BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gayus Sakti = Gayus Sakit

Gayus Sakti = Gayus Sakit

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.26

Kalau saja ada pemilihan Man of the Year dari segi tokoh yang
menimbulkan kehebohan akibat ulahnya,Gayus HP Tambunan-lah orangnya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berusia 31 tahun,
bergolongan III A, dalam satu penanganan perkara pajak,bisa
menyisihkan Rp100 miliar—dari Rp300 miliar yang diterima. Begitu mudah
rupiah melimpah ruah sehingga seolah tidak perlu menginjak bumi.
Kepergiannya ke Bali awal bulan ini padahal masih berstatus sebagai
orang tahanan menunjukkan bahwa Gayus masih sakti. Sekaligus sakit
jiwa karena tidak ada keseimbangan antara realitas dan reaksi yang
diberikan.

Pribadi

Gejala ini dalam istilah budaya saya sebut sebagai gegar budaya, atau
cultural lag.Sebagai tindakan layaknya orang mabuk,orang yang
kehilangan orientasi lama dan masuk orbit baru yang tak sepenuhnya
disadari. Dalam dunia artis hal itu sering terjadi. Seorang yang bukan
siapa-siapa dalam dunia hiburan, tiba-tiba menjadi bintang. Seorang
figuran yang menerima honor Rp300 ribu sehari dan jatah nasi
bungkus,tibatiba mendapat kontrak bayaran seratus kali
lipat.Tingkahnya,dalam ukuran normal, menjadi serbaaneh. Bisa tiba-
tiba tak menyukai kru kerja, bisa meminta ganti lawan main atau bahkan
sutradara, bisa bangun lebih siang dan merasa perlu ganti penata
rambutnya.

Dalam bahasa orang film, pemain yang rumahnya di gang sempit,ketika
syuting minta fasilitas kamar berpendingin. Pada Gayus perubahan diri
sudah berlangsung lama,dan gegar budaya yang dialami terus
berlangsung. Sehingga rupiah yang dimiliki bisa tak ada nomor seri,
semua bisa dibeli dengan uang— yang akan terus diperolehnya dengan
cara yang gampang.Termasuk yang berkaitan dengan hukum, dengan para
petinggi mulai dari polisi, jaksa, hakim dan atau juga
pengacara.Termasuk ketika posisi saat diperiksa atau sudah
disidangkan, ditahan atau menjadi sorotan.

Dalam keadaan gegar budaya atau mabuk orientasi inilah, segala
kalimat,segala ucapan juga bisa berubah tanpa rasa salah. Menolak
mengakui berada di Bali,kemudian mengakui, meminta maaf semua bisa
terjadi bahkan dalam satu tarikan napas yang sama.Gayus, sebagai
pribadi, tak mampu membedakan dalam dirinya apakah kini sedang
berbohong, sedang bersaksi dengan pengakuan. Semuanya bias dan samar
sebagaimana jawaban orang mabuk beneran. Agak jauh berbeda, tapi dalam
kondisi yang sama kita melihat reaksi yang sama ketika Cut Tari, Luna
Maya, Ariel menolak keberadaan dalam video yang menghebohkan— dan
mungkin cepat agak terlupakan—atau kemudian mengakui, dan atau
bertahan sebagai bukan.

Semua bisa dilakukan dalam tetesan air mata yang sama, atau keberanian
menatap kamera, sambil bergegas menghindar. Semua dilakukan tanpa
kesadaran penuh, semua dilakukan sebagai reaksi seketika dalam situasi
yang dirasa jenuh. Maka agak sia-sia kalau kita mencoba mendekati dan
menempatkan dalam posisi yang normal. Kita tak akan pernah tahu apa
yang dikatakan hal yang sebenarnya atau bikinan.Karena yang
bersangkutan juga tak mau tahu.Atau merasa sama.Peran itu memakan
keberadaannya, pribadinya. Seperti gadis kampung kumuh dalam hidupnya
sehari-hari dan berperan sebagai seorang putri cantik anak raja.Ia tak
sadar apakah ini sedang memerani sebuah lakon, atau apakah ini dirinya
yang sebenarnya.

Komunitas

Masalahnya menjadi serius dan mengenaskan,bukan hanya karena membuat
akibat-akibat sampingan apa yang dilakukan tokoh yang sedang mabuk
ini.Melainkan adalah bagaimana pribadi yang lain— yang artinya sebuah
komunitas— ikut terseret masuk ke dalam situasi gegar budaya. Dalam
kasus Gayus ini, keributan akan terus berputar memahami bagaimana
sikap itu terjadi.Bagaimana Gayus bisa lolos? (semua kalau punya duit
juga bisa kalau mau, tinggal bagaimana mekanisme).Padahal,tradisi
begitu sudah ada sejak tahun 1912, kalau LP Cipinang dipakai sebagai
ukuran. Bagaimana aliran duit mengalir? (padahal duit tak ada baunya
dan ini bukan transaksi yang memerlukan kuitansi).

Bagaimana memahami birokrasi yang membawahi? Padahal sudah terjadi
selama ini. Gegar budaya pada aparat hukum kita adalah apabila kita
terhenti di urusan ini. Dengan saling bantah, saling meluruskan—atau
membelokkan, saling berkoar dan berkomentar. Dan itulah yang sedang
terjadi, setidaknya sampai saat ini. Kita tak beranjak ke arah satu
langkah ke depan, one step ahead. Kita tak menuju ke masa depan yang
lebih dibutuhkan namun menjebakkan diri apa yang tengah terjadi.
Sebagai perbandingan lagi, kasus Cut Tari-Luna Maya-Ariel. Yang bisa
berhenti sebagai video mesum, atau mempersoalkan di mana kejadian,
tapi bukan apa atau siapa yang bergerak mendalangi ini.Paling tidak
ada atau tidak. Kita akan mengalami dan ikut sakit, ketika berhenti
dengan tahap “Gayus kangen anak dan istri,makanya lari ke Bali”.

Jawaban sementara yang tidak tuntas, tidak memuaskan pelaku yang
dituduh, juga tidak memuaskan akal sehat. Jawaban yang lagilagi dalam
istilah saya,jawaban dalam keadaan mabuk, yang meniadakan tanggung
jawab. Kalau sudah begini, situasi kembali ke awal lagi. Kita tak tahu
pasti apakah Gayus memang sakti, atau sebenarnya ini perilaku orang
yang sakit.Kita juga tak yakin diri, apakah kita masih bisa sakti
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, atau kita sebenarnya juga
suatu komunitas yang sakit. Sakit dalam artian ternyata tak mampu
membedakan penye-lesaian atau penerimaan hasil sementara. Ini yang
menyakitkan, dan meniadakan harapan bahwa sebenarnya kita dan negeri
ini bisa menjadi lebih baik nantinya.

Ini yang menyakitkan karena kita geram pada Gayus, dan saat yang sama
kita sama mabuknya dengan dia.Pada saat itu Gayus bukan Man of the
Year, melainkan kita semua ini yang menjadi Men of the Year.
Inisakit,dan sungguh menyakitkan.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366228/
Share this article :

0 komentar: