BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Wajah Liyan Sumiati

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 11.09

Oleh Armada Riyanto

”Each consciousness pursues the death of the other.”

– Hegel

Lagi-lagi tenaga kerja wanita Indonesia dianiaya majikan di Arab
Saudi. Ia Sumiati. Kakinya hampir lumpuh. Mukanya sembab. Bibirnya
digunting. Foto wajahnya mengenaskan.

Yang tak terekam dalam foto itu adalah hujatan, hinaan, dan kata-kata
yang melecehkan. Sumiati merintih karena martabat dan keluhurannya
sebagai manusia dilenyapkan. Filsuf Hegel menegur, setiap kesadaran
manusia hampir selalu mengharapkan kematian liyan. Majikan menganiaya
pembantu. Bangsa ini kasihan kepada korban, tapi menampilkan nurani
acuh, sepi. Seolah kita melihatnya dan berkata, itu sekadar sebuah
nasib. Kesadaran kita pun telah tumpul.

Paradoksal benar perlakuan kita terhadap TKI. Ia atau mereka baru kita
kenali sesudah wajahnya babak belur, terpampang di surat kabar.
Pengetahuan kita tentang mereka seolah post factum penganiayaan. Jika
tidak dianiaya, mereka anonim, tanpa wajah, tanpa nama. Padahal,
mereka penyumbang besar perekonomian negeri ini. Kehadiran mereka di
tanah asing jadi berkah negara. Menurut Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sumbangan devisa TKI 2008 Rp 130
triliun (13 miliar dollar AS).

Sebelum penganiayaan seolah tak pernah ada seorang Sumiati. Sumiati
tertindas di era poskolonialisme (baca: pasca-penindasan). Ia dianiaya
majikan di negeri orang, serta terdepak dari penghargaan dan
perlindungan negeri sendiri. Mungkin logikanya demikian: di negeri
sendiri tak dihargai, apalagi di negeri orang. Di negara kita TKI
identik dengan yang tersisihkan. Mereka tak mendapat pembekalan
memadai, tak bisa berbahasa asing, tak difasilitasi secara manusiawi,
tak bisa membela diri.

Dia liyan

Liyan adalah konsep ontologis etis. Dalam liyan dipertaruhkan nilai
keluhuran manusia. Dalam buku Second Sex, filsuf Simone de Beauvoir
menulis, ”One is not born, but made a woman”.

Ungkapan ini mengatakan sebuah protes keras terhadap perlakuan
societas kepada perempuan. Menurut De Beauvoir, perempuan itu tak
(pernah) ada sampai dia ”dibuat demikian” oleh societas. Perempuan
telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir, tapi ”dicetak”.

Artinya, perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari
segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah. Tubuh perempuan bukan
miliknya, tetapi milik societas. Ia harus bertindak seturut keinginan
societas (laki-laki), untuk sopan santun, menjaga nafsu, dan yang
semacamnya. Demikianlah, tubuh Sumiati, seorang nakerwan, seolah bukan
lagi miliknya. Societas keji, bukan hanya karena telah menganiaya,
melainkan karena tak menghormati kehadiran, kebebasan, keluhuran, dan
kesederajatan martabatnya. Tubuhnya seolah jadi pelampiasan kekesalan
dan kekejian societas maskulinistik yang arogan.

Ia tak dapat lari dari penindasan, tak seperti laki-laki. Sampai kini,
berapa puluh (atau ratus) TKI perempuan yang telah dan sedang dihajar
majikannya. Yang paling dramatis penganiyaan keji di Malaysia, Arab
Saudi (dan Timur Tengah). Kita mendapati mereka seolah makhluk lemah,
menyerah, pasrah.

Analisis De Beauvoir menegur kita. Perempuan telah cukup lama dalam
keterkungkungan. Pendidikan pun seolah bukan hak mereka. Kebebasan dan
otonomitas jadi barang terlarang. Dengan mudah mereka dimaksudkan
societas jadi manusia-manusia yang harus segera mencari laki-laki.
Sesudah mendapatkan, mereka kita maksudkan jadi pendamping suami.

Selanjutnya, menjadi manusia yang tak pernah mandiri, melainkan
tergantung dan terikat. Mereka ada seakan-akan berada di pinggiran
kehidupan sehari-hari. Belum lagi, mereka rentan subyek (tunduk) pada
kekerasan, manipulasi, perbudakan, dan penganiayaan di dalam rumah
tangga. Tidakkah societas ini telah kejam terhadap perempuan? Lihatlah
penganiayaan Sumiati oleh majikannya. Lihatlah reaksi masyarakat yang
sepi protes. Tidak seperti kalau merebak isu agama (sekalipun hanya
isu kecil). Lihatlah pandangan mata societas. Kita hanya berkata,
kasihan. Tidak ada kemarahan protes atas perlakuan yang menginjak-
injak kemanusiaan.

Sungguh sebuah ironi. Ironi peradaban negara di mana Sumiati dianiaya.
Ironi peradaban juga di negara dari mana Sumiati berasal. Ia teraniaya
dan makin parah penganiayaannya oleh kealpaan dan netralitas sikap
hati bangsa ini yang tak jelas.

Media pun ramai-ramai menempatkan di berita utama. Sayangnya, mereka
telah melupakan wajah Sumiati, produk dari societas korup yang luar
biasa. Sosok yang telah jadi penyumbang devisa bagi negara ini telah
terkubur wajahnya. Kita mengenalinya baru setelah wajah itu berlumuran
darah penganiayaan. Sumiati tampil, hadir, terluka. Ia berjasa. Ia
memiliki segala perasaan bangga untuk disebut sebagai manusia, sebagai
warga yang bermartabat mulia. Semoga bangsa ini tidak lupa, ada enam
juta ”sumiati” lain. Sumiati adalah ”self” (diri) kita, bukan liyan.

Armada Riyanto Guru Besar Filsafat dan Ketua STFT Widya Sasana Malang

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/24/02592430/wajah.liyan.sumiati

Pintu Perguruan Tinggi Negeri bagi Kaum Miskin

DARMANINGTYAS, AKTIVIS PENDIDIKAN DI TAMANSISWA YANG KONSISTEN MENOLAK
PRIVATISASI DAN LIBERALISASI PENDIDIKAN
Pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2010
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, berupaya
memperbaiki akses ke perguruan tinggi negeri (PTN) bagi semua warga
dengan menaikkan kuota penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi
bersama minimal 60 persen. Selama hampir satu dekade, terutama sejak
diberlakukannya perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) di
beberapa PTN, penjaringan mahasiswa baru secara bersama di sejumlah
PTN dan PT BHMN banyak yang kurang dari 50 persen, bahkan di PT BHMN
ada yang hanya 10 persen. Itu artinya, ketentuan baru tersebut
merupakan angin segar bagi warga kebanyakan untuk mengakses pendidikan
tinggi di PTN.

Pasal 53-B PP tersebut menyebutkan: (1) Satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintah wajib menjaring peserta didik baru
program sarjana melalui pola penerimaan secara nasional paling sedikit
60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima untuk setiap
program studi pada program pendidikan sarjana. (2) Pola penerimaan
secara nasional sebagaimana dimaksud di atas tidak termasuk penerimaan
mahasiswa melalui penelusuran minat dan bakat atau bentuk lain yang
sejenis. (3) Peserta didik baru yang terjaring melalui pola penerimaan
secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk peserta
didik yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orang tua atau pihak
yang membiayai tidak mampu secara ekonomi.

Bagi kami, yang sejak awal menolak privatisasi PTN menjadi PT BHMN,
termasuk menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), bunyi
pasal 53-B ini merupakan akomodasi terhadap aspirasi kami yang
menuntut pengembalian seluruh PT BHMN menjadi PTN dan pembatalan UU
BHP. Dapat dikatakan ini adalah win-win solution dari tarik-menarik
kepentingan antara pemerintah dari para penolak PT BHMN dan UU BHP.

Meskipun secara garis besar PP Nomor 66 Tahun 2010 ini merupakan upaya
kanibalisasi beberapa pasal dalam UU BHP, terutama menyangkut tata
kelola, untuk hal
hal yang prinsip ada perbedaan karena peraturan pemerintah ini
mengembalikan peran negara yang lebih besar untuk proses pencerdasan
bangsa. Untuk itu, secara pribadi saya perlu mengapresiasi keberadaan
pasal 53-B di atas. Pasal ini menunjukkan adanya kemauan pemerintah
untuk mendengarkan suara warga.

Hal lain yang perlu diapresiasi adalah keberadaan pasal 220-A dan 220-
B mengenai pengelolaan pendidikan PT BHMN, se
perti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut
Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera
Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga,
termasuk pengelolaan keuangannya yang perlu menyesuaikan dengan
peraturan ini dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) paling lama 3
tahun sebagai masa transisi sejak peraturan pemerintah ini diundangkan
atau paling akhir 31 Desember 2012. Konsekuensi dari pasal ini adalah
dihapusnya status PT BHMN dan berubah menjadi BLU. Dalam status BLU,
peran pemerintah masih tetap menonjol sehingga memudahkan masyarakat
menyampaikan kontrol. Selama ini muncul kesan bahwa PT BHMN begitu
otonomnya sehingga pemerintah pun tidak bisa mengintervensi sama
sekali, termasuk ketika PT BHMN tersebut melakukan rekrutmen mahasiswa
baru dengan menjadikan uang sebagai dasar penerimaannya.
Perluasan akses Keberadaan pasal 53-B dalam PP Nomor 66 Tahun 2010
tersebut memiliki dua makna penting. Pertama, bagi PTN yang
bersangkutan, pasal ini dapat mengembalikan jati diri PTN sebagai
institusi yang mencerdaskan bangsa dan sekaligus menjaga kebenaran.
Selama satu dekade terakhir, PTN dan PT BHMN telah terjebak pada
proses kapitalisasi melalui penerimaan mahasiswa baru yang menjadikan
uang sebagai dasar diterima-tidaknya seseorang sebagai calon mahasiswa
baru. Berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru dikem bangkan oleh PTN
dan PT BHMN serta jalur-jalur tersebut lebih dikenal sebagai usaha
untuk menarik uang sebesar-besarnya dari masyarakat. Model penerimaan
mahasiswa baru melalui seleksi bersama, seperti UMPTN (sekarang
menjadi SNMPTN), hanya menyisakan 10-50 persen, sehingga akses orang
miskin terhadap pendidikan tinggi mengecil.

Keberadaan PT BHMN selama ini, selain telah memarginalkan golongan
miskin, telah menghilangkan jati diri PT sebagai pengembang ilmu
pengetahuan, teknologi, kebudayaan, serta penjaga kebenaran; karena
sibuk dengan urusan-urusan manajerial dan keuangan. Segala sumber daya
yang ada dialokasikan untuk proses kapitalisasi kampus atas nama
otonomi kampus, tapi yang sesungguhnya terjadi adalah otonomi dalam
pendanaan saja. Betul, kondisi fisik kampus terlihat makin bagus, tapi
sebetulnya kurang didukung oleh sendi-sendi kehidupan yang merakyat.
Sebaliknya, kampus semakin asing dari orang miskin dan cenderung
memarginalkan kaum miskin. Ini ironis karena salah satu
sumbangan kaum kampus mestinya adalah bagaimana mengatasi kemiskinan,
tapi yang terjadi justru kampus sendiri memarginalkan kaum miskin.

Pengembalian PT BHMN menjadi PTN atau BLU diharapkan mendorong PTN
kembali berfokus pada pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
kebudayaan, dan sebagai penjaga kebenaran, yang tetap harus kritis
terhadap segala kebijakan yang tidak selaras dengan misi kemanusiaan.
Hal itu diharapkan dapat terjadi karena pengelola PTN tidak lagi
disibukkan oleh urusan keuangan dan manajerial. Pemerintah diharapkan
bisa lebih meningkatkan alokasi dananya untuk PTN, sedangkan urusan
manajerial diharapkan bukan sebagai tujuan, melainkan sarana saja
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan.

Makna kedua, pasal ini membuka akses yang lebih luas dan mudah bagi
semua warga untuk masuk ke PTN, termasuk PTN favorit. Luas dalam
pengertian strata sosial yang heterogen, termasuk anak petani dan
pedagang kecil, sedangkan mudah dalam pengertian hanya satu variabel
dasarnya dasar penerimaannya, yaitu kemampuan akademiknya, baik yang
ditunjukkan melalui nilai rapor maupun nilai tes. Mudah itu juga dalam
pengertian hanya melalui satu jalur yang dilaksanakan secara bersama-
sama oleh semua PTN di Indonesia. Kebijakan ini jelas dapat membuka
akses bagi anak-anak petani kecil, pedagang kecil, pegawai negeri, dan
sejenisnya untuk dapat kuliah di PTN seperti yang terjadi sebelum
dekade 2000-an, sehingga persentase orang miskin di PTN terkemuka
dapat ditingkatkan dari hanya 4 persen menjadi 10 persen.

Pola penyaringan mahasiswa baru melalui tes bersama itu tidak akan
menurunkan mutu PTN kita, sejauh ada komitmen tinggi dari pemerintah
untuk mendukung pendanaannya. Pemerintah lebih baik memotong subsidi
untuk energi (bahan bakar minyak dan listrik), untuk selanjutnya
dialihkan buat pendidikan agar pendidikan tinggi yang murah dan
bermutu bukan impian, melainkan betul-betul dapat diwujudkan dalam
kebijakan nyata. Bukankah subsidi energi lebih banyak dinikmati oleh
golongan kaya saja?

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_011_010.shtml?Mode=1

Mereka Bukan Primitif

Roy Thaniago, KOORDINATOR REMOTIVI, BEKERJA DI ALIANSI MASYARAKAT ADAT
NUSANTARA (AMAN)
Kalau kita merasa tidak ada masa lah dengan kata "primitif", yang
berkeliaran bebas, tulisan ini akan membuatnya tampak sangat ber
masalah. Dan, kalau tetap merasa tidak ada masalah, mungkin masalahnya
ada pada diri Anda. Saran saya: segera temui psikiater terdekat.

"Primitive Runaway", sebuah tayangan televisi, yang mungkin merupakan
titik kulminasi hasil pemahaman kolektif masyarakat Indonesia tentang
masyarakat adat, adalah salah satu sumber masalah itu. Tayangan ini
tidak hanya mengandung satu masalah, tapi juga tiga masalah sekaligus:
(1) mendiskriminasi masyarakat adat dengan menyematkan predikat
"primitif", (2) merekayasa realitas kehidupan masyarakat adat, serta
(3) mereproduksi dan menyebarkan kesesatan berpikir mengenai
masyarakat adat.

Program baru Trans TV yang diputar seminggu sekali ini menayangkan
kisah perjalanan dan aktivitas pasangan selebritas di suatu komunitas
masyarakat adat. Jualan kecapnya sudah seksi sejak awal, yakni
memperolok eksotisme dan membenturkan modernitas dengan
tradisionalitas. Ramuan ini melahirkan cerita dan konflik. Pengusaha
memang selalu tahu resep tokcer.

Lantas apa masalahnya? Mari simak edisi 31 Juli 2010 dengan bintang
tamu Ramon dan Ladya Cheryl, yang berkunjung ke tempat suku Sakkudai,
Mentawai. Lewat sudut pandang yang diambil, pemirsa disuguhi kesesatan
dan kebohongan mengenai orang Sakkudai yang ditampilkan bodoh,
terbelakang, dan jauh dari santun.
Ada adegan orang Sakkudai yang menjilati bingkisan yang diberikan. Ada
adegan ketika kedua bintang tamu oleh orang Sakkudai dipaksa
mengenakan pakaian adat, bahkan seorang perempuan tua bertelanjang
dada "beraksi"dengan berusaha melepaskan paksa busana "kota"Ladya.
Tak kalah seru, ditampilkan pula adegan pemaksaan melakukan tradisi
kikir gigi dan tato tubuh kepada para artis.

Benarkah apa yang terlihat di layar kaca dibandingkan dengan situasi
sebenarnya?
Mungkinkah suatu komunitas yang selama ini dikenal arif dalam
tradisinya, terlebih hanyalah kelompok minoritas, berani memaksakan
tradisinya kepada mereka yang datang dengan busana berbeda sambil
menenteng BlackBerry dan menggotong kamera besar?
Apakah saya ingin mengatakan itu semua bagian dari rekayasa yang
selama ini memang menjadi mainan para pekerja industri televisi kita?
Simpan dulu jawabannya.

Edisi lain pada 28 Agustus dan 4 September 2010, yang masing-masing
bertempat di masyarakat adat Sasak Bayan (Lombok) dan Tuatunu
(Pangkalpinang), pun menampilkan hal yang sama, bahwa masyarakat adat
adalah bodoh, terbelakang, dan tidak santun. Bahwa masyarakat adat
selalu memaksa tamu dari luar turut menjalani tradisi mereka. Bahwa
masyarakat adat adalah makhluk aneh yang perlu disorot kamera video
(dipegang oleh bintang tamu) sepanjang waktu, sekalipun telanjang.

Dan rupanya tayangan ini "berhasil"mereproduksi dan menyebarkan
kesesatan berpikir mengenai masyarakat adat, karena beginilah bunyi
dari para follower yang ada pada laman Twitter @primitiverunaway: (1)
lo boleh komentar, episode kali ini kurang primitif nih... but, it's
okay, bs nambah pngtahuan adat di bali.... :), (2) yep, episode ini
kurang primitive! klo blh ksh msukan, ak prnah liat org luar k derah
klimantan. ad tradisi ngeludah d rmah, (3) Di suku pedalaman papua
aja.Yg msh kanibal..., (4) You're great! I love.Tapi edisi kali ini
kurang primitif & terlalu setting. Sorry. :) Maju terus ya! Warisan
kolonial "Itu ucapan yang sangat kasar. Orang akan marah
sekali,”dengan bahasa Indonesia cadel seorang kawan Australia
menanggapi pertanyaan saya tentang “primitif”. Di negaranya, istilah
“primitif”haram digunakan, baik dalam komunikasi verbal maupun media
massa. Bahkan pemerintah Australia sampai perlu mendirikan lembaga
bernama Equal Opportunity Commission agar masyarakat dapat mengadukan
perlakuan diskriminatif yang terjadi.

Istilah “primitif”datang dari bahasa Latin, primitivus, artinya “yang
pertama atau terawal dalam jenisnya”. Istilah ini pertama kali dipakai
oleh para penulis dan penjelajah Barat dalam mendeskripsikan
masyarakat di luar budayanya. Mereka melukiskan masyarakat primitif
sebagai tidak beradab, biadab, ganas, dan kejam. Tujuannya jelas,
dengan merendahkan, mereka bisa menjajah dengan lebih leluasa.

Pada 27 Februari 2009, di harian The Independent, Direktur Survival
International Stephen Corry berpendapat bahwa pemerintah mengambil
keuntungan dari kekeliruan pemahaman masyarakat dalam memprimitifkan
masyarakat adat.“Kebodohan”dan “keterbelakangan”menjadi alasan
pemerintah untuk “mendidik”dan “memodernkan”masyarakat adat. Dan, atas
nama pembangunan,“keprimitifan”
menjadi alat pembenar untuk merampas
tanah masyarakat adat.
Memprimitifkan adalah mental penjajah. Ia adalah warisan kolonial yang
kemudian malah diadopsi negara-negara yang baru merdeka pasca-Perang
Dunia II (Domman, 2008:4-5 dalam Rizaldi Siagian, Kompas, 13 Desember
2009). Menggelikan, memprimitifkan orang lain dipakai para terjajah
untuk menjajah! Adalah sebuah kepandiran ketika kita menghakimi suatu
kebudayaan dengan memakai kacamata budaya sendiri. Adalah
ketidakadilan kalau kita mengukur seseorang melalui ukuran kita. Itu
adalah sikap etnosentris yang sangat bertentangan dengan pendekatan
kebudayaan yang relativis (Nakagawa, 2000:8-9). Karena itu, John
Simpsons, editor BBC, berkata,"Tidak ada yang primitif dalam
masyarakat adat kecuali pandangan kita terhadap mereka."

Masyarakat adat hanya memiliki cara hidup yang berbeda dengan
kebanyakan orang, tapi mereka bukan primitif--tidakkah keteguhan cara
hidup mereka yang khas itu suatu keindahan? Mereka tidak tinggal di
masa lalu, karena kelompok masyarakat mana pun selalu berubah dan
beradaptasi seturut tuntutan zaman--dan konteks sosial-kultural mereka
memang tidak membutuhkan Bvlgari dan Senayan City. Pun mereka tidak
terbelakang, mengingat cara mereka dalam mengatasi hidup--seperti
kembali mengutip Simpsons, "Kerumitan masyarakatnya, kemampuan yang
luar biasa dalam melangsungkan eksistensi mereka dan memanfaatkan alam
sekitar, membuat kita bertanya-tanya."

Memprimitifkan suatu kelompok masyarakat adalah bentuk diskriminasi.
Ini merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Harian terkemuka di Inggris, seperti The Guardian dan The Observer,
sejak 2009 sudah melarang penggunaan terminologi "primitif"untuk
mendeskripsikan masyarakat adat.

Primitif adalah pelabelan yang menyakitkan. Ia oleh masyarakat
kebanyakan dimaknai biadab, bodoh, terbelakang, dan "belum manusia".
Melihat situasi sekarang--seorang ibu membakar anaknya hidup-hidup,
pekerja lembaga swadaya masyarakat memperkaya diri lewat proposal
fiktif, bupati mengkorupsi uang rakyat, media "membunuh"Luna-Ariel-
Tari, agama menjadi pembenar untuk melakukan kekerasan, dokter menolak
pasien miskin, televisi menebar kekerasan dan kebodohan--siapakah yang
biadab? Siapakah yang primitif? Anda boleh menjawab sekarang.


http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_012_013.shtml?Mode=1

Pertaruhan Demokrasi

Salah satu variabel penting dalam mengukur kualitas demokrasi, apakah
hanya prosedural atau substansial, adalah melihat mekanisme sirkulasi
kekuasaan politik yang dijalankan dalam sebuah negara.


Sirkulasi kekuasaan politik ini penting karena syarat mutlak demokrasi
adalah adanya pembatasan kekuasaan politik.Tanpa adanya pembatasan
kekuasaan politik,demokrasi yang dianut boleh dikatakan semu belaka.
Melihat indikator tersebut, hingga usia reformasi menginjak angka 12
tahun,kita patut berbangga diri. Sirkulasi kekuasaan politik, baik
dari tingkat nasional hingga ke daerah,telah berjalan sesuai mekanisme
demokrasi. Memang masih banyak kerikil.Namun, kerikil- kerikil itu
hingga kini masih dalam batas toleransi.

Akan tetapi, pada proses sirkulasi kekuasaan politik nasional yang
akan dilaksanakan pada 2014 melalui mekanisme pemilihan presiden
(pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) kini sedikit mendapat ancaman
serius. Hal ini dikarenakan pembahasan RUU Pemilu kita, khususnya RUU
No 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu, arahnya telah
membahayakan kualitas demokrasi. Draf yang disusun oleh Komisi II DPR
RI berjalan mundur ke belakang.

Dialektik Terbalik

Seperti kita tahu, usulan komisi II DPR RI dalam pembahasan RUU No 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu akan menganulir beberapa pasal
krusial dalam mengawal kualitas demokrasi yang sebelumnya telah
tertata baik.Dalam RUU ini, pasal yang mensyaratkan anggota Komisi
Pemilihan Umum (KPU) tidak dari unsur partai politik dihapuskan. Dalam
Pasal 11 huruf i yang mengatur bahwa: “syarat untuk menjadi calon
anggota KPU,KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/ Kota adalah seseorang
yang tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam
surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5
(lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan
dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang
bersangkutan” akan dihapus.

Selain unsur partai politik, RUU ini juga membolehkan unsur pejabat
publik dan pegawai negeri sipil (PNS) untuk menduduki posisi di KPU
dengan dihapuskannya pasal yang sama huruf k yang berbunyi: ”syarat
untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota
adalah seseorang yang tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan
struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri”. Seandainya
draf ini nantinya disetujui dan disahkan, maka kualitas hasil pemilu
2014 tentu akan banyak dipertanyakan keabsahannya.Mengapa demikian?
Pertama, jika penyelenggara pemilu berasal dari parpol, besar
kemungkinan intervensi terhadap Penyelenggara Pemilu yang dilakukan
oleh elit parpol sulit terhindarkan.

Dengan adanya intervensi ini,besar kemungkinan juga bahwa
penyelenggara pemilu hanya akan tunduk dan patuh pada kepentingan
partainya, bukan pada kepentingan demokrasi. Implikasinya, aturan-
aturan pemilu nantinya akan ditetapkan sesuai dengan kepentingan
masing-masing parpol. Kedua, dengan adanya tarikmenarik kepentingan
partai politik dalam lembaga penyelenggara pemilu, maka aturan-aturan
yang akan dibuat serta proses pengambilan keputusan bisa berbelit-
belit, bahkan bisa berujung pada deadlock.Pengalaman seperti ini telah
kita lihat pada Pemilu 1999 lalu ketika unsur partai politik menjadi
anggota penyelenggara pemilu.Pada saat itu,anggota KPU tidak mau
menandatangani hasil pemilu nasional untuk menetapkan pemenang pemilu.

Deadlock itu baru bisa pecah ketika BJ Habibie mengeluarkan Keppres No
92/1999 pada 4 Agustus 1999 untuk mengesahkan penetapan keseluruhan
hasil penghitungan suara Pemilu 1999. Ketiga, dengan adanya tuntutan
untuk menang dari partai politik di mana anggota penyelenggara pemilu
bernaung, maka dalam membuat aturan-aturan, besar kemungkinan akan
terjadi transaksi “dagang sapi”.Praktik ini bisa jadi memunculkan
konflik di antara anggota KPU dan bisa jadi akan merembet ke level
yang lebih rendah, konstituen partai politik.

Keempat, pada level yang lebih rendah, Penyelenggara Pemilu seperti
PPK hingga PPS bisa jadi akan diisi oleh anggota parpol, dan peluang
terjadinya kecurangan untuk memenangkan partainya sulit untuk dicegah.
Melihat faktor-faktor di atas, mudarat yang akan diterima bangsa ini
lebih besar jika pasalp a s a l yang telah ada itu dihapuskan. Tentu
hal ini menjadi ancaman serius kualitas demokrasi kita. Selain
itu,lolos tidaknya draf RUU ini,menjadi pertaruhan demokrasi kita ke
depan, apakah mengarah pada demokrasi substansial atau hanya berupa
demokrasi prosedural semata.Pertanyaannya,kenapa hal ini bisa terjadi
dan mengapa para politisi di Senayan seolah tak mau tahu?

Power-Seeking Politician

Untuk menjawab pertanyaan ini, dalam kajian ekonomi-politik neoklasik,
sebetulnya kelakuan para politisi telah disindir dengan sangat jelas
dan vulgar. Para politisi ini disebut sebagai pemburu rente kekuasaan
(power-seekeing politician). Meski telah disindir dengan telak,
kelakuan para politisi ini tidak berubah, bahkan seolah melegitimasi
teori tersebut.

Argumentasi dasar powerseeking politician ini adalah para politisi
merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-
rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi
adalah memaksimalkan, dan bila mungkin,mempertahankan kekuasaan yang
dimiliki. Untuk tujuan ini,maka para politisi akan dimotivasi oleh
keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki
guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan
memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu (Grindle,
1989). Implikasi dari argumentasi Grindle di atas, politisi cenderung
berpikir kepentingan jangka pendek.Tidak penting bagi para politisi
keputusannya nanti akan berdampak seperti apa kepada orang lain.

Pertimbangan utamanya adalah: keputusan itu tidak merugikan diri
mereka sendiri! Melihat model ini, maka kita bisa menjawab pertanyaan
terakhir, mengapa para politisi tak mau tahu dengan implikasi
dihapuskannya dua pasal di atas? Bagi mereka, tak penting untuk
memikirkan kualitas demokrasi.Yang terpenting adalah bagaimana dapat
memenangi pemilu. Dampak dari pola dasar pemikiran seperti ini adalah
adanya praktik-praktik kesepakatan di bawah meja atau “politik dagang
sapi”. Para politisi tak risau jikalau UU Pemilu akan berganti setiap
menjelang pemilu, bahkan mungkin lebih ekstrem,UU Pemilu boleh
berganti setiap kali pemilihan kepala daerah (pilkada), asal dapat
memberi keuntungan dan dapat mempertahankan kekuasaan dalam jangka
pendek. Namun kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan.

Salah satu upaya untuk mengontrol kecenderungan politisi yang berpikir
jangka pendek adalah dengan melakukan pengawasan secara ketat.
Pengawasan yang dimaksud adalah adanya partisipasi seluruh komponen
masyarakat (baik civil society,LSM, ormas dan masyarakat umum) untuk
memelototi semua output yang dihasilkan oleh para politisi,kemudian
mengkritik dan memberikan saran. Jika masih tak mau mendengarkan,
mungkin harus dengan cara social movement.(*)

Abdul Hakim MS
Peneliti Indo Barometer

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366034/

Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan

Lebih dari sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah
kekerasan seksual. Banyak perempuan lebih memilih diam saat menjadi
korban kekerasan seksual."
RAKTIK kekerasan terhadap perempuan masih memprihatinkan sehingga
diperlukan upaya terus-menerus demi me nyadarkan masyarakat akan fe
nomena itu. Kampanye 16 Ha ri Antikekerasan terhadap Pe rempuan pun
kembali dicanangkan mulai hari ini hingga 10 Desember mendatang.

Tahun lalu, kampanye itu dimulai dan akan berlangsung hingga 2014.
Kampanye itu sebagai per nyataan sikap Komnas Perempuan bersama 37 or
ganisasi di 33 kabupaten di 21 provinsi untuk mengenalkan lebih dekat
mengenai kekerasan yang dialami perempuan.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan Neng Dara Af fi ah dalam diskusi
sekali gus peluncuran kampanye ber tema Kekerasan Seksual, Kenali dan
Tangani itu di Kantor Komnas Perempuan, Ja karta, kemarin, pihaknya ju
ga meng ajak masyarakat ikut menggalang
dana abadi. Tujuannya untuk memastikan kelangsungan organi sasi
pemberi layanan bagi perempuan korban kekerasan di seluruh Indonesia.

Ia menjelaskan, lebih dari sepertiga kasus kekerasan kepada perempuan
adalah kekerasan seksual. Jika ditotal, dari 295.836 kasus, 91.311 di
antaranya berupa kekerasan seksual. Data itu dihitung mulai 1998
hingga 2010, belum termasuk yang tidak dilaporkan.

`'Kekerasan seksual adalah isu yang penting dan rumit dalam peta
kekerasan kepada pe rempuan karena memiliki dimensi yang sangat khas
bagi perempuan lantaran menyangkut isu moralitas. Kita banyak menemui
perempuan lebih memilih diam saat menjadi korban kekerasan seksual,
karena hal tersebut masih dianggap aib," ujar Neng Dara.

Kekerasan seksual kepada perempuan, imbuhnya, terjadi di semua ranah,
baik ranah personal, publik, maupun negara.
Ranah personal merupakan yang terbesar yang dilakukan oleh orang yang
memiliki hubungan darah, kekerabatan, per kawinan, dan relasi in tim.

Sementara di ranah publik, kekerasan seksual umumnya dilakukan
majikan, guru, teman sekerja, to koh masyarakat, ataupun orang tidak
dikenal. Di ra nah negara, aparatur nega
ra dalam kapasitas tugas bisa menjadi pelaku.

Neng Dara menambahkan, perkosaan, perdagangan perempuan untuk tujuan
seksual, pelecehan seksual dan penyiksaan seksual adalah empat jenis
kekerasan seksual terbanyak yang dicatat Komnas Perempuan. Ironisnya,
kekerasan ini cenderung berulang dan pe nanganannya tidak tuntas.

‘’Karena itu, agar kekerasan bisa ditekan, kepekaan masyarakat harus
terus ditumbuhkan.’’ Dalam kampanye itu, Aliansi Jurnalis Independen
digaet sebagai perpanjangan informasi kepada ma syarakat. “Banyak
pemberitaan dan informasi media cetak dan elektronik yang
mengeksploitasi perempuan, terlebih dari si si seksual,” papar Mariana
Ami nudin, narasumber dari Jurnal Perempuan.

Ke depan, media diharapkan berperan penting dalam mengeduka si
masyarakat mengenai keke ras an terhadap perempuan, khu susnya
kekerasan seksual. Me dia harus bisa mengomuni kasikan istilah-istilah
dengan perspektif keadilan gender, dan me lin dungi serta mendukung
korban.

‘’Kemudian sebagai sebuah industri, diharapkan media ti dak melakukan
eksploitasi ter hadap perempuan untuk se mata-mata keuntungan
belaka,’’ papar Mariana. (*/H-2)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/25/ArticleHtmls/25_11_2010_012_018.shtml?Mode=0

Perang Dolar-Yuan dan Sistem Ekonomi Kita

Perang Dolar-Yuan dan Sistem Ekonomi Kita
Oleh Sofyan S Harahap Guru Besar FE Universitas Trisakti

Kebijakan ini adalah kebijakan dari pemimpin penakut, tidak melihat ke
depan, dan tidak memiliki tanggung jawab kepada nasib bangsa di masa
depan yang semakin sulit karena persaingan yang semakin sulit pula. "
SEBELUM pertemuan tahunan para menteri keuangan G-20 di Gyeo ngju,
Korea Selatan, baru-baru ini kita menyaksikan `perang' kata-kata.
Bahkan di USA ada undang-undang yang memberikan kekuasaan kepada
Presiden Obama untuk menghukum China jika terbukti menggunakan yuannya
sebagai alat untuk melakukan praktik dagang yang tidak fair melawan
Amerika.

Amerika saat ini mengalami krisis ekonomi, keuangan, dan perdagangan
karena defisit perdagangannya terus membengkak pada tingkat yang
sangat mengkhawatirkan ekonomi dunia, bahkan defisit perdagangannya
sudah mencapai US$1,4 triliun, tertinggi selama sejarah.

Menurut Amerika, salah satu penyebab defisit ini karena kurs nilai
mata yuan diatur atau direkayasa oleh pemerintah China dan dibiarkan
rendah sehingga barang-barang produk China membanjiri Amerika. Inilah
yang menimbulkan defisit perdagangannya. Ted Geithner beberapa kali
meminta agar yuan itu dibiarkan mengambang sesuai fl uktuasi pasar,
jangan diatur pemerintah.

Tetapi, pemerintah sejauh ini bergeming dan membiarkan nilai yuan
lemah paling tidak karena tekanan Amerika membuat mengambang pada
border atau range tertentu saja, tidak bebas seperti ditentukan
market. Amerika tidak puas dan membawa ini ke sidang menteri keuangan
di Korea Selatan dan memang menjadi topik paling hangat.

Bahkan inilah salah satu isu yang marak dan sangat mengkhawatirkan
Korea sebagai ketua organizer dan juga anggota lain. Sebab, sebelum
pertemuan digelar, sudah terjadi perang ‘nilai mata uang’ antara
Amerika dan China. Amerika sangat mengkhawatirkan jika ada negara yang
bermain curang (menurut tuduhan Amerika) melalui rekayasa kurs mata
uangnya atau ‘on
competitive currency devaluations’ sehingga bisa meningkatkan ekspor
produknya, menaikkan defi sit negara, dan akhirnya menaikkan cadangan
devisa.

Sebagaimana diketahui, saat ini negara dengan defi sit perdagangan
terbesar di dunia ialah Amerika dan surplus terbesar dunia adalah
China yang sudah mencapai US$3 triliun. Dengan demikian, China menjadi
masuk anggota BIRC (Brasil, India, Rusia, dan China) yang
berkesempatan masuk ke struktur IMF nantinya.

Untuk itulah Menteri Keuang an Korea Selatan mengajukan the Korean
Initiative. Ini merupakan perjalanan penting dalam sejarah sistem
keuangan internasional yang selama ini sangat dikendalikan dolar
Amerika ke arah ‘more marketdetermined exchange rate system’ yang
dinilai bisa sebagai gambaran fundamental ekonomi suatu negara, bukan
akibat ‘competitive devaluation of currencies’ sebagaimana dituduhkan
Amerika ke China. Karena di sini ada juga isu defisit Amerika yang
demikian besar yang dibiayainya dengan
mencetak treasury bill atau pada hakikatnya adalah mencetak uang
dolar.

Maka, pada saat yang sama anggota G-20 juga minta agar Amerika secara
serius mengurangi defi sitnya maksimal 4% dari GDP dan Amerika berjanji
dengan senyuman. Apa artinya, biasanya adalah ‘forget
it’, kalau dia sudah aman.

Yang menjadi sorotan kita adalah apa pelajaran dari situasi perang
yuan-dolar ini terhadap sistem ekonomi yang berlaku saat ini di
Indonesia, yaitu sistem kapitalis yang secara membabi buta kita
mengikuti sistem kapitalis dan rumusan Amerika, negara donor, atau
rumusan IMF dan Bank Dunia. Bagaimana sehar
usnya Indonesia belajar dari situasi ini?
Memang, pertanyaan yang harus dijawab Ted Geithner dan para pendukung
sistem ekonomi kapitalis termasuk di Indonesia adalah apakah surplus
defisit perdagangan itu karena permainan kurs saja atau ada masalah
lain yang jauh lebih penting dalam sistem keuangan yang berlaku di USA
dan dunia sekarang ini?
Sebagaimana diketahui, ekonomi kapitalis yang dibanggakan Amerika
selama ini hancur pada 2008 dan dampaknya terasa sampai saat ini yaitu
ekonomi dengan mengandalkan nilai tambah ekonomi melalui
penggelembungan pasar uang dan modal yang ditandai dengan: debt fi
nancing, teknologi dengan hak-hak copy right, patent, franchise, hak
intelektual, biaya SDM yang tinggi, dan sebagainya. Atau seperti China
dan Jepang yang melakukan produksi terusmenerus dengan harga
terjangkau, murah, dan kualitas yang juga tidak buruk-buruk amat dan
bahkan banyak mengimitasi produk Amerika.

Jawabannya sederhana, yaitu sistem ‘bubble economy’ yang dibangun
dengan mengandalkan ‘monetary based economy’ atau ‘pasar uang dan
modal’ akan memiliki batas apalagi jika spekulasi, derivasi, debt fi
nancing, trading currency, dan future commmodity berbasis spekulasi
dan riba menjadi andalan.

Yang lebih penting ada ‘real based economy’ sebagaimana yang
diterapkan Jepang dan Korea. Jusuf Kalla pernah meru muskan kebijakan
ekonominya ini dengan sangat simpel: ”Bursa Efek Indonesia perlu,
tetapi lebih perlu Tanah Abang.” Kalau seandainya para perumus
kebijakan ekonomi kita tersebut masih ingat teori Iving Fisher yang
meminta agar
diciptakan kesimbangan antara velocity of money dan produksi barang,
perang yuan dan dolar tidak perlu terjadi dan Ted Geithner tidak perlu
mencakmencak mengatur ekonomi negara lainnya.

Bagaimana kita di Indonesia? Kita masih mengekor sistem dan kebijakan
ekonomi yang salah melalui ‘me too approach’ (saya juga ikut yang
biasa), gak enak dan riskan mengubah ke sistem baru.

Kebijakan ini adalah kebijakan dari pemimpin penakut, tidak melihat ke
depan, dan tidak memiliki tanggung jawab kepada nasib bangsa di masa
depan yang semakin sulit karena persaingan yang semakin sulit pula.

Apa keyakinan para menteri keuangan terhadap kebijakan yang mereka
tempuh yang melanjutkan sistem lama yang menguntungkan Amerika? Bisa
kita baca dari hasil komunike bersama pertemuan G-20 di Gyeongju
tentang situasi ekonomi dunia. Mereka menyebutkan sebagai berikut:
“Ada progres, tetapi masih dalam situasi rentan pecah atau mudah
muncul krisis atau fragile and uneven.”

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/25/ArticleHtmls/25_11_2010_014_026.shtml?Mode=0

Uang dan Kematian Negara

Uang dan Kematian Negara
Oleh Prof Dr M Bashori Muchsin, MSi Guru Besar dan Pembantu Rektor II
Universitas Islam Malang



EMANG ada idiom ‘With money you can buy blood but not life’ atau
berarti, ‘Dengan uang, Anda bisa membeli darah, tapi tidak bisa
membeli hidup’. Namun, benarkah pepatah ini berlaku di Indonesia?
Gayus, misalnya, sudah menunjukkan dirinya berduit dan bisa menentukan
hidupmatinya penegak hukum. Berbagai jenis pemberitaan telah
menyebutkan kemampuannya dalam mengucurkan uang bernilai puluhan juta
rupiah setiap bulan, meski dirinya berada di dalam tahanan.

Uang telah digunakannya sebagai senjata istimewa yang bisa mengubah
atau mendesain keadaan, dari kondisi yang kurang menguntungkan atau
menyiksa menjadi kondisi serbamenyenangkan, dari atmosfer neraka
menjadi surga.

Siapa yang tahan di penjara atau menghuni rutan berlamalama? Siapa
yang mau menderita secara fi sik dan psikologis di tahanan, padahal
dirinya terbiasa hidup mewah, makan enak, dan barangkali akrab dengan
dunia hiburan? Kalau sampai Gayus bisa berjalan-jalan di luar tahanan
seperti layaknya orang merdeka dan bebas dari perkara hukum,
sebenarnya apa yang dilakukannya mencerminkan keinginan setiap orang
(tahanan).

Sayangnya, tahanan selain Gayus tidak mempunyai kemampuan seperti yang
dimiliki Gayus, sehingga dirinya tidak bisa keluar dari penjara
(rutan). Gayus memiliki uang yang bisa menentukan hidupmatinya
seseorang dan bahkan
negara.

Faktanya, Gayus memang mempunyai uang yang jumlahnya tidak bisa
diketahui secara pasti. Meski aparat berhasil membongkar dan
mengamankan kekayaan Gayus yang diduga berkaitan dengan kejahatan yang
dilakukannya, aparat juga meyakini sebenarnya jumlah kekayaan Gayus
masih banyak.

Aparat atau siapa pun yang dipercaya menangani kasus mafia memang
seharusnya cerdas membaca setiap sikap dan sepak terjang tersangka/
terdakwanya, baik ketika di luar tahanan maupun dalam tahanan. Sebab,
sosok demikian ini mestilah akan berusaha memengaruhi, menjinakkan,
atau mengalahkan setiap elemen negara yang berperan menjaringnya.

Sosok yang sedang bermasalah itu logis saja jika berulah dan berusaha
menunjukkan kehebatannya. Ia mempunyai senjata yang bisa digunakan
untuk membeli, menguasai, dan membunuh mo ral aparat yang berperan
menanganinya.

Senjata yang digunakan ini merupakan alat utama melumpuhkan keyakinan
atau mengoyak integritas moral aparat.

Kalau kode etik profesi aparat bisa dimatikan, apakah kita masih layak
menyebut negeri ini masih bernyawa? Sosok itu paham dalam membaca
realitas di jagat hukum negeri ini, yang secara u m u m e l e m e n p
e n e g a k hukum nya rentan tergoda oleh virus yang bernama uang.

Dengan kondisi aparat yang rentan ini, sosok yang berada di jalur
pembangkangan hukum (legal disobedience), men
jadikannya sebagai objek yang digiring untuk dijadikan mitra kolusi
dan berkolaborasi.

Virus uang memang telah membuat elemen penegak hukum atau rechstaat
menjadi karut-marut, lumpuh, dan merana. Virus ini telah membuat
aparat ikut terlibat dalam praktik-praktik malapraktik dan malversasi
profesinya.
Mereka tidak takut Profesi mereka ternoda dan kehilangan kredibilitas,
asalkan saat berhubungan dengan orang yang bermasalah secara hukum ini
mereka mendapatkan keuntungan (uang) besar.
Put not your trust in money, but put your money in trust atau jangan
Jangan letakkan kepercayaan Anda pada uang, tetapi letakkan uang Anda
dalam kepercayaan.
Demikian Oliver We n d e l l H o l m e s mengingatkan kalangan
profesional bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena u a n g , t e
t a p i b e rfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.

Dengan kalkulasi materialistik tersebut, masyarakat memang layak
mengidap ketakutan besar kalau masa depan Indonesia nantinya bukannya
menjadi lebih baik, namun semakin buram, khususnya dalam dunia hukum.
Meski banyak komisi atau institusi bertajuk rehabilitasi dunia hukum
didirikan negara, akibat mentalitas bervirus uang yang terus dipeli
hara dan dibudayakannya, wajar kalau ekspektasi terkikis dan
terdegradasi.

Tidak ada gunanya negeri ini menyandang predikat sebagai negara
konstitusi, yang di dalamnya menggariskan pakem negara hukum atau
berdoktrin siapa pun wajib dipertang
gungjawabkan secara hukum tanpa diskriminasi, kalau saja dalam
realitasnya negeri ini berada dalam genggaman erat komunitas mafia
yang bisa membuka dan mengunci pintu peradilan secara leluasa dan
liberal.

Begitu pun apa gunanya rutan, lembaga pemasyarakatan, atau jeruji
besi, kalau di dalamnya berjaya kekuatan mafia, yang bisa membuat
pintunya terbuka lebar ketika virus uang menyerangnya.

Kebenaran dan kejujuran
hanya diperlakukan sebagai nyanyian usang atau aksesori struktural
yang dikalahkan oleh praktik-praktik pembangkangan yang mendapatkan
tempat longgar. Komunitas oknum pembangkang merasa mendapatkan lisensi
tirani yudisial untuk mencari keuntungan pribadi dan kroni sebanyak-
banyaknya.

Pengkhianatan norma atau penyelingkuhan etika jabatan yang digadaikan
pada penjahat seperti yang dilakukan petugas rutan seolah sebagai
keharusan budaya di kalangan oknum demi mendulang un tung berlaksa.
Atau barangkali menurut nya, dengan alat ru tan, mereka (petu gas)
bisa memba ngun kerajaan eks klusif yang mengun tungkannya.

Tidak salah jika kemudian mencuat tuduhan bahwa pengkhianatan nor ma
yuridis tersebut sudah sampai pada ranah kewajiban: di kalangan
oportunis dan kriminalis rutan.

Mereka menggalang kekuatan, kerja sama sistemis, atau jaring an
terorganisasi un tuk membuka dan mengamankan kran guna mengalirkan
uang berlimpah dari siapa pun yang ber masalah secara hu kum, termasuk
ka langan pencari kea dilan.

Mereka itu menja di semacam kekuat an eksklusif yang tidak gampang di
dekonstruksi oleh kekuatan lain. Me reka telah menyiapg laba-laba yang
bisa kan jaring laba-laba yang bisa digunakan untuk menggiring
bermacam orang supaya jadi konsumen yang patuh. Mereka telah
memproduksi budaya yang dapat merangsang kaum idealis atau pejuang
hukum menjadi frustrasi akibat budaya bobrok yang masih
dipertahankannya.

Katakanlah (barangkali) aparat rutan yang tersuap tetap bisa tertawa
menikmati kemenangan dan punya imunitas (kekebalan) hukum ketika
berhadapan dengan napi atau keluarga tersangka/terdakwa yang menyuap.
Akan tetapi secara moral, apa yang dilakukan elemen penegak hukum ini
tetaplah penyelingkuhan profesi.

Perilaku aparat rutan yang berposisi tersuap ini sama artinya dengan
memperlakukan institusi peradilan, meminjam istilah Antony F Susanto
(2004) layaknya toko swalayan.

Pasalnya, elemen peradilan terjerumus menjadikan institusi yang
diamanatkan kepadanya sebagai toko yang berjualan hukum atau layanan
privasi rutan yang diserahkan kepada konsumen atau pasar untuk membeli
dan menikmati sesuai dengan seleranya.

Apa yang dilakukan aparat rutan itu mencerminkan perilaku kamufl ase
yang dibenarkan sebagai regulasi tak tertulis yang mendorong setiap
tersangka/terdakwa atau keluarga untuk mengiblatinya.

Kriminalisasi prosedur penanganan tersangka/terdakwa di rutan ini
mencerminkan mental manusia yang suka mempertahankan sikap-sikap
buruknya. Di antara mental buruk yang melekat dalam diri manusia
Indonesia adalah mental hipokrit, menerabas (suka mempermainkan
aturan), dan etos kerjanya lemah. Mental ini merupakan gambaran dari
manusia palsu, suka ambivalensi, berpribadi ganda atau pecah (split of
personality), termasuk mengambivalenkan profesinya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/25/ArticleHtmls/25_11_2010_014_022.shtml?Mode=0

Ekonomi Psikopat

Oleh Yasraf Amir Piliang

Beberapa tahun terakhir kita mencium aroma kegilaan dan abnormalitas
di ranah ekonomi.

Bakso mengandung boraks. Tahu, mi, ikan, ayam, dan daging mengandung
formalin. Sayur dan buah mengandung pestisida. Susu, permen, dan
biskuit mengandung melamin. Kosmetik, jamu, dan obat mengandung
merkuri. Perdagangan bayi, manusia, organ tubuh, dan perempuan
berjalan terus. Penjualan tabung gas yang disuntikkan, jual beli gelar
dan ijazah, serta jual beli kursi, jabatan, dan kekuasaan tak pernah
berhenti.

Ranah ekonomi bukan lagi sekadar medan produksi, distribusi, dan
pertukaran barang atau jasa demi keuntungan, melainkan medan tempat
aneka kegilaan, deviasi, dan abnormalitas tumbuh subur. Motif
keuntungan telah melahap akal sehat, melabrak norma sosial, dan
melumat arsitektur etis. Dahaga keuntungan mengabaikan luka, derita,
ketakutan, dan teror kepada manusia. Hasrat kapital menepis keutamaan,
kebaikan, dan kemuliaan humanitas. Mesin produksi dan distribusi
menjelma layaknya ”mesin gila”.

Produk-produk mengandung boraks, formalin, melamin, merkuri, dan
pestisida telah menimbulkan aneka penyakit: kanker, tumor, hepatitis,
atau ginjal. Penggunaan tabung gas telah mengundang banyak cacat fisik
dan kematian. Perdagangan bayi, manusia, dan organ tubuh manusia telah
menimbulkan kehilangan, kepedihan, dan lautan air mata. Jual beli
gelar dan ijazah telah menghancurkan martabat pendidikan. Jual beli
jabatan, kursi, dan kekuasaan telah menghancurkan fondasi etika
politik.

Ranah ekonomi menjadi ladang ”terorisme” baru tempat para pelaku pasar
menebar kecemasan, ketakutan, dan horor di pasar, rumah, dapur,
restoran, dan ruang publik lainnya. Ironisnya, ketakutan bahkan
kematian ditebar justru demi keuntungan dan kepuasan. Karena itu,
lebih dari sekadar ”teroris”, para pelaku pasar ini berkelainan
psikososial. Mereka para psikopat pasar: gagal menginternalkan nilai
dan etika pasar demi kepuasan diri di atas penderitaan pihak lain.

Pasar psikopat

JF Lyotard dalam Libidinal Economy (1993) melukiskan sebuah ranah
ekonomi yang di dalamnya pelepasan katup hasrat dan energi libido
merupakan raison d’etre para pelaku pasar. Segala bentuk senang dan
puas merupakan tujuan akhir ekonomi sehingga segala bentuk potensi dan
kapasitas hasrat harus dimaksimalkan; segala modal kesenangan harus
diinvestasikan. Komoditas pelepas hasrat harus selalu diperbarui demi
terbaruinya kepuasan hasrat.

Namun, ada bentuk pelepasan hasrat dalam ekonomi yang hanya bisa
diperoleh justru melalui penderitaan, ketakutan, bahkan kematian orang
lain. Inilah ekonomi masokis. Di sini internalisasi kepuasan hasrat
dalam ekonomi hanya dapat diperoleh melalui eksternalisasi aneka
hasrat merusak. Ranah ekonomi yang tercabut dari fondasi etis
menggiring orang merayakan akumulasi kapital dengan melabrak dimensi
etis tentang kebaikan, hati nurani, dan keutamaan.

Dimensi kegilaan merasuki ranah ekonomi, baik pada sistem produksi,
distribusi, maupun pertukaran. Ranah ekonomi, meminjam istilah Felix
Guattari dalam Molecular Revolution: Psychiatry and Politics (1984),
menumbuhkan kegilaan yang sangat khusus. Kegilaan tak hanya dilihat
sebagai kegagalan fungsi otak—yang memicu pikiran kacau—tetapi juga
hilang pikiran sehat, mabuk, dan skizofrenia yang aneka dimensinya
melekat dalam arsitektur ekonomi.

Ekonomi psikopat adalah satu bentuk kegilaan itu. Seperti para
penyandang psikopat, para psikopat pasar adalah aktor yang beroperasi
di bawah tanah, tempat tersembunyi, rumah kosong, rumah kontrakan,
ruang anomali internet, dan Facebook, tempat ia merealisasikan fantasi
menyimpang diiringi kekerasan, bahkan kematian orang lain. Ia gagal
menginternalkan norma dan nilai sosial, dan bertindak sesuai dengan
kendali hasrat dan fantasinya, jika perlu dengan memakan korban.

Ekonomi psikopat adalah aktivitas ekonomi yang beroperasi di dalam
ketakterlihatan dan ketaksadaran. Aneka kekerasan, penculikan, dan
pembunuhan tumbuh dari ketakawasan dan kelengahan orang,
ketakpedulian, kelalaian, dan kemalasan aparat. Banyak wanita jadi
korban perdagangan wanita karena tak awas akan mekanisme seduksi dan
bujuk rayu dalam Facebook atau Twitter. Banyak orang jadi korban
makanan mengandung zat kimia karena aparat lalai mengawasi.

Ekonomi psikopat adalah sebuah kontradiksi diri: ia merajut kepuasan
dalam kekerasan. Menurut Jean Baudrillard dalam Symbolic Exchange and
Death (1995), tujuan ekonomi menciptakan kesejahteraan lewat akumulasi
kapital dan untung. Namun, momen akumulasi kapital adalah juga momen
derita, takut, dan mati. Proses akumulasi modal dan keuntungan
sekaligus juga proses kekerasan, kerusakan, dan dehumanisasi.

Terorisme ekonomi

Ekonomi psikopat adalah ranah terorisme bisu karena efeknya tak
terlihat dan tak disadari. Berbeda dengan efek kerusakan terorisme,
efek terorisme ekonomi tak kasatmata: dalam jaringan sel, susunan
saraf, organ tubuh, atau struktur psikis. Kekerasan ekonomi psikopat
bukan saja kekerasan fisik, melainkan juga kekerasan simbolik: makanan
berformalin merusak fisik hingga kematian, ijazah palsu merusak
landasan simbolik pendidikan, jual beli kursi merusak landasan etika
politik.

Ekonomi psikopat adalah sebuah horonomik, yaitu medan akumulasi
kapital melalui mekanisme kekerasan. Kekerasan macam ini, seperti kata
Slavoj Zizek dalam Violence (2008), dapat berupa kekerasan fisik,
psikis, dan struktur. Kekerasan fisik menyebabkan cacat fisik,
kerusakan tubuh, bahkan kematian. Kekerasan subyek menyebabkan aneka
ketakutan, kecemasan, dan paranoia. Kekerasan sistem menyebabkan
kerusakan pada keutuhan aneka sistem (pendidikan, hukum, politik)
akibat abnormalitas di ranah ekonomi.

Ekonomi psikopat tumbuh sebagai subkultur ekonomi: kultur di dalam
kultur ekonomi. Sebagai subkultur, ia menyubversi ranah ekonomi dari
dalam dengan membangun jaringan di dalam jaringan. Ia memanipulasi
setiap jaringan normal ekonomi: jaringan pasar, jaringan distribusi,
dan jaringan internet melalui aneka penyamaran, penipuan, hipnotis,
pemalsuan, dan simulasi, seakan-akan mereka adalah para pelaku ekonomi
yang normal.

Ketika otoritas ekonomi membiarkan kegilaan dan abnormalitas tumbuh di
dalam mekanisme pasar, ekonomi psikopat menjadi ancaman serius bagi
masa depan manusia dan kemanusiaan. Anak bangsa terancam makanan
beracun, culik, tipu, dagang manusia, dan ijazah palsu. Apabila aparat
negara sukses membekuk pelaku teror, meski belum berhasil menumpas
jaringan terorisme, mereka tampak kurang total menumpas terorisme
ekonomi sehingga jaringannya terus tumbuh.

Ketika ranah ekonomi tak lagi dibangun di atas fondasi etis, kebaikan,
keutamaan, solidaritas, keadilan, dan tanggung jawab tak lagi menjadi
bahasa ekonomi. Ketika negara tak mampu mengerahkan kekuatan dan
otoritasnya, di sinilah para psikopat pasar leluasa menggelar tindak
amoralitasnya. Tanpa upaya sinergis dan berkelanjutan mengatasinya,
jaringan ekonomi psikopat kian meluas dengan korban kian banyak. Pasar
sebagai sumber kesenangan dan kepuasan terancam jadi sebuah medan
horor dan dehumanisasi.

Yasraf Amir Piliang Dosen Program Magister Desain dan Program Magister
Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/25/03072894/ekonomi.psikopat

Banyak yang Mubazir

Oleh Mohammad Bakir

Perhelatan Asian Games di Guangzhou, China, sudah hampir berakhir.
Indonesia sudah pasti memenuhi target empat medali emas. Namun,
prediksi perolehan medali emas itu, kecuali bulu tangkis, hampir
semuanya meleset. Cabang olahraga yang diunggulkan meraih medali emas
adalah boling, wushu, voli pantai, bulu tangkis, angkat besi, karate,
dan dragon boat atau perahu naga (dayung).

Yang disebut terakhir bahkan sempat diragukan memperoleh medali emas
meskipun pada akhirnya tiga medali emas dipersembahkan oleh pedayung
perahu tradisional itu. Padahal, kalau melihat catatan prestasi,
justru dari cabang perahu naga inilah peluang paling besar.

Pada Asian Beach Games di Bali akhir 2008, perahu naga juga
mempersembahkan medali emas. Bahkan, menjelang pergelaran Asian Games,
tim perahu naga Indonesia meraih medali emas pada kejuaraan perahu
naga Korea Terbuka.

Yang agak mengherankan adalah pengiriman beberapa cabang olahraga,
seperti gulat, loncat indah, tinju, dan menembak. Selain tidak
menunjukkan prestasi, para atlet yang dikirim pun tidak punya semangat
bertanding yang cukup.

Beberapa pegulat langsung gugur di babak pertama alias hanya mendapat
satu kali kesempatan bertanding, dan itu juga tanpa memperoleh satu
pun angka. Padahal, mereka sudah berlatih ke Romania selama hampir
satu bulan. Akan tetapi, apa yang didapat dari Romania masih belum
kelihatan di lapangan. Tidak kurang dari pelatih harus berteriak dari
pinggir lapangan untuk meminta pegulatnya tampil menyerang demi
mendapatkan angka.

Harapan kembali meraih medali emas, dua hari menjelang akhir Asian
Games ini, semakin mengecil. Indonesia hanya mengikuti lima cabang,
yakni atletik, kayak/kano, loncat indah, karate, dan sepak takraw.
Dari kelima cabang itu, hanya karate dan kayak/kano yang berpeluang
meraih medali emas.

Di antara negara-negara ASEAN, perolehan medali emas Indonesia juga
kalah dibandingkan dengan Malaysia, apalagi Thailand. Oleh karena itu,
untuk menghadapi SEA Games 2011, Indonesia sudah harus mulai berhitung
cermat dari cabang apa saja akan mendulang medali emas.

Pada pergelaran SEA Games 1997 di Jakarta, Indonesia mendapat 197
medali emas, 102 perak, dan 114 perunggu. Dari 197 medali emas,
sebanyak 78 medali emas diraih dari cabang olahraga terukur seperti
atletik, renang, balap sepeda, dayung, angkat besi, panahan, dan
menembak. Dari tujuh cabang terukur tersebut, diperebutkan lebih dari
200 medali emas. Kita tidak bicara boling, olahraga terukur yang pasti
dikuasai hanya tiga negara: Malaysia, Filipina, dan Singapura.

Berapa target medali dari tujuh cabang terukur ini—yang mencapai
hampir separuh total medali emas yang diperebutkan—akan menentukan
bisa tidaknya Indonesia menjadi juara umum pada SEA Games 2011.
Seperti diketahui, Thailand mempunyai peluang terbesar untuk mendulang
emas cukup banyak dari 200 lebih medali emas tersebut. Berada di
belakang kekuatan Thailand, Malaysia dan Vietnam dapat merebut medali
emas dari tujuh cabang yang memperebutkan lebih dari 200 medali emas
tersebut.

Jika Thailand dibiarkan merajalela merebut medali dari tujuh cabang
ini, keinginan Indonesia untuk menjadi juara umum agak berat.
Indonesia pasti akan berusaha mendulang medali emas dari banyak
permainan, seperti karate, judo, catur, dan beberapa cabang yang
Indonesia cukup dominan.

Namun, mengingat prestasi olahraga permainan Indonesia pun mulai
surut, rasanya agak sulit mencari cabang olahraga yang dapat
memberikan banyak medali emas. Dominasi Indonesia di pencak silat,
misalnya, dalam beberapa tahun terakhir ini sudah disaingi Vietnam dan
Malaysia.

Belum lagi cabang bulu tangkis, yang pada Asian Games ini tim putri
Indonesia harus menyerah dari tim Thailand, yang didominasi pemain
yunior. Artinya, jika tidak segera berbenah, tim bulu tangkis
Indonesia bisa-bisa sama sekali tidak mendapatkan medali emas dari
tujuh medali emas yang disiapkan di SEA Games.

Kemungkinan Indonesia meraih medali emas cabang bulu tangkis pada SEA
Games 2011 masih bergantung kepada Taufik Hidayat dan ganda putra
Markis Kido/Hendra Setiawan. Padahal, seperti pada Asian Games 2010
ini, Markis/Hendra kembali akan dihadapkan dengan ganda terkuat
Malaysia, Koo Kien Keat/Tan Boon Heong, yang sampai sekarang menempati
peringkat pertama dunia.

Jika keinginan menjadi juara umum SEA Games 2011 merupakan tekad
bersama, tidak ada jalan lain kecuali seusai Asian Games ini seluruh
otoritas dan masyarakat olahraga harus bekerja keras. Tidak seperti
ketika menghadapi Asian Games, yang cara pengelolaan dan pelatihannya
masih amburadul.

Sekadar menyebut contoh, rencana pelatnas Februari 2010 molor hingga
Mei. Setiap cabang yang hendak beruji coba harus mengajukan proposal
sebelum mendapat izin dan uang dari Satuan Pelaksana Program Indonesia
Emas, yang bertugas mengelola pelatnas. Apa tidak sebaiknya setiap
cabang diberi semacam dana hibah agar dapat mengelola uang itu
seefektif mungkin bagi pembangunan prestasi. Tentu hal ini harus
dibarengi dengan pengawasan dan supervisi yang cukup ketat dari
Kemenpora dan KONI Pusat.

Kini saatnya bekerja dan berlatih untuk mendapatkan yang terbaik.
Jangan sampai kita dipermalukan di depan warga kita sendiri.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/25/04355367/banyak.yang.mubazir

Perang Tanpa Strategi Lawan Korupsi

Oleh Frenky Simanjuntak

Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics
without strategy is the noise before defeat.

Sun Tzu

Untuk memenangkan perang diperlukan strategi. Ini hal yang jelas dan
tidak perlu diperdebatkan.

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada Desember
2009 menyatakan perang melawan korupsi, logika mengatakan bahwa
Presiden tentu sudah memiliki strategi khusus untuk memenangkan perang
tersebut.

Satu tahun hampir berlalu sejak pidatonya, situasi pemberantasan
korupsi di Indonesia tetap saja jalan di tempat. Hal ini antara lain
dapat dilihat berdasarkan indikator skor Indonesia dalam Indeks
Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) 2010 yang masih
belum bergeser dari angka 2,8.

CPI adalah instrumen pengukuran korupsi global yang dibuat
Transparency International dengan rentang indeks 0-10, di mana 0
dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih. Apakah ini berarti
pidato Presiden hanya sekadar janji politik dan pemerintah sama sekali
tidak memiliki strategi apa pun untuk berperang melawan korupsi?

Salah satu elemen paling penting dalam penyusunan strategi adalah
penetapan target capaian. Tanpa adanya target, strategi akan
kehilangan makna dan hanya akan berupa serangkaian aktivitas yang
tidak jelas arah tujuannya.

Dalam konteks strategi pemberantasan korupsi, pemerintah ternyata
punya target capaian. Capaian itu dapat ditemukan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014. Di dalamnya
ada target demokratisasi dan penegakan hukum dengan salah satu
indikator skor Indonesia dalam CPI 2014 adalah 5.

Secara metodologi, penetapan CPI sebagai target capaian pemberantasan
korupsi sebenarnya sangat bermasalah. Transparency International dalam
setiap publikasinya tentang CPI selalu mengingatkan bahwa CPI bukanlah
instrumen yang tepat untuk menganalisis kecenderungan perubahan
antarwaktu. Ini karena metode CPI menggabungkan indeks dari berbagai
sumber survei yang bisa berbeda dari tahun ke tahun sehingga perubahan
skor dapat terjadi akibat perubahan metode dan bukan representasi
perubahan sesungguhnya di lapangan. CPI lebih merupakan potret situasi
tahunan korupsi di suatu negara.

Sepertinya pemerintah tidak mengindahkan fakta ini ketika menyusun
target capaian RPJMN. Dalam penyusunan strategi perang, penentuan
target capaian yang tidak tepat merupakan kekeliruan fatal.

Bantai atau bumi hangus?

Dalam perang melawan korupsi, teori perang konvensional bisa
diaplikasikan. Teks-teks mengenai teori perang menyebutkan, paling
tidak ada dua tipe perang, yaitu war of annihilation dan war of
attrition.

War of annihilation atau perang pembantaian mengacu pada strategi
penghancuran total kemampuan berperang dalam beberapa atau bahkan
dalam satu pertempuran yang menentukan. Strategi perang ini digunakan
Napoleon Bonaparte dalam Pertempuran Austerlitz (1805) melawan pasukan
koalisi Kerajaan Rusia dan Australia.

Pertempuran Austerlitz secara efektif menghancurkan perlawanan negara-
negara Eropa terhadap kekuatan Kerajaan Perancis. Dalam perang melawan
korupsi, strategi perang pembantaian bisa diaplikasikan dalam bentuk
penyelesaian secara cepat dan tegas kasus-kasus korupsi besar,
penangkapan koruptor kelas kakap dan berpengaruh, dan pemberian
hukuman maksimal kepada para koruptor.

War of attrition atau perang bumi hangus adalah strategi perang yang
bertujuan menghancurkan kemampuan bertempur lawan lewat perang
berkepanjangan dan penghancuran sumber daya logistik dan personel.
Ketika Kerajaan Romawi diinvasi pasukan Carthage di bawah pimpinan
Hannibal Barca dalam perang Punic Kedua (218-202 SM), Konsul Fabius
menggunakan strategi bumi hangus.

Ia menghancurkan jalur suplai makanan dan bantuan personel dengan
membakar desa-desa dan ladang gandum yang akan dilewati pasukan
Cartaghe. Strategi Fabius ternyata efektif memaksa pasukan Cartaghe
mundur.

Dalam perang melawan korupsi, strategi bumi hangus dapat diaplikasikan
dengan cara menutup ruang gerak koruptor dalam birokrasi melalui
penerapan reformasi birokrasi, pengawasan yang efektif, dan penerapan
transparansi. Strategi ini bila diterapkan secara efektif akan menutup
ruang gerak dan jalur-jalur suplai uang haram para koruptor.

Strategi pencitraan

Sebagai mantan jenderal lulusan terbaik Akabri angkatan 1973, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tentunya sangat paham mengenai strategi
perang tersebut. Doktrin perang modern menyatakan bahwa strategi
perang berkembang dan saat ini strategi perang pembantaian ataupun
bumi hangus secara murni tidak aplikatif lagi. Sama halnya dalam
perang melawan korupsi, kedua strategi pertempuran tersebut harus
digunakan dengan melihat prioritas yang terukur secara jelas.

Persoalannya, pemerintah seakan tidak memiliki skala prioritas yang
jelas dalam pemberantasan korupsi. Penegakan hukum dan penindakan
kasusnya tanggung. Reformasi birokrasi dan penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik juga berjalan sangat lambat.

Seharusnya pemerintah membuat gebrakan berani dengan membongkar kasus-
kasus besar yang melibatkan orang-orang kuat, misalnya dengan
menindaklanjuti kesaksian Gayus Tambunan di persidangan atau kasus cek
pelawat di DPR. Prioritas reformasi birokrasi harus difokuskan pada
sektor-sektor strategis, seperti aspek perizinan usaha dan tata kelola
industri ekstraktif.

Alih-alih melakukan hal itu, pemerintah justru menerapkan strategi
pencitraan dengan institusi-institusi taktis dan ad-hoc yang ternyata
tidak efektif dalam memerangi korupsi yang sistemik. Strategi
pencitraan mungkin jitu untuk kepentingan pemenangan pemilu, tapi saya
kira tidak tepat bila diterapkan untuk berperang.

Dokumen Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi dan Rencana Aksi
Pemberantasan Korupsi 2010-2025 telah diluncurkan awal tahun ini oleh
Bappenas. Dokumen yang rencananya akan diresmikan sebagai peraturan
presiden, ternyata sampai saat ini belum ditandatangani sehingga tidak
punya kekuatan hukum. Ironis rasanya bahwa perang yang dicanangkan
oleh Presiden hampir setahun yang lalu ternyata hanya mengandalkan
taktik tanpa strategi.

Frenky Simanjuntak Manager Economic Governance Department Transparency
International Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/25/03023825/perang.tanpa.strategi.lawan.korupsi

Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah

Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah
Achmad Maulani, PENELITI EKONOMI POLITIK PADA PUSAT STUDI ASIA-PASIFIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Maka, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi, yang lokus
penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan, tampaknya
harus terus kita tabuh.
Inilah sebuah tragedi sekaligus ironi dalam tata kelola pemerintahan
kita.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa pada 2010, kasus
korupsi keuangan daerah menempati urutan pertama dari tren korupsi di
Indonesia, dengan aktor utamanya para kepala daerah dan mantan kepala
daerah.

Sementara tahun sebelumnya, 2009, tren korupsi didominasi oleh anggota
DPRD.

Persemaian demokrasi lokal pun terancam gagal.

Modus korupsi lewat penyalahgunaan anggaran daerah yang menempati
posisi teratas tersebut membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi. Dalam pertemuan dengan kepala-kepala daerah se-
Indonesia beberapa waktu yang lalu, Mendagri mengatakan bahwa hingga
saat ini ada 17 gubernur dari 33 provinsi serta 150 bupati yang
terkena kasus korupsi.

Mengapa otonomi daerah justru menyuburkan korupsi-korupsi di daerah di
tengah upaya mewujudkan desentralisasi ekonomi yang berkualitas dan
tata kelola pemerintahan yang baik? Pertanyaan gugatan ini layak kita
ajukan karena, dalam otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu
yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamiskan kegiatan
pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.

Tetapi maraknya kasus korupsi yang justru dilakukan aparatur negara,
dari gubernur, bupati, wali kota, anggota DPRD, hingga pejabat dinas,
jelas telah merusak dan merobohkan sendi-sendi bangunan desentralisasi
yang susah payah sedang kita bangun. Kasus-kasus korupsi tersebut juga
telah mencoreng dan mencederai makna desentralisasi di tengah
ekspektasi masyarakat yang begitu besar bahwa otonomi daerah
diharapkan mampu melahirkan pencapaian pelayan publik (public
services) yang baik terhadap masyarakat.

Kasus korupsi atas anggaran daerah dengan demikian secara telanjang
menunjukkan bahwa anggaran daerah hanya dijadikan instrument untuk
menggemukkan para penyelenggaranya dan jauh dari komitmen untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Ia juga potret tata kelola
yang buruk dari penyelenggara pemerintah daerah.

Komitmen terhadap tata kelola pemerintah daerah yang baik perlu kita
teguhkan, karena hingga saat ini parameter paling sederhana untuk
mengukur keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat
sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal
mengalami perbaikan. Kinerja dari keberhasilan pelayanan sektor publik
tersebut bisa dilihat dari dua indikator, yakni efisiensi dan
efektivitas.

Dalam konsep desentralisasi, makna efisien dan efektif dalam
pemerintahan daerah harus berujung pada terciptanya prinsip
keterjangkauan/aksesibilitas setiap program pembangunan oleh seluruh
kelompok masyarakat. Selain itu, efektif dan efisien juga meniscayakan
adanya kualitas dalam program-program pembangunan yang menyentuh
kebutuhan dasar masyarakat. Semua itu akan terwujud ketika kerikil
tajam bernama korupsi tidak menjadi bisul dan duri dalam daging yang
dapat menggerus hak-hak rakyat.

Para penyelenggara pemerintah seharusnya sadar bahwa anggaran daerah
merupakan satu-satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk
memungut uang dari rakyat, baik dalam bentuk pajak,
retribusi, maupun lainnya. Jika anggaran daerah tersebut tidak
dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar, apalagi justru
dikorupsi oleh aparatnya, kewajiban rakyat untuk membayar
“upeti”(baca: pajak/retribusi) menjadi batal.

Maka, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi, yang lokus
penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan, tampaknya
harus terus kita tabuh. Mengapa? Karena pilihan terhadap otonomi
daerah telah kita pancangkan. Kita masih optimistis bahwa strategi
desentralisasi akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk
menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi
wilayah masing-masing. Di samping itu, ketika dikawal dengan baik, oto
nomi daerah juga lebih memungkinkan bagi terciptanya persemaian
demokrasi di tingkat lokal.

Karena itu, dalam proses desentralisasi, hal penting yang mutlak harus
dikembangkan pemerintah daerah adalah menciptakan tata kelola
(governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk
menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan.
Setidaknya ada lima hal yang harus ada dalam prinsip tata kelola dan
pengembangan kapasitas, yaitu kredibilitas, akuntabilitas,
partisipasi, prediktabilitas, dan transparansi.

Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas seperti di atas
sesungguhnya diarahkan untuk penguatan ekonomi daerah. Ada empat
sasaran yang ingin dicapai.
Pertama, produktivitas, di mana rakyat mampu meningkatkan
produktivitasnya dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kedua,
pemerataan (equality), di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan
yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Ketiga,
kesinambungan (sustainability), di mana pembangunan tidak cuma untuk
memenuhi kebutuhan saat ini, tapi juga untuk generasi mendatang.

Dan keempat, pemberdayaan (empowerment), di mana pembangunan harus
dilakukan oleh rakyat.

Dengan pemahaman tersebut di atas, keberhasilan pembangunan daerah
dalam konteks otonomi sangat dipengaruhi tiga hal. Pertama,
ketersediaan sistem informasi yang memuat data tentang kinerja
pembangunan daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem
pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan dijalankan
sesuai perencanaan. Dan ketiga, menciptakan aturan main (regulasi)
yang memberi ruang bagi seluruh partisipan pembangunan daerah untuk
melaksanakan program pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan
kesamaan akses.

Guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan mencegah korupsi oleh
penyelenggara pemerintahan daerah, saya kira mekanisme kontrol yang
ketat serta pemberian sanksi yang tegas harus menjadi agenda utama
agar otonomi daerah tidak menjadi ruang bagi petualang-petualang
politik lokal untuk mengail keuntungan besar di tengah impitan yang
dialami masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian
mencekik.

Muara dari seluruh proses di atas adalah terjadinya pencapaian
pelayanan publik yang memang menjadi ikon desentralisasi.

Jika desentralisasi tidak mengarahkan pada terjadinya perbaikan
pelayanan masyarakat, sesungguhnya desentralisasi tersebut telah gagal
dijalankan.

Karena itu, satu hal perlu kita tegaskan bahwa kita perlu terus
mengawal pelaksanaan otonomi daerah demi tumbuhnya persemaian
demokrasi lokal yang kita cita-citakan. Korupsi harus dijadikan musuh
bersama yang tak bisa dimaafkan. Dengan cara inilah wajah otonomi
daerah, yang selama ini telah kusam karena berbagai penyimpangan,
dalam gerak perjalanannya bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih
bermartabat.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/25/ArticleHtmls/25_11_2010_012_013.shtml?Mode=1

Gayus Sakti = Gayus Sakit

Kalau saja ada pemilihan Man of the Year dari segi tokoh yang
menimbulkan kehebohan akibat ulahnya,Gayus HP Tambunan-lah orangnya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berusia 31 tahun,
bergolongan III A, dalam satu penanganan perkara pajak,bisa
menyisihkan Rp100 miliar—dari Rp300 miliar yang diterima. Begitu mudah
rupiah melimpah ruah sehingga seolah tidak perlu menginjak bumi.
Kepergiannya ke Bali awal bulan ini padahal masih berstatus sebagai
orang tahanan menunjukkan bahwa Gayus masih sakti. Sekaligus sakit
jiwa karena tidak ada keseimbangan antara realitas dan reaksi yang
diberikan.

Pribadi

Gejala ini dalam istilah budaya saya sebut sebagai gegar budaya, atau
cultural lag.Sebagai tindakan layaknya orang mabuk,orang yang
kehilangan orientasi lama dan masuk orbit baru yang tak sepenuhnya
disadari. Dalam dunia artis hal itu sering terjadi. Seorang yang bukan
siapa-siapa dalam dunia hiburan, tiba-tiba menjadi bintang. Seorang
figuran yang menerima honor Rp300 ribu sehari dan jatah nasi
bungkus,tibatiba mendapat kontrak bayaran seratus kali
lipat.Tingkahnya,dalam ukuran normal, menjadi serbaaneh. Bisa tiba-
tiba tak menyukai kru kerja, bisa meminta ganti lawan main atau bahkan
sutradara, bisa bangun lebih siang dan merasa perlu ganti penata
rambutnya.

Dalam bahasa orang film, pemain yang rumahnya di gang sempit,ketika
syuting minta fasilitas kamar berpendingin. Pada Gayus perubahan diri
sudah berlangsung lama,dan gegar budaya yang dialami terus
berlangsung. Sehingga rupiah yang dimiliki bisa tak ada nomor seri,
semua bisa dibeli dengan uang— yang akan terus diperolehnya dengan
cara yang gampang.Termasuk yang berkaitan dengan hukum, dengan para
petinggi mulai dari polisi, jaksa, hakim dan atau juga
pengacara.Termasuk ketika posisi saat diperiksa atau sudah
disidangkan, ditahan atau menjadi sorotan.

Dalam keadaan gegar budaya atau mabuk orientasi inilah, segala
kalimat,segala ucapan juga bisa berubah tanpa rasa salah. Menolak
mengakui berada di Bali,kemudian mengakui, meminta maaf semua bisa
terjadi bahkan dalam satu tarikan napas yang sama.Gayus, sebagai
pribadi, tak mampu membedakan dalam dirinya apakah kini sedang
berbohong, sedang bersaksi dengan pengakuan. Semuanya bias dan samar
sebagaimana jawaban orang mabuk beneran. Agak jauh berbeda, tapi dalam
kondisi yang sama kita melihat reaksi yang sama ketika Cut Tari, Luna
Maya, Ariel menolak keberadaan dalam video yang menghebohkan— dan
mungkin cepat agak terlupakan—atau kemudian mengakui, dan atau
bertahan sebagai bukan.

Semua bisa dilakukan dalam tetesan air mata yang sama, atau keberanian
menatap kamera, sambil bergegas menghindar. Semua dilakukan tanpa
kesadaran penuh, semua dilakukan sebagai reaksi seketika dalam situasi
yang dirasa jenuh. Maka agak sia-sia kalau kita mencoba mendekati dan
menempatkan dalam posisi yang normal. Kita tak akan pernah tahu apa
yang dikatakan hal yang sebenarnya atau bikinan.Karena yang
bersangkutan juga tak mau tahu.Atau merasa sama.Peran itu memakan
keberadaannya, pribadinya. Seperti gadis kampung kumuh dalam hidupnya
sehari-hari dan berperan sebagai seorang putri cantik anak raja.Ia tak
sadar apakah ini sedang memerani sebuah lakon, atau apakah ini dirinya
yang sebenarnya.

Komunitas

Masalahnya menjadi serius dan mengenaskan,bukan hanya karena membuat
akibat-akibat sampingan apa yang dilakukan tokoh yang sedang mabuk
ini.Melainkan adalah bagaimana pribadi yang lain— yang artinya sebuah
komunitas— ikut terseret masuk ke dalam situasi gegar budaya. Dalam
kasus Gayus ini, keributan akan terus berputar memahami bagaimana
sikap itu terjadi.Bagaimana Gayus bisa lolos? (semua kalau punya duit
juga bisa kalau mau, tinggal bagaimana mekanisme).Padahal,tradisi
begitu sudah ada sejak tahun 1912, kalau LP Cipinang dipakai sebagai
ukuran. Bagaimana aliran duit mengalir? (padahal duit tak ada baunya
dan ini bukan transaksi yang memerlukan kuitansi).

Bagaimana memahami birokrasi yang membawahi? Padahal sudah terjadi
selama ini. Gegar budaya pada aparat hukum kita adalah apabila kita
terhenti di urusan ini. Dengan saling bantah, saling meluruskan—atau
membelokkan, saling berkoar dan berkomentar. Dan itulah yang sedang
terjadi, setidaknya sampai saat ini. Kita tak beranjak ke arah satu
langkah ke depan, one step ahead. Kita tak menuju ke masa depan yang
lebih dibutuhkan namun menjebakkan diri apa yang tengah terjadi.
Sebagai perbandingan lagi, kasus Cut Tari-Luna Maya-Ariel. Yang bisa
berhenti sebagai video mesum, atau mempersoalkan di mana kejadian,
tapi bukan apa atau siapa yang bergerak mendalangi ini.Paling tidak
ada atau tidak. Kita akan mengalami dan ikut sakit, ketika berhenti
dengan tahap “Gayus kangen anak dan istri,makanya lari ke Bali”.

Jawaban sementara yang tidak tuntas, tidak memuaskan pelaku yang
dituduh, juga tidak memuaskan akal sehat. Jawaban yang lagilagi dalam
istilah saya,jawaban dalam keadaan mabuk, yang meniadakan tanggung
jawab. Kalau sudah begini, situasi kembali ke awal lagi. Kita tak tahu
pasti apakah Gayus memang sakti, atau sebenarnya ini perilaku orang
yang sakit.Kita juga tak yakin diri, apakah kita masih bisa sakti
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, atau kita sebenarnya juga
suatu komunitas yang sakit. Sakit dalam artian ternyata tak mampu
membedakan penye-lesaian atau penerimaan hasil sementara. Ini yang
menyakitkan, dan meniadakan harapan bahwa sebenarnya kita dan negeri
ini bisa menjadi lebih baik nantinya.

Ini yang menyakitkan karena kita geram pada Gayus, dan saat yang sama
kita sama mabuknya dengan dia.Pada saat itu Gayus bukan Man of the
Year, melainkan kita semua ini yang menjadi Men of the Year.
Inisakit,dan sungguh menyakitkan.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366228/

Meruntuhkan Kesaktian Gayus

Oleh Saldi Isra

Sejak semula, sudah dapat diduga skandal rekayasa pajak dengan tokoh
sentral Gayus HP Tambunan sulit diselesaikan tuntas oleh kepolisian.
Setidaknya, gejala ke arah itu dapat dilacak dari keterlibatan
sejumlah petinggi polisi dalam jejaring kejahatan pajak Gayus.

Di tengah sorotan tajam publik, rekayasa guna melindungi sejumlah
petinggi di jajaran kepolisian berlangsung secara sistemik. Bukti yang
sulit dibantah, upaya melokalisasi keterlibatan polisi sampai perwira
menengah saja. Padahal, ketika memberikan keterangan, Gayus menyatakan
pernah mengeluarkan 500.000 dollar AS kepada perwira tinggi polisi
untuk membuka blokir rekening atas namanya.

Dengan kondisi itu, sulit menerima peran kepolisian menyelesaikan
skandal Gayus. Namun, tak mudah membangun argumentasi agar
penyelesaian megaskandal pajak ini tak ditangani polisi. Bagaimanapun,
sulit dibantah, banyak pihak berkepentingan skandal ini tetap
diselesaikan kepolisian. Apalagi, pengalaman menunjukkan polisi paling
sulit bertahan dari segala macam godaan dan kepentingan di luar
penegakan hukum.

Namun, begitu kehadiran Gayus menyaksikan kejuaraan tenis di Bali
diketahui publik, polisi jadi kehilangan basis argumentasi untuk terus
bertahan melanjutkan penyelesaian skandal ini. Argumentasi kian
terkikis habis karena semua fasilitas dan kemudahan yang didapat Gayus
selama masa tahanan diperoleh dengan melakukan tindak pidana berupa
suap ke sejumlah polisi di rutan.

Keniscayaan

Dengan hilangnya basis argumentasi ini, pilihan membawa penyelesaian
menjauh dari kepolisian jadi sebuah keniscayaan. Berkaca dari desakan
publik beberapa waktu terakhir dan melihat ”kesaktian” yang dimiliki
Gayus, tak cukup apabila KPK hanya sebatas melakukan supervisi.
Memilih langkah mengedepankan supervisi potensial mengubur
penyelesaian skandal Gayus secara tuntas.

Merujuk pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, langkah konkret yang
harus dilakukan adalah mengambil alih penyelesaian skandal Gayus.
Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan ”KPK berwenang mengambil
alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian”. Dengan dasar itu, siapa pun
tak dapat mencegah KPK mengambil alih penyelesaian skandal pajak
Gayus.

Melihat jejaring Gayus dengan polisi (termasuk jaksa) dan penyuapan
yang dilakukan selama dalam masa tahanan, alasan yang dipersyaratkan
dalam Pasal 9 UU No 30/3002 telah terpenuhi. Setidaknya, terdapat
kecenderungan penanganan tindak pidana korupsi ditujukan guna
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
Kecenderungan ini dapat dilacak dari adanya upaya mengalihkan dari
rekening tak wajar Gayus jadi kasus PT Surya Alam Tunggal dengan
jumlah kerugian negara Rp 570.952.000.

Padahal potensi kerugian negara dari PT SAT tak sampai seujung kuku
dari keseluruhan jumlah rekening dan safe deposit box Gayus. Oleh
karena itu, patut diduga, strategi mengalihkan tindak pidana utama ke
kasus PT SAT hampir pasti ditujukan untuk menutup upaya membongkar
asal-muasal uang yang masuk ke rekening Gayus. Dengan logika
sederhana, jika asal-usul uang Gayus didalami, pasti akan sampai ke
perusahaan-perusahaan besar yang pernah menerima keahlian Gayus.
Misalnya, ia mengaku menerima 3 juta dollar AS dari tiga perusahaan
besar: Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources (Kompas, 29/9).

Sementara itu, alasan berikutnya: penanganan tindak pidana korupsi
mengandung unsur korupsi juga dengan nyata terjadi pada penanganan
skandal Gayus. Setidaknya, pemberian sejumlah uang ke sejumlah petugas
dengan maksud mendapat segala macam selama dalam tahanan adalah bukti
nyata proses hukum telah menimbulkan praktik korupsi lain. Keadaan
bisa bertambah runyam karena uang Rp 75 miliar dalam safe deposit box
masih misterius. Bukan hanya kalangan yang sejak awal memberikan
perhatian pada skandal ini, pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution,
pun mempertanyakan misteri safe deposit box tersebut.

Sementara itu, sebagai sebuah keniscayaan, pengambilalihan dapat
diletakkan dalam skenario mempercepat penyelesaian skandal Gayus.
Sebagaimana ditegaskan Pasal 8 Ayat (3) UU No 30/2002, dalam hal KPK
mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan
wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 hari kerja,
terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.

Meruntuhkan kesaktian

Merujuk pada ketentuan Pasal 8 dan 9 UU No 30/2002, pengambilalihan
menjadi wewenang KPK yang tak dapat dilepaskan dari posisi lembaga ini
sebagai extra-ordinary body dalam memberantas korupsi. Dalam
pengertian itu, pengambilalihan sangat tergantung dari kemauan dan
keberanian KPK. Karena jadi semacam hak eksklusif KPK, pernyataan
Presiden bahwa skandal Gayus tetap ditangani polisi seharusnya tak
menyurutkan langkah KPK melakukan pengambilalihan.

Yang perlu disadari KPK, sebagai lembaga independen, mereka punya
dasar hukum amat kuat untuk mengambil alih skandal Gayus. Selain
pijakan hukum, mayoritas publik juga memberikan legitimasi sosial kuat
bagi KPK. Oleh karena itu, jika KPK mengurungkan niat mengambil alih,
bukan tak mungkin akan menambah kesaktian pegawai golongan III Ditjen
Pajak ini. Jika itu terjadi, jangan pernah berharap membongkar secara
tuntas semua jaringan mafia pajak terkait Gayus.

Tak hanya dasar hukum dan dukungan publik, dengan masuknya Busyro
Muqoddas menggantikan Antasari Azhar, tambahan darah segar pasti akan
mengalirkan energi baru guna membongkar semua skandal korupsi yang
punya relasi politik dan/atau ekonomi amat kuat. Khusus skandal mafia
pajak ini, publik tengah menunggu kemampuan dan kemauan KPK
meruntuhkan kesaktian Gayus.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/26/0344371/meruntuhkan.kesaktian.gayus

Jangan Beri Mereka "Handphone"

Oleh Sulistyowati Irianto

Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab,
dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan
ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.

Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender UI menunjukkan,
memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan.
Sekitar 80 persen TKW Indonesia mendekam di penjara UEA karena tuduhan
kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan
laki-laki, termasuk hubungan bermesraan melalui handphone (ponsel).

Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak
dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya,
pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya,
”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk
sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum
khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama
berbagai persoalan.

Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu
rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima.
Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi
kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.

Pembedaan

Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim
maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang
antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW
ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri,
bukan kementerian ketenagakerjaan.

Di rumah aman KBRI Abu Dhabi setiap hari selalu terdapat 60-70 orang
TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100
orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus
terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.

Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang
harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada
multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pertama, kontrak
di Tanah Air seperti dipersyarakatan UU Nomor 39/2004. Kedua, kontrak
antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya
dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak
antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan
TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.

Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh,
loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka
dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”,
”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.

Relasi ras, kelas, jender

Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan
klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur
mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak
setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi
”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.

Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat
sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya
sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa
”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi
juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku
kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai
bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).

Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan
majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan
bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia
menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan
dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan
bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah
seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.

Ekonomi global

Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan
kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan
ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi
barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan. Mereka
juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur
Tengah, yang potensial menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka
menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan,
serta firma hukum.

Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang
memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan
berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di
antaranya menjadi kepala desa.

Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya
menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik.
Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.

Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian
bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan
berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap
identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan
hukum.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas
Indonesia.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/26/03344838/jangan.beri.mereka.handphone

Koruptor, Pengkhianat Bangsa

Koruptor, Pengkhianat Bangsa
Oleh Irfan Ridwan Maksum Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara
FISIP-UI



HIDUP mewah para koruptor yang su dah terjerat proses hukum menjadi
bukti bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime)
belum menjadi bagian dari kesatuan gerak pemberantasan dan pencegahan
penyakit bangsa nomor satu di Indonesia.

Semakin terkuak bongkahan puncak gunung es ketika Gayus melenggang ke
Bali dengan mudah walau sudah menjadi pesakitan di Mako Brimob Kelapa
Dua. Sesuatu yang tidak mungkin untuk kejahatan lainnya walaupun tidak
disebutkan dalam UU sebagai kejahatan luar biasa.

Kesimpulannya, belum cukupkah energi untuk menggerakkan proses
penyembuhan penyakit kronis tersebut dari bumi Indonesia?
Peyorasi kejadian luar biasa Riggs (1960) menyimpulkan adanya budaya
formalisme yang kuat tumbuh dalam tubuh bangsa negara berkembang
termasuk Indonesia.
Dalam konsep agama, formalisme itu biasa disebut dengan istilah
munafik, yakni adanya beda antara yang tertulis dan kenyataannya dan
beda antara yang terucap dan apa yang dilakukan.

Ciri-ciri penyakit itu yang mengkhawatirkan adalah me makan potensi
positif dari pihak lain yang belum terpengaruh atau masih lemah
derajat formalismenya. Pelakunya, orang munafik, ditandai keinginannya
diterima semua kalangan dan akhirnya meminta orang lain berperilaku
sama.

Dengan demikian, kemunafikan akan selalu meminta korban. Oleh karena
itu, justru orang yang baik akan tertelan.
Akhirnya, ketika semua orang menjadi munafik, orang yang tidak munafik
atau tidak berpaham formalisme malah dianggap aneh.

Hingga saat ini, budaya formalisme menjadi perilaku bersama bangsa
Indonesia.
Dengan demikian, di Indonesia, orang yang tidak formalistis malah
dianggap aneh. Oleh karena itu, jika menganggap bahwa korupsi itu
kejadian luar biasa betul-betul dijalankan dan diberantas, orang itu
akan dianggap aneh orang tersebut. Dalam hal ini, tengah terjadi
penyusutan makna (peyorasi) mengenai korupsi sebagai kejahatan luar
biasa sejak UU yang mengatur KPK diberlakukan.

Struktur nilai dan struktur sosial-politik juga dipahami bangsa
Indonesia tidak mengarah pada kesatuan pemaknaan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa. Namun, dalam retorika, diskusi, dalam
pemandangan politik semua nampak sepakat menuliskan dan mengatakan
sebagai kejahatan luar biasa. Namun, pada saat perwujudan menghilang
dan lenyap sebagai penyakit, terjadi penyusutan yang luar biasa. Itu
adalah sebuah asa. Itu adalah sebuah kemunafikan yang nyata dalam
praktik negara Indonesia. Ada hubungan yang kuat antara pemberantasan
dan pencegah an perilaku korupsi bangsa Indonesia dengan kemunafikan
ini.
Suntikan energi Formalisme di Eropa ditepis dengan gerakan struktur
yang sangat kuat dengan memberikan power dan energi kepada negara
untuk otonom dan menjadi gerakan kultural yang masif merasuki
rasionalitas masyarakat Eropa.
Telah ratusan tahun ini menjadi sebuah gerakan nilai yang terintegrasi
dalam masyarakatnya, menjadi etika moral yang berpengaruh.

Kini masyarakat Eropa menghadapi musuh yang tidak ringan, yaitu
serangan terhadap celah-celah ketidaklengkapan struktur formal
tersebut. Namun, kemajuan ilmu dan teknologi mereka manfaatkan untuk
menjadi garda penepis rapuhnya struktur tersebut. Kultur formalisme
sudah lama dikubur di sana. Jangan main main dengan orang Barat kalau
sudah berjanji. Buat mereka janji adalah harga mati dan merupakan
ukuran kredibilitas seseorang.

Eropa dan negara maju menghadapi penyakit lain yang berupa serangan
pembangkangan, baik terlihat maupun tidak.

Dalam ekonomi politik di sebutkan dengan jelas sebagai a sikap
`oportunis'. Yang terlihat r tentu mudah ditumpas, yang a sulit adalah
pembangkangan tidak terlihat. Sebetulnya ka E rena rasionalitas
masyarakat t Eropa kini terbangun sedemikian rupa, wajar jika salah
satu rujukan, misalnya North (1993) mengatakan bahwa penyakit-penyakit
kekinian di atasi dengan amandemen terus-menerus peraturan yang ada.

Pembangkangan masyarakat Eropa hanya soal sikap oportunis yang dapat
dicegah jika seperangkat aturannya diperbaiki karena akan dipatuhi,
kemudian direspons kembali untuk mencari kelemahannya begitu berulang
sampai akhir zaman.

Di negara berkembang bukan saja sikap oportunis, melainkan juga
menghadapi kemunafikan dalam praktek negara (baca: formalisme) yang
menjadi musuh terlihat, tetapi tidak mudah ditumpas karena menyangkut
kebiasaan dan perilaku bersama.

Formalisme itu harus ditantang dengan gerakan ideologis yang sarat
nilai dan berefek pada p e r u b a h a n k u l t u r.
Gerakan itu bisa didorong dengan mengembalikan proses penyusutan.
Terobosannya adalah menempatkan posisi ko rup si pada pengkhianatan
bangsa.

Pengkhianatan dan pelakunya (pengkhianat) dalam tradisi Eropa yang
didahului kemajuan peradaban Islam disematkan yang utama adalah pada
orang munafik.

Dengan kata lain, orang yang komitmennya rendah bahkan yang
bertentangan dengan komitmennya ditempatkan sebagai pengkhianat.
Oleh karenanya dalam manajemen negara bangsa-bangsa tersebut selalu
ditumpas.
Mereka keras memerangi kaum munafik. Mereka keras mengatasi orang yang
komitmennya rendah bahkan tidak memiliki komitmen. Koruptor amatlah
tinggi kadarnya sebagai orang munafik.

Untuk menjadi koruptor kelas teri harus melewati dulu atau berlatih
dahulu menjadi orang munafik, apalagi koruptor kelas kakap. Mereka
terlatih dan terdidik oleh lingkungan maupun oleh strukturstruktur
nilai, sosial-politik yang ada. Dengan demikian, pengkhianatan itu
terlatih.

Jika kita tempatkan koruptor itu pengkhianat, besar sekali energi
untuk menumpasnya.
Efeknya juga adalah adanya gerakan kultural yang bisa berimbas pada
rasionalitas bangsa. Gerakan itu menjadikan kita menyisakan persoalan
manajemen organisasi negara hanya pada soal oportunis manusia.

Soal ini sampai kapan pun akan hidup hingga akhir zaman sehingga
justru dituntut sistem organisasi negara harus semakin lengkap. Bahkan
sikap itu juga hidup dalam struktur organisasi informal.

Dengan begitu, sikap-sikap tersebut dapat diminimalisasi sedemikian
rupa melalui perbaikan sistem (peraturan perundangan) agar tidak
mengganggu efektivitas manajemen organisasi negara.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/26/ArticleHtmls/26_11_2010_014_003.shtml?Mode=0