BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Petani Gurem, Konversi Lahan, dan Ketahanan Pangan

Petani Gurem, Konversi Lahan, dan Ketahanan Pangan

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.35

Andi Irawan, LEKTOR KEPALA BIDANG ILMU EKONOMI UNIVERSITAS
BENGKULU

Sehingga perilaku rent seeking dalam izin penggunaan lahan adalah
suatu keniscayaan di kekinian kita. Dan perilaku ini bersimbiosis
mesra dengan perilaku para pelaku pasar yang haus lahan untuk kegiatan
ekonomi nontanaman pangan, yang, menurut mereka, paling profitable.
ika dilihat dari sisi ketersediaan J lahan pertanian, ada dua tantang
an berat yang kita hadapi untuk menghadirkan ketahanan pangan yang
kokoh. Tantangan pertama adalah produksi pangan kita berbasis pada
petani gurem. Sebagaimana diketahui, tren jumlah petani gurem
meningkat selama dua periode sensus pertanian (1993 dan 2003). Jumlah
rumah tangga petani gurem (kurang dari 0,5 hektare) rata-rata naik
2,17 persen per tahun, yakni dari 10,7 juta rumah tangga pada 1993
menjadi 13,3 juta rumah tangga pada 2003. Persentase rumah tangga
petani gurem juga meningkat dari 52,13 persen menjadi 55,11 persen.

Mengapa pertanian berbasis petani gurem akan menjadi kendala dalam
menjaga ketahanan pangan secara berkelanjutan? Kita tahu aspek
ketersediaan pangan sangat bergantung pada produktivitas usaha tani
pangan. Dan untuk meningkatkan produktivitas dalam jangka pendek,
butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi biokimia dan
mekanisasi pertanian. Padahal, ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah
menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit
seperti yang dimiliki umumnya petani gurem.

Ada dua implikasi dari produksi pangan kita yang berbasis petani gurem
ini. Pertama, peningkatan produktivitas pangan menjadi sangat mahal
karena perlunya subsidi yang massif untuk intensifikasi pertanian. Hal
ini karena petani tidak mampu jika mereka harus membiayai sendiri
intensifikasi usaha taninya.

Kedua, perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi) menjadi tumpuan
utama peningkatan produksi pangan. Padahal, ketika berbicara tentang
ekstensifikasi lahan pertanian, kita dihadapkan pada tantangan kedua
ketahanan pangan, yakni konversi lahan pertanian.

Konversi lahan pertanian adalah salah satu sumber shock penting
penyebab krisis pangan dalam satu dekade ke depan kalau tidak mendapat
solusi tepat.
Data menunjukkan konversi lahan pertanian di negara kita seluas
2.917.737,5 hektare sepanjang 1979-1999. Tingkat konversi per tahun
ini meningkat sepanjang 1999-2002 mencapai 330 ribu hektare atau
setara dengan 110 ribu hektare per tahunnya. Pada periode 1999-2002,
konversi lahan pertanian ke nonpertanian di Jawa mencapai 73.710
hektare atau 71,24 persen dari total konversi lahan pertanian di Jawa.
Padahal lahan pertanian produktif Pulau Jawa adalah lahan relatif
lebih subur, yang tentu saja berkontribusi signifikan terhadap
produksi pangan nasional. Laju konversi lahan pertanian sepanjang 2002
sampai sekarang diperkirakan berkisar 100-110 ribu hektare per tahun.

Dalam konteks kekinian kita, konversi lahan merupakan suatu
keniscayaan pasar. Sebab, penggunaan lahan untuk investasi di sektor
nonpertanian pangan memberi keuntungan berkali lipat ganda dibanding
ketika lahan itu digunakan untuk usaha pertanian pangan. Memang kita
mencoba melawan kekuatan konversi lahan yang dipacu oleh kekuatan
pasar ini untuk direm oleh kekuatan negara melalui Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Tapi hampir dapat dipastikan kekuatan pasar pemacu
konversi lahan lebih kuat daripada kekuatan negara yang berperan untuk
mengeremnya.
Mengapa? Sederhana, para penyelenggara negara di daerah banyak sekali
yang melakukan perannya dengan motif privat. Sehingga perilaku rent se
eking dalam izin penggunaan lahan adalah suatu keniscayaan di kekinian
kita. Dan perilaku ini bersimbiosis mesra dengan perilaku para pelaku
pasar yang haus lahan untuk kegiatan ekonomi nontanaman pangan, yang,
menurut mereka, paling profitable.

Karena itu, menurut saya, pendekatan pasar pulalah yang harus kita
gunakan untuk mencegah konversi lahan. Ca ranya? Jadikan kegiatan
ekonomi pertanian rakyat memiliki profita bilitas yang tinggi melalui,
perta ma, penciptaan nilai tam bah produk-produk perta nian.
Sebagaimana yang diketahui petani, kita umumnya menjual produknya
dalam ben produknya dalam ben tuk output primer dengan nilai tambah
yang rendah.

Program pemberdayaan masyarakat petani, yang diluncur kan pemerintah
melalui Kemente rian Pertanian, seperti Pengembangan Usaha Agrobisnis
Pedesaan, Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat, dan Usaha Penjualan
Jasa Alsintan, seharusnya mengemban misi besar menciptakan nilai
tambah tersebut.

Kedua, melalui diversifikasi usaha bagi petani lahan gurem. Dengan
lahan sempit yang dimiliki umumnya petani kita, untuk meningkatkan
pendapatan, para petani lahan sempit tersebut harus memiliki usaha
selain usaha tani mereka. Sebagai contoh, petani dengan lahan kurang
dari 0,5 hektare akan terbantu ekonomi rumah tangganya jika mereka
bisa memiliki ternak sapi 2-3 ekor.

Pendekatan pasar lain yang penting adalah bagaimana kita harus
menciptakan usaha ekonomi tanaman pangan yang mencapai skala ekonomi
efisien.
Dalam konteks itu, hadirnya bentuk usaha skala besar di bidang
agrobisnis pangan yang terintegrasi bisa horizontal (antara pangan,
ternak, dan perkebunan ) atau vertikal (integrasi dari on-farm sampai
off-farm) mendapat justifikasi konseptual.

Food estate akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan petani
jika; 1) Ia diperankan sebagai implementasi dari land reform policy
ketika semua food estate berkomitmen melibatkan petani kecil sebagai
petani plasma yang bermitra dengan mereka. Jika sekitar 20 persen
lahan food estate untuk petani kecil sebagai plasma dari perusahaan
food estate, kontribusi kehadiran food estate untuk menghadirkan
kesejahteraan petani akan nyata.

2) Meningkatkan produktivitas petani.
Ilustrasi sederhananya, umumnya 1 hektare sawah dikelola oleh lima
petani dengan produksi 6 ton gabah per hektare atau produktivitas
petani per orang sebesar 1,2 ton. Dengan terserapnya tenaga kerja di
food estate, katakanlah dua orang saja, produktivitas petani per orang
meningkat menjadi 2 ton per orang. Dan peningkatan produktivitas ini
juga menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan petani kecil kita.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/06/ArticleHtmls/06_01_2011_012_004.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: