BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah

Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 10.37

Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah
Achmad Maulani, PENELITI EKONOMI POLITIK PADA PUSAT STUDI ASIA-PASIFIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Maka, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi, yang lokus
penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan, tampaknya
harus terus kita tabuh.
Inilah sebuah tragedi sekaligus ironi dalam tata kelola pemerintahan
kita.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa pada 2010, kasus
korupsi keuangan daerah menempati urutan pertama dari tren korupsi di
Indonesia, dengan aktor utamanya para kepala daerah dan mantan kepala
daerah.

Sementara tahun sebelumnya, 2009, tren korupsi didominasi oleh anggota
DPRD.

Persemaian demokrasi lokal pun terancam gagal.

Modus korupsi lewat penyalahgunaan anggaran daerah yang menempati
posisi teratas tersebut membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi. Dalam pertemuan dengan kepala-kepala daerah se-
Indonesia beberapa waktu yang lalu, Mendagri mengatakan bahwa hingga
saat ini ada 17 gubernur dari 33 provinsi serta 150 bupati yang
terkena kasus korupsi.

Mengapa otonomi daerah justru menyuburkan korupsi-korupsi di daerah di
tengah upaya mewujudkan desentralisasi ekonomi yang berkualitas dan
tata kelola pemerintahan yang baik? Pertanyaan gugatan ini layak kita
ajukan karena, dalam otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu
yang paling mungkin bagi setiap wilayah untuk mendinamiskan kegiatan
pembangunan daerah melalui alokasi anggaran yang tepat.

Tetapi maraknya kasus korupsi yang justru dilakukan aparatur negara,
dari gubernur, bupati, wali kota, anggota DPRD, hingga pejabat dinas,
jelas telah merusak dan merobohkan sendi-sendi bangunan desentralisasi
yang susah payah sedang kita bangun. Kasus-kasus korupsi tersebut juga
telah mencoreng dan mencederai makna desentralisasi di tengah
ekspektasi masyarakat yang begitu besar bahwa otonomi daerah
diharapkan mampu melahirkan pencapaian pelayan publik (public
services) yang baik terhadap masyarakat.

Kasus korupsi atas anggaran daerah dengan demikian secara telanjang
menunjukkan bahwa anggaran daerah hanya dijadikan instrument untuk
menggemukkan para penyelenggaranya dan jauh dari komitmen untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Ia juga potret tata kelola
yang buruk dari penyelenggara pemerintah daerah.

Komitmen terhadap tata kelola pemerintah daerah yang baik perlu kita
teguhkan, karena hingga saat ini parameter paling sederhana untuk
mengukur keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat
sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal
mengalami perbaikan. Kinerja dari keberhasilan pelayanan sektor publik
tersebut bisa dilihat dari dua indikator, yakni efisiensi dan
efektivitas.

Dalam konsep desentralisasi, makna efisien dan efektif dalam
pemerintahan daerah harus berujung pada terciptanya prinsip
keterjangkauan/aksesibilitas setiap program pembangunan oleh seluruh
kelompok masyarakat. Selain itu, efektif dan efisien juga meniscayakan
adanya kualitas dalam program-program pembangunan yang menyentuh
kebutuhan dasar masyarakat. Semua itu akan terwujud ketika kerikil
tajam bernama korupsi tidak menjadi bisul dan duri dalam daging yang
dapat menggerus hak-hak rakyat.

Para penyelenggara pemerintah seharusnya sadar bahwa anggaran daerah
merupakan satu-satunya alasan yang membenarkan bagi pemerintah untuk
memungut uang dari rakyat, baik dalam bentuk pajak,
retribusi, maupun lainnya. Jika anggaran daerah tersebut tidak
dikembalikan kepada rakyat melalui alokasi yang benar, apalagi justru
dikorupsi oleh aparatnya, kewajiban rakyat untuk membayar
“upeti”(baca: pajak/retribusi) menjadi batal.

Maka, genderang perang terhadap maraknya kasus korupsi, yang lokus
penyebarannya di era otonomi daerah kian mengkhawatirkan, tampaknya
harus terus kita tabuh. Mengapa? Karena pilihan terhadap otonomi
daerah telah kita pancangkan. Kita masih optimistis bahwa strategi
desentralisasi akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk
menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi
wilayah masing-masing. Di samping itu, ketika dikawal dengan baik, oto
nomi daerah juga lebih memungkinkan bagi terciptanya persemaian
demokrasi di tingkat lokal.

Karena itu, dalam proses desentralisasi, hal penting yang mutlak harus
dikembangkan pemerintah daerah adalah menciptakan tata kelola
(governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk
menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan.
Setidaknya ada lima hal yang harus ada dalam prinsip tata kelola dan
pengembangan kapasitas, yaitu kredibilitas, akuntabilitas,
partisipasi, prediktabilitas, dan transparansi.

Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas seperti di atas
sesungguhnya diarahkan untuk penguatan ekonomi daerah. Ada empat
sasaran yang ingin dicapai.
Pertama, produktivitas, di mana rakyat mampu meningkatkan
produktivitasnya dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kedua,
pemerataan (equality), di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan
yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Ketiga,
kesinambungan (sustainability), di mana pembangunan tidak cuma untuk
memenuhi kebutuhan saat ini, tapi juga untuk generasi mendatang.

Dan keempat, pemberdayaan (empowerment), di mana pembangunan harus
dilakukan oleh rakyat.

Dengan pemahaman tersebut di atas, keberhasilan pembangunan daerah
dalam konteks otonomi sangat dipengaruhi tiga hal. Pertama,
ketersediaan sistem informasi yang memuat data tentang kinerja
pembangunan daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem
pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan dijalankan
sesuai perencanaan. Dan ketiga, menciptakan aturan main (regulasi)
yang memberi ruang bagi seluruh partisipan pembangunan daerah untuk
melaksanakan program pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan
kesamaan akses.

Guna mencegah penyalahgunaan wewenang dan mencegah korupsi oleh
penyelenggara pemerintahan daerah, saya kira mekanisme kontrol yang
ketat serta pemberian sanksi yang tegas harus menjadi agenda utama
agar otonomi daerah tidak menjadi ruang bagi petualang-petualang
politik lokal untuk mengail keuntungan besar di tengah impitan yang
dialami masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian
mencekik.

Muara dari seluruh proses di atas adalah terjadinya pencapaian
pelayanan publik yang memang menjadi ikon desentralisasi.

Jika desentralisasi tidak mengarahkan pada terjadinya perbaikan
pelayanan masyarakat, sesungguhnya desentralisasi tersebut telah gagal
dijalankan.

Karena itu, satu hal perlu kita tegaskan bahwa kita perlu terus
mengawal pelaksanaan otonomi daerah demi tumbuhnya persemaian
demokrasi lokal yang kita cita-citakan. Korupsi harus dijadikan musuh
bersama yang tak bisa dimaafkan. Dengan cara inilah wajah otonomi
daerah, yang selama ini telah kusam karena berbagai penyimpangan,
dalam gerak perjalanannya bisa dipoles kembali sehingga tampak lebih
bermartabat.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/25/ArticleHtmls/25_11_2010_012_013.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: