anaknya memberi dukungan
serupa.Tetapi, begitu tiba di tujuan, saya melihat mereka terlihat
tengah bersantai menikmati kopi di sebuah kedai sambil tertawa-tawa.
Seorang ibu yang lain berada di belakang saya bersama dua anak
gadisnya yang cantik-cantik.

Perlahan- lahan mereka bergerak ke samping dan tiba-tiba sudah berada
di depan kami. Anak saya sedikit protes, tetapi saya menahannya agar
tidak terjadi keributan.Tetapi, keributan tak dapat dihindari saat
mereka terus maju ke depan menyerobot seorang turis asal Jepang yang
ada di depan kami. Ia tidak bisa menerimanya.Tetapi,ibu itu memberi
alasan bahwa dia adalah warga negara yang berhak berada di barisan
paling depan. Di antrean yang tak beraturan dengan petugas yang tak
peduli, setiap orang membuat aturan sendiri-sendiri dengan alasan yang
dapat dibuat seketika.

Seorang ibu lain yang baru datang langsung menerobos ke antrean paling
depan dan mengatakan, ia punya bayi yang sudah lebih dulu berada di
depan. Orang yang diserobotnya tidak terima dan membalas, ”Maam, saya
juga punya masalah yang sama. Ayah saya sudah tua dan dia sedang
menunggu saya di ruang depan.” Mereka semua berbohong hanya demi lebih
cepat beberapa menit saja dari yang lain di depan anakanaknya.

Anak-anak itu belajar dari orang tuanya dan ikut berbohong untuk
mendukung argumentasi orang tua mereka. Ibu-ibu yang mengaku anaknya
sudah menunggu atau yang mengaku bapaknya sudah menunggu lebih dahulu
ternyata melenggang pergi menembus perbatasan tanpa membawa orangorang
yang mereka cintai. Mereka semua berbohong. Di Tanah Air kita
sendiri,orangorang yang menyerobot antrean sudah mulai menjadi
pemandangan yang biasa.

Semua itu terjadi karena tidak ada sistem yang mengaturnya, sementara
petugas yang menjaga tidak mempunyai kepedulian. Kepedulian adalah
wujud dari kepemimpinan seseorang dan kepemimpinan merupakan unsur
pembentuk kebiasaan dan budaya. Kita juga semakin sering melihat orang
berbohong di bawah sumpah. Di pengadilan terdakwa dan pengacara sama-
sama berbohong, saksi berbohong,jaksa dan hakim juga berbohong.

Artis-artis terkenal berbohong ketika skandal menimpa mereka.Pengusaha
dan petugas pajak yang korup berbohong kepada publik.Pejabat-pejabat
publik dengan mudah menghindari tanggung jawab dan memberikan alasan
yang sama sekali tak masuk akal. Politisi setiap hari berbohong.Mereka
semua dengan enteng mengatakan,”Sudah terlalu banyak kebohongan di
sini.”

Keluarga Ikut Berbohong

Tak dapat di sangkal,Indonesia adalah bangsa yang dibentuk dari
untaian keluarga-keluarga besar. Seperti suku-suku bangsa di Timur
Tengah yang saya kunjungi di akhir tahun lalu, Indonesia berbeda
dengan bangsa-bangsa di Barat yang nilai-nilai keluarganya telah
memudar. Seperti kata penerima hadiah Nobel Ekonomi, Garry Becker,
”Keluarga-keluarga berevolusi mengikuti kemajuan ekonomi.”

Bila di Asia keluarga besar masih mendominasi, di Eropa dan di Amerika
(bahkan juga di kotakota besar Asia seperti Shanghai dan Tokyo) telah
berubah menjadi keluarga nuklir dengan sedikit anak atau single parent
family (keluarga yang bercerai). Dalam single parentatau nuclear
family societyikatan keluarga menjadi sangat renggang dan tidak begitu
penting dalam membentuk watak dan karakter masyarakat.

Sebaliknya di Indonesia, sumber pembentukan watak masyarakat justru
ada di dalam keluarga.Maka bagi para pemimpin Asia,keluarga adalah
sasaran pembangunan yang sangat penting.Anda mungkin pernah mendengar
mantan PM Lee Kuan Yew menentang jaminan sosial bagi orang tua di
Singapura bukan karena negerinya tidak mampu,melainkan demi menjaga
hubungan keluarga.

Bagi Lee, orang tua harus menjadi tanggung jawab bagi anak-anaknya.
Ada tugas besar para pemimpin negeri ini untuk membawa Indonesia
menjadi bangsa tepercaya dan dapat saling mempercayai.Kepercayaan
adalah bonding bagi setiap society. Ia juga menjadi sumber penegakan
hukum dan pembangunan ekonomi. Tanpa kepercayaan,tak ada keadilan dan
tidak ada investasi baru.Kita harus mulai mengubah keterlibatan
keluarga dalam membela anggotaanggotanya dalam kasus-kasus kriminal,
korupsi, atau pelanggaran hukum lainnya.

Adalah keluarga yang telah ikut membawa Gayus Tambunan keluar dari
tahanannya dengan berbohong kepada berbagai petugas (keamanan,
airlines,hotel,dan sebagainya). Adalah keluarga yang telah menyimpan
uang hasil korupsi penjahat lainnya. Adalah keluarga yang telah
membuat sejumlah tahanan bebas menikmati kegiatankegiatan keluarga
saat yang bersangkutan tengah menjalankan hukumannya. Kaya atau
berjabatan tinggi jelas merupakan kebanggaan setiap anggota keluarga
besar.

Tetapi, keluarga besar juga harus menahan diri dan mengingatkan mereka
untuk memikul tanggung jawab. Tanpa nilai-nilai itu,keluargakeluarga
besar Indonesia hanya akan mewariskan kesulitan bagi anak-anaknya.
Seperti yang saya lihat di Timur Tengah, tradisi berbohong telah
menimbulkan kehidupan yang tidak damai.Anda, saya, dan keluarga-
keluarga kita adalah pembentuk masa depan bangsa ini.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/374087/
Share this article :

0 komentar: