BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mereka Bukan Primitif

Mereka Bukan Primitif

Written By gusdurian on Sabtu, 27 November 2010 | 11.00

Roy Thaniago, KOORDINATOR REMOTIVI, BEKERJA DI ALIANSI MASYARAKAT ADAT
NUSANTARA (AMAN)
Kalau kita merasa tidak ada masa lah dengan kata "primitif", yang
berkeliaran bebas, tulisan ini akan membuatnya tampak sangat ber
masalah. Dan, kalau tetap merasa tidak ada masalah, mungkin masalahnya
ada pada diri Anda. Saran saya: segera temui psikiater terdekat.

"Primitive Runaway", sebuah tayangan televisi, yang mungkin merupakan
titik kulminasi hasil pemahaman kolektif masyarakat Indonesia tentang
masyarakat adat, adalah salah satu sumber masalah itu. Tayangan ini
tidak hanya mengandung satu masalah, tapi juga tiga masalah sekaligus:
(1) mendiskriminasi masyarakat adat dengan menyematkan predikat
"primitif", (2) merekayasa realitas kehidupan masyarakat adat, serta
(3) mereproduksi dan menyebarkan kesesatan berpikir mengenai
masyarakat adat.

Program baru Trans TV yang diputar seminggu sekali ini menayangkan
kisah perjalanan dan aktivitas pasangan selebritas di suatu komunitas
masyarakat adat. Jualan kecapnya sudah seksi sejak awal, yakni
memperolok eksotisme dan membenturkan modernitas dengan
tradisionalitas. Ramuan ini melahirkan cerita dan konflik. Pengusaha
memang selalu tahu resep tokcer.

Lantas apa masalahnya? Mari simak edisi 31 Juli 2010 dengan bintang
tamu Ramon dan Ladya Cheryl, yang berkunjung ke tempat suku Sakkudai,
Mentawai. Lewat sudut pandang yang diambil, pemirsa disuguhi kesesatan
dan kebohongan mengenai orang Sakkudai yang ditampilkan bodoh,
terbelakang, dan jauh dari santun.
Ada adegan orang Sakkudai yang menjilati bingkisan yang diberikan. Ada
adegan ketika kedua bintang tamu oleh orang Sakkudai dipaksa
mengenakan pakaian adat, bahkan seorang perempuan tua bertelanjang
dada "beraksi"dengan berusaha melepaskan paksa busana "kota"Ladya.
Tak kalah seru, ditampilkan pula adegan pemaksaan melakukan tradisi
kikir gigi dan tato tubuh kepada para artis.

Benarkah apa yang terlihat di layar kaca dibandingkan dengan situasi
sebenarnya?
Mungkinkah suatu komunitas yang selama ini dikenal arif dalam
tradisinya, terlebih hanyalah kelompok minoritas, berani memaksakan
tradisinya kepada mereka yang datang dengan busana berbeda sambil
menenteng BlackBerry dan menggotong kamera besar?
Apakah saya ingin mengatakan itu semua bagian dari rekayasa yang
selama ini memang menjadi mainan para pekerja industri televisi kita?
Simpan dulu jawabannya.

Edisi lain pada 28 Agustus dan 4 September 2010, yang masing-masing
bertempat di masyarakat adat Sasak Bayan (Lombok) dan Tuatunu
(Pangkalpinang), pun menampilkan hal yang sama, bahwa masyarakat adat
adalah bodoh, terbelakang, dan tidak santun. Bahwa masyarakat adat
selalu memaksa tamu dari luar turut menjalani tradisi mereka. Bahwa
masyarakat adat adalah makhluk aneh yang perlu disorot kamera video
(dipegang oleh bintang tamu) sepanjang waktu, sekalipun telanjang.

Dan rupanya tayangan ini "berhasil"mereproduksi dan menyebarkan
kesesatan berpikir mengenai masyarakat adat, karena beginilah bunyi
dari para follower yang ada pada laman Twitter @primitiverunaway: (1)
lo boleh komentar, episode kali ini kurang primitif nih... but, it's
okay, bs nambah pngtahuan adat di bali.... :), (2) yep, episode ini
kurang primitive! klo blh ksh msukan, ak prnah liat org luar k derah
klimantan. ad tradisi ngeludah d rmah, (3) Di suku pedalaman papua
aja.Yg msh kanibal..., (4) You're great! I love.Tapi edisi kali ini
kurang primitif & terlalu setting. Sorry. :) Maju terus ya! Warisan
kolonial "Itu ucapan yang sangat kasar. Orang akan marah
sekali,”dengan bahasa Indonesia cadel seorang kawan Australia
menanggapi pertanyaan saya tentang “primitif”. Di negaranya, istilah
“primitif”haram digunakan, baik dalam komunikasi verbal maupun media
massa. Bahkan pemerintah Australia sampai perlu mendirikan lembaga
bernama Equal Opportunity Commission agar masyarakat dapat mengadukan
perlakuan diskriminatif yang terjadi.

Istilah “primitif”datang dari bahasa Latin, primitivus, artinya “yang
pertama atau terawal dalam jenisnya”. Istilah ini pertama kali dipakai
oleh para penulis dan penjelajah Barat dalam mendeskripsikan
masyarakat di luar budayanya. Mereka melukiskan masyarakat primitif
sebagai tidak beradab, biadab, ganas, dan kejam. Tujuannya jelas,
dengan merendahkan, mereka bisa menjajah dengan lebih leluasa.

Pada 27 Februari 2009, di harian The Independent, Direktur Survival
International Stephen Corry berpendapat bahwa pemerintah mengambil
keuntungan dari kekeliruan pemahaman masyarakat dalam memprimitifkan
masyarakat adat.“Kebodohan”dan “keterbelakangan”menjadi alasan
pemerintah untuk “mendidik”dan “memodernkan”masyarakat adat. Dan, atas
nama pembangunan,“keprimitifan”
menjadi alat pembenar untuk merampas
tanah masyarakat adat.
Memprimitifkan adalah mental penjajah. Ia adalah warisan kolonial yang
kemudian malah diadopsi negara-negara yang baru merdeka pasca-Perang
Dunia II (Domman, 2008:4-5 dalam Rizaldi Siagian, Kompas, 13 Desember
2009). Menggelikan, memprimitifkan orang lain dipakai para terjajah
untuk menjajah! Adalah sebuah kepandiran ketika kita menghakimi suatu
kebudayaan dengan memakai kacamata budaya sendiri. Adalah
ketidakadilan kalau kita mengukur seseorang melalui ukuran kita. Itu
adalah sikap etnosentris yang sangat bertentangan dengan pendekatan
kebudayaan yang relativis (Nakagawa, 2000:8-9). Karena itu, John
Simpsons, editor BBC, berkata,"Tidak ada yang primitif dalam
masyarakat adat kecuali pandangan kita terhadap mereka."

Masyarakat adat hanya memiliki cara hidup yang berbeda dengan
kebanyakan orang, tapi mereka bukan primitif--tidakkah keteguhan cara
hidup mereka yang khas itu suatu keindahan? Mereka tidak tinggal di
masa lalu, karena kelompok masyarakat mana pun selalu berubah dan
beradaptasi seturut tuntutan zaman--dan konteks sosial-kultural mereka
memang tidak membutuhkan Bvlgari dan Senayan City. Pun mereka tidak
terbelakang, mengingat cara mereka dalam mengatasi hidup--seperti
kembali mengutip Simpsons, "Kerumitan masyarakatnya, kemampuan yang
luar biasa dalam melangsungkan eksistensi mereka dan memanfaatkan alam
sekitar, membuat kita bertanya-tanya."

Memprimitifkan suatu kelompok masyarakat adalah bentuk diskriminasi.
Ini merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
Harian terkemuka di Inggris, seperti The Guardian dan The Observer,
sejak 2009 sudah melarang penggunaan terminologi "primitif"untuk
mendeskripsikan masyarakat adat.

Primitif adalah pelabelan yang menyakitkan. Ia oleh masyarakat
kebanyakan dimaknai biadab, bodoh, terbelakang, dan "belum manusia".
Melihat situasi sekarang--seorang ibu membakar anaknya hidup-hidup,
pekerja lembaga swadaya masyarakat memperkaya diri lewat proposal
fiktif, bupati mengkorupsi uang rakyat, media "membunuh"Luna-Ariel-
Tari, agama menjadi pembenar untuk melakukan kekerasan, dokter menolak
pasien miskin, televisi menebar kekerasan dan kebodohan--siapakah yang
biadab? Siapakah yang primitif? Anda boleh menjawab sekarang.


http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/24/ArticleHtmls/24_11_2010_012_013.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: