hanya prosedural atau substansial, adalah melihat mekanisme sirkulasi
kekuasaan politik yang dijalankan dalam sebuah negara.
Sirkulasi kekuasaan politik ini penting karena syarat mutlak demokrasi
adalah adanya pembatasan kekuasaan politik.Tanpa adanya pembatasan
kekuasaan politik,demokrasi yang dianut boleh dikatakan semu belaka.
Melihat indikator tersebut, hingga usia reformasi menginjak angka 12
tahun,kita patut berbangga diri. Sirkulasi kekuasaan politik, baik
dari tingkat nasional hingga ke daerah,telah berjalan sesuai mekanisme
demokrasi. Memang masih banyak kerikil.Namun, kerikil- kerikil itu
hingga kini masih dalam batas toleransi.
Akan tetapi, pada proses sirkulasi kekuasaan politik nasional yang
akan dilaksanakan pada 2014 melalui mekanisme pemilihan presiden
(pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) kini sedikit mendapat ancaman
serius. Hal ini dikarenakan pembahasan RUU Pemilu kita, khususnya RUU
No 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu, arahnya telah
membahayakan kualitas demokrasi. Draf yang disusun oleh Komisi II DPR
RI berjalan mundur ke belakang.
Dialektik Terbalik
Seperti kita tahu, usulan komisi II DPR RI dalam pembahasan RUU No 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu akan menganulir beberapa pasal
krusial dalam mengawal kualitas demokrasi yang sebelumnya telah
tertata baik.Dalam RUU ini, pasal yang mensyaratkan anggota Komisi
Pemilihan Umum (KPU) tidak dari unsur partai politik dihapuskan. Dalam
Pasal 11 huruf i yang mengatur bahwa: “syarat untuk menjadi calon
anggota KPU,KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/ Kota adalah seseorang
yang tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam
surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5
(lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan
dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang
bersangkutan” akan dihapus.
Selain unsur partai politik, RUU ini juga membolehkan unsur pejabat
publik dan pegawai negeri sipil (PNS) untuk menduduki posisi di KPU
dengan dihapuskannya pasal yang sama huruf k yang berbunyi: ”syarat
untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota
adalah seseorang yang tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan
struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri”. Seandainya
draf ini nantinya disetujui dan disahkan, maka kualitas hasil pemilu
2014 tentu akan banyak dipertanyakan keabsahannya.Mengapa demikian?
Pertama, jika penyelenggara pemilu berasal dari parpol, besar
kemungkinan intervensi terhadap Penyelenggara Pemilu yang dilakukan
oleh elit parpol sulit terhindarkan.
Dengan adanya intervensi ini,besar kemungkinan juga bahwa
penyelenggara pemilu hanya akan tunduk dan patuh pada kepentingan
partainya, bukan pada kepentingan demokrasi. Implikasinya, aturan-
aturan pemilu nantinya akan ditetapkan sesuai dengan kepentingan
masing-masing parpol. Kedua, dengan adanya tarikmenarik kepentingan
partai politik dalam lembaga penyelenggara pemilu, maka aturan-aturan
yang akan dibuat serta proses pengambilan keputusan bisa berbelit-
belit, bahkan bisa berujung pada deadlock.Pengalaman seperti ini telah
kita lihat pada Pemilu 1999 lalu ketika unsur partai politik menjadi
anggota penyelenggara pemilu.Pada saat itu,anggota KPU tidak mau
menandatangani hasil pemilu nasional untuk menetapkan pemenang pemilu.
Deadlock itu baru bisa pecah ketika BJ Habibie mengeluarkan Keppres No
92/1999 pada 4 Agustus 1999 untuk mengesahkan penetapan keseluruhan
hasil penghitungan suara Pemilu 1999. Ketiga, dengan adanya tuntutan
untuk menang dari partai politik di mana anggota penyelenggara pemilu
bernaung, maka dalam membuat aturan-aturan, besar kemungkinan akan
terjadi transaksi “dagang sapi”.Praktik ini bisa jadi memunculkan
konflik di antara anggota KPU dan bisa jadi akan merembet ke level
yang lebih rendah, konstituen partai politik.
Keempat, pada level yang lebih rendah, Penyelenggara Pemilu seperti
PPK hingga PPS bisa jadi akan diisi oleh anggota parpol, dan peluang
terjadinya kecurangan untuk memenangkan partainya sulit untuk dicegah.
Melihat faktor-faktor di atas, mudarat yang akan diterima bangsa ini
lebih besar jika pasalp a s a l yang telah ada itu dihapuskan. Tentu
hal ini menjadi ancaman serius kualitas demokrasi kita. Selain
itu,lolos tidaknya draf RUU ini,menjadi pertaruhan demokrasi kita ke
depan, apakah mengarah pada demokrasi substansial atau hanya berupa
demokrasi prosedural semata.Pertanyaannya,kenapa hal ini bisa terjadi
dan mengapa para politisi di Senayan seolah tak mau tahu?
Power-Seeking Politician
Untuk menjawab pertanyaan ini, dalam kajian ekonomi-politik neoklasik,
sebetulnya kelakuan para politisi telah disindir dengan sangat jelas
dan vulgar. Para politisi ini disebut sebagai pemburu rente kekuasaan
(power-seekeing politician). Meski telah disindir dengan telak,
kelakuan para politisi ini tidak berubah, bahkan seolah melegitimasi
teori tersebut.
Argumentasi dasar powerseeking politician ini adalah para politisi
merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-
rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari politisi
adalah memaksimalkan, dan bila mungkin,mempertahankan kekuasaan yang
dimiliki. Untuk tujuan ini,maka para politisi akan dimotivasi oleh
keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki
guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan
memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu (Grindle,
1989). Implikasi dari argumentasi Grindle di atas, politisi cenderung
berpikir kepentingan jangka pendek.Tidak penting bagi para politisi
keputusannya nanti akan berdampak seperti apa kepada orang lain.
Pertimbangan utamanya adalah: keputusan itu tidak merugikan diri
mereka sendiri! Melihat model ini, maka kita bisa menjawab pertanyaan
terakhir, mengapa para politisi tak mau tahu dengan implikasi
dihapuskannya dua pasal di atas? Bagi mereka, tak penting untuk
memikirkan kualitas demokrasi.Yang terpenting adalah bagaimana dapat
memenangi pemilu. Dampak dari pola dasar pemikiran seperti ini adalah
adanya praktik-praktik kesepakatan di bawah meja atau “politik dagang
sapi”. Para politisi tak risau jikalau UU Pemilu akan berganti setiap
menjelang pemilu, bahkan mungkin lebih ekstrem,UU Pemilu boleh
berganti setiap kali pemilihan kepala daerah (pilkada), asal dapat
memberi keuntungan dan dapat mempertahankan kekuasaan dalam jangka
pendek. Namun kondisi seperti ini tak boleh dibiarkan.
Salah satu upaya untuk mengontrol kecenderungan politisi yang berpikir
jangka pendek adalah dengan melakukan pengawasan secara ketat.
Pengawasan yang dimaksud adalah adanya partisipasi seluruh komponen
masyarakat (baik civil society,LSM, ormas dan masyarakat umum) untuk
memelototi semua output yang dihasilkan oleh para politisi,kemudian
mengkritik dan memberikan saran. Jika masih tak mau mendengarkan,
mungkin harus dengan cara social movement.(*)
Abdul Hakim MS
Peneliti Indo Barometer
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar