BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jangan Beri Mereka "Handphone"

Jangan Beri Mereka "Handphone"

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.17

Oleh Sulistyowati Irianto

Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab,
dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan
ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.

Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender UI menunjukkan,
memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan.
Sekitar 80 persen TKW Indonesia mendekam di penjara UEA karena tuduhan
kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan
laki-laki, termasuk hubungan bermesraan melalui handphone (ponsel).

Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak
dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya,
pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya,
”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk
sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum
khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama
berbagai persoalan.

Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu
rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima.
Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi
kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.

Pembedaan

Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim
maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang
antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW
ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri,
bukan kementerian ketenagakerjaan.

Di rumah aman KBRI Abu Dhabi setiap hari selalu terdapat 60-70 orang
TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100
orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus
terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.

Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang
harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada
multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pertama, kontrak
di Tanah Air seperti dipersyarakatan UU Nomor 39/2004. Kedua, kontrak
antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya
dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak
antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan
TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.

Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh,
loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka
dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”,
”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.

Relasi ras, kelas, jender

Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan
klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur
mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak
setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi
”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.

Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat
sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya
sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa
”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi
juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku
kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai
bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).

Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan
majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan
bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia
menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan
dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan
bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah
seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.

Ekonomi global

Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan
kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan
ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi
barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan. Mereka
juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur
Tengah, yang potensial menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka
menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan,
serta firma hukum.

Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang
memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan
berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di
antaranya menjadi kepala desa.

Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya
menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik.
Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.

Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian
bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan
berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap
identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan
hukum.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas
Indonesia.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/26/03344838/jangan.beri.mereka.handphone
Share this article :

0 komentar: