oublié, parce qu’ il a été proprement fait.” Honoré de Balzac (1799—
1850) Sebagai bangsa, kita menutup tahun 2010 dengan selimut tebal
yang membungkus kasus-kasus korupsi berskala masif, sehingga tetap
menyisakan tanda tanya besar karena banyak mengandung misteri yang tak
mudah terungkap.
Kasus-kasus korupsi berskala besar ini selalu berada di wilayah kelam
yang nyaris mustahil dapat dibongkar. Saksikan, aneka skandal korupsi
raksasa selalu terkait dengan politik, berhubungan dengan pemegang
otoritas negara, dan bersarang di pusat-pusat kekuasaan yang
melibatkan aktor-aktor politik berpengaruh. Mengingat praktik korupsi
beroperasi di lembaga-lembaga publik dan terjadi di wilayah
administrasi pemerintahan negara, korupsi niscaya merepresentasikan
relasi kuasa di antara kekuatankekuatan politik dan aktor-aktor
negara.
Mereka menggunakan jabatan publik dan kekuasaan politik untuk
mengakumulasi kekayaan dan kapital demi keuntungan personal dan
politik. Karena itu, dalam wacana politik- ekonomi modern, korupsi
disebut the misuse of public powers for private benefits, terutama
ketika kontrol publik absen dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
warga negara kehilangan akses dan tak punya ruang untuk menjalankan
fungsi kritik publik dalam proses politik kenegaraan.
Mengikuti pandangan ini,seorang ahli politikekonomi Universitas
Michigan,Arvind Jain,menulis dengan terang: “Corruption seems to
result from an imbalance between the processes of acquisition of
positions of political power in a society, the rights associated with
those positions of power, and the rights of citizens to control the
use of that power” (Arvind K. Jain, The Political Economy of
Corruption, Routledge 2007).
Sungguh,pola relasi kuasa yang amat kompleks di antara
kekuatankekuatan politik di dalam struktur pemerintahan negara
menyebabkan praktik korupsi menjadi pelik dan rumit yang sangat sulit
diurai. Kesulitan untuk mengurai kasus korupsi itu lebih karena ada
konflik kepentingan di antara para pemangku kekuasaan dan aktor
politik, yang baik langsung maupun tak langsung terlibat dalam suatu
kasus korupsi.
Dua Sisi Koin
Dalam perspektif demikian,tak heran bila muncul penyataan satirikal:
tanpa korupsi tak ada politik. Keduanya seperti dua sisi koin. Meski
bernada sinikal, ungkapan klasik ini amat populer yang lazim dijumpai
di buku-buku teks ilmu politik, muncul dalam debat akademik di ruang-
ruang kuliah, dan mengemuka sebagai wacana umum di aneka ruang publik.
Sedemikian kuat pertautan antara politik dan korupsi sehingga ungkapan
without corruption there is no politicsseolah sudah menjadi kebenaran
aksiomatik.
Seperti sukma yang menjiwai raga, korupsi menjadi nafas bagi
keberlangsungan dinamika politik. Laksana aliran darah yang menentukan
daya hidup bagi manusia, korupsi menjadi daya yang menggerakkan
percaturan politik. Ibarat asupan makanan untuk menjaga ketahanan
tubuh manusia, korupsi merupakan energi— meminjam istilah almarhum
Nurcholish Madjid: gizi—yang membuat praktik politik terus berlangsung
riuh dan gegap gempita.
Saksikan, praktik politik pun penuh dengan kontroversi.Kekuasaan
politik yang besar makin membuka peluang praktik korupsi berskala
masif dan gigantik. Semakin tinggi jabatan politik dalam struktur
kekuasaan, ongkos yang diperlukan untuk meraihnya pun kian mahal.
Dalam banyak kasus, ongkos politik itu bersumber dari atau berujung ke
korupsi.Tak pelak, bangunan kekuasaan politik pun ditopang oleh
korupsi yang mengakar di dalam tubuh lembaga- lembaga negara.
Sungguh menyedihkan,korupsi sudah menjadi patologi sosial akut yang
membuat politik kian menjauh dari citacita republik dan idealisme
publik untuk memperkokoh sendi-sendi civic polity. Dalam konteks
percaturan politik di Indonesia, ungkapan tanpa korupsi tak ada
politik jelas menggambarkan realitas sosial yang dapat dilihat secara
kasatmata. Kita bisa merujuk segudang fakta keras dan bukti empiris
karena sudah banyak politisi dan pejabat negara yang diadili dan
dihukum akibat perbuatan korupsi.
Puluhan bupati, wali kota, dan gubernur menjadi tersangka dan
dimejahijaukan atas dakwaan korupsi. Banyak pula anggota parlemen
bahkan (mantan) menteri sudah mendekam di balik jeruji besi karena
melakukan pidana korupsi. Ini semua mengonfirmasi kebenaran aksiomatik
ungkapan bernada sinikal tersebut. Dalam konteks ini pula, kita dapat
memahami mengapa kasus penggelapan uang pajak oleh Gayus Tambunan
punya resonansi politik sangat kuat.
Hal ini karena kasus Gayus berimpitan dengan perusahaan-perusahaan
besar yang, antara lain,berhubungan dengan seorang tokoh politik
berpengaruh yang memimpin parpol besar.Padahal, nominal uang yang
digelapkan oleh Gayus “hanya” Rp104 miliar. Jumlah ini terbilang lebih
“kecil”dibandingkan dengan uang Rp932 miliar—sembilan kali lipat lebih
besar—milik Bahasyim Assifie yang diduga hasil kejahatan pencucian
uang dan penggelapan pajak, yang mengemuka dalam sidang di pengadilan
(antaranews. com, 30/9/2010).
Tidak seperti kasus Gayus yang selalu memenuhi halaman koran/majalah
dan menghiasi layar televisi, liputan media massa untuk kasus Bahasyim
tak begitu meriah dan jauh dari hiruk-pikuk. Ia juga tak menjadi objek
silang pendapat di antara politisi dan tokoh publik karena tak punya
dimensi politik. Setahun yang lalu, ketika Partai Demokrat memenangi
Pemilu 2009 secara amat fantastik dengan peningkatan perolehan suara
sampai 300% dan Presiden Yudhoyono berhasil terpilih kembali untuk
masa jabatan kedua, skandal dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7
triliun meledak.
Banyak pihak, terutama para politisi, mengaitkan skandal Century ini
dengan dua kemenangan dalam pemilu yang amat mencengangkan itu. Ramai
diperbincangkan, Partai Demokrat diduga menerima aliran dana talangan
itu untuk biaya kampanye pemilu baik melalui mobilisasi massa maupun
aneka ragam iklan di media cetak dan elektronik yang amat masif. Tak
pelak, spekulasi keterlibatan elite-elite Demokrat dan orangorang
terdekat Presiden dalam skandal Century pun merebak.
Dapat dimaklumi bila kemenangan spektakuler Demokrat—SBY tetap
menyisakankemasygulandibanyak kalangan sampai hari ini. Maka, ungkapan
lama ‘behind every great victory lies a big crime’ selalu relevan
untuk dikaitkan dengan aneka peristiwa politik yang tak sepenuhnya
bisa dicerna oleh nalar publik. Sastrawan terkemuka Prancis, Honoré de
Balzac, dua abad silam bahkan sudah menuturkan: “Le secret des grandes
fortunes sans cause apparente est un crime oublié, parce qu’ il a été
proprement fait.”
Jika diterjemahkan secara bebas, kutipan ini berarti: rahasia suatu
sukses besar yang Anda sendiri tak mampu memberi penjelasan selalu
tersembunyi suatu tindak kejahatan yang tak akan pernah bisa diungkap
karena dilakukan dengan amat rapi. Kutipan ini mungkin dapat membantu
untuk memahami aneka skandal korupsi berskala besar yang terkait
praktik politik di Indonesia.
Skandal korupsi dalam politik itu sulit diungkap karena beroperasi di
dalam organ-organ kekuasaan, berkelindan dalam jaringan politik yang
berlapis-lapis, dan melibatkan tokoh-tokoh politik penting yang
memangku kekuasaan dalam struktur pemerintahan negara. Dalam konteks
inilah kita dapat membaca mengapa skandal Bank Century, yang oleh DPR—
setelah melalui investigasi lama—dinilai melanggar hukum, tak kunjung
dapat dituntaskan oleh aparat penegak hukum.Inilah diktum universal:
tanpa korupsi tak ada politik!(*)
Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology
University of Sussex, UK
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar