BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perang Dolar-Yuan dan Sistem Ekonomi Kita

Perang Dolar-Yuan dan Sistem Ekonomi Kita

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.55

Perang Dolar-Yuan dan Sistem Ekonomi Kita
Oleh Sofyan S Harahap Guru Besar FE Universitas Trisakti

Kebijakan ini adalah kebijakan dari pemimpin penakut, tidak melihat ke
depan, dan tidak memiliki tanggung jawab kepada nasib bangsa di masa
depan yang semakin sulit karena persaingan yang semakin sulit pula. "
SEBELUM pertemuan tahunan para menteri keuangan G-20 di Gyeo ngju,
Korea Selatan, baru-baru ini kita menyaksikan `perang' kata-kata.
Bahkan di USA ada undang-undang yang memberikan kekuasaan kepada
Presiden Obama untuk menghukum China jika terbukti menggunakan yuannya
sebagai alat untuk melakukan praktik dagang yang tidak fair melawan
Amerika.

Amerika saat ini mengalami krisis ekonomi, keuangan, dan perdagangan
karena defisit perdagangannya terus membengkak pada tingkat yang
sangat mengkhawatirkan ekonomi dunia, bahkan defisit perdagangannya
sudah mencapai US$1,4 triliun, tertinggi selama sejarah.

Menurut Amerika, salah satu penyebab defisit ini karena kurs nilai
mata yuan diatur atau direkayasa oleh pemerintah China dan dibiarkan
rendah sehingga barang-barang produk China membanjiri Amerika. Inilah
yang menimbulkan defisit perdagangannya. Ted Geithner beberapa kali
meminta agar yuan itu dibiarkan mengambang sesuai fl uktuasi pasar,
jangan diatur pemerintah.

Tetapi, pemerintah sejauh ini bergeming dan membiarkan nilai yuan
lemah paling tidak karena tekanan Amerika membuat mengambang pada
border atau range tertentu saja, tidak bebas seperti ditentukan
market. Amerika tidak puas dan membawa ini ke sidang menteri keuangan
di Korea Selatan dan memang menjadi topik paling hangat.

Bahkan inilah salah satu isu yang marak dan sangat mengkhawatirkan
Korea sebagai ketua organizer dan juga anggota lain. Sebab, sebelum
pertemuan digelar, sudah terjadi perang ‘nilai mata uang’ antara
Amerika dan China. Amerika sangat mengkhawatirkan jika ada negara yang
bermain curang (menurut tuduhan Amerika) melalui rekayasa kurs mata
uangnya atau ‘on
competitive currency devaluations’ sehingga bisa meningkatkan ekspor
produknya, menaikkan defi sit negara, dan akhirnya menaikkan cadangan
devisa.

Sebagaimana diketahui, saat ini negara dengan defi sit perdagangan
terbesar di dunia ialah Amerika dan surplus terbesar dunia adalah
China yang sudah mencapai US$3 triliun. Dengan demikian, China menjadi
masuk anggota BIRC (Brasil, India, Rusia, dan China) yang
berkesempatan masuk ke struktur IMF nantinya.

Untuk itulah Menteri Keuang an Korea Selatan mengajukan the Korean
Initiative. Ini merupakan perjalanan penting dalam sejarah sistem
keuangan internasional yang selama ini sangat dikendalikan dolar
Amerika ke arah ‘more marketdetermined exchange rate system’ yang
dinilai bisa sebagai gambaran fundamental ekonomi suatu negara, bukan
akibat ‘competitive devaluation of currencies’ sebagaimana dituduhkan
Amerika ke China. Karena di sini ada juga isu defisit Amerika yang
demikian besar yang dibiayainya dengan
mencetak treasury bill atau pada hakikatnya adalah mencetak uang
dolar.

Maka, pada saat yang sama anggota G-20 juga minta agar Amerika secara
serius mengurangi defi sitnya maksimal 4% dari GDP dan Amerika berjanji
dengan senyuman. Apa artinya, biasanya adalah ‘forget
it’, kalau dia sudah aman.

Yang menjadi sorotan kita adalah apa pelajaran dari situasi perang
yuan-dolar ini terhadap sistem ekonomi yang berlaku saat ini di
Indonesia, yaitu sistem kapitalis yang secara membabi buta kita
mengikuti sistem kapitalis dan rumusan Amerika, negara donor, atau
rumusan IMF dan Bank Dunia. Bagaimana sehar
usnya Indonesia belajar dari situasi ini?
Memang, pertanyaan yang harus dijawab Ted Geithner dan para pendukung
sistem ekonomi kapitalis termasuk di Indonesia adalah apakah surplus
defisit perdagangan itu karena permainan kurs saja atau ada masalah
lain yang jauh lebih penting dalam sistem keuangan yang berlaku di USA
dan dunia sekarang ini?
Sebagaimana diketahui, ekonomi kapitalis yang dibanggakan Amerika
selama ini hancur pada 2008 dan dampaknya terasa sampai saat ini yaitu
ekonomi dengan mengandalkan nilai tambah ekonomi melalui
penggelembungan pasar uang dan modal yang ditandai dengan: debt fi
nancing, teknologi dengan hak-hak copy right, patent, franchise, hak
intelektual, biaya SDM yang tinggi, dan sebagainya. Atau seperti China
dan Jepang yang melakukan produksi terusmenerus dengan harga
terjangkau, murah, dan kualitas yang juga tidak buruk-buruk amat dan
bahkan banyak mengimitasi produk Amerika.

Jawabannya sederhana, yaitu sistem ‘bubble economy’ yang dibangun
dengan mengandalkan ‘monetary based economy’ atau ‘pasar uang dan
modal’ akan memiliki batas apalagi jika spekulasi, derivasi, debt fi
nancing, trading currency, dan future commmodity berbasis spekulasi
dan riba menjadi andalan.

Yang lebih penting ada ‘real based economy’ sebagaimana yang
diterapkan Jepang dan Korea. Jusuf Kalla pernah meru muskan kebijakan
ekonominya ini dengan sangat simpel: ”Bursa Efek Indonesia perlu,
tetapi lebih perlu Tanah Abang.” Kalau seandainya para perumus
kebijakan ekonomi kita tersebut masih ingat teori Iving Fisher yang
meminta agar
diciptakan kesimbangan antara velocity of money dan produksi barang,
perang yuan dan dolar tidak perlu terjadi dan Ted Geithner tidak perlu
mencakmencak mengatur ekonomi negara lainnya.

Bagaimana kita di Indonesia? Kita masih mengekor sistem dan kebijakan
ekonomi yang salah melalui ‘me too approach’ (saya juga ikut yang
biasa), gak enak dan riskan mengubah ke sistem baru.

Kebijakan ini adalah kebijakan dari pemimpin penakut, tidak melihat ke
depan, dan tidak memiliki tanggung jawab kepada nasib bangsa di masa
depan yang semakin sulit karena persaingan yang semakin sulit pula.

Apa keyakinan para menteri keuangan terhadap kebijakan yang mereka
tempuh yang melanjutkan sistem lama yang menguntungkan Amerika? Bisa
kita baca dari hasil komunike bersama pertemuan G-20 di Gyeongju
tentang situasi ekonomi dunia. Mereka menyebutkan sebagai berikut:
“Ada progres, tetapi masih dalam situasi rentan pecah atau mudah
muncul krisis atau fragile and uneven.”

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/11/25/ArticleHtmls/25_11_2010_014_026.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: