BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menghadapi Problem Sosial

Menghadapi Problem Sosial

Written By gusdurian on Minggu, 09 Januari 2011 | 12.44

Tampaknya sistem komunikasi yang lemah membuat kita tidak sepenuhnya
tahu.
Selain itu, gesekan antarsubkultur dalam masyarakat pluralistik ini
mempersulit tumbuhnya para pemimpin yang mumpuni."
A PAKAH reformasi budaya alamiah?
Kalau tidak, apa yang mendorongnya? Kehidupan masyarakat terbentuk
dari perpaduan antara lingkungan teritorialnya dan bagaimana
masyarakat itu mengorganisasi diri. Dalam masyarakat terbelakang,
kesederhanaan lembaga-lembaga yang dibentuknya hanya memungkinkannya
beradaptasi dengan lingkungan, bukan mengubahnya. Masyarakat dianggap
berbudaya primitif apabila dia tidak mampu mengadakan perubahan yang
berarti.

Tentu kita tidak menggolongkan diri pada masyarakat berbudaya
primitif. Dengan gelombang modernisasi yang menerpa negeri ini sejak
beberapa abad terakhir dengan datangnya para penjajah, dan dengan
rangsangan-rangsangan modern yang beredar sampai sekarang, tentu
konsep dan perasaan kita tentang kehidupan terus berubah. Yang
mengusik pikiran, dengan segala perubahan menuju kemajuan, kita
tentunya akan terusmenerus dirundung berbagai problem sosial.
Empat teori problem sosial Menurut teori pertama, problem sosial
timbul karena disorganisasi dalam masyarakat. Demikian kata buku
Society Today yang diterbitkan Richard L Roe. Disorganisasi itu akibat
perubahan sosial, kultural, atau konflik kultural. Ada
tuntutantuntutan baru, tujuan-tujuan baru, dan bahkan nilai-nilai
baru. Lembaga-lembaga sosial kehilangan wibawa, normanorma tidak
diindahkan, dan kekacauan meluas. Lacurnya, teori ini kedengarannya
antiperubahan karena menganggap yang ada sudah memadai.

Teori kedua melakukan pendekatan berbeda. Problem sosial timbul karena
ada individu-individu yang ukuran moral maupun sosialnya `kurang'.
Mereka tidak mau dan tidak mampu mengikuti pola-pola normatif
masyarakat.
Bukan naluri atau situasi kejiwaan mereka yang salah. Mereka bersikap
demikian karena subkultur mereka memberontak terhadap lembaga-lembaga
yang ada; mungkin sekali akibat rangsangan-rangsangan yang datang.

Te o r i k e t i g a m e n y e b u t tentang konflik nilai-nilai.
Masyarakat memakai nilainilai yang saling berbeda atau bahkan
bertentangan dalam menghadapi suatu masalah bersama. Apa yang dianggap
problem oleh suatu kelompok dianggap sebagai kesempatan oleh kelompok
lain. Ini terutama terkait dengan sistem dis tribusi kekayaan,
kekuasaan, dan prestise yang ada. Mafia hukum, korupsi dan konflik
antarpartai politik masuk teori ketiga ini.

Orientasi keempat dan terakhir menganggap problem sosial sebagai
konsekuensi konflik pola-pola tingkah laku karena mekanisme pemersatu
kacau atau tidak mampu sehingga tingkat konflik melebihi kemampuan
sistem yang ada.
Asumsi yang mendasari teori keempat ini: perubahan sosial yang tidak
terintegrasi menimbulkan problem sosial. Diperlukan para pemimpin dan
manajer yang terampil dan bijaksana untuk mengurus perubahan dan
akibatnya terhadap negara dan masyarakatnya.
Pemimpin perlu umpan balik The Way of the Leader (1997) karya Donald G
Krause, memuat rumusan bagus tentang beda antara `pemimpin' dan
`manajer'. Sekalipun hasil karyanya itu memfokus pada kepemimpinan di
bidang bisnis, tetapi rumusan Kraus relevan untuk kepemimpinan pada
umumnya. Dia mengatakan, baik kepemimpinan maupun manajemen
menghendaki sukses yang menyeluruh.
Namun ada beda antara keduanya. Kepemimpinan mensyaratkan ada kontrak
sosial antara pemimpin dan yang dipimpin. Sang pemimpin dituntut
memiliki kemauan dan kemampuan untuk menjalankan kekuasaan. Tetapi
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin bersifat koperatif. Selain
itu, kekuasaan harus diberikan secara sukarela oleh yang dipimpin.
Kepemimpinan dilandasi oleh kesetujuan, ekspektasi, dan komitmen kedua
pihak.

Lain halnya dengan manajemen. Kekuasaan yang dimiliki sang manajer
terutama diperoleh dari posisi atau kepemilikan. Maka untuk berhasil,
manajemen tidak memerlukan faktor-faktor yang tersebut tadi.
Tergantung pada situasinya, manajemen bisa efektif tanpa ada kontrak
sosial antara manajer dan orang-orang di bawahnya, atau tanpa
kesetujuan dari pihak yang dipimpin.

Namun, tentu saja, hasil praktik-praktik manajemen yang baik menjadi
lebih sempurna bila kekuasaan sebagai manajer dan kekuasaan
kepemimpinan digabungkan. Idealnya, para pemimpin sebaiknya juga
manajer yang baik. Sebaliknya, manajer sebaiknya memiliki sifat-sifat
kepemimpinan.

Salah satu yang juga menjadi persyaratan untuk menjadi pemimpin yang
baik adalah keterbukaannya menerima umpan balik; atau sebaliknya
memberikan umpan balik. Umpan balik membantu membangkitkan motivasi
kerja.
Tanpa umpan balik, kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi upaya
dan kerja yang telah kita lakukan. Ini mematahkan semangat untuk
bekerja lebih baik karena berupaya atau tidak berupaya toh sama
hasilnya.

Apresiasi yang sepadan atau celaan maupun hukuman yang sepadan bisa
menjadi sarana perbaikan, namun harus konsisten. Dengan cara ini
tanggung jawab individu sebagai pemimpin akan semakin tumbuh.
Apresiasi bisa berbentuk pengakuan atau kebebasan lebih besar untuk
menjalankan maupun mengambil keputusan. Yang sebaliknya juga bisa
terjadi. Penafsirannya bisa dibaca sendiri oleh pemimpin maupun yang
dipimpin.

Tantangan berat yang dihadapi para pemimpin adalah mendorong yang
dipimpin agar bersedia berbuat lebih dari sekadarnya. Sering ada
asumsi bahwa faktor biologis dan genetika memotivasi manusia.
Mungkin itu menyebabkan pihak-pihak tertentu sering mengatakan, "Orang-
orang Melayu malas bekerja." Kalau asumsi itu benar, apakah berarti
motivasi tiap orang untuk bekerja tidak bisa diubah?
Jurnal dwibulanan Business Horizons, terbitan Sekolah Bis nis
Universitas Indiana, AS, pernah memuat hasil penelitian Burt K Scanlan
yang menunjukkan, ada faktor-faktor lain yang sama penting dengan
faktor biologis, yakni faktor-faktor budaya, latar belakang keluarga
dan sosial-ekonomi; serta kekuatan-kekuatan lain yang ada di
lingkungannya. Yang disebut terakhir--termasuk keterampilan manajemen
dan kebijakan pemimpin--dapat membangkitkan suasana kerja yang baik.

Selain itu, tujuannya pun harus jelas. Tanpa tujuan yang jelas, sulit
bagi individu maupun kelompok untuk membayangkan, apa manfaat mereka
bekerja lebih keras kalau hasilnya tidak memadai; nasib mereka tidak
berbeda dari yang sebelumnya. Itu akan mematikan semangat kerja. Untuk
itu mereka memerlukan umpan balik dari para pemimpin.

Apakah benar kita mengalami krisis kepemimpinan?
Tampaknya sistem komunikasi yang lemah membuat kita tidak sepenuhnya
tahu. Selain itu, gesekan antarsubkultur dalam masyarakat pluralistik
ini mempersulit tumbuhnya para pemimpin yang mumpuni. Lagi pula
mengubah sistem feodalistis menjadi demokratis bukan hanya membutuhkan
perubahan cara pandang atau mindset, tetapi juga perlu waktu lama.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/07/ArticleHtmls/07_01_2011_021_026.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: